Ads 468x60px

Dimanakah Nurani ?

Intermezzo: "Calon hakim agung M. Daming Sanusi di depan  Komisi III DPR RI pernah melontarkan pernyataan yang tidak cerda, tidak bernas dan yang tidak sepantasnya diungkapkan oleh seorang aparat penegak hukum. Ya, seorang calon hakim agung asyik tanpa rasa bersalah melontarkan candaan dangkal dan binal bahwa "pemerkosa tidak perlu dihukum mati karena si pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati". Anggota Komisi III DPR tertawa. Semua TERTAWA terbahak tanpa ada satu orang pun yang tergerak menegur atau tertegur. 


Dimanakah nurani ketika banyak korban perkosaan mengalami trauma? Bukankah bangsa kita hidup dengan banyak trauma? Benarkah bangsa kita dan para pembesar/penguasa kita mengalami apa yang disebut Hannah Arendt sebagai, "Banality of evil", Banalitas kejahatan,  sebuah kedangkalan pemikiran yang tidak peka rasa dan tidak "sense of crisis"? Jangan-jangan, benarlah kata Nietzche, kehendak para pembesar kita bukan lagi "will to truth", tapi lebih pada "will to power" dan "will to affair"? Kita sebagai satu bangsa perlu "diam", tapi bukan "membisu", karena orang/bangsa yang "membisu" cenderung bicara, hingga tak mampu "bungkam".Latihan untuk diam bagi bangsa ini adalah: belajar memahami masa, yakni melawan kelupaan dan penglupaan sejarah ketika manusia tidak menjadi tuan atas kemanusiaannya. Kita perlu  "memoria passionis": dari kebiadaban menjadi peradaban dan dari kedangkalan menjadi kedalaman karena iman dan bangsa kita bukan iman dan bangsa yang sejarahnya berjalan di atas awan, tapi yang sejarahnya terus berjalan dan ditulis dengan tinta darah dan perjuangan keras! 

Tuhan memberkati + Bunda merestui. Fiat Lux!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar