Ads 468x60px

Oleh-Oleh Refleksi Menjelang Natal.


Belajar dari si kecil:
Ma…..Papa,,,, gendonggg……
Sepenggal kalimat lugas di atas nongol dari mulut centil seorang gadis manis, ceriwis, berwajah agak melankolis. Bening manis-klasik garis wajah manjanya. Mata bening cerdasnya seperti burung gelatik zaman Adam Hawa. Segar canda tawanya, pecicilan-lincah penuh improve. Dialah sosok bayi belia jenaka yang penuh gaya ceria. Anastasia Larasati namanya. Atik-panggilannya. Nama yang indah. Ia kini tinggal di panti asuhan di selatan kota Jakarta. 

Bicara seputar si Atik kecil dan teman-teman seumurannya kerap tak ada habisnya. Misalnya, ditilik dari sejarah: Dahulu, Kaisar Barbarosa (Kaisar Jerman: Friedrich, si janggut merah, 1152-1190) pernah bermaklumat agar setelah lahir, para bayi, langsung dirawat oleh para perawat. Instruksi mutlaknya: Bayi-bayi itu harus dijaga agar jangan sampai mendengar suara atau bahasa manusia. Kaisar berharap agar para bayi berbincang dengan bahasa ilahi-khas taman firdaus, bahasa yang seasli-aslinya: “yang asli lengket di hati,” mungkin begitu gumamnya dulu. Perkiraan kaisar, bahasa yang akan muncul dari para bayi itu datang langsung dari ilham Tuhan sendiri. Survey membuktikan:…..gatot alias gagal total! Bayi-bayi itu malahan berbicara tak keruan, bahkan ada yang sakit. 

Dari cerita tersebut, sepakat dengan Philippe Aries dalam Centuries of Childhood, kita (termasuk juga si Barbarosa) meyakini bahwa wajah dan hati anak yang baru lahir adalah wajah dan hati tanpa dosa. Bahasanya hadits nabi: “setiap anak lahir dalam keadaan suci (fitrah).” Bahkan Yesus dari Nazaret pernah berujar: “Biarlah anak-anak datang padaKu. Barangsiapa tidak bisa menjadi seperti anak-anak, tidak bisa masuk ke dalam Kerajaan surga.” 

Kini, waktu ternyata tak hanya berputar, tapi juga berlari. Kita memasuki pelbagai bahasa baru: kaya warna-nuansa pun citra, seperti pepatah latin: ‘Tempus mutatur et nos mutamur in illud’ (Waktu berputar dan kita diubah olehnya). Celakanya, ketika dunia kita berlari kencang-tunggang langgang tanpa kendali. Ketika banyak orang bergumul dalam bisingnya lalulintas hidup modernitas, banyak sesama kita juga mengalami situasi tercerabut dari akar, serba terpencar, lepas dari ikatan teritorial yang tetap. Lalulintas masyarakat dunia modern kita adalah situasi yang tidak aman pun mapan, tapi tercerai berai: Pembantaian jemaat jelata, pemerkosaan warga minor sahaya, pembunuhan legal kaum urban papa, penjarahan pun permainan kotor elit keprabon, bunglonisasi kriminalitas pun sandiwara politik tak berujung. Fenomen ini tampak jelas lewas rentengan potret berdarah dari Aceh, Ambon, Sampit, Timor, Papua, Kuta Bali sampai Makassar. Dunia kita yang dulunya kosmos kini kerap menjadi khaos. 

Kerap tampak, korbannya melulu adalah orang kecil. Tak luput juga, anak-anak: mereka menjadi terlantar, miskin, cacat, sakit, tak jelas asalnya!! Seperti tulisan harian Anne Frank, seorang gadis Yahudi, korban holocaust Nazi diantara 1.500.000 anak lainnya. “Suatu hari, perang gila ini kan usai, waktunya akan tiba bagi kami tuk menjadi manusia kembali.” Banyak diantara mereka ada dalam ketidakpastian dan penantian. Mereka terpisah dari afeksi pun harta benda. Terpinggir oleh ganasnya arus zaman. Terceraikan dari kerabat dan sahabat. Tersingkirkan dari orangtua. Mereka saling merindukan, saling ingin menghadirkan dan menghibur. 

Di sekitar kita, banyak juga anak, seperti Atik, yang bagaikan jatuh dari langit, karena tak jelas siapakah orang tuanya. Anak itu tidak tahu, bahkan mungkin memang tidak boleh tahu dan jangan sampai tahu. Belum lagi, ditilik dari soal abortus, hasil riset Allan Guttmacher Institute melaporkan bahwa setiap tahun sekitar 55 juta bayi digugurkan (1 hari: 150.658 bayi, 1 menit:105 nyawa bayi direnggut). Wajah-wajah mungil itu mesti hidup dalam bayang-bayang suram, padahal mereka adalah anak yang diperkenankan bertingkah polah nakal tanpa harus dihukum. 

Ini adalah fakta,……Inilah realitas sosial sejati! Seperti ramalan Celestine, pelbagai kejadian hidup dan fakta realitas sosial di atas bukanlah sekedar kebetulan belaka. Bila pelbagai kejadian itu dipertemukan, dirangkai menjadi sebuah untaian, maka akan lahirlah makna, pesan serta kenangan yang berguna. Natal setiap 25 Desember inipun bukanlah sesuatu yang kebetulan. Natal adalah hari raya penuh makna yang memikat, sebab pada hari itu dirayakan kelahiran seorang bayi. Sosok bayi selalu bermakna pun memikat, apalagi bayi yang delapan hari kemudian diberi nama Yesus ini, “menjadikan segala-galanya baik” (Markus 7:37). Dan, tugas kita sekarang adalah bagaimana menajamkan pesan Natal ditengah pelbagai ketimpangan sosial yang carut marut kini. Sayang, benar-benar sayang kalau pesan Natal betul-betul….nyaris tak terdengar. 

Sebetulnya, pesan Natal kerap berporos pada “to be sensitive to the reality”, analog dengan sosok bayi yang juga mudah sensitif pada sekitarnya. Menurut kisah natal, Yesus kecil terbaring diantara orang-orang sederhana dan lemah. Ia mau menjadi lemah dalam dan bersama kita, manusia yang jelas-jelas lemah. Di goa Natal, kita bisa melihat Yesus kecil dengan tangan lemah terulur dan terbuka lebar. Ia memohon bantuan orang lain: “Aku membutuhkan engkau”. Sosok tulusnya seakan mengingatkan apa yang terjadi kelak. Tatapan mata dan tangan lembutnya seolah menyapa siapa saja yang memandangnya. Sebetulnya, kalau manusia membutuhkan Allah, itu hal biasa. Tapi, di Natal ini tampaklah bahwa Allah membutuhkan manusia. Dan,…inilah yang ruarrr biasa. Inilah kado Natal Tuhan bagi kita. Ia datang dalam kelemahan. Ia menjadi teman dalam kelemahan.

Sebagai epilog, bayi adalah sosok yang lemah dan terus berproses dalam kelemahannya itu. Di Natal ini, kita disadarkan bahwa kita tak lain dan tak bukan adalah bayi-bayi lemah itu sendiri. Bahasanya Jacques Lacan: ‘Saya menatap diri saya tengah menatap diri saya sendiri’. Tapi, di tengah adzan dan lonceng surau hidup ini, kita dipanggil untuk berani berjalan bersama dalam gerak ahimsa, terlebih berjalan bersama orang-orang yang tersingkirkan. Berjalan berarti melangkahkan kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri, maju terus pantang mundur. Berjalan berarti melangkahkan kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri. Memandang ke depan, perkecil menengok kebelakang. Akan lebih indah jika tak jalan sendiri. Lebih baik, berjalan bersama apalagi bergandengan tangan, bergandengan pikir, bergandengan hati: menyatukan visi, misi, mimpi dan aksi demi ‘Gloria in Excelcis Deo’. Pacem in terris. Pacem in cordis!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar