Ads 468x60px

Minggu, 12 Februari 2017.

Hari Minggu Biasa 6 A
Sir 15:15-20; Mzm 1-2.4-5.17-18.33-34;1 Kor 2:6-10; Mat 5:17-37

"Bene agere et laetari - Berbuat baiklah dan bergembiralah!"
Inilah sebuah ungkapan dasar dari filsuf bernama Baruch Spinoza supaya kita selalu menjadi "hukum" yang hidup, yang “Hadir Untuk Keselamatan Umat Manusia”.
Dalam injil hari ini, Yesus-pun mengajak kita untuk selalu menjadi "hukum" yang hidup, dengan senantiasa berbuat baik dan bergembira. Ia menyatakan bahwa kedatanganNya bukan untuk meniadakan Hukum Taurat melainkan untuk menggenapinya lewat segala hal yang baik dan membahagiakan banyak orang.
Bagi orang Yahudi sendiri, Hukum Taurat adalah kumpulan pengajaran, hukum dan aneka-ria aturan yang terdapat dalam kelima kitab pertama dalam Alkitab (Pentateukh). Jumlahnya, bila dihitung, ada 613 hukum, 365 di antaranya sifatnya larangan, sedangkan 248 lainnya berujud keharusan ini atau itu.

Pertanyaannya adalah: 

Bagaimana menghayati itu semua dengan sebaik-baiknya sehingga kita benar benar bisa menjadi “hukum” yang hidup, yang “Hadir Untuk Keselamatan Umat Manusia.”
De facto, ada dua arah dalam menanggapi Hukum Taurat, yakni: 
a.Arah pertama ialah “legal”, berusaha memenuhi yang diperintahkan oleh Hukum Taurat dan menjauhi yang dilarang dengan seteliti-telitinya. Inilah hidup saleh yang dijalankan oleh banyak orang beragama di zaman Yesus, dimana kehidupan beragama dalam arah ini diukur dengan hukum/legalitas, sehingga orang kerap sibuk pada teks dan melupakan konteksnya.

b.Arah kedua ialah “integral”, menerima hukum Taurat dan sekaligus mempercayainya sebagai sebuah cara untuk mendengarkan Dia yang bersabda kepada manusia dengan mendalami jiwa atau esensi Hukum Taurat itu sendiri.

Yesus sendiri jelas mengatakan bahwa dirinya datang untuk menggenapi Hukum Taurat, dimana Hukum Taurat lebih dihayatinya secara integral dan bukan sekedar legal. Ia menggenapkan Taurat dengan cara membuatnya tampil lebih utuh dan penuh, bukan sebagai himpunan aturan, perintah dan sekedar larangan belaka tapi sebagai media yang membuatnya dekat pada Dia yang bersabda. Bisa jadi Yesus berpikir dalam relung hatiNya: Buat apa kesana kemari mengenakan jubah putih, lambang kesucian, simbol pemihakan terhadap kebenaran, kalau buta dan tuli terhadap kebenaran itu sendiri?

Ya, Hukum Taurat yang berfungsi mengatur atau menata perilaku manusia dalam kehidupan bersama, menurut Yesus tidak cukup dimengerti dan dilaksanakan secara legal tapi juga secara integral, bukan kata per kata tetapi harus dipahami juga konteks dan tujuan hukum itu dibuat: “Content” harus dibaca dan dipahami dalam “context”. Yesus mengajak kita untuk berpikir mengenai inti iman – yang bagi orang Yahudi waktu itu ialah kewajiban menjalankan hukum Taurat semata. Kita diajak melihat lebih dalam yang dimaksudkan Taurat sendiri dan tidak hanya tinggal pada permukaan: dari “banalitas”/kedangkalan menuju “kualitas”/kedalaman”

Adapun penggenapan/pemenuhan hukum secara integral yang diharapkan Yesus dapat kita lakukan lewat 3 pilar dasar bernama “AL-FON-SUS”, yakni:

1."AL”= Alami kebaikan: 
Dalam Mat 7:12, Yesus pernah menyatakan “Sebuah Kaidah Emas” yakni “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Ini sebenarnya merupakan kesimpulan seluruh Hukum Taurat dan kitab para nabi. Artinya? Setiap detail bahkan setiap titik-koma dalam hukum sesungguhnya berisi perintah untuk saling mencintai dan berbuat kebaikan.

Nah, aneka ria peristiwa yang menghadirkan Yesus sebagai sumber cinta serta kebaikan selalu menjadi pelaksanaan konkret dari Hukum Taurat yang sebenarnya. Ia tidak hanya bicara soal kasih tapi secara khusus, Ia bertindak penuh kasih dan menjadi "kasih" itu sendiri. Ia menjadi ”Imago Dei, cerminan ilahi, dimana semua “K-U-D”: Karya - Ucapan dan – Doa Nya hadir sebagai pemenuhan dari pelbagai hukum taurat. Nah, syukur atas pengalaman dicintai dan mengalami pelbagai kebaikan Tuhan inilah yang bisa membuat kita terus berjuang menjadi “hukum” yang hidup setiap harinya, bukan?


2."FON”= FONdasinya iman: 
Taurat adalah pengajaran, hukum/aturan berdimensi iman, yang terdapat dalam 5 kitab pertama KSPL (Kitab Suci Perjanjian Lama). Bagi banyak guru Yahudi, hidup orang yang saleh dan suci berarti menjadi orang yang “taat hukum” : memenuhi yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang Taurat. Tapi bagi Yesus, fondasinya lebih kokoh: Ia menggenapi Taurat bukan dengan menganggapnya melulu sebagai himpunan aturan, perintah/larangan tapi dihayatiNya sebagai fondasi/sarana dasar yang benar-benar menjadikanNya semakin “beriman”, yakni semakin bijak, dekat dan hangat dengan Bapa serta sesamaNya: mudah memberkati dan tidak menyakiti, mudah memahami dan tidak menghakimi, mudah mencintai dan tidak mudah melukai.

3."SUS "=khuSUSkan buat Tuhan. 
Ungkapan “cungkillah (matamu)” dan “penggallah (tanganmu)” dalam bacaan hari ini merupakan kiasan sikap tegas tanpa kompromi terhadap sumber dosa ataupun segala sesuatu yang bisa menyebabkan kita jatuh ke dalam dosa. Inilah sebuah totalitas! Kita harus berani mempertaruhkan segala-galanya untuk menjaga kesucian dan kemurnian hidup bersama Tuhan karena kebahagiaan abadi lebih berharga dari apapun juga.

"Baca firman di Istana Kana - Orang beriman haruslah bersikap bijaksana."

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)


NB:

A.Kesucian dan Dosa itu berproses ...


01 . Hukum yang berfungsi mengatur atau menata perilaku manusia dalam kehidupan bersama, menurut Yesus tidak cukup dimengerti dan dilaksanakan kata per kata tetapi harus dipahami juga konteks dan tujuan hukum itu dibuat. Yesus menegaskan bahwa kedatangan-Nya tidak untuk meniadakan hukum Taurat tetapi justru menyempurnakannya dengan memberikan interpretasi-interpretasi baru yang lebih tepat, selaras dengan kehendak Allah.

Yesus juga menyatakan bahwa setiap detail dalam hukum tidak boleh ada yang diabaikan. Tentu saja yang dimaksudkan “hukum” di sini bukan Hukum Taurat sebagaimana tertulis dalam Kitab Pentateukh karena Yesus sendiri kadang bertindak bertentangan denganHukum itu, misalnya tentang pelaksanaan Hari Sabat, ritus pentahiran dsb. Istilah itu mengacu pada Hukum Taurat yang telah diperbarui dan diinterpretasi ulang oleh Yesus. Dalam Mat 7:12 Yesus menyatakan bahwa Kaidah Emas yakni “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” merupakan kesimpulan seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Artinya setiap detail bahkan setiap titik-koma dalam hukum berisi perintah untuk saling mencintai. Yang diperbaharui Yesus adalah semangat atau roh yang mendasari pelaksanaan hukum.


02.  Dalam Injil hari ini ada 6 perintah dalam Taurat yang diberi tafsiran baru oleh Yesus. Keenam perintah yang dirumuskan dalam bentuk antithesis itu diawali dengan rumusan, “Kamu telah mendengar …”. Dari konteks kiranya yang disapa adalah para murid. Para murid diandaikan telah mendengar perintah-perintah itu dari pelbagai sumber: ibadat sabda di Sinagoga, penjelasan para rabbi dalam kotbah atau dari teks hukum yang pernah mereka baca sendiri.


03.  Antithesis pertama berkaitan dengan larangan membunuh (ay. 21-26). Larangan ini tidak termasuk membunuh dalam perang yang adil (just war) atau karena membela diri tetapi membunuh seorang musuh sebagai bentuk balas dendam. Yesus mengutip larangan itu dari Kel 20:13. Ungkapan “tetapi Aku berkata kepadamu” menegaskan otoritas Yesus. Dia mengajar atas dasar kuasa-Nya sendiri yang melebihi Taurat. Sebagai Putra Allah, Yesus dengan persis dapat mengetahui kehendak Allah lebih dari siapa pun. Yesus menyatakan bahwa di balik larangan membunuh ada kehendak Allah agar manusia membangun hidup bersama dalam kasih persaudaraan.

Pembunuhan merupakan puncak dari kebencian yang tak tertahankan. Dan rasa benci itu berproses, mulai dengan rasa sakit hati, kecewa, marah, saling menghina dan mencaci maki. Yang harus diwaspadai dan ditolak dengan tegas bukan hanya puncak dari kebencian tetapi juga awal dan proses munculnya rasa benci itu. Karena itu Yesus menyatakan bahwa para murid harus bersikap tegas terhadap segala macam pikiran, rasa perasaan dan tindakan yang menyuburkan kebencian.

Ungkapan “dihadapkan ke Mahkamah Agama” dan “diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (ay. 22) menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi yang harus ditanggung kalau kita tidak bersikap tegas pada awal dan dalam seluruh proses dosa itu.
Persembahan yang sejati adalah persembahan seluruh hidup: pikiran, perasaan, hati, kehendak serta pekerjaan. Persembahan hidup yang berkenan di hadapan Allah adalah persembahan seluruh diri yang tulus dan jujur. Kebencian yang tersimpan dalam hati menodai kesucian persembahan. Karena itu kebencian harus dihilangkan terlebih dahulu dengan saling mengampuni agar pantas menghaturkan persembahan yang berkenan kepada Allah. Dan kitalah yang harus memulai proses rekonsiliasi itu. Ungkapan “di tengah jalan” dalam ay. 25 kiranya bisa dimaknai secara luas yakni “di sepanjang perjalanan hidup ini”. Bukankah hidup ini sering diumpamakan sebagai sebuah perjalanan?


04.  Dalam antithesis kedua tentang larangan berzina (ay. 27-30) ini, sekali lagi Yesus mengingatkan bahwa dosa itu berproses. Menurut hukum Taurat berzina berarti melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang sudah bersuami atau bertunangan.
Tindakan berzina itu terjadi melalui sebuah proses. Tindakan itu pasti didorong oleh hasrat yang menggebu-gebu, dan keinginan itu bisa berawal dari pandangan mata yang penuh nafsu. Karena itu Yesus mengingatkan untuk bersikap tegas sejak awal proses. Kompromi terhadap kelemahan menjadi awal proses dosa. Ungkapan “cungkillah (matamu)” dan “penggallah (tanganmu)” merupakan kiasan sikap tegas tanpa kompromi terhadap sumber dosa atau pun segala sesuatu yang bisa menyebabkan kita jatuh ke dalam dosa. Kita harus berani mempertaruhkan segala-galanya untuk menjaga kesucian dan kemurnian hidup. Kebahagiaan abadi lebih berharga dari apa pun juga.


05.  Antithesis ketiga membahas tentang hukum perkawinan. Hukum Taurat memang tidak melarang perceraian tetapi mengaturnya secara ketat (Ul 24:1-4). Seorang suami boleh menceraikan isterinya bila “didapatinya yang tidak senonoh padanya” maksudnya isterinya itu tidak setia, dengan membuat pernyataan tertulis tentang bubarnya perkawinan.
Berbeda dengan ketentuan Taurat, Yesus menolak adanya perceraian dengan alasan apa pun karena hal itu bertentangan dengan kehendak Allah. Ungkapan “kecuali karena zina” (ay. 32) menimbulkan diskusi yang panjang antara ekseget Katolik dan Kristen Protestan.
Kata Yunani yang dipakai adalah “porneia”. Para ekseget Kristen menterjemahkan kata itu dengan “perzinahan” (unchastity, adultery). Dengan demikian perzinahan merupakan kekecualian atas indissolubilitas perkawinan, maksudnya perzinahan menjadi alasan yang cukup bagi seorang suami untuk menceraikan isterinya. Para ekseget Katolik menolak pendapat itu. Kata “porneia” lebih tepat bila diartikan sebagai sebuah perkawinan atau relasi seksual yang tidak sah (unlawful or invalid marriage), misalnya kumpul kebo atau perkawinan antar saudara (incestuous marriage) yang diperbolehkan diantara orang kafir tetapi dikutuk oleh Hukum Taurat (Im 18:6-8).

Jadi apabila seseorang hidup dalam sebuah perkawinan yang tidak sah memang boleh berpisah tetapi bila telah terikat dalam perkawinan yang sah secara yuridis mereka tidak boleh bercerai. Yesus menyatakan bahwa Allah memakai perkawinan yang merupakanperjanjian kasih timbal balik antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai simbol relasi perjanjian kasih antara Allah dengan umat-Nya. Relasi kasih Allah itu bersifat kekal, tidak terputuskan.


06.  Antithesis keempat berkaitan dengan sumpah dan janji (ay. 33-37). Dalam ay. 33 Yesus tidak mengutip ayat tertentu tetapi menggabungkan perintah-perintah yang sama dalam Kitab Pentateukh (dari Kel 20:7; Im 19;12; Bil 30:3 dan Ul 23:22). Kata Yunani yang dipakai “horkos” bisa berarti sumpah dan janji sekaligus. Sumpah berkaitan dengan tindakan atau peristiwa di masa lalu atau masa kini dan biasanya dalam konteks masalah-masalah yuridis. Janji mengacu pada tindakan yang akan dilakukan di masa depan dan diucapkan dalam konteks seputar kehidupan sehari-hari yang biasa.

Nampaknya antithesis keempat ini lebih berkaitan dengan sumpah daripada janji. Dalam Taurat, sumpah sama sekali tidak dilarang malah dalam situasi tertentu diharuskan (Kel 22:8; Bil 5:19-22). Namun dengan tegas Yesus menolak segala macam bentuk sumpah. Meskipun dalam sumpah itu tidak secara langsung melibatkan Allah sebagai penjamin kebenaran suatu pernyataan karena memang nama Allah tidak boleh disebut sembarangan, namun untuk hal-hal yang disebut dalam ay. 34-36 pun (langit, bumi, Yerusalem dan kepala) manusia tidak mempunyai kuasa apa pun karena semua hal yang disebut itu berada di bawah kuasa dan kewenangan Allah.

Secara positif Yesus menyatakan bahwa kualitas hidup seseorang terletak dalam kemampuannya untuk bisa dipercaya. Seseorang yang tidak bisa lagi dipercaya, tidak akan diperhitungkan lagi dalam kehidupan bersama.


07.  Sejalan dengan perkembangan usia, semakin berkembang pula kesadaran pemahaman akan fungsi hukum dan peraturan dalam kehidupan bersama. Ketika masih kanak-kanak kita tidak tahu mengapa ada suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan tetapi sebaliknya ada perbuatan yang harus dilakukan. Membutuhkan waktu bertahun-tahun agar seorang anak bisa memahami mengapa suatu hal dilarang dan hal lain malah diharuskan.
Untuk menanamkan kebiasaan agar mentaati peraturan dan tidak melanggar larangan diperlukan sanksi entah dalam bentuk dimarahi atau dipukul. Dalam proses perkembangan menuju kedewasaan biasanya seorang remaja mempertanyakan dengan kritis semua peraturan yang dianggap membatasi kebebasannya. Muncul semacam naluri untuk melawan semua peraturan dan hukum yang dirasakan membelenggu ekspresi diri. Ada konflik antara dorongan hati dan ketentuan hukum yang harus dipatuhi. Baru setelah seseorang mampu memahami konteks dan tujuan mengapa sebuah ketentuan dibuat, ia akan mentaatinya dengan kesadaran dari dalam diri, dengan seluruh hati dan kehendak.
Dalam penghayatan iman, banyak orang masih mempunyai perilaku dan sikap seperti kanak-kanak. Hukum, peraturan, ketentuan dialami sebagai tekanan dari luar, yang dipaksakan oleh otoritas Gereja. Akibatnya orang itu hanya bersikap minimalis. Melaksanakan kewajiban agama hanya menjadi sebuah kemunafikan, agar memperoleh pujian dan tidak mendapatkan sanksi sosial.

Yesus mengajarkan bahwa ketaatan terhadap hukum sebagai ungkapan rasa hormat terhadap kehidupan, institusi perkawinan, penghargaan terhadap kepercayaan dan kebenaran tidak boleh hanya sebuah kepura-puraan lahiriah tetapi berasal dari dalam hati yang jernih. Semestinya mengalir dari keyakinan hati bahwa Hukum Tuhan itu sempurna dan menjamin kebahagiaan hidup.
Berkah Dalem.



B.Teks Injil Minggu.
5:17 "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. 5:18 Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. 5:19Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. 5:20 Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. 5:21 Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. 5:22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. 5:23 Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, 5:24 tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. 5:25 Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. 5:26 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas. 5:27 Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. 5:28 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. 5:29 Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. 5:30 Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. 5:31 Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. 5:32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah. 5:33 Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. 5:34 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, 5:35 maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; 5:36 janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun. 5:37 Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.


Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)



C.HIK : HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
"Cap-Go-Meh": Riwayat dan Hikayat
Prolog
"Cap-Go-Meh" (Hokkien: 十五暝) melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Istilah ini berasal dari dialek Tio Ciu dan Hokkien, yang secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Sedangkan lafal dialek Hakka adalah “Cang Njiat Pan”, artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok, "Cap-Go-Meh" dinamakan元宵节【”yuánxiāojié”】 dalam bahasa Mandarinnya, yang berarti "Festival tanggal 15 bulan Satu Kalendar Tionghoa".
Perayaan "Cap-Go-Meh" ini sendiri kerap dirayakan dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan kultus dan kultural. Di China, "Cap-Go-Meh" disebut Festival Yuanxiao atau Festival Shangyuan untuk memberi penghormatan terhadap Dewa Thai Yi, dewa tertinggi di langit pada zaman Dinasti Han (206 SM- 221 M). Di Taiwan, "Cap-Go-Meh" dirayakan sebagai “Festival Lampion”. Di Asia Tenggara, "Cap-Go-Meh" kadang dikenal sebagai “Hari Valentine Tionghoa”, masa ketika wanita-wanita yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut - suatu adat yang berasal dari Penang, Malaysia.
Sedangkan di Indonesia, saat "Cap-Go-Meh", kita bisa mencari jodoh di Pulau Kemaro, Palembang; atau di “Kota Seribu Kelenteng”, yakni Singkawang, kita bisa merayakan "Cap-Go-Meh" dengan melihat pawai tatung untuk mengusir roh jahat dan penampilan para penari yang membawakan tarian Tionghoa, Dayak dan Melayu. Di Makassar, perayaan "Cap-Go-Meh" diadakan secara rutin setiap setahun sekali dimana daerah pecinan di kota Makassar akan ditutup untuk kendaraan sejak pagi karena diadakannya prosesi perarakan "Cap-Go-Meh" atau yang biasa disebut Karnaval Budaya Nusantara dengan dilepaskannya puluhan ekor burung oleh Walikota Makassar. Di Manado, ketika "Cap-Go-Meh" maka diadakan arak-arakan kio yang dinaiki oleh tangsin (wadah roh suci), dimana setiap klenteng akan mengarak dewa atau dewi tertentu berdasarkan klenteng masing-masing.
"Cap-Go-Meh" : Sebuah Historiografi Mini
Dulunya, "Cap-Go-Meh"memang dilakukan secara tertutup untuk kalangan istana dan sekitarnya. Festival tersebut dilakukan pada malam hari, sehingga harus menyediakan banyak lampion dan aneka lampu warna-warni. Lampion dalah pertanda kesejahteraan hidup bagi seluruh anggota keluarga, sehingga "Cap-Go-Meh" kerap disebut Festival Lampion.
Bicara soal "Cap-Go-Meh" lebih lanjut, ada banyak cerita bahkan dikatakan bahwa semasa Dinasti Han, pada malam "Cap-Go-Meh", raja sendiri khusus keluar dari istana untuk turut merayakan momentum kultural ini bersama dengan rakyatnya. Ketika pemerintahan Dinasti Han berakhir, "Cap-Go-Meh" semakin dikenal oleh masyarakat, karena ketika "Cap-Go-Meh", semua rakyat bisa bersenang-senang sambil menikmati pemandangan lampion yang telah diberi banyak hiasan.
Adapun salah satu versi asal muasalnya "Cap-Go-Meh" dikisahkan berasal dari saat dinasti Zhou (770 – 256 SM): Setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek (kalendar China), para petani memasang aneka-ria lampion yang dinamakan “Chau Tian Can” di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman. Selain itu, pelbagai lampion ini juga untuk menciptakan pemandangan yang indah di malam hari tanggal 15 bulan satu tersebut. Untuk menakuti dan mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka juga menambah bunyi-bunyian serta barongsai, agar lebih ramai dan dipercaya membawa berkat bagi petani.
“Kelenteng”
Kepercayaan dan tradisi budaya "Cap-Go-Meh" ini berlanjut turun menurun, baik di daratan Tiongkok maupun di tanah perantauan di seantero dunia. "Cap-Go-Meh" ini sendiri dinilai sebagai pesta karnaval etnis Tionghoa, karena adanya pawai yang pada umumnya dimulai dari “Kelenteng” (Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah “Tri Dharma”, yakni: Buddhism, Taoism dan Confuciusm).
Nama Kelenteng sekarang ini kerap diubah dan disebut sebagai "Vihara" yang sebenarnya merupakan sebutan bagi rumah ibadah umat Buddha. Hal ini terjadi dikarenakan pemerintah pernah tidak mengakui keberadaan agama “Kong Hu Chu” sebagai agama resmi.
Sedangkan sebutan nama “Kelenteng” itu sendiri, bukan berasal dari bahasa China, melainkan malahan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan “kelintingan” – lonceng kecil, karena bunyi-bunyian inilah yang sering keluar dari tempat ibadah itu, sehingga mereka menamakannya "Kelenteng".
Orang Tionghoa sendiri menamakan “Kelenteng” sebagai “Bio”, Mandarinnya 庙(miào). “Wen Miao” adalah “bio” untuk menghormati Confucius dan “Wu Miao” adalah “bio” untuk menghormati Guan Gong.
“Toapekong”
Dalam tradisi pawai "Cap-Go-Meh", juga adanya acara menggotong “Toapekong” untuk diarak keluar dari “Kelenteng”.
Toapekong (Hakka = “Taipakkung”, Mandarin = “Da Bo Gong”) yang berarti secara harafiah adalah “eyang buyut”, sebuah makna kiasan bagi para dewa yang pada umumnya digambarkan sebagai seorang kakek tua. “Da Bo Gong” ini sebenarnya adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa di Indonesia. Jadi istilah “Da Bo Gong” itu sendiri tidak dikenal di dataran Tiongkok.
Tarian Barongsai "Cap-Go-Meh"
"Cap-Go-Meh" tanpa adanya barongsai dan liong (naga) rasanya tidaklah komplit. Tarian barongsai "Cap-Go-Meh" biasanya disebut “Nong Shi”. Sedangkan nama “barongsai” adalah gabungan dari kata "Barong" dalam bahasa Jawa dan "Sai" yang berarti "singa" dalam bahasa dialek Hokian. Singa menurut kepercayaan orang Tionghoa ini melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan.
Ada dua macam jenis tarian Barongsai. Yang satu lebih dikenal sebagai “Singa Utara” yang penampilannya lebih natural tanpa tanduk, sedangkan “Singa Selatan” memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin (kuda naga yang bertanduk).
Seperti layaknya binatang-binatang lain, Barongsai juga harus diberi makan berupa Angpao yang ditempeli dengan sayuran selada air yang lazim disebut “Lay See”. Untuk melakukan tarian memakan “Lay See” (Chai Qing) ini para pemain harus mampu melakukan loncatan tinggi.
Itu sebabnya, dahulu, Barongsai hanya dimainkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan silat – “Hokian = kun tao” yang berasal dari bahasa Mandarin “Quan Dao” (kepala kepalan atau tinju), tetapi sekarang lebih dikenal dengan kata “Wu Shu”, padahal arti Wu Shu sendiri itu adalah "seni untuk menghentikan kekerasan".
Di depan Barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yang memakai topeng sambil membawa kipas. Biasanya disebut “Shi Zi Lang” dan penari inilah yang mengarahkan Barongsai untuk melakukan atraksi. Sedangkan penari dengan topeng Buddha tertawa disebut “Xiao Mian Fo”.
Pada awalnya tarian Barongsai ini tidak pernah dikaitkan dengan ritual keagamaan manapun juga, tetapi akhirnya karena rakyat percaya, bahwa Barongsai itu dapat mengusir hawa-hawa buruk dan roh-roh jahat sehingga kepercayaan rakyat itulah yang akhirnya dipakai bersinergi dengan ritual keagamaan.
Pada jaman sekarang ini, aliran modern tidak mengaitkan tarian Barongsai dengan upacara keagamaan sama sekali, karena dinilai Barongsai hanya sekedar bentuk seni tari atau media entertainment saja, seperti juga halnya dengan payung untuk tari payung, atau topeng dalam tarian topeng.
Barongsai sebenarnya sudah populer sejak zaman periode tiga kerajaan (Wu, Wei & Shu Han) tahun 220 – 280 M. Pada saat itu ketika raja Song Wen sedang kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah-nya Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi, panglimanya yang bernama Zhing Que mempunyai ide jenius untuk membuat boneka-boneka singa tiruan untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata usahanya itu berhasil, sehingga sejak saat itulah dikenalnya tarian Barongsai.
Tarian Naga "Cap-Go-Meh"
Tarian naga "Cap-Go-Meh" (liong) disebut “Nong Long”. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala unta, bertaring serigala dan bertanduk menjangan.
Naga di China dianggap sebagai dewa pelindung, yang bisa memberikan rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air. Air di China merupakan lambang rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air.
Semua kaisar di China menggunakan lambang naga, mereka duduk di singgasana naga, tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang China akan merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di Tahun Naga.
Pada umumnya untuk tarian naga ini dibuatkan seekor naga yang panjangnya sekitar 35 m dan dibagi dalam 9 bagian, tetapi ketika mereka menyambut tahun baru millennium di China pernah dibuat naga yang panjangnya 3.500 meter dan dimainkannya di atas Tembok Besar China.
Naga sendiri tidak selalu dihormati, sebab apabila ada musim kemarau berkepanjangan, maka para petani mengadakan upacara “menjemur naga” yang dibuat dari tanah liat untuk "membalas dendam" atau "mendemo" sang Naga yang tidak mau menurunkan hujan.
"Tanjidor"
Pawai "Cap-Go-Meh"ini juga kurang lengkap jika tanpa diiringi oleh para pemain musik "Tanjidor" yang menggunakan instrument musik trompet, tambur dan bajidor (bedug).
Orkes ini sudah dikenal sejak abad ke 18. Konon Valckenier gubenur Belanda pada saat itu sudah memiliki rombongan orkes Tanjidor yang terdiri dari 15 orang pemain musik. Tanjidor biasanya hanya dimainkan oleh para budak-budak, oleh sebab itulah musik Tanjidor ini juga sering disebut sebagai "Sklaven Orkest“.
Lontong "Cap-Go-Meh" , Onde-Onde dan Kue Keranjang
Ketika "Cap-Go-Meh", orang-orang membawa persembahan berupa kue keranjang dan melakukan sembahyang kue keranjang untuk mengucap syukur dan memohon keselamatan. Karena orang zaman dulu sangat percaya kalau anak kecil tidak memakan kue keranjang, matanya bisa belekan, sehingga, masih banyak orang yang membawa persembahan kue keranjang ketika "Cap-Go-Meh". Setelah itu, pastinya ada acara makan kue keranjang yang bisa dimakan langsung atau digoreng. Kue keranjang juga boleh dibagi-bagikan secara gratis untuk warga sekitar.
Kebiasaan yang lain dalam merayakan Cap Go Meh dewasa ini adalah makanan yang khas dan joss rasanya, seperti: "Lontong Cap Go Meh." Ada juga kue Onde-onde yang dimakan ketika "Cap-Go-Meh" dan biasanya dibuat ramai-ramai oleh seluruh anggota keluarga, terutama wanita dan anak-anak.
=========
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)


TAMBAHAN
3A.Asal Usul Cap Go Meh (Hari Raya Yuan Xiao Jie)

Di Indonesia, Hari Raya Yuan Xiao lebih dikenal dengan sebutan Hari Raya “ Cap Go Meh ” yang artinya adalah malam ke-15 Tahun Baru Imlek. Bulan Pertama (Zhen Yue [正月]) dalam penanggalan Imlek disebut juga dengan istilah “Yuan Yue [元月]”.
Dalam bahasa Mandarin, Malam disebut juga dengan istilah “Xiao [宵]”. Jadi Yuan Xiao artinya adalah Malam dengan Bulan Purnama pertama dalam Tahun yang baru. Festival “Yuan Xiao” disebut juga dengan Festival “Shang Yuan [上元节]”.
Perayaan Festival Yuan Xiao atau perayaan Cap Go Meh sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu saat Dinasti Han. Pada saat itu, sebagian besar rakyat dan bangsawan serta kaisar adalah beragama Buddha yang kemudian mengetahui bahwa setiap Bulan Pertama Tanggal 15 Imlek para Bhikkhu akan melakukan penyalaan pelita untuk menghormati Buddha, maka Kaisar “Han Ming Di [汉明帝]” yang berkuasa saat itu memerintahkan untuk menyalakan Pelita di Istana dan juga semua Vihara untuk menghormati Buddha. Kaisar kemudian juga memerintahkan rakyatnya untuk menggantungkan Lentera atau Lampion atau menyalakan Pelita di rumah masing-masing untuk menghormati Buddha.
Dalam Agama Buddha, Bulan Pertama tanggal 15 Imlek juga diperingati sebagai hari suci “Magha Puja” yaitu hari berkumpulnya 1250 arahat pada waktu yang bersamaan tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu untuk mendengarkan pembabaran Dhama dari Sang Buddha Sakyamuni, semua Arahat adalah Ehi Bhikku yang artinya adalah ditabhiskan oleh Buddha Sakyamuni sendiri.
Dalam Agama Tao [道教], terdapat istilah San Yuan Shuo [三元说] yang terdiri dari Festival “Shang Yuan Jie [上元节]” yakni jatuh pada tanggal 15 bulan pertama Imlek, Festival “Zhong Yuan Jie [中元节]” yang jatuh pada tanggal 15 bulan 7 Imlek dan “Xia Yuan Jie [下元节]” yang jatuh pada tanggal 15 bulan 10 Imlek. Mereka masing-masing bertanggung jawab atas Langit, Bumi dan Manusia. Tanggal 15 bulan Pertama adalah Shang Yuan Jie yang juga bertanggung jawab atas Langit, memiliki makna sukacita. Pada hari tersebut juga harus menyalakan Lampu Pelita.
Dalam perkembangannya, penyalaan lampu pelita di Dinasti Han hanya satu hari, sampai pada Dinasti Tang menjadi 3 hari, Dinasti Song menjadi 5 hari, Bahkan saat Dinasti Ming, perayaan penyalaan Lampu Pelita ini dimulai pada hari ke-8 sampai hari ke-17 bulan pertama Imlek (tepat 10 hari). Pada Dinasti Qing, Perayaan Festival Yuan Xiao dipersingkat menjadi 4~5 hari, tetapi bentuk perayaan diperbanyak seperti adanya kegiatan barongsai dan tarian Naga.
Terdapat beberapa cerita dan dongeng mengenai asal usulnya Festival Yuan Xiao (Cap Go Meh), diantaranya adalah Cerita tentang penyalaan Lampu dan Pemberantasan pemberontrakan keluarga Lv di Dinasti Han.


3B.Cerita tentang Penyalaan Lampu
Pada zaman dulu, banyak terdapat raksasa dan binatang buas yang sering menganggu umat Manusia. Oleh Karena itu, masyarakat saat itu membentuk pasukan untuk mengusir raksasa dan binatang buas tersebut.
Suatu hari, seekor burung dewa tersesat dan jatuh ke bumi sehingga tidak sengaja dibunuh oleh para pemburu binatang buas tersebut. Kaisar Langit mengetahuinya dan sangat marah sekali yang kemudian memerintahkan para tentara langit untuk menghukum umat manusia dengan cara membakar bumi pada tanggal 15 bulan pertama penanggalan Imlek.
Seorang Putri dari Kaisar Langit yang sangat berbaik hati sangat sedih dan tidak tega melihat umat manusia yang tidak bersalah mengalami penderitaan tersebut. Putri tersebut secara diam-diam turun ke bumi untuk memberitahukan perintah kaisar langit tersebut kepada umat manusia.
Orang-orang yang mendengarkannya sangat panik dan takut sekali, beberapa saat kemudian seorang penatua mengeluarkan suatu ide agar setiap rumah menyalakan lampu, petasan dan kembang api pada hari ke 14, 15 dan 16 bulan pertama penanggalan Imlek untuk mengelabui Kaisar langit. Dengan demikian, Kaisar Langit akan mengira bahwa bumi sedang mengalami kebakaran dan ledakan.
Semua orang menyetujui ide tersebut dan melakukan persiapan masing-masing. Pada malam ke 15 bulan pertama saat Kaisar langit melihat ke bumi, Kaisar Langit melihat bumi terang benderang seperti benar-benar terjadi kebakaran dan juga terdengar suara ledakan selama 3 hari berturut-turut. Dengan demikian, masyarakat saat itu dapat selamat dari musibah kebakaran tersebut dan dapat melindungi harta benda mereka dari bencana.
Untuk memperingati keberhasilan tersebut, pada tanggal 15 bulan pertama Imlek, setiap keluarga menyalakan lampu dan memasang lentera dirumahnya serta membunyikan petasan dan kembang api.

3C.Keberhasilan Pemberantasan Pemberontakan Keluarga Lv [吕].
Pada Dinasti Han, setelah wafatnya Kaisar Han Gao Zu [汉高祖] (kaisar pertama Dinasti Han, Liu Bang), putra dari Permaisuri Lv [吕后] yang bernama Liu Ying [刘盈] naik tahta menjadi kaisar dengan gelar Kaisar Han Hui Di [汉惠帝]. Tetapi Kaisar Han Hui Di sangat lemah dan sifatnya yang pengecut dan ragu-ragu menyebabkan kekuasaannya jatuh ke tangan Permaisuri Lv [吕后].
Setelah Kaisar Han Hui Di wafat, kekuasaan sepenuhnya diambil alih oleh Permaisuri Lv, banyak jabatan tinggi diduduki oleh keluarga Lv. Para menteri dan pejabat tinggi Dinasti Han sangat marah, sedih dan kuatir akan Dinasti Han yang semestinya adalah milik keluarga Liu, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Permaisuri Lv.
Setelah wafatnya Permaisuri Lv, Pejabat-pejabat keluarga Lv yang dulunya mendapat dukungan penuh dari Permaisuri Lv merasa kuatir dan terancam. Mereka yang dipimpin oleh Jenderal Lv Lu [吕禄] merencanakan untuk merebut kekuasaan kerajaan Dinasti Han.
Perencanaan rahasia tersebut akhirnya terdengar oleh Liu Nang yang saat itu menjabat sebagai Raja Qi. Untuk melindungi Dinasti Han dari pemberontakan tersebut, Liu Nang memutuskan untuk melakukan penyerangan terhadap keluarga Lv dan kelompoknya.
Setelah berhasil memberantas pemberontakan ini, anak kedua dari Kaisar Han Gao Zu yang bernama Liú héng [刘恒] naik tahta menjadi Kaisar Dinasti Han dengan gelar Han Wen Di [汉文帝].
Untuk memperingati keberhasilan ini, Kaisar Han Wen Di memerintahkan untuk melakukan perayaan pada tanggal 15 bulan pertama Imlek, Setiap keluarga di Ibukota diharuskan untuk menggantungkan Lentera, menyalakan lampu dan melakukan pesta yang meriah di seluruh sudut Ibukota.
=====
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar