Selayang Pandang
Ada 8 stanza yg
berisi kidung tentang kebahagiaan jiwa yang telah melewati malam gelap iman,
dalam ketelanjangan dan pemurnian, persatuan dengan kekasihnya yaitu Allah
sendiri. Inilah isinya:
Stanza Pertama
Suatu malam yang
gelap, terbakar oleh kerinduan cinta yang mendesak. Oh rahmat yang tak
terkatakan aku keluar tak terlihat, Rumahku sekarang seluruhnya hening
Stanza Kedua
Dalam kegelapan dan dengan aman, lewat tangga
rahasia, tersamar, Oh Rahmat yang tak terkatakan dalam kegelapan dan
tersembunyi. Rumahku sekarang seluruhnya hening
Stanza Ketiga
Pada malam yang bahagia itu, secara rahasia, karena
tak seorangpun melihatku
aku pun tak melihat sesuatu pun tanpa terang lain
atau pembimbing
selain yang membara dalam hatiku
Stanza Keempat
ini menuntun aku, lebih pasti daripada terangnya
siang hari ke tempat di mana ia menantiku
Dia yang begitu kukenal di suatu tempat di mana tak
seorang pun muncul
Stanza Kelima
oh malam yang membimbing oh malam yang lebih indah
daripada fajar
oh malam yang telah mempersatukan sang kekasih
dengan yang di kasihi-Nya mengubah yang dikasihi dalam kekasihnya
Stanza Keenam
pada dadaku yang penuh bunga, yang kusimpan hanya
untuk Dia saja di sanalah Dia berbaring, tidur dan aku membelai-Nya di sana
dalam hembusan cedar yang sejuk
Stanza Ketujuh
Ketika angin berhembus dari menara ketika
kusibakkan rambut-Nya
leherku dilukai dengan tangannya yang lembut
menghentikan segala inderaku
Stanza Kedelapan
Kuabaikan dan kulupakan diriku sambil meletakkan
wajahku pada kekasihku
segalanya berhenti, aku keluar dari diriku
meninggalkan kesusahanku
terlupa di antara bunga-bunga bakung
St. Yohanes dari Salib (Juan de la Cruz, 24 Juni
1542 – 14 Desember 1591) sendiri yang identik dengan Madah Stanza diatas
dilahirkan dengan nama Juan de Yepes di Fontiveros, desa kecil dekat Avila. Dia
dikenal atas kerja samanya bersama Santa Teresa Avila dalam reformasi ordo
Karmelit, dan untuk tulisannya; baik puisinya dan penelitiannya tentang
pertumbuhan roh (dalam pandangan Kristen tentang terlepasnya roh dari diri
manusia dan melekat kepada Allah) dan dianggap sebagai puncak literatur mistik
Spanyol.
Pada masa kecilnya ia dua kali diselamatkan dari
tenggelam secara ajaib oleh Bunda Maria. Ia dididik oleh Yesuit, tetapi
kemudian memutuskan untuk masuk ke Ordo Karmel di Medina pada tahun 1563 dan
ditahbiskan sebagai imam 5 tahun kemudian. Yohanes kemudian berjumpa dengan St.
Teresa Avila yang mengajaknya bergabung memperbaharui semangat spiritualitas
Ordo Karmel melalui hidup doa dan puasa/pantang yang keras.
Selama masa pergolakan antara kaum pembaharu dengan
anggota ordo yang lain, Yohanes mengalami berbagai penekanan dari
rekan-rekannya sesama anggota Ordo seperti dipermalukan, diculik, dipenjara,
dll. Ketika berada di penjara, Yohanes mendapatkan berbagai pengalaman mistik
yang membuatnya mampu menggubah kidung-kidung dan puisi mistik serta memperoleh
hikmat pengertian yang luar biasa dalam memahami ajaran Kristus. Pengetahuan
ini kemudian ditulis dalam buku-bukunya yang terkenal seperti "Malam Gelap
Jiwa", "Mendaki Gunung Karmel", "Madah Rohani".
Setelah meringkuk selama 9 bulan dalam penjara akhirnya Yohanes berhasil melarikan
diri secara ajaib dengan bantuan Bunda Maria.
Akibat dari proses pembaharuan tersebut, Ordo
Karmel Tak Bersepatu secara resmi dipisahkan dari Ordo Karmel Bersepatu pada
tahun 1580. Yohanes kemudian menjabat berbagai posisi penting di Ordo Karmel
Tak Bersepatu. Selama beberapa tahun Yohanes sempat menjadi pembimbing di biara
Karmel di Avila dimana St. Teresa menjadi pemimpin biara. Disana Yohanes
bersama-sama St. Teresa sering mengalami fenomena levitasi yang disaksikan
sendiri oleh banyak anggota biara, terutama saat mereka tenggelam dalam
pembicaraan mengenai misteri Tritunggal.
Pada tahun 1591 di Ubeda, Yohanes meninggal dunia
setelah mengalami sakit. Pemakamannya di gereja dihadiri begitu banyak umat
beriman yang ingin menyentuh tubuhnya. St. Yohanes dimakamkan di ruangan bawah
tanah gereja. Pada keesokan harinya terjadi suatu keajaiban dimana para frater
melihat sinar terang di ruang tersebut selama beberapa menit.
Seorang wanita, Dona Ana de Penasola, mendapatkan
hak secara legal untuk memindahkan tulang-tulang St. Yohanes delapan bulan
setelah pemakaman ke sebuah ruangan yang disediakan secara khusus untuknya.
Pemindahan itu sendiri baru dilakukan sembilan bulan setelah pemakaman sang
santo. Ketika makam dibongkar ternyata tubuh St. Yohanes masih tetap utuh
sempurna dan menyebarkan keharuman. Akhirnya pimpinan biara menolak untuk
memindahkan tubuh St. Yohanes karena yang diminta adalah tulang-tulangnya,
bukan tubuhnya secara utuh. Salah satu jari St. Yohanes kemudian dipotong dan
dibawa kepada Dona Ana sebagai bukti bahwa tubuh St. Yohanes tetap utuh. ketika
amputasi dilaksanakan ternyata darah segar mengalir seperti layaknya pada
seorang yang masih hidup.
Setelah menunggu sembilan bulan kemudian, makam St.
Yohanes kembali dibongkar. Ternyata kali inipun tubuh St. Yohanes masih tetap
utuh seperti sebelumnya. Akhirnya Zavallos, utusan Dona Ana membawa pergi tubuh
St. Yohanes dengan menggunakan kantong. Keharuman yang menyebar dari tubuh St.
Yohanes membuat Zavallos berkali-kali ditanya dalam perjalanan. Sesampainya di
Madrid, para anggota Karmelit meletakkan tubuh St. Yohanes dalam sebuah peti
sehingga lebih layak untuk dibawa dalam perjalanan ke Segovia. Di Segovia tubuh
St. Yohanes mendapat perhatian dan penghormatan yang besar dari masyarakat,
relikwi tersebut disemayamkan di kapel selama 8 hari untuk memberi kesempatan
umat beriman melihatnya.
Makam St. Yohanes kembali dibuka pada tahun 1856,
tahun 1909, dan kemudian tahun 1926 dimana makamnya dipugar secara istimewa.
Pada tahun 1955 makam St. Yohanes dibuka terakhir kali dalam rangka kunjungan
Jendral Provinsial Ordo Karmel. Pada waktu itu tubuh St. Yohanes mulai
mengalami sedikit perubahan warna tetapi tetap fleksibel. Ia dikanonisasi pada
tahun 1726 dan pada tahun 1926 dinyatakan sebagai Doktor Gereja oleh Paus Pius XI.
Yang pasti, St. Yohanes dari Salib adalah seorang
tokoh rohani yang sering kurang dimengerti, baik oleh pendukungnya maupun oleh
lawannya. Seringka¬li ajarannya tidak dimengerti, serta ditafsirkan secara
keliru, lebih-lebih ajarannya yang terkandung dalam buku “Mendaki Gunung
Karmel”. Bagi kebanyakan orang, ajarannya itu terasa keras sekali. Namun, bagi
orang yang telah mendengar panggilan Roh yang berbisik dalam lubuk hatinya,
"Marilah datang kepada Bapa," seperti diung¬kapkan Santo Ireneus,
serta mengalami sedikit dalam hatinya "kemanisan kemuliaan surgawi",
seperti yang diungkapkan para karmelit dahulu, cita-cita yang dikemukakan St.
Yohanes dari Salib sungguh-¬sungguh menggetarkan hati. Karyanya menggugah hati
mereka yang merindukan Tuhan dengan segenap hati serta mengobarkan kerinduan
tersebut. Oleh karena itu, sesungguhnya, supaya orang dapat membaca tulisan St.
Yohanes dari Salib dengan baik, haruslah ada kerinduan akan Tuhan dalam
hatinya.
Juga tidak ada buku rohani Kristiani lain yang
begitu banyak dibaca di Asia non Kristen seperti karya St. Yohanes dari Salib.
Keluhuran cita-¬citanya dan idealismenya dapat membuat orang bukan kristiani
kagum, seperti misalnya dikatakan oleh seorang Hindu tulen, Swami
Sid-dheswarananda: "Dalam diri St. Yohanes dari Salib kita jumpai seorang
mistikus kelas utama, yang dipandang oleh semua agama sebagai seorang santo
sejati, yaitu dia yang bisa termasuk semua tradisi... Dan biarpun saya seorang
rahib Hindu, saya menghormati St. Yohanes dari Salib sejajar dengan orang-orang
bijak kami yang besar."
Juga di kalangan orang Budha, karya St. Yohanes
dari Salib dibaca dan dika¬gumi serta dihargai, biarpun tidak senantiasa
dimengerti dengan tepat. Dilihat dari terang perbandingan dengan spiritualitas
Asia, spiritualitas St. Yohanes dari Salib akan dapat lebih dimengerti. Seperti
cita-cita yang digambarkan dengan jelas dalam spiritualitas Hindu dan Budhisme,
demikian pula cita-cita dan tujuan yang mau dicapai St. Yohanes dari Salib ini
digambarkannya dengan gamblang dan setiap kali para pembaca diingatkan kembali
akan hal itu. Sampai hari ini St. Yohanes dari Salib masih merupakan salah satu
mistikus terbesar dalam Gereja dan seorang pembimbing rohani. Para pengarang
rohani, bila membahas tentang bentuk-bentuk hidup rohani yang lebih mendalam,
hampir selalu kembali kepada St. Yohanes dari Salib. Kedu¬dukan St. Yohanes
dari Salib dalam bidang spiritualitas mempunyai pengaruh yang luas sekali dalam
Gereja dan hingga sekarang pun peranannya tetap aktual dan relevan. Berangkat dari
hal inilah, saya mengutip dan membagikan kembali artikel yang ditulis oleh Rm
Yohanes Indrakusuma O’Carm yang membahas lebih mendalam seputar Yohanes Salib
dengan karakteristik cita cita rohani, latar belakang dan permenungan jalan
jalannya untuk menjumpai Tuhan.
CITA-CITA ROHANI
Latar Belakang Cita-cita
Apa yang dicita-citakan St. Yohanes dari Salib
sebenarnya bukan lain daripada penghayatan Injil secara penuh dan radikal,
sampai sedalam-dalamnya. Atau mungkin lebih tepat, ia mau menghayati Injil, khususnya
Kotbah di Bukit dan Sabda Bahagia secara utuh dan konsekuen, secara radikal.
Dalam usahanya mencapai cita-cita tersebut, ia tidak mau membelok ke kanan atau
ke kiri, dan tidak mengenal kompromi. Tuntutannya tampaknya keras sekali,
karena cita-cita yang ingin dicapainya sangat luhur. Ia seperti seorang
pedagang yang menemukan mutiara yang berharga serta menjual semua miliknya
untuk membeli mutiara itu, karena dari satu pihak ia tahu, bahwa mutiara itu
nilainya melebihi segala yang dimilikinya dan dari pihak lain ia tahu pula,
bahwa tak mungkin mutiara itu dapat dibelinya, kalau ia tidak menjual semua
hartanya. Demikian pula ia mau menyadarkan para pembacanya pertama-tama tentang
nilai mutiara itu serta perlunya menjual semua hartanya untuk dapat membelinya.
Perlu dicatat pula, bahwa di sini kita berhadapan
dengan seseorang yang sudah sampai pada akhir perjalanan serta mengalami
sendiri segala keindahan yang dijumpai di tempat tujuan dan kini kembali lagi
untuk membimbing orang lain pergi ke tujuan yang sama. Yohanes berbicara
sebagai seseorang yang mengenal teologi yang sehat serta mempunyai pengalaman
yang mendalam. Karena dia mengetahui nilai apa yang harus dicapai dan
kekosongan segala sesuatu yang lain, maka tuntutannya radikal sekali.
Todo-nada, semuanya-kosong, untuk mencapai segalanya harus melepaskan, atau
mengosongkan semuanya.
Persatuan dengan Allah
Cita-cita Santo Yohanes sangatlah tinggi dan luhur
sekali dan ia tidak puas dengan sesuatu yang kurang dari itu. Ia mau
menunjukkan keagungan dan keindahan dari apa yang dapat dicapai manusia dalam
hidup ini, tentu saja dengan pertolongan rahmat Tuhan. Tujuan yang ingin
dicapai ini bukan lain daripada persatuan cinta kasih dengan Allah yang
mengubah segalanya, suatu transformasi total ke dalam Allah:
"Dilahirkan dalam Roh Kudus selama hidup ini
berarti menjadi begitu serupa dengan Allah dalam kemurnian, tanpa suatu
campuran ketidaksempurnaan apapun juga. Karenanya transforma¬si murni dapat
terjadi (biarpun tidak menurut hakekatnya) melalui partisipasi dalam
persatuan" (Mendaki II, 5).
Kemudian persatuan ini digambarkan lebih lanjut
sebagai berikut:
"Bila hal itu terjadi (yaitu pengosongan
diri), jiwa akan diterangi oleh Allah dan diubah ke dalam Allah. Dan Allah akan
memberikan Ada-Nya yang adikodrati sedemikian rupa kepadanya, sehingga ia
tampaknya seperti Allah sendiri dan akan memiliki segala sesuatu yang dimiliki
Allah sendiri. Bila Allah memberikan karunia adikodrati ini kepada jiwa, suatu
persatuan yang demikian besarnya akan terjadi, sehingga segala sesuatu yang ada
pada Allah dan jiwa menjadi satu dalam suatu transformasi partisipatif, dan
jiwa itu sendiri tampaknya lebih Allah daripada jiwa. Sungguh, ia benar-benar
Allah, karena partisipasi" (Mendaki II, 7).
Dalam persatuan seperti ini, jiwa diangkat kepada
suatu pengertian yang mengatasi segala pengertian:
"Ia melihat dirinya diangkat di atas segala
pengertian ko¬drati kepada cahaya ilahi. Pengalaman seperti ini dapat
dibandingkan dengan keadaan seseorang yang sesudah suatu tidur panjang membuka
matanya dan melihat cahaya yang luar biasa yang tidak diduganya sama
sekali" (Madah Rohani 15, 24).
Dalam keadaan seperti ini jiwa dibawa kepada suatu
pengenalan Allah yang begitu mendalam dan mesra, menghasilkan suatu sukacita
yang begitu besar dan mendalam, yang tidak terperikan, sehingga tidak ada
kata-kata yang dapat melukiskannya, karena sungguh merupakan sesuatu yang tak
dapat diungkapkan, yang "ineffable". Dalam keadaan ini Allah sering
mengkomunikasikan diri secara mendalam, sehingga orang boleh mengalami sifat
Allah secara luhur sekali. Setiap kali diberikan, pengenalan ini tetap tinggal
dalam jiwa. Ini merupakan suatu "kontemplasi murni" dan pada waktu
itu jiwa mengerti dengan jelas bahwa itu tidak terperikan. Hal itu hanya bisa
diungkapkan secara umum, karena kelimpahan dan kenikma¬tan pengalaman ini
(Mendaki II, 26, 5).
Pengenalan luhur ini hanya dapat diterima oleh
orang yang telah sampai pada persatuan dengan Allah itu sendiri, karena pada
hakekatnya pengenalan ini adalah persatuan itu sendiri. Pengenalan ini
meru¬pakan suatu sentuhan ilahi di bagian terdalam dari jiwa. Allah sendiri
yang dialami dan pengalaman ini begitu luhur dan mulia, melampaui segala
pengertian (Mendaki II, 26, 5).
Buah pengalaman ini begitu kayanya sehingga
langsung mengha¬puskan semua kekurangan yang tidak bisa diatasi seumur hidup,
betapapun orang berusaha mati-matian untuk mengatasinya. Namun sentuhan ini
sekaligus juga mengisi jiwa dengan kebajikan dan berkat dari Allah, sehingga
menjadikannya indah di hadapan Allah (Mendaki II, 26, 6).
Sentuhan-sentuhan ini menghasilkan kemanisan dan
sukacita yang begitu mendalam, sehingga satu sentuhan sudah cukup untuk
menghapuskan segala penderitaan dan karenanya memberikan kepada jiwa itu
keberanian untuk menderita bagi dan demi Kristus (Mendaki II, 26,7).
Kiranya perlu dicatat, bahwa pengenalan semacam ini
tidak mungkin dicapai oleh usaha manusia, bagaimanapun ia berusaha untuk itu.
Namun biasanya ini diberikan kepada jiwa yang siap, yaitu yang lepas dan kosong
dari segala makhluk dan ikatan, pada saat¬-saat yang tidak disangka-sangka
(Mendaki II, 26,7). Untuk mengungkapkan hal ini Santa Teresa dari Yesus
mengatakan bahwa biarpun orang belajar dan mempelajari segala ilmu selama
seribu tahun, ia tidak akan pernah sampai ke situ (Puri Batin V, 4, 2).
Dalam persatuan ini jiwa seluruhnya diubah menjadi
ilahi, sehingga segala tindakannya bersifat ilahi pula, yaitu dalam segala
pengenalan dan cintanya (Madah Rohani 38, 3). Perubahan di dalam Allah ini
dengan indah diungkapkan Santo Yohanes dalam Nyala Cinta pada bait kedua yang
berbunyi:
O luka bakar yang manis dan menyembuhkan!
O luka yang nikmat!
O tangan lembut! O sentuhan halus
yang mengandung rasa hidup kekal
dan menghapuskan semua hutang!
Dengan membunuh engkau menukar maut dengan hidup!
Dalam komentarnya kemudian Santo Yohanes menulis:
"Dalam bait ini jiwa mengatakan bagaimana
ketiga Pribadi ilahi Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putra dan Roh Kudus,
melaksanakan karya persatuan ini di dalam diri-Nya. Oleh karena itu,
sesungguhnya ‘tangan’, ‘luka bakar’, ‘sentuhan’, semuanya adalah satu dan sama.
... Di sini jiwa memuliakan Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Ini dilakukannya dengan
memuji ketiga karunia dan anugerah yang dikerjakan Mereka di dalam dirinya.
Karunia pertama adalah suatu ‘luka bakar yang nyaman’. Ini dinyatakannya
sebagai karya Roh Kudus. Oleh karena itu, Dia dise¬butnya sebagai ‘luka bakar
yang manis dan menyembuhkan’. Karunia kedua ialah ‘rasa hidup kekal’. Ini
dipandangnya sebagai karya Sang Putra, yang karenanya disebutnya ‘sentu¬han
halus dan lembut’.
Karunia ketiga terdapat dalam kenyataan bahwa Ia
telah mengubah dia ke dalam diri-Nya. Ini berarti penghapusan hu¬tang, yaitu
jiwa mendapatkan ganjarannya secara berlimpah--limpah. Karunia ini dilihatnya
sebagai berasal dari Bapa, yang karenanya disebutnya ‘tangan yang halus’."
Biarpun di sini ia menyebut ketiganya karena sifat
khusus dari efek masing-masing, ia hanya berbicara kepada Satu ketika berkata:
"Dengan membunuh Engkau menukar maut dengan hidup." Sebab ketiga
Pribadi itu bekerja sama dan karenanya hal itu disebutnya sebagai karya Satu
saja dan segalanya menjadi milik Semua" (Bait II, 1).
Persatuan yang mengubah segalanya ini kemudian
dilukiskannya dalam segala keindahan dan keluhurannya. Dilukiskannya bagaimana
jiwa dibakar oleh api ilahi dan akhirnya menjadi api, bahkan lautan api.
"Di situ jiwa merasakan bagaimana nyala api
itu bertambah besar dan kuat dan bagaimana dalam nyala ini cintanya naik begitu
tingginya, sehingga ia mendapat kesan bahwa dalam lubuk batinnya ada sebuah
lautan api, yang seperti pasang surut turun naik dan dengan demikian memenuhi
dirinya selu¬ruhnya dengan cinta. Seluruh alam semesta tampak baginya sebagai
sebuah lautan api yang membuat ia tenggelam. Ia tidak melihat tepinya lagi dan
juga tidak tampak lagi cakrawala di mana cintanya berhenti. Dalam dirinya ia
mengalami, seperti yang telah kita lihat, pusat cinta yang hidup ini" (II,
10).
Dalam Malam Gelap diterangkan bagaimana persatuan
ini adalah suatu persatuan yang menetap dan sempurna, sejauh hal itu mungkin
dalam hidup yang fana ini. Hal ini terjadi lewat sentuhan-sentuhan ilahi yang
aktual dan substansial yang terjadi dalam persatuan ilahi itu. Di sini jiwa itu
telah dimurnikan, mencapai kedamaian dan dikuatkan. Ia menjadi kokoh, tidak
goyah, sehingga ia secara tetap dapat menerima persatuan itu, yang adalah perkawinan
ilahi antara Putra Allah dan jiwa manusia (II, 24, 3).
Dalam keadaan seperti itu seluruh aktivitas orang
itu menjadi ilahi. Segala gerak-gerik dan aktivitas jiwanya dibimbing oleh Roh
Allah sendiri, bahkan gerak pertama dari jiwanya bersifat ilahi, karena dia
telah diubah seluruhnya menjadi ilahi (Mendaki III, 2, 9).
JALAN MENUJU KE PUNCAK GUNUNG
Pelbagai Macam Jalan yang Ditempuh Orang
Kiranya jelas pula bahwa menghadapi cita-cita yang
demikian luhurnya, cita-cita yang telah dialaminya sendiri, Santo Yohanes
mengajak kita untuk mendaki puncak itu tanpa ayal dan dengan hati yang mantap,
sambil dengan jelas melihat jalannya. Ia adalah seorang pembimbing yang telah
mencapai puncak itu sendiri dan ingin membawa kita ke sana. Di sanalah disediakan
karunia-karunia luar biasa bagi kita oleh Allah sendiri, keindahan dan
kebahagiaan yang tidak terperikan. Setelah melihat sendiri segala keindahan itu
dan kekayaan yang tersedia untuk kita dan tahu bahwa dibandingkan dengan harta
kekayaan itu, semua yang kita miliki dan ketahui bukan lain daripada sampah
belaka, dapat dimengerti bahwa dia dengan sangat tegas dan radikal mendesak
kita untuk menempuh jalan yang ditunjukkannya.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa jalan yang
menuju ke puncak itu sesungguhnya hanya satu, yaitu cinta kasih yang radikal,
yang merindukan yang termulia, Allah sendiri, Yang Segalanya. Untuk mencapai
Yang Segala itu orang harus mau meninggalkan segala sesuatu yang dapat
menghambatnya. Maka dilihat dari perspektif ini, dalam hubungan dengan segala
ciptaan, betapapun luhurnya itu, hati harus tetap kosong, tidak lekat, tidak
terikat, supaya dapat berpaut seutuhnya pada Allah. Dalam gambar yang dibuatnya
yang melukiskan pendakian Gunung Karmel, kita jumpai suatu kontras antara jalan
yang menuju ke puncak dan jalan sampingan yang merupakan jalan buntu. Di situ
dilukiskannya dua jalan dari roh yang tidak sempurna: yang satu ingin memiliki
barang-barang yang bersi¬fat duniawi, yaitu milik, kesenangan, pengetahuan,
hiburan, isti¬rahat, yang akhirnya menuju jalan buntu. Yang lain, juga dari roh
yang tidak sempurna, ingin memiliki barang-barang surgawi dan tampaknya rohani,
namun sesungguhnya sama tidak sempurnanya, karena mengejarnya dengan semangat
pemilikan yang akhirnya juga menuju jalan buntu. Barang-barang rohani itu ialah
kemuliaan, kesenangan, pengetahuan, hiburan, istirahat.
Sebaliknya, jalan yang menuju ke puncak ialah jalan
kekoson¬gan: kosong, kosong, kosong, kosong dan di atas gunung juga ko¬song.
Akan tetapi, justru jalan inilah yang membawa orang ke puncak di mana Sang
Kekasih Ilahi telah menantinya dengan segala macam berkat dan rahmat, yaitu
segala sesuatu yang dapat diharapkan orang. Di sini kita jumpai suatu paradoks:
Karena orang tidak menginginkan apa-apa, ia mendapatkan segalanya. "Karena
aku tidak menginginkannya, aku memiliki semuanya tanpa keinginan,” baik
barang-barang duniawi maupun barang-barang surgawi, karena di dalam Allah kita
memiliki segalanya.
Jalan Kelepasan
Secara radikal sekali Santo Yohanes menuntut kelepasan.
Dalam riwayat hidupnya diceritakan, bagaimana suatu hari Dona Ana de Penalosa
(seorang janda yang menjadi anak rohaninya dan yang untuknya ditulisnya Nyala
Cinta yang indah itu) berlutut di hada¬pannya dan meminta petunjuk kepadanya.
Santo Yohanes hanya berka¬ta, "nada, nada, nada, kosong, kosong, kosong.”
Segala sesuatu harus dilepaskan demi cinta kepada Allah.
Segala sesuatu harus ditinggalkan, harus
dilepaskan. Semua keinginan harus ditanggalkan, karena keinginan-keinginan itu
menghambat manusia dalam perjalanannya menuju Allah. Kita harus menuju kepada
Allah lepas dari segala keinginan akan barang duniawi maupun rohani. Hanya
keinginan akan Allah dan kehendak-Nya saja yang diperbolehkan, namun keinginan
akan Allah itu pun hanya boleh lewat iman, harapan, dan cinta kasih saja.
Pengosongan itu harus mencakup segi afektif, segi intelektual, ingatan dan
kehen¬dak, bahkan pengalaman-pengalaman religius tertentu. Jadi suatu
pengosongan yang menyeluruh. Yang dimaksud dengan pengoson¬gan di sini ialah
sikap lepas, tidak terikat.
Tuntutan itu diajukan demi tercapainya sesuatu yang
lebih tinggi, yang lebih luhur. Maka pikiran Santo Yohanes bukanlah sesuatu
yang negatif, melainkan amat positif. Hal ini jelas dari paradoks yang
dilukiskan juga dalam sketsa Mendaki Gunung Karmel: yang satu menunjukkan bahwa
kalau kita mengejarnya, maka barang-barang itu lari, tetapi kalau kita
meninggalkannya, kita malahan memperoleh sega¬lanya. Dalam sketsa Mendaki
Gunung Karmel, hal ini dijelaskan pada dua jalan buntu: "Semakin saya
ingin memilikinya, semakin kurang saya mendapatnya,"¬ sedangkan sebagai
kontrasnya di atas gunung dikatakan "Karena aku tidak menginginkannya, aku
memiliki semuanya tanpa keinginan." Sedangkan buah-buah yang dijumpai di
atas gunung dilukiskan seba¬gai berikut: damai, sukacita, kebahagiaan,
kesukaan, kebajikan, kebenaran, kekuatan, cinta kasih, kesalehan. Kemudian
sebagai ungkapan bahwa dia memiliki secara bebas tanpa kelekatan dikata¬kan,
"Kemuliaan bukan apa-apa bagiku; penderitaan bukan apa-apa bagiku."
Dan akhirnya dikatakan bahwa di atas gunung itu sudah tidak ada jalan lagi,
karena bagi orang yang benar tidak ada hukum; ia menjadi hukum bagi dirinya.
Ini merupakan pernyataan yang amat berani, yang memang bisa disalahtafsirkan.
Yang dimak¬sudkan di sini ialah bahwa segala hukum Tuhan sudah mendarah¬daging
baginya, karena secara sempurna ia telah bersatu dengan Tuhan, sehingga Roh
Kudus sendirilah yang memimpinnya serta menji¬wai segala sesuatu yang
dilakukannya. Kepekaan batinnya menjadi sedemikian rupa, sehingga ia tidak
membutuhkan petunjuk lahiriah lagi.
Satu hal yang perlu ditambahkan di sini ialah
kenyataan bahwa bagi St. Yohanes kelepasan ini adalah soal cinta. Tanpa cinta
kasih kepada Allah tak mungkinlah orang bisa melepaskan segalanya itu. Untuk
bisa melepaskan "cinta" pada barang-barang duniawi, haruslah ada
cinta yang lebih kuat kepada Allah.
"Cinta akan kesenangan dan kelekatan padanya,
biasanya menya¬lakan kehendak untuk menikmati barang-barang yang memberikan
kesenangan. Untuk mengalahkan keinginan-keinginan ini serta menyangkal
kesenangan itu, orang perlu dibakar secara lebih mendalam oleh cinta lain,
cinta yang lebih baik, yaitu cinta kepada Sang Mempelai Ilahi. Dengan menemukan
kepuasan dan kekuatan dalam cinta ini, orang akan memperoleh keberanian dan
ketekunan untuk menyangkal diri dalam segala keinginan yang lain. Cinta kepada
Sang Mempelai bukan hanya satu-satu¬nya syarat untuk mengalahkan kekuatan
keinginan inderawi ini, namun di samping itu masih dibutuhkan suatu kerinduan
cinta yang menyala-nyala, sebab keinginan inderawi ini digerakkan dan ditarik
demikian kuatnya kepada objek-objek inderawi, sehingga bila bagian rohani jiwa
itu tidak dibakar oleh kerinduan lain yang lebih besar akan perkara-perkara
rohani, jiwa tidak akan bisa mengalahkan beban kodrat kita, maupun memasuki
malam inderawi. Dia juga tidak akan memiliki keberanian untuk hidup di dalam
kegelapan akan segala sesuatu dengan menyangkal segala keinginannya untuk
barang-barang itu" (Mendaki I, 14, 2).
Untuk sampai kepada tujuan yang mau dicapainya,
orang tidak hanya harus mengosongkan diri dalam bidang inderawi, atau memasuki
malam gelap inderawi, tetapi dia juga harus mengosongkan diri dalam bidang yang
menyangkut kegiatan intelektual, kegiatan inga¬tan, dan kehendaknya.
Dalam perjalanan kepada persatuan ini semua
pengenalan harus ditanggalkan, baik yang kodrati maupun yang adikodrati, yaitu
yang bersifat khusus dan jelas, kecuali beberapa hal yang justru terma¬suk
dalam hakekat persatuan itu sendiri, misalnya seperti sentu¬han substansial dan
sabda substansial. Sebaliknya orang harus lewat jalan kontemplasi yang gelap,
samar-samar dan umum, yang merupakan jalan aman kepada persatuan tersebut.
Jalan kontemplasi ini pada hakekatnya bukan lain daripada jalan iman dalam cinta.
Mengapa semua ini harus ditinggalkan? Sebabnya
ialah karena Allah mengatasi segala gagasan, ide-ide, pikiran, dan pengertian
kita. Allah tidak dapat digambarkan, karena itu segala pengenalan yang bersifat
jelas dan khusus bukan sarana yang cocok untuk persatuan ini. Oleh karenanya
kita harus lewat jalan iman yang gelap. Bila pada permulaan pemakaian budi,
fantasi, imajinasi, dapat membantu orang untuk lebih mengenal Allah serta
melepaskan diri dari ikatan dosa, namun kemudian semuanya itu tidak berguna
lagi bila orang dibawa masuk oleh Tuhan ke dalam kontemplasi ilahi yang gelap
itu.
Sampai sekarang ini yang dibahas adalah malam gelap
yang bersifat aktif, baik malam inderawi maupun rohani, artinya kita masih
secara aktif ikut ambil bagian di dalamnya. Namun, bila kita telah siap dan
dengan segenap hati mencari dan merindukan Allah, maka Tuhan sendiri akan
memegang tangan kita dan membawa kita masuk ke dalam malam gelap yang pasif,
mula-mula inderawi dan kemudian, bila kita setia, juga ke dalam malam gelap
rohani. Pemurnian yang aktif hanya menyentuh pinggiran atau lapisan luar ada
kita, tetapi pemurnian yang pasif akan menyentuh sampai kepada bagian terdalam
jiwa kita serta membersihkan segalanya. Besarlah taruhannya.
Prinsip-prinsip yang dibicarakan tentang budi
berlaku pula untuk pemurnian ingatan dan kehendak. Juga ingatan harus
dibersih¬kan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan, sehingga hanya ingatan akan
Tuhan saja yang ada di dalam dirinya. Demikian pula kehendak harus seluruhnya
terarah kepada Tuhan, tidak boleh ada sesuatu lain yang mengikatnya. Tuhan
harus dicintai di atas segala sesuatu dan hanya Tuhan saja. Bila kita mencintai
Tuhan dengan segenap hati, kita akan tahu pula bagaimana bersikap terhadap
perkara-¬perkara lain. Sekali lagi, tuntutannya keras sekali, karena
cita-citanya amat luhur. Semakin bernilai dan berharga barangnya, semakin besar
harga yang harus dibayar untuk memperolehnya.
Mengapa St. Yohanes dari Salib begitu menekankan
pengudusan pribadi ini sampai pada persatuan yang mengubah segalanya itu?
Sebabnya bukan lain, karena ia sadar benar-benar, bahwa satu faal cinta kasih
yang diperbuat orang dalam tingkat transformasi ini jauh lebih berharga
daripada semua perbuatan yang diperbuat orang seumur hidup tanpa mencapai
tingkatan ini. Sebab pada tingkatan persatuan ini seluruh aktivitasnya
merupakan aktivitas Roh Kudus sendiri (Nyala Cinta I, 2). Oleh sebab itu pula,
satu orang yang menca¬pai tingkatan ini lebih berharga bagi Allah, bagi Gereja,
dan bagi keselamatan manusia daripada beribu-ribu yang lain yang tidak mencapai
tingkatan ini.
Namun satu pertanyaan timbul dalam hati, “Apakah
cita-cita seperti itu dapat menyapa manusia modern?” Pertanyaan itu memang agak
sukar dijawab, tetapi dari banyaknya buku-buku tentang St. Yohanes dari Salib,
walaupun hanya merupakan karya-karya kecil, yang terjual, kiranya dapat
disimpulkan, bahwa cita-citanya tetap mampu menggugah hati manusia modern yang
merindukan Allah. Sekaligus St. Yohanes dari Salib dapat menjadi pembimbing
yang aman bagi mereka yang mendaki Gunung Allah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar