Ads 468x60px

BAKTI Pada Santo Yosef

Refleksi Kesederhanaan

A. Pengantar
Dialah Pengurus Rumah Tangga yang setia dan bijaksana, yang diangkat oleh Tuhan menjadi kepala atas semua hamba-hambanya, untuk memberikan makanan kepada mereka pada waktunya.

Santo Yosef nampak kepribadiannya dalam kehalusan budi dan sikapnya terhadap Bunda Maria. Ketika ia tahu bahwa tunangannya mengandung, tiada lain kesimpulannya kecuali bahwa Bunda Maria tidak setia. Tetapi ia tidak hendak membuat tunangannya menjadi buah bibir orang. Maka dengan diam-diam ia mau meninggalkannya. Orang yang demikian sikapnya tentulah dianggap masak oleh Tuhan untuk berperan di dalam rencana penyelamatanNya. 

Dari permenugan akan kenyataan hidupnya itu, Yosef akhirnya mendapat kepastian bahwa Tuhanlah yang turun tangan dalam keadaan Bunda Maria. Dan dengan mantap ia mengabdikan hidupnya pada suatu misteri penyelamatanNya.

B. Tekad Memperbaharui diri 
Kita, terlebih bagi para pemimpin kongregasi, provinsi dan komunitas tarekat religius seharusnya berusaha memperhatikan hidup sederhana sebagai bentuk penghayatan semangat kemiskinan yang lebih otentik dan sesuai dengan spiritualitas kongregasi. Pekerjaan yang ditujukan pada kaum miskin telah disambut luas, kedermawanan dan keramahtamahan rumah-rumah mereka telah meningkat kualitasnya; pemisahan antara urusan komunitas dan urusan karya membawa kejelasan mengenai pengeluaran, koordinasi antara komunitas dan karya, serta penggunaan uang pribadi dan karya kongregasi semakin menujukkan buah=buah keutamaan yang menggembirakan.

Kendati banyak kemajuan di bidang ini, kita harus mengakui bahwa kita belum mencapai pembaharuan yang lebih mendalam yang diminta dari para religius. Pendapat dan pemintaan pembaharuan memperlihatkan ketidakpuasan akan gaya hidup kita yang enak, mereka meminta kita untuk melihat kembali apakah “cara hidup kita telah menjadi kesaksian yang bisa dipercaya akan kaul kemiskinan injili atau tidak” Ini bukanlah suatu keprihatinan sampingan belaka. 

Kita tahu benar-benar apa arti kesederhanaan bagi para pendiri tarekat seperti St. Ignatius misalnya. Baginya kemiskinan adalah “pertahanan hidup religius”, yang bila kurang, akan “melemahkan, membuat letih dan meruntuhkan” hidup kita. Digerakkan oleh Roh Jesus, Ignatius dan kawan-kawannya yang pertama merasa dipanggil untuk “berkotbah dalam kemiskinan”. Keaslian kemiskinan kita adalah “tolok Ukur dari apakah kita ini religius atau tidak, apakah kita ini mengikuti kristus yang “miskin dan rendah hati” secara jelas, seperti yang dipelajari melalui latihan rohani.

C. Merasakan kegelisahan dan aspirasi
Untuk bisa “merasakan” kegelisahan dan aspirasi mereka yang tidak memiliki apa-apa, kita memerlukan pengalaman pribadi yang langsung. 

1. Hanya pengalaman yang mendalamlah yang bisa mengubah kita. Ketika dapat berpisah dari cara hidup dan berfikir kita yang biasa hanya lewat kedekatan fisi dan emosional pada cara hidup dan berfikir kaum miskin dan terpinggirkan.

2. Pengalaman yang sungguh terasa akan marginalisasi hendaknya menyertai setiap kegiatan formasi para religius dalam hidupnya, khususnya apabila pekerjaan pokoknya bukanlah dengan mereka yang miskin.

(1) Yang harus mendorong kita menemukan waktu untuk pengalaman-pengalaman semacam itu adalah “munculnya kesempatan untuk merasakan efek kemiskinan”. 
(2) Dari kesaksian banyak saudara yang hidup dengan kaum miskin kita tahu bahwa selain pelajaran-pelajaran keras tentang kemiskinan, pengalaman macam itu membawa nilai-nilai injili dari kesederhanaan dan keramah-tamahan yang sering menandai hidup kaum miskin.

3. Kesetiakawanan dengan kaum miskin tidak menjadi keprihatinan segelintir anggota.
(1) Apapun perutusan yang diberikan kepada kita sebagai anggota tarekat, harus mendorong kita untuk bekerja di dalamnya demi kepentingan kaum miskin dan demi terciptanya suatu dunia yang lebih adil dan bersaudara.
(2) Para pemimpin tarekat harus mendukung komunitas-komunitas macam itu sehingga, sementara tetap mempertahankan rasa kesatuan yang kuat dengan tubuh tarekat, mereka bisa menjadi penerapan yang kelihatan dari opsi preferntial tarekat akan kaum miskin dan meyumbang lewat pergaulan persaudaraan ke arah meningkatnya kepekaan sosial tarekat.

D. Penggunaan Sarana dan Lembaga kerasulan
Sering kita menggunakan sarana dan lembaga dalam kerasulan kita yang dalam dirinya sendiri tidaklah miskin (karena selalu harus sesuai dengan tujuan apostolis mereka).

a. Di sini tempatnyalah untuk mengingatkan bahwa effektivitas dan kemiskinan apostolis adalah dua nilai yang harus selalu dibiarkan berada dalam ketegangan terus menerus satu sama lain; ini hendaknya menjadi kaidah bagi setiap religius maupun komunitas dan karya.

b. Menjaga keseimbangan yang sulit ini menuntut penegasan terus-menerus dan kesediaan untuk meninggalkan lembaga serta sarana tersebut bilamana mereka tidak lagi menghasilkan “pengabdian yang lebih besar” kepada Allah.

E. Kemiskinan Sebagai Rahmat
Bagi pendiri tarekat, seperti St. Elisabet, St. Fransiskus, St. Ignatius dan kawan-kawannya, kemiskinan materia dari seorang religius adalah suatu “rahmat”; dia meminta agar “hal itu dicintai sebagai “ibu”, yang disebutnya “permata” dan “yang dicintai Allah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar