Ads 468x60px

Aku mau jadi suster “


Kisah dan Kasih Kehidupan: …”

Penggalan kalimat lugas-sederhana di atas keluar dari mulut mungil seorang gadis manis yang muda belia pun jenaka. Bening manis-klasik garis-garis wajah sederhananya, mata bening cerdasnya seperti burung gelatik zaman Adam Hawa yang segar canda tawanya. Sisilia Triyanawati namanya. Sisil panggilannya. Nama yang indah. Ia kini duduk di kelas dua SMP Kanisius, Panembahan Senopati-persis sebelah kiri terminal bus Tirtomoyo, Wonogiri.

Ia tinggal bersama bapak dan simboknya di Ngrejo. Sebuah dusun terpencil-35 km dari gereja paroki St.Yusuf Baturetno, Jawa Tengah. Sebuah desa yang terletak di dekat bukit bekas tempat pembantaian manusia zaman PKI-Muso. Bukit yang membatasi teritori Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Bukit yang sangat kering dan masih lengang oleh derap pembangunan. Bulan-bulan ini, mereka tidak bisa menanam jagung seperti biasanya dan setiap hari harus terus mencari sumber air untuk keperluan harian. Setiap malam, mereka bergantian pergi dengan berbekal senter dan selang sepanjang 300 meter, untuk mencari mata air baru sekedar untuk keperluan harian. 

Beberapa tahun lalu, aku live-in dua minggu ditempat Sisil. Kesederhanaan dan keremajaannya sebagai anak desa tampak jelas dari sikapnya yang malu-malu dan lugu. Dia selalu makan ketika kami sudah makan. Dia selalu menunggu untuk ditanya dan disapa. Dia selalu tersenyum sumringah tanpa kata ketika disapa. Pipinya selalu merona merah ketika dipuji atau diajak bercanda. Dia selalu kulonuwun jika mau pergi, entah pergi ke sekolah setiap pagi-ataupun pergi membeli daun cengkeh setiap siangnya. Dia selalu rajin belajar, walaupun sebetulnya lampu bohlam remang-remang di rumahnya kurang baik untuk mata beningnya. Dan-dia selalu mandi ketika kami sudah mandi. Sisil…sisil...ada-ada saja kamu! 

Pagi hari, pukul 05.00, dia sudah siap di depan tungku, entah membantu simbok merebus air, menyiapkan sarapan, atau membereskan perkakas dan siap-siap ke sekolah. Setelah selesai sarapan, ia berjalan kaki menuruni bukit yang masih sepi namun sungguh asri-sekitar 500 meter untuk sampai ke tempat perhentian colt (yang kadang ada-kadang juga tidak ada). Pulang sekolah, berteman teriknya matahari, tanpa menghiraukan rasa lelahnya-ia selalu setia pergi ke tempat, yang bernama monumen (jalannya menanjak dan berbatu, sekitar 1,5 km dari rumah) untuk membeli daun cengkeh. Ia selalu ditemani alat kerja, seperti buku, pulpen dan kalkulator. Di sana, ia selalu memilih, mengumpulkan, menimbang dan membeli daun cengkeh tersebut sampai beberapa kwintal kemudian dijual lagi bersama dengan bapaknya. Sebetulnya hasil keuntungan yang ia dapat dengan menjual daun cengkeh yang ia beli hanyalah Rp. 50,-/kg. 

Aku awalnya heran mengapa untuk hasil sekecil itu, dia rela berjalan kaki beberapa kilometer dan sibuk dengan daun-daun tersebut: kotor, harus ditimbang, mudah bertebaran, harus dibungkus dan dirapikan, belum lagi kalau ada ulat atau kutunya….ihhhh! Keherananku hilang, saat kuingat perkataan Pak Sukino (bapaknya Sisil) di dapur suatu pagi: “kulo namung saged tani kagem gesang padintenan lan mbiayai sekolah anak ragil kula.” Betapa indah pelajaran yang diberikannya: tak ada sesuatu yang terlalu remeh untuk dilakukan bila demi cinta. Aku kerap bertanya: “Bukankah sebagian besar rutinitas harianku tersusun dari lapis demi lapis hal-hal yang sederhana? Bukankah hal-hal istimewa sangat jarang terjadi dan tidak slalu datang?

Suatu malam, aku ikut pergi doa rosario lingkungan bersama Sisil dan para tetangga. Sekitar 500 m, kami berjalan dalam kegelapan berteman senter. Dalam kesahajaan mereka, aku merasakan suatu getaran kasih yang ada dalam hati mereka. Suatu perjuangan dan semangat iman yang begitu tulus ketika mereka begitu khusuk-masyuk mendaraskan butir-butir rosario. Seakan-akan mereka menyatukan kekeringan tanah, keterbatasan dan kemiskinan mereka dengan penderitaan Dewi Maria dan Gusti Yesus. 

Seakan-akan pengalaman mereka sungguh dekat dan hidup dalam diriku ketika mereka saling berbagi cerita setelah doa rosario. Ketika pulang entah mengapa ternyata pas mati lampu: jalannya terus mendaki dan penuh dengan batu- batu, apalagi di samping kanan jalan terdapat jurang. Mau tak mau kami memang harus pulang. Karena senternya terbatas, beberapa dari kami pulang dengan berbekal daun-daun kelapa kering yang dibakar (seperti obor). Setelah sampai di rumah, aku sudah kewalahan sendiri: napas ngos-ngosan, kaki rasanya pegal semua, belum lagi keringat yang membasahi kaosku. Keadaanku amat berbeda dengan mereka. Bahkan Sisil pun begitu enak dan leluasa berjalan pulang. Tak tampak rasa lelah dalam dirinya.

Sebagai anak bungsu, tampak bahwa Sisil sayang sekali dengan bapak dan simboknya. Jarang ia mengeluh: ‘kurang ini mbok, kurang itu mbok’. Mungkin hanya satu keluhannya: Bagaimana aku bisa membahagiakan bapak dan simbok? Sampai suatu sore-di depan keren, ketika itu saya mengobrol ngalor-ngidul bareng Sisil. ‘Mau jadi apa kalo sudah besar, Sil?’ Tanyaku, dengan nada datar. Nyala redup senthir (lampu minyak) menari-nari penuh seni ditiup angin yang agak dingin. Sambil tersenyum, ia menjawab malu: ‘aku mau jadi….suster….., frater. Aku kaget….aku tanya lagi…..’apa Sil, kamu mau jadi suster?’ Jawabnya dengan rona memerah di pipi: ‘Yah, aku ingin jadi suster seperti di parokiku, yang selalu baik hati dan mau mengajar agama anak-anak. Khan, guru agama di stasiku sudah delapan bulan sakit, jadi nda ada yang bisa mengajar agama lagi. Kasihan.’ 

Kaget, bingung, bercampur bangga dan gembira menyeruak dalam hatiku: ‘welladalah, ternyata ada sebuah benih panggilan suci di dusun terpencil ini.’ Ternyata ada harapan dan cinta yang tulus dari seorang anak kecil yang sederhana. Ternyata wajah dan hati Sisil adalah wajah dan hati anak kecil yang tanpa dosa. Bahasanya hadits nabi: “setiap anak lahir dalam keadaan suci (fitrah).” Bahkan Yesus dari Nazaret pernah berujar: “Biarlah anak-anak datang padaKu. Barangsiapa tidak bisa menjadi seperti anak-anak, tidak bisa masuk ke dalam Kerajaan surga.” 

Suatu malam, seperti biasanya aku makan bareng bapak dan simboknya. Ditemani singkong goreng, tahu tempe petis khas simbok, plus teh hanget yang kentel-manis khas Ngrejo, aku melihat mata cerdas Sisil tertuju terus pada buku-buku pelajaran. ‘Wah, dashyat, calon susternya rajin banget’, kataku dalam hati. Sebetulnya, kesetiaan Sisil dalam bekerja dan belajar secara tidak langsung meneguhkanku bahwa hidup itu harus diterima dengan penuh syukur. Aku semakin diyakinkan bahwa orang hidup itu tidak melulu mencari enak. Hidup memang tidak lepas dari rekasa yang mau tak mau harus dijalani: Kehidupan harian mereka kerap aku rasakan sebagai sesuatu yang berat: “…dengan bersusah payah, engkau akan mencari rejekimu dari tanah seumur hidupmu…” (Kej 3:17), tapi setiap makan malam, aku selalu melihat mereka tertawa spontan dan bercanda ceria ketika bisa berkumpul bersama. Aku melihat kebahagiaan mereka itu ada ketika mereka mau juga menerima ketidakbahagiaan.

Tibalah hari terakhir live-in, setelah mengucapkan terima kasih, aku pamit. Aku dipeluk dan mereka mengantarku sampai ke tempat colt mangkal. Dalam perjalanan pulang, mereka terus meminta maaf karena aku terkena kutu gurem di rumah mereka. Selama live-in, semua tangan, kaki dan leherku memang dipenuhi dengan bintik-bintik kecil: gatal sekali dan merah-merah. Akhirnya, lambaian tangan, tangis, salam hangat dan sekardus besar singkong goreng buatan tangan mereka mengiringi kepergianku dengan colt tua besar. 

Dan, kini sembari mengingat bintik-bintik itu ketika menulis-ulang pengalaman kecil ini, aku jadi teringat mereka juga. Setiap di pastoranku turun hujan-aku kerap berdoa semoga mereka juga mendapat hujan-sehingga tak usah setiap malam pergi mencari sumber mata air lagi. Dan, aku juga ingat Sisil-si calon suster yang setiap siang tekun mengumpulkan daun cengkeh sampai sore. 

Ternyata dari sosok Sisil kecil ini, aku bisa melihat bahwa kesetiaan, tawa serta cita-citanya menjadi suster itu adalah sesungguhnya jawaban YA, semacam fiat voluntas tua terhadap kehidupan, berat maupun ringan, sakit maupun sehat. Suatu tanda bahwa ia dapat menerima hari yang harus dilalui dengan penuh syukur dan kegembiraan. Di balik tawanya ada syukur, rasa syukur di balik tawa itulah yang membuat hari-harinya tiada hilang begitu saja. Menyitir pemazmur, tawanya ibarat “burung yang terluput dari jerat perangkap…” (Mzmr 124). Ya, pantes dia mau jadi Suster….semoga Tuhan memberkati dan Bunda Merestui, yah Sil…..?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar