Ads 468x60px

Jumat, 10 Februari 2017

Pw. St. Skolastika
Kej. 3:1-8; Mzm. 32:1-2,5,6,7; Mrk 7:31-37

"Efata – Terbukalah!”
Kalau kita membaca Injil dan mengikuti jejak langkah Yesus, kita akan menemukan bahwa di mana pun berada, Ia pasti menjadikan segala-galanya baik.

Dalam Injil ini dikisahkan tentang pemyembuhan orang yang bisu dan tuli sehingga ia bisa mendengar dan berkata-kata dengan baik. Ya, sepulangnya dari daerah Tirus dan Sidon (Mr 7:24; Mat 11:21), Yesus tidak kembali ke Galilea. Dia malah menyusuri pantai timur Danau Galilea yang membawaNya ke Dekapolis. Disana, Yesus menyembuhkan orang tuli yang “gagap” (7:31-37).

Yang pasti, alangkah tidak enaknya menjadi seorang yg tuli dan “gagap“, yakni mengalami kesulitan dalam berbicara, bukan? Kita menjadi terhambat dalam ber-sosialiasi.
Nah, Yesus tanggap terhadap orang yang gagap.

Ia memisahkan orang tuli dan gagap itu dari orang banyak.
Lalu Yesus memasukkan jariNya ke telinga orang itu, kemudian Ia meludah dan meraba lidah orang itu.

Selanjutnya Yesus menengadah ke langit dan berkata: "Efata!" Ia menengadah ke langit agar kita mengerti bahwa kuasa untuk menyembuhkan itu semata datang dari Allah, bukan kuat kuasa kita sendiri. Mukjizat-pun terjadi: telinga orang itu bisa mendengar dan mulutnya bisa bicara: "Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata." (Mrk 7,37)

Ia alami "reformartio vitae, perubahan hidup", bukan hanya telinga dan lidahnya menjadi terbuka, tetapi hatinya pun menjadi terbuka pada Yesus. Ini terlihat dari kesaksiannya. Mulutnya tidak henti-hentinya terbuka untuk mewartakan kasih ilahi yang dialaminya.
Tak heran bila orang banyak pun menjadi takjub.Terjadilah apa yang dinubuatkan nabi Yesaya:"Pada waktu itu.. telinga orang-orang tuli akan dibuka.. dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai" (Yes. 35:4-6).

Sudahkah kita juga menjaga sekaligus membuka telinga, mulut dan hati kita bagi kemuliaan Tuhan dan derita sesama?

"Burung tekukur di Pasar Pramuka -Mari bersyukur dan selalu bersuka."


Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)


NB:

A.Doa: 
Ajarilah aku agar aku mampu mendengarkan, ya Allah
Ajarilah aku agar aku mampu mendengarkan, ya Allah penyelenggara
Ajarilah aku agar aku mampu mendengarkan, ya Allah sang pencipta
Ajarilah aku agar aku mampu mendengarkan, ya Allah Roh Kudus,
Mendengarkan suaraMu,
Dalam kesibukan dan kebosanan,
Dalam situasi serba pasti dan serba ragu
Dalam kebisingan dan dalam keheningan.
Ajarilah aku Ya Tuhan, agar aku mampu mendengarkan.

B.Allah memulihkan kembali ciptaan-Nya

01. Kisah mukjizat penyembuhan orang tuli dan gagap ini terjadi di daerah Dekapolis, yang berarti “Sepuluh Kota”. Wilayah Dekapolis merupakan daerah luas yang terbentang dari sebelah timur Sungai Yordan sampai di sebelah selatan Danau Galilea. Kesepuluh kota itu ialah Scithopolis, Pella, Dion, Gerasa, Philadelphia, Gadara, Raphana, Kanatha, Hippos dan Damaskus. Pada tahun 63 SM, Kaisar Pompeius menggabungkan kota-kota itu ke dalam propinsi Siria, kemudian mereka membentuk perserikatan dagang dan pertahanan bersama untuk melawan serangan suku-suku Sem. Kota-kota itu memiliki otonomi penuh untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Penduduk Dekapolis bukan orang Yahudi dan sangat dipengaruhi oleh budaya Yunani. Kota-kota itu dianggap kafir oleh masyarakat Yahudi karena jauh dari Yerusalem dan tidak mengenal hukum Allah. Mereka dinilai tak menghiraukan sisi-sisi rohani dalam hidup tetapi hanya mementingkan segi materi. Namun wilayah seperti itu ternyata tidak dilupakan Tuhan. Ia bahkan menemukan iman yang begitu mendalam di sana yang diwakili oleh seorang perempuan dari Siro-Fenesia (Mrk 7:24-30). Ini adalah misteri karya penyelamatan Allah yang luar biasa dan sangat mengagumkan.

02. Rute perjalanan Yesus menurut Injil Markus ini agak aneh dalam arti wira-wiri karena setelah meninggalkan Tirus menuju ke Sidon, Yesus kembali ke wilayah Dekapolis. Artinya Yesus berjalan dari Tirus menuju ke Sidon di sebelah Utara, lalu kembali lagi ke Selatan, menyeberang ke wilayah Timur Galilea. Lebih mudah dipahami jika Yesus berjalan dari Sidon ke Tirus, lalu menyeberang danau Galilea menuju Dekapolis. Namun, kesulitan geografis ini tidak begitu penting karena penginjil Markus ingin menegaskan bahwa mukjizat Yesus itu dilakukan di wilayah orang-orang bukan Yahudi.

Setting tempat ini penting untuk menunjukkan perbedaan yang kontras antara tanggapan negatif orang-orang Yahudi dan para pemimpinnya (Mrk 7:1 dst) dengan tanggapan positif orang-orang bukan Yahudi terhadap karya dan pewartaan Yesus. Mengutip nubuat nabi Yesaya, Yesus menunjukkan kedegilan hati orang-orang Yahudi, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadat kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia” (Mrk 7:6-7, bdk Yes 29:13).

03. Cara penyembuhan yang dilakukan Yesus yakni dengan “memasukkan jariNya ke telinga orang itu, lalu meludah dan meraba lidah orang itu.” (ay. 33) merupakan cara yang tidak lazim meskipun cara seperti itu sering dilakukan oleh para penyembuh tradisional. Proses penyembuhan diawali dengan menyembuhkan telinga. Setelah telinga dapat mendengar barulah Yesus bersabda "Efata" (bhs. Aram) yang artinya "Terbukalah." Proses yang diceritakan dengan detail ini mengingatkan kita pada nabi Yesaya yang mengecam ketulian Israel terhadap Sabda Allah, “Engkau tidak mendengarnya ataupun mengetahuinya, juga telingamu tidak terbuka dari sejak dahulu; tetapi Aku telah mengetahui, bahwa engkau berbuat khianat sekeji-kejinya, dan bahwa orang menyebutkan engkau: pemberontak sejak dari kandungan.” (Yes 48:8).

Aspek privacy proses penyembuhan itu yakni “memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian”, berkaitan dengan larangan Yesus agar tidak menceritakan peristiwa penyembuhan itu kepada siapa pun (ay. 36). Larangan yang sering muncul dalam Injil Markus itu oleh para ekseget disebut sebagai Rahasia Mesias (the Mesianic Secret). Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman karena mesianitas yang dihayati dan dilaksanakan oleh Yesus berbeda dengan mesianitas yang digambarkan oleh banyak orang di masa itu. Tugas perutusan sebagai Mesias dilaksanakan Yesus justru melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.

04. Para nabi Perjanjian Lama mewartakan bahwa kedatangan Hari Tuhan atau zaman Mesias akan ditandai dengan adanya peristiwa yang mentakjubkan antara lain “orang-orang tuli akan mendengar” dan “orang-orang buta akan melihat” (Yes 29:18; 32:4; 35:5; 42:7; 61:1; Ez 24:27). Pokoknya Sang Mesias akan "menjadikan segala-galanya baik". Ungkapan itu mengingatkan kita pada karya penciptaan Allah dalam Kitab Kejadian. Setelah menyelesaikan karya penciptaan-Nya “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik.” (Kej 1:31). Sebelum manusia pertama jatuh ke dalam dosa, Allah telah menciptakan semesta dalam keadaan syalom yang sempurna. Segala ciptaan baik adanya, hidup bersama dan berelasi secara harmonis. Manusia mampu berelasi harmonis dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta.

Karena dosa Adam dan keturunannya, suasana syalom itu menjadi rusak. Pada zaman Mesias, alam ciptaan yang telah rusak dipulihkan kembali seperti semula, seperti pada saat penciptaan, “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai” (Yes 35:5-6, bacaan I). Reaksi orang-orang Dekapolis setelah melihat dan mendengar karya Yesus dalam ay. 36-37 mengungkapkan iman mereka bahwa dalam mukjizat penyembuhan yang dilaksanakan oleh Yesus itu sebenarnya Allah sendirilah yang berkarya.

Pengakuan akan keilahian Yesus secara implisit terungkap dalam pernyataan, "Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata." (ay. 37). Melalui Yesus Allah telah memulihkan kembali ciptaan seperti pada saat penciptaan dunia dan dengan demikian mulailah zaman Mesias, keselamatan akhir zaman yang dinubuatkan oleh para nabi, “Allah sendiri datang menyelamatkan engkau” (Yes 35:4). Sekaranglah, saat ini dan di tempat inilah saat keselamatan itu terlaksana.
.
05. Bagi orang Yahudi, proses beriman diawali dengan pengenalan akan Allah dan kehendak-Nya. Kemudian, iman itu harus diwujudkan di dalam kesetiaan melaksanakan Hukum Taurat. Kondisi tuli dan gagap menjadi hambatan serius untuk beriman dan untuk mewujudkan iman itu. Bagaimana mungkin seseorang dapat beriman jika tidak pernah mendengar Sabda-Nya. Pada zaman Yesus, ketika budaya tulisan belum berkembang, penerimaan Sabda hanya mungkin terjadi lewat pendengaran. Bagaimana mungkin orang melakukan kehendak Tuhan jika dia tidak pernah mendengar (karena tuli) apa yang dikehendaki Tuhan? Selanjutnya, bagaimana mungkin orang mewartakan Sabda Tuhan jika tidak mampu berbicara (karena gagap)?

Dengan demikian kondisi tuli dan gagap menimbulkan hambatan berlapis-lapis bagi orang yang ingin mendengar, memahami dan melaksanakan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus membuka peluang yang sangat leluasa bagi orang itu untuk necep dan neges Sabda Dalem serta ngemban dhawuh untuk mewartakannya kepada semua orang. Karena tahu persis apa yang dikehendaki Tuhan (dengan pulihnya pendengaran), orang itupun mempunyai kemudahan untuk mewartakan dan melaksanakan kehendak-Nya. Dia diberi kemampuan untuk beriman baik secara pasif (mendengar sabda Tuhan) maupun aktif (mewartakan Sabda serta melakukan kehendak-Nya).


06. Beban penderitaan yang harus ditanggung oleh orang tuli secara sosial sering lebih berat daripada orang buta. Terhadap orang buta kita secara spontan merasa kasihan tetapi menghadapi orang tuli kita sering merasa jengkel karena dituntut kesabaran yang lebih banyak untuk berkomunikasi dengannya. Orang buta bisa melakukan interaksi sosial secara normal (mis. melalui percakapan verbal, mendengarkan radio, menghadiri talk show, atau bahkan membaca buku dalam huruf Braille). Sedang orang tuli meskipun hadir dalam hiruk pikuk kehidupan tetapi tidak bisa terlibat secara aktif di dalamnya. Bisa dibayangkan betapa frustrasinya saat kita melihat film yang bagus tetapi suaranya tidak terdengar. Kita melihat aktornya tertawa, menangis tetapi tidak tahu sebabnya apa.

Dalam konteks peran sosial ketulian membuat kita kurang peka atau tanggap terhadap situasi di sekitar kita. Kita melihat aneka peristiwa terjadi tetapi kita diam saja, kita tidak tahu bagaimana harus terlibat di dalamnya. Kejadian demi kejadian, pengalaman demi pengalaman mengalir begitu saja tanpa keterlibatan kita, tanpa makna karena memang tidak mau memetik maknanya sehingga menua tanpa mau belajar dari pengalaman hidup, tanpa menjadi semakin cerdas dan bijaksana dalam menjalani kehidupan. Kita melihat kelahiran dan kematian, penderitaan dan sakit hati; kita menyaksikan dimana-mana ada kekerasan dan perselisihan, kekecewaan dan kegagalan, broken home, dan kita tidak tahu mengapa dan harus bertindak bagaimana. Kita juga melihat ada orang-orang begitu bahagia dengan wajah berseri-seri, mengalami hidup yang produktif dan indah; kita juga menyaksikan beberapa orang menjalani masa tua dengan nyaman dan mempersiapkan kematian dengan tenang, dan kita tidak tahu mengapa. Ketulian spiritual merupakan hambatan yang serius untuk mengalami keselamatan. Bisu dan tuli menjadi simbol pendosa yang tertutup hatinya. Kristus menyembuhkan kebisuan dan ketulian kita agar Sabda-Nya tertanam dalam hati dan dapat diwartakan kepada orang lain.


07. Yesus menjadikan segala-galanya baik kembali dan Dia menghendaki agar kita ikut serta dalam tugas perutusan itu. Kita dipanggil untuk bersama Yesus memulihkan kembali syalom di dunia ini. Dalam ensiklik LAUDATO SI, Paus Fransiskus menegaskan bahwa panggilan untuk ikut serta dalam pelestarian keutuhan ciptaan bukan merupakan tugas optional tetapi merupakan panggilan utama dalam hidup kristiani kita. Di masa kini panggilan ini sangat mendesak untuk diwujudkan karena bumi sebagai rumah kita bersama mulai terlihat lebih sebagai tumpukan kotoran yang sangat besar. Salah satu penyebabnya adalah berkembangnya budaya sekali pakai dan membuang (the throwaway culture). Kebiasaan membuang sampah sembarangan bertentangan dengan panggilan utama menjaga keutuhan ciptaan dan wujud egoisme kita karena berprinsip “asal bukan di halaman rumahku” (not in my back yard). Paus Fransiskus mengajak untuk berdoa terus menerus, “Tuhan, gunakan kami dengan kekuatan dan terang-Mu, bantu kami untuk melindungi semua kehidupan, demi mempersiapkan masa depan yang lebih baik”.
Sebagaimana Yesus melaksanakan perutusan-Nya melalui salib, demikian pula kita kadang harus memikul salib kita masing-masing di dalam pelaksanaan tugas itu. Seringkali kita tidak mampu memahami mengapa salib itu yang harus kita pikul. Namun, kita diingatkan oleh Santo Paulus bahwa di balik salib Yesus dan salib kita ada "Hikmat Allah". Jika kita menganggap salib kita sebagai sandungan, maka kita masih belum mampu membacanya dengan cara pandang Yesus.

08. Diam belum tentu bernilai seperti emas. Diam juga bisa berarti tidak peduli, acuh tak acuh, tidak terlibat. Kita dinilai dan dihargai berdasarkan perbuatan kita karena itu perbuatan menentukan kualitas pribadi. Dinilai negatif atau bahkan difitnah dan dijelek-jelekkan tidak akan menjadikan kita buruk jika kita tidak berbuat jelek. Sebaliknya, dinilai baik dan bahkan dipuji-puji tidak akan menjadikan kita baik jika kita tidak berbuat baik. Kita adalah apa yang kita lakukan. Kita menjadi pribadi yang dibutuhkan sejauh kehadiran dan perbuatan kita berguna dan memberikan keuntungan bagi orang lain. Sebaliknya bila kita tidak melakukan apa-apa, kita tidak akan pernah diperhitungkan dan kita bukan apa-apa.
Berkah Dalem.


C. Teks Injil
7:31 Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. 7:32 Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu. 7:33 Dan sesudah Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. 7:34 Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: "Efata!", artinya: Terbukalah! 7:35 Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik. 7:36 Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapa pun juga. Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya. 7:37 Mereka takjub dan tercengang dan berkata: "Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata."


D.
HIK – HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
Benarkanlah jiwaku ya Tuhan,
dari pancuran-Mu kobarkanlah keinginanku.
Bersinarlah dalam budiku dan isilah hatiku dengan kecemerlangan-Mu.
Biarkan mataku melihat hanya kemuliaan-Mu.
Biarkan tanganku menyentuh hanya untuk melayani-Mu.
Biarkan lidahku hanya mencicipi roti yang akan memberiku kekuatan untuk memuji-Mu.
Aku akan mendengar suara-Mu, dan semua harmoni yang Kau ciptakan, dan aku akan menyanyikan pujian.
Bulu domba dan kain kapas dari ladang akan sudah cukup menghangatkanku untuk dapat hidup melayani-Mu, sisanya kuberikan kepada kaum miskin-Mu.
Biarlah kugunakan semua hal hanya untuk satu tujuan saja : untuk menemukan sukacitaku dalam memuliakan-Mu.
Karena itu,
Jagalah aku, lebih dari segala sesuatu yang lain, dari dosa.
Jagalah aku dari kematian karena dosa mematikan yang menempatkan jiwaku ke dalam neraka.
Jagalah aku dari dosa-dosa yang memakan daging manusia dengan api yang tak tertahankan.
Jagalah aku dari cinta akan uang dimana juga terdapat kebencian, keserakahan, dan ambisi yang mencekik hidup.
Jagalah aku dari kesombongan dan pamrih di mana orang menghancurkan diri sendiri dengan kebanggaan, kekayaan, dan reputasi.
Karena itu,
Sumbatlah lukaku akan ketamakan yang mengeringkan jiwa.
Basmilah racun iri hati yang menyengat cinta dan membunuh semua sukacita.
Lepaskan tangan dan hatiku dari kemalasan.
Bebaskanlah aku:
dari kemalasan yang menyamar sebagai aktifitas ketika aktifitas itu justru tidak dibutuhkan dariku,
dan dari sikap pengecut dengan melakukan apa yang tidak diminta, untuk menghindari berkorban.
Tetapi,
Berilah aku kekuatan menantikan Engkau dalam keheningan dan kedamaian,
Berilah aku kerendahan hati dan lepaskanlah aku dari keangkuhan yang adalah beban yang terberat.
Kuasailah seluruh hati dan jiwaku dengan kesederhanaan cintaMu.
Penuhilah seluruh hidupku dengan satu pikiran dan satu hasrat saja, akan cinta,
supaya aku boleh mencintai
bukan demi pujian,
bukan demi kesempurnaan,
bukan demi kebajikan,
bukan demi kesucian,
tetapi demi Engkau saja.
Karena hanya ada satu saja yang dapat memuaskan cinta, dan menghadiahkannya,
dan itu adalah Engkau sendiri.
(Thomas Merton -
New Seeds of Contemplation)

E.
10 Februari 2017,
PW St. Skolastika.
St. Skolastika yang adalah saudara kembar St. Benediktus adalah pendiri biara untuk perempuan yang pertama di Eropa, pelindung para biarawati, pelindung dari bencana badai/hujan.
St. Skolastika dan St. Benediktus yang bersaudara kembar dilahirkan di Nursia, Italia pada tahun 480.
Skolastika adalah seorang gadis yang cerdas dan peramah. Ia juga seorang yang religius; sejak belia ia telah menyerahkan dirinya kepada Tuhan.
Ketika mereka berusia duapuluh tahun, Benediktus pergi mengasingkan diri sebagai pertapa dalam sebuah gua terpencil di Subiako.
Di kemudian hari, ia pergi ke Monte Kasino dan mendirikan biara di sana.
Skolastika menyusul saudaranya dan tinggal di Plombariola yang berjarak kurang lebih 5 mil dari biara Benediktus.
Dengan bantuan dan petunjuk Benediktus, Skolastika mendirikan dan memimpin biara untuk wanita.
Setahun sekali Skolastika mengunjungi saudaranya untuk membicarakan masalah-masalah rohani.
Karena perempuan tidak diperbolehkan memasuki biara Monte Kasino, maka Benediktus ditemani dengan beberapa muridnya akan menemui Skolastika di sebuah rumah yang tidak jauh letaknya dari gerbang biara.
Dikisahkan,
Pada suatu hari Skolastika datang berkunjung dan Benediktus menemuinya bersama beberapa murid. Sepanjang hari itu mereka memuji Tuhan dan berbicara mengenai hal-hal rohani. Ketika malam tiba mereka makan malam bersama.
Pembicaraan terus berlanjut sementara malam semakin larut.
Berkatalah Skolastika kepada saudaranya,
“Jangan tinggalkan aku malam ini; mari kita berbicara mengenai sukacita kehidupan rohani sampai pagi.”
“Saudariku,” jawab Benediktus, “Apakah yang engkau katakan itu? Aku tidak boleh tinggal di luar biaraku.”
Ketika didengarnya bahwa Benediktus menolak permintaannya, Skolastika menangkupkan kedua tangannya di atas meja, menundukkan kepala dan berdoa.
Sementara ia mengangkat kepalanya kembali, halilintar datang sambar-menyambar, gemuruh guntur bersahut-sahutan dan hujan badai membasahi bumi, sehingga baik Benediktus maupun murid-muridnya tidak dapat pulang.
Benediktus mengeluh:
“Semoga Tuhan mengampuni engkau, saudariku. Apa ini yang telah engkau lakukan?”
“Yah,” sahutnya, “aku mohon padamu tetapi engkau tidak mau mendengarkan aku; jadi aku mohon pada Tuhan-ku dan Ia sungguh mendengarkan aku.
Sekarang pergilah jika engkau bisa, tinggalkan aku dan kembalilah ke biaramu.”
Jadi, demikianlah, Benediktus tidak dapat pulang dan malam itu mereka tidak tidur semalaman, berdiskusi tentang sukacita kehidupan rohani.
Tiga hari kemudian, Benediktus sedang berada di kamarnya di biara. Ketika ia menengadah menatap langit, ia melihat jiwa saudarinya meninggalkan jasadnya dalam rupa seekor burung merpati, dan terbang tinggi menuju suatu tempat rahasia di surga.
Benediktus amat bersukacita, ia berterima kasih kepada Tuhan yang Mahakuasa dengan nyanyian serta puji-pujian.
Ia juga memerintahkan para muridnya untuk menjemput jenasah saudarinya dan membawanya ke biara dan dikuburkan di tempat yang telah dipersiapkan untuk dirinya sendiri.
Skolastika wafat pada tahun 543.
Pestanya dirayakan setiap tanggal 10 Februari.
Salam HIKers,
Tuhan berkati & Bunda merestui

Tidak ada komentar:

Posting Komentar