Ads 468x60px

Minggu 13 Maret 2016

Minggu Prapaskah V
Yes 43:16-21; Mzm 126:1-2ab.2cd-3.4-5.6; Flp 3:8-14; Yoh 8:1-11


“Mercy’s Way"
Inilah judul buku terbaru saya yang terinspirasi dai pesan injili bahwa Allah selalu mengasihi tak peduli banyaknya dosa kita. Ia mengundang kita untuk datang kepadaNya dengan penuh iman-menerima kerahimanNya dan membiarkannya mengalir bagi yg lain.

Sebaliknya, kaum Farisi malahan merasa dirinya lebih bersih dan selalu berhasrat untuk menjadi “hakim” bg orang lain. Mereka adalah kaum munafik yang bisa jadi juga hidup dalam hati kita: “Mereka datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya padahal hatinya menjauh daripadaKu” (Yes 29:13).
Hari inilah, kita diajak menanggalkan kesombongan dan mengenakan kerahiman.
Mengacu pada “DKI-Devosi Kerahiman Ilahi” yang saya tulis dalam buku “SKI-Sekolah Kerahiman Ilahi, ada 3 jalan kerahiman, yakni “KUD”, antara lain: 
Karya belaskasih 
Ucapan belaskasih 
Doa belaskasih

Adapun karya jasmani kerahiman, al: 
memberi makan pada yang lapar-memberi minum pada yang haus-memberi tumpangan pada tunawisma-mengenakan pakaian pada yang telanjang-mengunjungi orang miskin dan tahanan serta menguburkan orang yang mati.

Sedangkan karya karya rohani kerahiman, al: mengajar-memberi nasehat-menghibur-membesarkan hati-mengampuni-menanggung dg sabar+mendoakan orang.
Dari pelbagai tindakan dan karya kerahiman ini, kita diajak mempunyai 3 poros dasar sebuah kerahiman ilahi, al:

1."Pengampunan": 
Mengampuni (forGIVE) berarti menjadi “giver”, memberi ruang kebebasan secara fair bagi orang lain untuk memperbaiki diri dan dilandasi nada dasar kasih yang tulus bukan yang penuh akal bulus, karena di dalam kasih tidak ada ketakutan dan kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan.

2. "Peneguhan": 
Tak seorang pun sia-sia ketika ia meringankan beban orang lain, bukan? Yesus meringankan beban berat yang diderita pendosa: dicap buruk-disingkirkan dan dikorbankan. Ia memberi peneguhan bahwa pendosa ini tidak dihukum.

3. "Perutusan": 
Yesus mengutusnya untuk ”pergi dan jangan berbuat dosa lagi.”Ia mengajak kita yang penuh dosa ("sin") untuk bermisi menjadi penuh cinta ("saint"), lahir sebagai manusia baru dan mewartakan secara nyata dengan pelbagai hal baik entah lewat pikiran, kata/tindakan nyata.

“Burung Garuda Burung Indonesia - Tanggalkan semua noda biar hidup kita tak sia-sia.”

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Pin HIK: 7EDF44CE/54E255C0


NB:

1. “Pax et Bonum - Damai dan Kebaikan”.
Inilah salah satu semangat dasar para Fransiskan yang saya tulis dalam buku “HERSTORY” (RJK, Kanisius) dan ditampilkan Yesus kepada wanita pendosa yang berzinah pada bacaan hari ini.

Ya, dalam tradisi Yahudi, zinah bisa mendatangkan hukuman mati tapi dalam Injil hari ini, Yesus datang sebagai raja Damai dan Kebaikan, yang mengampuni pezinah yang bertobat.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, zinah adalah segala jenis tindakan yang melanggar bidang seksual/susila dan dihukum keras dalam hukum kekudusan (Im 18:20).

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, ada 2 arti zinah, al: 
- “Porneia”, semacam pelanggaran seksual (1Kor 6:13-18; Ef 5:3; Mat 5:32) dan 
- “Akatharsia”, yakni kenajisan ibadat (Rom 1:24; 2Kor 12:21; Gal 5:19).

Yang pasti, bukankah kita juga pernah “berzinah” dalam artian rohani, ketika hidup dan iman kita tidak setia - murtad/menduakan Tuhan dengan menyembah "tuhan-tuhan kecil": harta-tahta dan kuasa (Bdk.Kitab Yehezkiel dan Hosea).

Adapun 3 pesan dasar Yesus supaya kita selalu punya “pax et bonum”, al:

A. ”Aku tidak menghukum kamu”:
Ia ajak kita untuk ”berbelaskasihan” pada org lain, terlebih org kecil-tersingkir/disingkirkan karena kita juga banyak mendapat pengampunan dariNya, terebih orang kecil kerap hanya menjadi korban/kambing hitam penguasa, entah di gereja/masyarakat.

B. ”Pergilah”:
Ia mengajak kita untuk ”berubah”: pergi dari manusia lama ke manusia baru, bongkar/tinggalkan pola lama dan membangun hidup sebagai manusia yang lahir baru.

C. ”Jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”:
Ia mengajak kita untuk ”berbuah”. Pengalaman dicintai membuat kita mau mencintai, pengalaman diampuni membuat kita juga mau mengampuni dan bukankah itu adalah buah nyata dari sebuah pengalaman cinta dan perjumpaan dengan Tuhan secara pribadi? Disinilah kita diajak untuk semakin mau konsisten: menjauh dari kegelapan (“malum”) dan mendekat kepada sumber kebaikan (“bonum”) dengan doa-kata-kata dan tindakan cinta kita, tidak lagi menjadi batu sandungan tapi jadi berkat buat semakin banyak orang.

“Bermain kayang di kota Palu - Yesus kusayang terkenang selalu”. 

Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!


2."Ab imo pectore - Dari lubuk hati yang paling dalam."
Inilah yang diharapkan dari semangat pengampunan seperti pada Injil hari ini yang menampilkan sosok Yesus yang mengampuni perempuan yang dicap buruk dan disingkirkan karena dianggap berzinah.

Disinilah, kita diajak untuk menjadi pribadi yang mengampuni karena “yang murah hati akan memperoleh kemurahan Allah.”(Mat 5:7).

Etika Kristiani sendiri memang selalu menekankan hubungan timbal balik: Kita ingin dihormati orang? Hormatilah orang lain! Kita minta dilayani? Jadilah pelayan! Bila kita mengharapkan pengampunan maka tiket yang mesti kita bayar adalah tiket kesediaan untuk mengampuni: ”Penghakiman yang tak berbelas-kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasih” (Yak 2:13).

Adapun 2 jenis pengampunan:

a.”pengampunan formal”: mulut memaafkan tapi hati tetap panas. Pemazmur menegur pengampunan jenis ini: ”Biarlah doanya menjadi dosa”(Mzm 109:7). Mengapa? Sebab berdoa dengan mulut memuji Tuhan tapi dengan hati yang sesak oleh amarah dan dendam adalah dosa. Norman Vincent Peale menegaskan: “kebencian/dendam tidak menyakiti orang yang kita benci tapi setiap hari dan setiap malam perasaan itu malahan akan menggerogoti kita sendiri.

b.”pengampunan sementara”: sekarang memaafkan tapi siap untuk mengungkitnya kembali. Dengan kata lain: Kesalahan orang disimpan di ”gudang”. Padahal sebenarnya orang yang tidak pengampun adalah orang yang dengan sengaja menutup pintu pengampunan bagi dirinya sendiri, karena begitu mudah minta pengampunan tapi begitu sulit mengampuni. Disinilah, satu hal yang paling penting bahwa Allah hanya berkenan mengampuni orang yang pengampun: "jika kamu tidak mengampuni maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”(Mark 11:25-26). Bukankah setiap relasi itu kerap 70% memaafkan dan 30% mencintai, maka marilah kita belajar menjadi pribadi yang murah hati dan lebih berhati-hati, yang mau belajar untuk saling mengampuni.
"Ada arang di Bakauheni - Jadilah orang yang mengampuni."

3.“Salva nos omnes - Selamatkanlah kami semua.”
Inilah harapan kita karena percaya bahwa Yesus adalah rahim dan penuh belaskasihan.
Ia hadir untuk menyelamatkan dan ini sekaligus menunjukkan tujuan-Nya dalam menebus umat manusia (Yoh 3:16).

Adapun, Yesus tidak menghukum wanita tersebut sebagai orang yang tidak layak diampuni, tetapi menghadapinya dengan lembut dan kesabaran supaya menuntunnya kepada pertobatan (Luk 7:47).

Yesus dapat saja melemparkan batu kepada perempuan itu sebab Dia tanpa dosa; tetapi Dia lebih memperhatikan pemulihan orang berdosa itu ketimbang ketaatan pada hukum Taurat secara teliti. 

Apabila perkataan-Nya, “Aku pun tidak menghukum engkau”, kedengaran terlalu lunak, maka hal tersebut diimbangi oleh kelanjutannya, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi”.
Sungguh berbeda sikap Yesus dengan para pemimpin agama Yahudi bukan?
Yesus yang paling layak untuk melempari perempuan itu dengan batu malahan menyatakan pengampunan-Nya dengan memperbolehkan perempuan itu pergi dalam pertobatan.
Nah, kita yang telah mendapat banyak anugerah-Nya juga wajib menerima dan mengasihi orang lain karena inilah yang Allah inginkan, belas kasih kepada sesama dan bukan sikap menghakimi.

"Ada galah di pohon kurma - Berbelaskasihanlah kepada sesama."





Minggu 13 Maret 2016.
Hari Minggu Prapaskah V C

Yes 43:16-21; Fil 3:8-14; Yoh 8:1-11

Jangan Berbuat Dosa Lagi Mulai Sekarang
8:2 Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. 8:3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. 8:4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. 8:5 Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" 8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. 8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."
8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. 8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. 8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" 8:11 Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."


Renungan

01. Para ahli tafsir sepakat bahwa perikop ini ditambahkan ke dalam Injil Keempat oleh generasi sesudah Yohanes karena tidak ditemukan dalam manuskrip kuno baik yang berbahasa Yunani maupun Latin. Nampaknya beberapa bapa Gereja seperti Tertulianus, Cyprianus, Tatianus, Yohanes Chrysostomus, Clemen dan Origenes juga tidak mengenal perikop ini karena mereka sama sekali tidak menyebut teks ini dan memberikan komentar atasnya.

Selain itu baik tata bahasa maupun gaya penuturannya pun berbeda dengan gaya Yohanes, malah lebih dekat dengan Injil Sinoptik, terutama Injil Lukas. Namun kisahnya menarik, khas dan tindakan Yesus yang diceritakan dalam kisah itu sesuai dengan karakter yang diceritakan dalam keempat Injil. Maka Gereja tanpa ragu-ragu memasukkannya ke dalam kanon. Eusebius dari Caesaria (275-339) dan Hieronimus (347-420) menyebut teks ini otentik dan mempunyai asal-usul rasuli. Nampaknya kisah ini tidak dimasukkan ke dalam Injil Yohanes sejak semula karena dikawatirkan bisa dimaknai secara keliru sehingga dapat menimbulkan sikap permisif terhadap perzinaan. Perikop ini kiranya dimaksudkan sebagai ilustrasi konkret dari sabda Yesus dalam Yoh 8:15, “Kamu menghakimi menurut ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorang pun.”


02. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang 
Farisi menghadapkan kepada Yesus seorang perempuan yang tertangkap basah melakukan zinah. Mereka mengacu pada ketentuan Hukum Taurat yang menegaskan bahwa para pelaku zinah harus dihukum mati. Tetapi mereka memanipulasikannya untuk menjebak Yesus. Dalam Im 20:10 dan Ul 22:22 disebutkan bahwa yang dihukum mati itu adalah kedua belah pihak, yakni laki-laki dan perempuan; dan tidak disebutkan bagaimana hukuman mati itu harus dijalankan.

Dalam kisah ini mereka hanya menangkap yang perempuan dan meminta pendapat Yesus apa yang mesti dilakukan terhadap perempuan itu. Bahkan secara halus mereka menggiring Yesus masuk ke dalam jebakan agar Dia memutuskan untuk melempari perempuan itu dengan batu sampai mati, padahal dalam hukum Taurat hukuman seperti itu hanya diberlakukan untuk perzinahan yang dilakukan oleh perempuan yang sudah bertunangan atau bersuami, “Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan, jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia.“ (Ul 22:23-24).


03. Mereka menempatkan Yesus dalam sebuah dilemma yang cukup sulit. Bila Yesus melarang melempari perempuan itu dengan batu sampai mati berarti Ia tidak melaksanakan hukum Taurat dengan setia. Dengan demikian ada alasan bagi mereka untuk membawa Yesus ke depan Sanhedrin dengan tuduhan melanggar hukum Taurat. Namun bila Yesus menyetujui untuk melempari perempuan itu dengan batu sampai mati berarti Yesus mengadakan pengadilan jalanan dan melanggar hukum Romawi yang melarang Sanhedrin atau lembaga Yahudi mana pun menjatuhkan hukuman mati tanpa persetujuan Roma. Selain itu pewartaan Yesus tentang kasih dan kerahiman Allah kepada orang yang berdosa tidak bisa dipercaya lagi. Sungguh sebuah dilemma yang tidak gampang ditemukan solusinya.


04. Yesus tidak langsung menanggapi masalah itu, tetapi malah membungkuk dan menulis dengan jari-Nya di tanah. Tidak ada penjelasan apa yang ditulis Yesus. Para ahli tafsir memaknai tindakan Yesus ini dengan penjelasan yang berbeda-beda. Ada yang menjelaskan bahwa Yesus menuliskan keputusan yang akan dijatuhkan kepada perempuan itu dengan mengacu pada tata cara pengadilan Romawi. Sebelum menjatuhkan vonis, ketua pengadilan menuliskan terlebih dahulu keputusan itu. Namun kiranya tidak terlalu bermanfaat menduga-duga apa yang dituliskan Yesus. Perubahan postur tubuh Yesus dari duduk mengajar (ay. 2) kemudian membungkuk menuliskan sesuatu di tanah (ay. 6) merupakan bahasa tubuh yang mengungkapkan penolakannya untuk menanggapi masalah yang dibawa oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Yesus merasa diri-Nya bukan merupakan pihak yang kompeten untuk mengadili dan menjatuhkan vonis untuk perkara seperti itu. Ada lembaga yang lebih berkompenten yakni Mahkamah Agama.


05. Setelah didesak-desak, Yesus akhirnya memberikan tanggapan yang sangat cemerlang, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." (ay. 7). Yesus memakai model yang dipakai dalam Taurat untuk menentukan kredibilitas sebuah kesaksian, “Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat” (Ul 17:7 bdk Ul 13:9 dan Im 24:14). Yesus tidak menolak hukum tetapi mengajak untuk menggali semangat dasar yang ada di balik rumusan hukum. Hukum tidak dimaksudkan untuk menghancurkan kehidupan namun justru sebaliknya, bertujuan untuk melindungi kehidupan dari kejahatan yang dapat menghancurkannya. Maka hakekat hukuman adalah untuk mendorong orang untuk bertobat atau membuat efek jera agar orang tidak melakukan kesalahan yang sama dan dengan demikian kejahatan dan keburukan dapat diminimalisir, “Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.” (Ul 22:21.24 dst). Hukuman seberat apa pun kalau tidak menimbulkan efek jera dan tidak mendorong orang untuk bertobat serta berkembang dalam kebaikan maka hukum gagal menjalankan fungsinya.

Dengan adanya hukum seharusnya menjadikan kita semakin mencintai kebaikan, kebenaran dan kesucian. Hukum mesti dijalankan dengan hati nurani yang jernih untuk memajukan kebaikan dan keadilan bukan karena dendam dan kebencian. Karena itu Yesus menekankan perlunya memeriksa motivasi yang mendasari kita menghakimi sesama. Sebelum mengadili orang lain sepantasnya kita melihat hidup kita sendiri. Yesus pernah memberikan teguran, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”. (Mat 7:3 bdk. Mat 18:31-35). Tanggapan Yesus menyadarkan bahwa hidup mereka pun tidak lebih baik dari perempuan itu, sehingga pantas mengadilinya. Maka satu demi satu mulai dari yang paling tua, mereka meninggalkan tempat itu. Seperti kebaikan, dosa pun berproses, berkembang dari waktu ke waktu. Kisah ini ditutup dengan ungkapan yang menarik, “Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu” (ay. 9). St. Agustinus merumuskan, “Relicti sunt duo, misera et misericordia”. Yang tinggal hanya dua: manusia pendosa yang mendamba belaskasih dengan Sang Sumber Belas Kasih.


06. Yesus tidak menempatkan wanita itu di hadapan hukum, tetapi di hadapan diri-Nya, Sang Wajah Kerahiman Allah, Sang Mahakasih yang menjelma menjadi manusia. St. Agustinus mengatakan, “Pokok pewartaan Injil adalah kisah Sang Maha Belas Kasih yang mencari dan menjumpai manusia berdosa dan menderita”. Dari atas kayu salib Yesus mengampuni semua pendosa, membangun kembali kebaikan asali manusia seperti saat diciptakan di Firdaus (bdk. Luk 23:43, : "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”), memperbaharui ciptaan agar semakin sempurna menjadi citra Allah, gambar dan rupa kebaikan, kebenaran dan kesucian yang sempurna. Dan membangunnya menjadi umat-Nya yang baru. Pengampunan-Nya mendahului pertobatan manusia. Dia mengampuni kita masing-masing secara pribadi, aku dan kamu, manusia berdosa ini. Bukan karena bertobat kita diampuni tetapi karena kita sudah diampuni maka sepantasnya kita bertobat. Karena itu Tuhan bersabda, "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." (ay. 11). Betapa pun hebatnya kita, kita tidak bisa kembali ke masa lalu dan mengubahnya. Kita tidak bisa mengembalikan bubur menjadi nasi lagi. Kita diajak untuk menerima masa lalu sebagai sebuah realitas yang sudah terjadi. Menjalani dan berfokus pada saat ini dengan keyakinan bahwa Tuhan selalu ada di dalam setiap usaha dan perjuangan untuk mempersiapkan masa depan dengan penuh optimis, tanpa rasa takut. Menjalani saat demi saat, detik demi detik dalam kesadaran akan pendampingan dan penyertaan Tuhan.


07. Berhadapan dengan belas kasih dan kerahiman Allah mungkin kita bertanya-tanya : mengapa Yesus lebih mencintai dan merangkul para pendosa dari pada mereka yang selalu setia kepada-Nya? Dalam perumpamaan tentang “Anak Yang Hilang”, anak sulung itu menjadi iri dan marah karena ayahnya menerima kembali adiknya dengan penuh cinta dan kegembiraan bahkan memulihkan kembali hak-haknya seperti semula. Tentu saja Allah berkenan kepada mereka yang berusaha sekuat tenaga untuk setia sampai akhir. Bunda Maria mendapatkan mahkota kemuliaan karena kesetiaannya sampai akhir. Namun kerahiman Allah secara melimpah tercurah kepada para pendosa karena merekalah yang paling membutuhkannya. Bukankah cinta dan perhatian seorang ibu lebih besar tercurah kepada anaknya yang sakit atau cacat? Seperti seorang dokter yang hadir untuk menyembuhkan para penderita sakit, Sang Penebus datang untuk mencari yang hilang, yang sakit, yang terperangkap dalam dosa. Kepada kita yang dengan kerendahan hati memohon pengampunan dari-Nya, Dia akan bersabda, "Aku pun tidak menghukum engkau.”


08. Seorang ibu memberikan nasehat pada putrinya yang mulai menginjak dewasa, “Anakku, kalau kamu pengin hidupmu bermakna dan bahagia, belajarlah dari pensil ini. Pertama, Pensil bisa menghasilkan tulisan indah dan mempunyai nilai seni tinggi hanya bila di tangan sang penulis yang handal. Hal itu mengingatkan bahwa kamu pun bisa membuat hal-hal yang hebat dalam hidup ini karena ada dalam tangan Sang Penulis Kehidupan. Jangan pernah lupa ada tangan yang selalu membimbing langkahmu. Dialah Allah yang selalu ada dalam setiap langkahmu. Kedua, Dalam proses menulis, kadang beberapa kali kita harus menggunakan rautan untuk menajamkan kembali ujung pensil. Rautan ini pasti akan membuat pensil menderita. Tapi setelah diraut, pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena semua itu akan membuatmu menjadi lebih baik. Ketiga, ketika kita salah menulis selalu ada kemungkinan untuk dihapus, dikoreksi. Memperbaiki kesalahan dalam hidup ini membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar. Keempat, Bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalamnya. Maka, hati-hatilah dan sadarilah caramu berpikir dan merasakan, waspadailah perspektif atau sudut pandangmu. Kelima, Sebuah pensil selalu meninggalkan goresan. Hal itu mengingatkan bahwa apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan tinggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah berhati-hati dengan setiap tindakan yang kamu pilih dan sadarilah segala konsekuensinya.
Berkah Dalem.



NB:
Sunday, 13 March 2016.

"Go, and do not sin again"
Gospel Reading: John 8:1-11
Early in the morning he came again to the temple; all the people came to him, and he sat down and taught them. The scribes and the Pharisees brought a woman who had been caught in adultery, and placing her in the midst they said to him, "Teacher, this woman has been caught in the act of adultery. Now in the law Moses commanded us to stone such. What do you say about her?" This they said to test him, that they might have some charge to bring against him. Jesus bent down and wrote with his finger on the ground. And as they continued to ask him, he stood up and said to them, "Let him who is without sin among you be the first to throw a stone at her." And once more he bent down and wrote with his finger on the ground. But when they heard it, they went away, one by one, beginning with the eldest, and Jesus was left alone with the woman standing before him. Jesus looked up and said to her, "Woman, where are they? Has no one condemned you?" She said, "No one, Lord." And Jesus said, "Neither do I condemn you; go, and do not sin again."
Old Testament Reading: Isaiah 43:16-21

Thus says the LORD, who makes a way in the sea, a path in the mighty waters, who brings forth chariot and horse, army and warrior; they lie down, they cannot rise, they are extinguished, quenched like a wick: "Remember not the former things, nor consider the things of old. Behold, I am doing a new thing; now it springs forth, do you not perceive it? I will make a way in the wilderness and rivers in the desert. The wild beasts will honor me, the jackals and the ostriches; for I give water in the wilderness, rivers in the desert, to give drink to my chosen people, the people whom I formed for myself that they might declare my praise.

Meditation
Are you ready to be changed and transformed in Christlike holiness? God never withholds his grace from us. His steadfast love and mercy is new every day (Lamentations 3:22-23). Through the gift and grace of the Holy Spirit we can be changed and made new in Christ. He can set us free from our unruly desires and passions. Jesus never lost an opportunity to bring freedom to those oppressed by sin and guilt. His frequent association with sinners, however, upset the sensibilities of the religious leaders. When a woman caught in adultery was brought to them for trial, they confronted Jesus on the issue of retribution. Jewish law treated adultery as a serious crime since it violated God’s ordinance and wreaked havoc on the stability of marriage and family life. It was one of the three gravest sins punishable by death.

This incident tells us a great deal about Jesus’ attitude to the sinner. The scribes and Pharisees wanted to entrap Jesus with the religious and civil authorities. That is why they brought a woman caught in adultery before Jesus. Jesus turned the challenge towards his accusers. In effect he said: Go ahead and stone her! But let the man who is without sin be the first to cast a stone. The Lord leaves the matter to their own consciences. When the adulterous woman is left alone with Jesus, he both expresses mercy and he strongly exhorts her to not sin again. The scribes wished to condemn, Jesus wished to forgive and to restore the sinner to health. His challenge involved a choice – either go back to your former way of sin and death or to reach out to the new way of life and happiness with him. Jesus gave her pardon and a new start on life. God’s grace enables us to confront our sin for what it is – unfaithfulness to God, and to turn back to God with a repentant heart and a thankful spirit for God’s mercy and forgiveness. Do you know the joy of repentance and a clean conscience?

"God our Father, we find it difficult to come to you, because our knowledge of you is imperfect. In our ignorance we have imagined you to be our enemy; we have wrongly thought that you take pleasure in punishing our sins; and we have foolishly conceived you to be a tyrant over human life. But since Jesus came among us, he has shown that you are loving, that you are on our side against all that stunts life, and that our resentment against you was groundless. So we come to you, asking you to forgive our past ignorance, and wanting to know more and more of you and your forgiving love, through Jesus Christ our Lord." (Prayer of Saint Augustine)


Psalm 126:1-6
When the LORD restored the fortunes of Zion, 
we were like those who dream. 
Then our mouth was filled with laughter, and our 
tongue with shouts of joy; then they said 
among the nations, "The LORD has done great 
things for them." 
The LORD has done great things for us; we are 
glad. 
Restore our fortunes, O LORD, like the 
watercourses in the Negeb! 
May those who sow in tears reap with shouts of 
joy! 
He that goes forth weeping, bearing the seed for 
sowing, shall come home with shouts of joy, 
bringing his sheaves with him.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar