Ads 468x60px

Ringkasan Hukum Perkawinan Kanonik

A. Kanon-kanon Pengantar (1055-1062)

KANON 1055
3 point besar yang bahas yaitu :
1. ARTI/makna/hakikat perkawinan
2. TUJUAN perkawinan
3. SAKRAMENTALITAS perkawinan orang-orang yang dibabtis


I. ARTI/ Hakekat/ makna Perkawinan
Perkawinan pada dasarnya adalah sebuah PERJANJIAN (foedus/ covenant) antara seorang pria dan seorang untuk membentuk kebersamaan hidup.
Hubungannya dengan dokumen Vatikan II, Gaudium et Spes art.48 :
Perkawinan sebagai suatu foedus coniugi (perjanjian nikah) dan bukan lagi sebuah contractus (sebuah kontrak) yang terdapat dalam KHK 1917 kanon 1012.

Pemakaian kata Perjanjian penting karena,
Dalam sejarah KHK 1917 kanon 1012 perkawinan diartikan sebagai kontrak antara seorang pria dan seorang wanita. Kontrak di sini berhubungan dengan Hak Atas Tubuh (ius in corpus). Maksudnya “tubuhmu-tubuhku”, saling menyerahkan, saling menyerahkan hak atas persetubuhan.
Kesan : tidak dipertimbangkan unsur cinta kasih, kaku dan statis, komersial.
Pemahaman tersebut mengalami perkembangan, di mana dimensi personal perkawinan mendapat tekanan lebih dibandingkan dimensi institutional.


GS art.48 menggunakan kata perjanjian karena mau diungkapkan unsur dinamika sebuah perkawinan yaitu RELASI INTERPERSONAL seorang pria dan seorang wanita.

Kata perjanjian itu sendiri juga mempunyai unsur biblis :
Dalam Kitab Suci, kata perjanjian digunakan untuk mengungkapkan relasi kasih antara Yahwe dan Israel. (Bdk Hos, Ef 5:22-33).

Tambahan : Kata perjanjian juga dipakai oleh Gereja Timur untuk mengungkapkan perkawinan.
Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah kontrak untuk mengartikan perkawinan, namun tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu kontrak, karena di dalam perjanjian perkawinan ini terdapat unsur-unsur kontraknya :
- forma : kesepakatan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita
- obyek : kebersamaan seluruh hidup
- akibat : hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seluruh hidup.
Ada debat panjang mengenai pemakaian kata kontrak (menekankan ketegasan dan akurasi) dan kata perjanjian (menekankan dinamikanya).

Sintesanya :
Dalam kanon 1055 kedua istilah ini digunakan bersama-sama §1 foedus §2 contractus. , untuk menunjuk kedua unsur pokok dari arti perkawinan.



II.Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami-istri (jasmani dan rohani), bonum coniugum.
Kanon 1055 ini menunjukan adanya 3 tujuan utama perkawinan :

1. kesejahteraan suami istri (Bonum Coniugum)
Kesejahteraan lahir menyangkut :
• masalah duniawi (sandang, pangan, papan)
Kesejahteraan batin menyangkut :
• harmonisasi dalam relasi suami istri dalam arti puas secara seksual (sebagai ungkapan kasih)
• eskatologi : Kej 1 di mana Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai partner yang sepadan.

Maka muncul istilah contra bonum coniugum. Kalau orang melakukan contra bonum coniugum maka bisa menjadi alasan untuk anulasi (pembatalan). Contoh : kekerasan terhadap pasangan (penganiayaan fisik-mental). Antisipasi untuk anulasi, habis dipukul langsung minta autopsi dokter, type orang-orang yang terkena narkoba/alkoholik, judi, orang tidak mau bertanggungjawab untuk menghidupi keluarganya.

Contra Bonum coniugum dibedakan :
- dalam persiapan perkawinan
- dalam perjalanan perkawinan (dalam hal ini penyakit yang muncul dalam
perjalanan perkawinan tidak membatalkan perkawinan).

Contra yang menggagalkan perkawinan adalah tindakan yang dilakukan sejak menikah atau sejak semula (pacaran). Alasannya : indikasinya dilihat dari masa persiapan perkawinan.

Dalam kanon ini pula tidak ditekankan lagi tingkatan-tingkatan tujuan perkawinan sebagai mana terdapat dalam KHK 1917 kanon 1013 yaitu primer : prokreasi, pendidikan anak dan sekunder saling membantu menyalurkan nafsu.
Alasannya : berhubungan dengan problem pembatasan kelahiran. Dalam kanon 1055 ini, meski membuka peluang terhadap pembatasan kelahiran, namun perkawinan harus tetap terbuka pada kelahiran anak.

2. Prokreasi dan Pendidikan Anak (terkait satu sama lain)

- Bonum Prolis (kelahiran/prokreasi).
Pada dasarnya perkawinan terarah pada kelahiran. Dalam arti suami istri harus mempunyai keterbukaan pada keturunan (tidak dibenarkan suami istri menolak anak). Kalau ada pasangan yang sejak semula menolak kehadiran anak maka perkawinan mereka tidak sah ( kalau menunda masih boleh asal menggunakan KB A).

Kasus :
Bagaimana dengan orang yang mandul/steril? Apakah mereka masih bisa menikah?
Lih.Kanon 1084 § 3 : Kemandulan tidak menggagalkan perkawinan kecuali ada unsur penipuan. (karena orang yang steril masih bisa melakukan persetubuhan).

Mandul (incapacitas generandi) : ketidakmampuan untuk memberi keturunan.
Beda dengan
impotensi (incapacitas coeudi) : ketidakmampuan untuk bersenggama. Kasus impotensi menggagalkan perkawinan.

Contra Bonum Prolis :
Ada keputusan positif suami istri untuk menolak mempunyai anak entah melalui : menolak hubungan seksual, kontrasepsi terus menerus, aborsi, dll.

- Pendidikan dalam iman
Kelahiran menuntut pendidikan anak-anak.


III. Sakramentalitas Perkawinan

Pertanyaan : kapan perkawinan disebut sebagai sakramen?
Sakramen adalah tanda dan sarana.

Secara yuridis, kapan :
Manakala perkawinan itu dilangsungkan oleh 2 orang yang berbeda seksualitas, sama-sama telah dibabtis secara sah menurut ketentuan kanon 849 yaitu pembabtisan dengan pencurahan air yang sungguh dan dengan kata-kata Trinitaris. (tidak dibedakan apakah dua-duanya katolik, salah satu katolik atau non katolik).

Perkawinan dikatakan sakramen bila SAH :

Ada 3 kriteria yang menentukan sah/tidaknya perkawinan :
1. Materia Sacramenti (subyek)
- pria sungguh – wanita sungguh
- bebas dari halangan nikah sebagaimana dirumuskan dalam kanon
1083-1094.

2. Forma Sacramenti (consensus).
Perkawinan menjadi sah bila mempunyai 3 sifat sekaligus :
- verus : sungguh-sungguh (orang memang sungguh mau menikah)
lih. Kanon 1101 § 1
- plenus : penuh (orang itu memang menghendaki perkawinan secara
seutuhnya, dalam suka dan duka). Dalam hal ini juga pasangan
tidak boleh mengecualikan unsur-unsur hakiki perkawinan.
lih kanon 1102 § 2.

- liber : bebas (orang mengungkapkan janji nikah secara sungguh penuh
kebebasan, tanpa paksaan, ancaman dari luar).

3. Forma Canonica : tata peneguhan kanonik
Perkawinan itu harus diteguhkan dengan tata peneguhan kanonik sebagai mana dituntut dalam kanon 1108, 1117, 1127.
- dihadapan ordinaris wilayah, imam, diakon dan 2 saksi
- kanon. 1127 : bisa diluar orang-orang di atas kecuali mendapat
dispensasi (kasus khusus).



KANON 1056

Kanon ini membicarakan : Sifat Hakiki Perkawinan
- Unitas
- indissolubilitas

Hakekat : melekat pada dirinya sendiri (esensinya)
Maka, baik sifat unitas maupun indissolubilitas melekat pada setiap dan semua perkawinan yang sah :
- Perkawinan kristiani (yang sakramen maupun yang tidak sakramen,
bdk. Kanon 1061)
- Perkawinan natural (perkawinan yang dilangsungkan oleh orang-orang non
babtis.
(meski bagi orang katolik, ada kekukuhan khusus yaitu SAKRAMENTALITAS).

Perkawinan menurut SIFAT-nya :

A. UNITAS 
1. Monogam (1 lawan 1). Tetapi kata unitas tidak hanya menyangkut soal monogami saja (seorang pria dan seorang wanita).
Harus ditekankan dan jelas terbukti, orang itu sungguh pria dan wanita (bukan hanya masalah fisik tetapi juga masalah psikis; nanti terkait dengan permasalahan orang yang mengadakan transplantasi seksual; bdk. Kanon 1095 : orang yang mengalami kelainan psikologis tidak sah perkawinannya).

Sifat unitas berlawanan dengan poligami.

Poligami menurut JENIS-nya :

- Poligini : seorang pria memiliki lebih dari 1 wanita sebagai pasangannya yang
sah sekaligus.
- Poliandri : seorang wanita memiliki lebih dari 1 laki-laki sebagai pasangannya
yang sah sekaligus.

Poligami menurut SIFAT-nya :

- Poligami Simultan : Seseorang mempunyai pasangan lebih dari satu pada
waktu yang bersamaan. (Contoh : seorang pria menikah,
lalu menikah lagi).
- Poligami Succesiva : Seseorang mempunyai pasangan lebih dari satu tetapi
tidak dalam waktu bersamaan (satu sesudah yang lain).
Ada dua kemungkinan :
- Karena kematian ( diperbolehkan)
- Karena perceraian : cerai gerejani (boleh)
cerai non gerejani (tidak boleh).

Ekskursus :

A (Islam) x B (Islam)
B menjadi Katolik, lalu A dan B cerai

Dalam Gereja tidak ada istialah PERCERAIAN, yang ada PEMUTUSAN
Dalam hal ini harus ada PEMUTUSAN IKATAN NIKAH, bukan cuma cerai KUA saja. Gereja harus intervensi : Pemutusan demi iman (dissolutio in favorem fidei ex previlegio paulino ; bdk. Kanon 1143-1147). Perceraian KUA / sipil tidak pernah punya efek bagi Gereja.
Pemutusan demi iman ini berdasar kuasa tertinggi Tahta Suci/Paus yaitu Dissolutio in Favorem Fidei ex Suprema Potestatis Romani Pontificis, bagian
Sacra Ceongregatio Pro Doctrina Fidei (SCDF) yaitu, konggregasi suci untuk
urusan moral dan iman.

Kalau kasus di atas A tidak mau menjadi Katolik, pemutusan nikah diatur dalam
Ut Notum Est (6 Desember 1973).

2. Unsur Kesatuan (unitasnya)
Suami istri yang telah disatukan dlm perkawinan menjadi satu persona (suami-istri), bdk. Kej 2:24 : laki-laki dan perempuan menjadi SATU DAGING.
Mereka bukan dua pribadi lagi melainkan menjadi Suami-Istri.
Diharapkan dalam ‘kesempurnaan tubuh’, mereka menjadi sempurna.


B. INDISSOLUBILITAS (tak terceraikan)

Perkawinan itu sifatnya tak terceraikan, tak terputuskan.
Sifat ini dibedakan menjadi 2 hal :

a. indissolubilitas absoluta :
Perkawinan sama sekali tidak bisa diputuskan oleh kuasa apapun kecuali oleh kematian (selain Allah). Bdk. Mat 10 :9 Apa yang disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.
Perkawinan ini adalah perkawinan yang ratum et consumatum
(kanon 1061;1141).
b. indissolubilitas relativa :
Ada dua sifat :
- intrinsik : suami istri yang menghendaki pemutusan (tidak bisa)
- ekstrinsik : Meski perkawinan tidak terceraikan tetapi sifat ini tidak bersifat mutlak dalam arti: kalau ada alasan yang berat, masuk akal, maka bisa diputuskan oleh kuasa yang berwenang dan seturut hukum yang mengatur.
Pertanyaan : kuasa mana yang berwenang dan hukum mana ?

Otoritas yang berwenang memutuskan perkawinan :

1. Lih.Mrk 10:9 apa yang disatukan Allah tidak boleh diputuskan manusia. Maka otoritas yang berwenang adalah Allah, dengan 2 cara :
a. secara personal : melalui kematian
b. melalui Vicaris (delegasi) : siapa delegasi Allah ? Yesus
Yesus mendirikan Gerejanya atas para rasul. Yesus memberikan kuasa kepada Gereja. Mat 16:18-19.
Yesus mendelegasikan kuasa yang dimilikinya. Kuasa apa ?
Lih. Mat 28:18 “segala kuasa di surga dan di bumi”

Kesimpulan :
Allah melalui Yesus memberi segala kuasa yang dibutuhkan Gereja untuk mencapai finalitasnya yaitu keselamatan semua manusia, yaitu Shalom (Flp 2:10 ; supaya dalam nama Yesus semua lutut berteluk, semua lidah mengaku : Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa).

Yesus memberikan kuasaNya sekali untuk selamanya dalam TOTALITAS.

Kuasa ini di dalam Gereja disebut :
- POTESTAS VICARIA : kuasa wakil (kuasa ini dilakukan atas nama dan dalam nama Yesus Kristus).
- POTESTAS SACRA : kuasa suci (kuasa ini berasal dari yang ilahi dan untuk menangani hal-hal yang ilahi termasuk perkawinan).

Pertanyaan lebih lanjut : dalam tubuh Gereja siapa yang memegang kuasa tersebut ?

- kuasa yang secara keseluruhan (tertinggi) dan penuh :
- Paus seorang diri maupun melalui kuria Romana
- Collegium episcoparum (Paus dengan colleganya, yaitu Dewan Para uskup).
Lih. Kanon 331, 336).

- kuasa yang tidak penuh :
- ordinaris wilayah yang lain menurut kanon 134.



KANON 1057

Kanon 1057 membicarakan tentang KESEPAKATAN NIKAH (Consensus) yang menjadi DASAR PERKAWINAN.

1. Kesepakatan membuat perkawinan

Dalam § 1 ditegaskan bahwa kesepakatan merupakan satu-satunya unsur yang “membuat” perkawinan itu sendiri. Consensus matrimonium facit. Jadi kesepakatan merupakan causa eficien dari suatu perkawinan. (tidak mungkin ada perkawinan tanpa ada kesepakatan/consensus).

Kasus : bagaimana dengan perkawinan di luar Gereja yang kerap tidak ada konsensus, misalnya : perkawinan adat Jawa.
(ada yang formal; kata-kata tetapi ada yang non formal; tindakan yang setara mis: pemercikan dengan darah).

Rumusan Konsensus menurut tata Pernikahan Katolik :
“Aku memilih engkau sebagai istri/suamiku mulai detik ini dalam untung dan malang ...”

Kalau tidak ada konsensus, tidak akan ada perkawinan...”
Contoh : perkawinan siri.

2. Kesepakatan ini dinyatakan oleh orang-orang yang menurut orang mampu secara :
- fisik : melampaui usia puber
mampu ber-reproduksi secara manusiawi
- moral : mentalitas – psikis

- hukum : tak terkena halangan nikah dan larangan nikah.
Halangan (1083-1094) Larangan (1124).

3. Ungkapan :
Kesepakatan itu harus diungkapkan secara publik
- publisitas : pernikahan merupakan fakta sosial, maka perlu diungkapkan
di hadapan umum.
Maka perlu ada forma publica pernikahan (ungkapan konsensus).

Forma publica adalah tata peneguhan yang diakui sah oleh masyarakat
Bentuknya :
- sipil
- keagamaan : forma canonica 1108, 1117, 1127.
1108 : dibawah otoritas Gereja :
a. ordinaris wilayah 134
b. imam/diakon/delegatus (kasus tertentu)
c. 2 orang saksi (manusia waras)1116
Imam/diakon bisa diwakilkan (didelegasikan) kalau ada bahaya mati tetapi otaknya masih jalan (lain dengan koma); janji diucapkan secara sadar. Bisa juga dalam keadaan perang.

Exkursus :

Perkawinan sah (VALIDITAS)
Unsur konstitutif yang menentukan ada tidaknya sebuah perkawinan

Perkawinan Halal (LICEITAS)
Terkait dengan sopan, layaknya, kalau dilanggar perkawinan tetap sah
Ex: perkawinan beda gereja tanpa ijin.

Halangan nikah perlu dispensasi
Larangan nikah perlu ijin.

SAH – SAKRAMEN – INDISSOLUBILITAS PERKAWINAN

Kapan Perkawinan orang-orang Katolik menjadi SAH, ADA?
Kapan menjadi sakramen
Sejak kapan memiliki indissolubilitas absolut



JAWABAN 2 TOKOH BESAR :

1. Gratianus (Bologna) dengan TEORI KOPULA
yaitu : perkawinan ada sejak ada konsensus, namun menjadi sakramen dan memiIliki sifat indissolubilitas sejak adanya hubungan suami istri (Kopula)
Konsekuensi :
Selama belum ada hubungan seksual, perkawinan belum sakramen, dan masih bisa bercerai. (Karena masih layaknya tunangan).

2. Petrus Lombardus (Paris) dengan TEORI CONSENSUALIS
Yaitu : perkawinan orang-orang Katolik ada, menjadi sakramen dan bersifat indissolubilitas sejak ada konsensus.
Teori ini tidak melihat ada atau tidaknya hubungan seks suami istri

3. Alternatif Ke-3 (sintese : diadopsi oleh ajaran Gereja)
- perkawinan dibedakan menjadi :
MATRIMONIUM INFIERI
Mau menjawab : Kapan terjadi perkawinan dan menjadi sah dan sakramen ?
Saat pasangan memberikan consensus (janji nikah)
MATRIMONIUM INFACTO ESSE (menunjuk fakta)
Perkawinan baru memiliki sifat indissolubilitas absolut semenjak terjadi persetubuhan.

Kesimpulan :
Maka, sebelum terjadi persetubuhan, perkawinan baru memiliki indissolubilitas relativa.


OBYEK KESEPAKATAN NIKAH (1055 + 1057)

Rumusan : “mulai hari ini kamu menjadi istriku/suamiku yang sah ...”

Yang menjadi kesepakatan :
Consortium totius Vitae
(Kebersamaan seluruh Hidup; dalam suka-duka, untuk-malang).

Bdk. Hukum Kanonik Lama Kanon 17 :
Obyek itu sempit : IUS IN CORPUS (Hak Atas tubuh)
Dalam kesepakatan KHK sekarang sudah termasuk IUS IN CORPUS tadi (kalau tidak ada itu, perkawinan masih bisa dibatalkan).



KANON 1058

Kanon 1058 berisi tentang HAK UNTUK MENIKAH (IUS CONCUBII)
Dikatakan bahwa pada dasarnya semua orang yang tidak dilarang hukum dapat menikah. Dasarnya : menikah adalah hak asasi manusia. Namun hak itu tidak bisa dilaksanakan begitu saja. Kalau ada alasan-alasan tertentu, yaitu demi kepentingan pasangan dan Gereja maka Gereja menentukan syarat-syarat bagi penerimaan sakramen perkawinan. Dalam hal ini Gereja leluasa dalam menentukan validitas dan liceitas perkawinan.

Gereja menetapkan 12 halangan nikah yang mengatur hak untuk menikah Kanon 1083-1094. Tujuan Gereja adalah supaya tidak ada orang yang dirugikan.


KANON 1059

Kanon 1059 berbicara tentang MANAJEMEN PERKAWINAN.
Perkawinan orang Katolik (meski satu dari pasangannya non Katolik), diatur oleh 3 instansi hukum sekaligus.

1. HUKUM ILAHI,
yaitu hukum yang dipahami oleh akal sehat manusia sebagai suatu yang berasal
dari Allah. Maka bisa disebutkan seperti :
- Perkawinan merupakan perjanjian
- antara Pria dan wanita
- Sifatnya monogami dan tak terceraikan
- Tujuan : kesejahteraan suami dan istri, pendidikan dan kelahiran anak
- obyek perkawinan : CONSORTIUM TOTIUS VITAE
2. HUKUM KANONIK/GEREJA
yaitu : hukum atau norma-norma tertulis yang dirumuskan oleh Gereja dan berpangkal dari pewahyuan ilahi.
Terkait erat dengan masalah-masalah yang menentukan :
- VALIDITAS
- LICEITAS
- TATA UPACARA ( FORMA CANONICA).

3. HUKUM SIPIL
Yaitu : hukum yang menyangkut efek sipil saja (untuk mendapatkan pengakuan negara bahwa dua orang ini adalah pasangan suami istri).
Nagara tidak punya sama sekali hak untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan orang-orang Katolik.


KANON 1060

Kanon 1060 ini mengatakan bahwa dalam keragu-raguan dipertahankan sahnya perkawinan sampai dibuktikan kebalikannya melalui berbagai macam investigasi.
Tujuan dari kanon ini adalah untuk memberi kepastian hukum, jangan sampai orang diombang-ambingkan oleh hal yang meragukan.
Pada prinsipnya hukum selalu membela, mengutamakan dan memihak pada sahnya perkawinan.
Maka dari itu pembatalan perkawinan senantiasa menuntut suatu kepastian moral bahwa perkawinan secara obyektif itu sah.

Kelemahan kanon ini : merugikan pihak-pihak yang memang merasa perkawinannya tidak sah tetapi tidak mampu membuktikannya.
Tetapi kanon ini tetap dipertahankan untuk menghindari akibat-akibat sosial yang tidak diinginkan.


KANON 1061

Kanon 1061 ini berbicara mengenai MATRIMONIUM RATUM, RATUM ET CONSUMATUM DAN PUTATIVUM.

a. MATRIMONIUM RATUM
Yang dimaksud dengan matrimonium ratum adalah semua perkawinan sah dan sakramen yang dilangsungkan oleh dua orang yang telah dibabtis, dan sejauh dilaksanakan sesuai dengan norma-norma Kanonik.

Perkawinan orang katolik dan non katolik bukan ratum karena perkawinan campur bukan sakramen ( Kanon 1125, dst).

Perkawinan sakramen disebut RATUM TANTUM sejauh belum disempurnakan dengan persetubuhan suami istri. INDISSOLUBILITAS perkawinan ratum tantum tidaklah mutlak, dengan alasan berat bisa diputuskan oleh tahta suci atas permintaan minimal salah satu pasangan.

Pada prinsipnya perkawinan ratum tantum sama dengan perkawinan ratum et non consumatum.

b. MATRIMONIUM RATUM ET CONSUMATUM
Yaitu, perkawinan sah dan sakramen yang sudah disempurnakan dengan persetubuhan suami istri (copula maritalis). Dengan persetubuhan, perkawinan menjadi tanda penuh dan sempurna hubungan kasih KRISTUS dengan GEREJA. Karena itu sifatnya tak terceraikan mutlak. Tidak ada kuasa manapun yang dapat memisahkan kecuali kematian. Kanon 1141 menegaskan kemustahilan untuk menceraikan perkawinan ratum et consumatum.

c. PERSETUBUHAN SECARA MANUSIAWI
“Secara manusiawi” menjadi sangat penting untuk menentukan kualitas consumatio dari perkawinan sakramen. Secara manusiawi dalam arti :
- sadar (tidak mabuk)
- bebas
- tanpa kekerasan
- tanpa paksaan
Persetubuhan itu juga dilakukan dengan keterbukaan pada kelahiran anak.
Persetubuhan ini harus terjadi dengan intentio matrialis yaitu intensi untuk prokreasi.
Yang berlawan dengan “secara manusiawi” :
- coitus interuptus (mengeluarkan sperma di luar vagina)
- contraseptive sexual intercouse (alat kontrasepsi).
Persetubuhan diandaikan terjadi setelah suami istri yang baru menikah tinggal bersama dalam satu rumah.
Kanon 1061 § 2 menegaskan hal tersebut khususnya kalau salah satu pasangan menghendaki putusnya ikatan nikah. Kalau mau diputuskan harus dibuktikan memang belum ada persetubuhan.

d. MATRIMONIUM PUTATIVUM
Yaitu, perkawinan yang secara permukaan nampak sah, namun secara obyektif tidak sah, entah karena adanya :
- halangan yang membatalkan perkawinan (kanon 1073-1094)
- cacat consensus atau kesepakatan (kanon 1095-1107)
- cacat tata peneguhan (kanon 1108-1112).

Namun dalam hal ini bila pasangan (atau salah satu dari mereka) yakin dan mengira bahwa perkawinannya sah, karena mereka memang memaksudkan sebuah perkawinan yang sah.
Perkawinan ini terus memiliki sifat putatif sampai keduabelah pihak yakin akan ketidaksahan perkawinan mereka.

Pentingnya kanon ini berhubungan dengan PENGESAHAN ANAK. Anak-anak yang lahir dari perkawinan putatif ini diakui sebagai anak yang sah, meski pada akhirnya orang tua mereka menyadari bahwa perkawinan mereka tidak sah secara obyektif.


KANON 1062

Kanon ini berbicara mengenai PERTUNANGAN. Dalam kanon ini ditegaskan bahwa pertunangan harus diatur oleh hukum partikular yang dirumuskan dan disahkan oleh Konferensi Wali Gereja masing-masing. (KWI belum merumuskan)
Pada dasarnya pertunangan tidak dituntut demi sahnya perkawinan, namun menjadi langkah awal yang penting menuju perkawinan. Karena pasangan bisa saling mengenal dan menyesuaikan diri serta mempersiapkan diri lebih baik untuk memasuki perkawinan.

Sekarang ini pertunangan merupakan peristiwa sosial, untuk memberitahukan kepada masyarakat tetang keseriusan pasangan menuju perkawinan. Dari pertunangan tidak dituntut dari pasangan hak untuk menikah. Maksudnya untuk melindungi hak tiap pasangan untuk menikah secara bebas. Kalau pertunangan putus, pasangan yang dirugikan bisa menuntut ganti rugi bila dimungkinkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar