Ads 468x60px

Rabu 23 September 2015


Pekan Biasa XXV
Ezr 9:5-9; Tb 13:2,4,6-8; Luk 9:1-6

"Ite missa est - Pergilah kamu diutus!"
Inilah seruan gereja setiap akhir misa bahwa Yesus mengajak kita "pergi & diutus" dari altar ke pasar, dengan 3 sikap dasar yang diberikanNya, antara lain:

1. Otoritas.
Inilah kali pertama Yesus memberikan tenaga & kuasa ilahi serta mengutus ke12 muridNya untuk mewakili Dia dalam kata & tindakan. Ke12 murid itu kini menjadi orang yang berkuasa untuk mengusir setan & menyembuhkan penyakit. Mereka bukan bangsawan tapi dipakai Allah secara menawan untuk mewartakan KerajaanNya. Adapun perintah yang diberikan kepada ke12 orang itu, menurut ayat paralelnya di kitab Matius adalah pergi kepada "domba-domba yang hilang dari umat Israel" (Mat 10:6). Tapi setelah kebangkitanNya, Yesus mengubah jangkauannya kepada segala bangsa, "sampai akhir zaman" (Mat 28:18-20; Mrk 16:15-20).

2. Prioritas.
Misi utama Yesus adalah untuk memberitakan Kerajaan Allah dengan perintah untuk menyembuhkan orang sakit & mengusir setan (Mat 9:35-38; 10:7-8; Mrk 3:14-15; 6:7-13; Mrk 16:15,17; Luk 9:2,6; 10:1,9; bdk Luk 4:17-19). Dengan kata lain: Kita diajak menomorsatukan kehendak Allah dimana pemberitaan Injil juga harus disertai dengan penyembuhan & pembebasan secara real-aktual & kontekstual.

3. Totalitas.
Yesus berpesan supaya para murid tidak membawa apa-apa dalam perjalanan, termasuk bekal (Yun: pēra). Bekal yang dimaksud adalah dompet yang dibawa seorang pengemis, dengan kata lain: Yesus melarang mereka mengemis sebagaimana kadang dilakukan penganut agama lainnya. Jelasnya, mereka tidak diperkenankan mengandalkan penampilan luar tapi harus sepenuh hati mengandalkan pemeliharaan Allah & kebaikan orang lain sehingga selalu terfokus pada tujuan utama tugas perutusan yaitu memberitakan Injil kerajaan Allah.

"Ada galah ada kaktus - Pergilah kamu semua diutus!"




Pw St. Padre Pio dr Pietrelcina, Imam

Pater – Bapa.
Inilah salah satu semangat kebaikan yang ditawarkan Padre Pio hari ini. Padre Pio (Lat: Pater, Itali: Padre, Ing: Father) yang lahir pada 25 Mei 1887 di Pietrelcina, Italia dan meninggal pada 23 Sept 1968 adalah seorang biarawan Kapusin yang mengalami Perang Dunia I & II, Konsili Vatikan II dan revolusi tahun 1960an.

Adapun 3 teladan ke-bapa-annya yang bisa kita ingat, al:

1. Kehangatan.
Ia kerap mengatakan kepada orang banyak: "Berdoalah, Berharaplah & Janganlah kuatir." Tiga kata itulah yan memberikan kehangatan ilahi: penghiburan dan penyembuhan kepada jutaan orang.

2. Kesetiaan.
Ia menjadi orang kudus bukan karena semata aneka karunia rohani tapi lebih karena setia pada Yesus & GerejaNya. Pada awalnya, ia setia mendengarkan pengakuan dosa ribuan orang yang datang kepadanya. Karena kesetiaannya pada doa devosi & matiraga, ia juga menjadi pribadi yang "sensual", yakni peka/memiliki kemampuan membaca isi hati orang lain.

Nah, karena puluhan ribu orang datang kepadanya, termasuk yang pernah datang kepadanya ialah Karol Woytilla alias St.Yohanes Paulus II, ada juga banyak orang yang memfitnah dan mempergunjingkannya dengan pelbagai motivasi kurang baik.
Akhirnya pada Juni 1922, akses publik kepadanya dibatasi bahkan pada 9 Juni 1931, ia pernah diminta untuk “menghentikan” semua kegiatan, bahkan mendengarkan pengakuan dan merayakan sakramen lainnya, kecuali misa kudus secara pribadi. Yang pasti, selama dikekang dan dicap buruk, dia tidak pernah sekalipun mengeluh dan mencaci maki terhadap Gereja dan para pembesarnya.

Ketika dia ditanya soal perlakuan tidak adil yang diterimanya dari Gereja, dia berkata: "Kita harus tetap mencintai Gereja karena Gereja adalah Bunda kita."
Ia mengingatkan kita akan nilai dari kesetiaan kepada Gereja, bahkan saat kita banyak dilukai oleh otoritas Gereja, oleh rekan seiman-seimam dan seperjalanan.

3. Kasih.
Inilah nada dasar hidupnya.
Ia jelas mengasihi Tuhan, Gereja & semua orang diantarnya kepada sumber kasih yang sejati yakni Tuhan Allah sendiri: "Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus." (Im 19:2)



Pw St. Padre Pio dr Pietrelcina, Imam

"Berdoalah, Berharaplah & Janganlah kuatir!"
Inilah tiga kata singkat dari Francesco alias Padre Pio, dilahirkan pada 25 Mei 1887 di Pietrelcina, Italia sebagai anak ke-5 dari 8 anak keluarga petani Grazio Forgione & Maria Giuseppa De Nunzio. Pada 6 Jan 1903, ia masuk novisiat Kapusin di Morcone. Pada 22 Jan, ia menerima jubah Fransiskan dan mendapat nama "Broeder Pio".

Karena kesehatannya yang buruk, setelah ditahbiskan sebagai imam pada 10 Agust 1910 dan dikenal dengan nama Padre Pio (Lat: Pater, Itali: Padre, Ing: Father), ia harus tinggal kembali bersama keluarganya. Ia divonis infeksi paru dan hidupnya hanya tinggal sebulan saja.

Syukurlah, pada Sept 1916, ia membaik dan diutus ke Biara San Giovanni Rotondo. Disini, ia kerap tenggelam dalam doa yang khusuk: “Dalam kitab-kita mencari Tuhan, dalam doa-kita menemukanNya."

20 Sept 1918, ketika berdoa di depan Salib di kapel tua, ia mendapat stigmata yang terus terbuka dan mencucurkan darah selama 50 tahun. Ya, Padre Pio adalah imam pertama yang menerima stigmata. Akibatnya, setiap pagi, sejak pukul 4 pagi, selalu ada ratusan bahkan ribuan orang menantinya. Ia tidur tak lebih dari 2 jam setiap harinya dan selalu mempersiapkan diri dalam Misa dan Sakramen Tobat. Hidupnya penuh dengan karunia mistik: membaca batin, bilokasi, levitasi dan jamahan yang menyembuhkan. Hidupnya berpola salib: vertikal-dengan membentuk “Kelompok Doa” dan horizontal dengan mendirikan rumah sakit “Casa Sollievo della Sofferenza” (Rumah untuk Meringankan Penderitaan)

Sebenarnya, yang paling luar biasa dalam hidupnya bukan mukjizat penyembuhan tapi pelayanannya di altar, di mana ia menjadi satu dengan Kristus yg tersalib: “Perbaharuilah imanmu dengan menghadiri Misa Kudus. Jagalah pikiranmu tetap terpusat pada misteri yang disingkapkan dihadapan kita. Dalam mata pikiranmu, pindahkanlah dirimu ke Kalvari dan renungkanlah Kurban yang mempersembahkan diri-Nya kepada Keadilan Ilahi, yang membayar harga penebusanmu” .

23 Sept 1968, ia wafat dan kamarnya dipenuhi harum semerbak seperti bau harum yang memancar dari luka-lukanya selama 50 tahun. 20 Febr 1971, Paus Paulus VI berbicara tentangnya kepada para Superior Ordo: “Lihat, betapa masyhurnya dia, betapa seluruh dunia berkumpul! Mengapa? Apakah mungkin karena ia filsuf? Karena ia bijak? Karena ia cakap? Bukan! Tapi karena ia mempersembahkan Misa dengan rendah hati, mendengarkan pengakuan dosa dari fajar hingga gelap. Ia adalah dia yang menyandang luka-luka Tuhan karena ia adalah manusia yang berdoa dan yang menderita.” Ia jelas menjadi "sahabat Tuhan" dan dikanonisasi pada 16 Juni 2002 di Roma.

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Pin HIK: 7EDF44CE/54E255C0.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar