Ads 468x60px

Minggu, 19 Februari 2017

Hari Minggu Biasa 7 A
Im 19:1-2.17-18; 1 Kor 3:16-23; Mat 5:38-48

"Via Sanctitas - Jalan Kekudusan."
Inilah pesan yang ditampilkan secara khusus pada bacaan hari ini. Pada dasarnya kita adalah kudus sebab kita diciptakan dalam keadaan yang amat baik (Kej 1:31) dan karena Tuhan Allah kita adalah kudus (Im 19:2) dan Yang Kudus itu berkenan tinggal di dalam kita (2 Kor 3:16).

Adapun Yesus memberikan dua cara supaya kita bisa selalu memiliki kekudusan, antara lain:

1."Mengasihi": 
Kita diajak untuk menjadi sempurna (Yun: teleoi, utuh-bulat/tak terbagi), kasih menjadi praksis iman seperti tampak real dalam kitab Imamat: "jangan membenci- jangan menuntut balas- jangan menaruh dendam". Ajakannya jelas: "Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri". Yang menjadi alasan kasih adalah karena Allah itu adalah Kasih.

2."Mengampuni": 
Walaupun kadang disakiti/dilukai bahkan oleh orang seiman dan seperjalanan, kita tetap diajak untuk iklas dan berhati besar menjadi "matahari" yang hangat dan "hujan" yang sejuk bagi semua, termasuk bagi "musuh" dengan mengampuni dan mendoakannya (Mat 5:44). Sangat sulit karena secara manusiawi, kita sangat terluka dan tidak suka dengan orang yang banyak merugikan hidup kita.

Dengan kata lain: dua "KADO" ("KAsihi musuhmu dan DOakan orang yang membenci kamu") ini memerlukan latihan nyata setiap hari karena dunia harian kita penuh dengan hukum balas dendam (ius talionis): "mata ganti mata-gigi ganti gigi-tangan ganti tangan-kaki ganti kaki-lecur ganti lecur-luka ganti luka-bengkak ganti bengkak" (Kel 21:24-25). Kita lupa bahwa jika prinsip balas dendam "mata ganti mata" dipakai maka akhirnya kedua pihak akan sama sama buta bukan?

Disinilah rantai balas dendam/spiral kekerasan ini harus diputus dengan keberanian dan keiklasan untuk mengasihi dan mengampuni. Atau jangan-jangan kita yang malahan pernah menyakiti hati orang sehingga mereka menjadi sulit mengasihi dan mengampuni?

"Ada Silalahi ada Sibarani -Mari saling mengasihi dan mengampuni!"

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)


NB:

A.Mengampuni Kendati Terluka

01. Sabda Tuhan hari ini merupakan kelanjutan perikop minggu lalu yakni penyempurnaan Yesus terhadap hukum Taurat, merupakan antitesis kelima yang membahas tentang balas dendam, yaitu larangan untuk membalas kejahatan (ay. 38-42) danantitesis keenam yang berisi perintah untuk mengasihi musuh (ay. 43-48). Sebenarnya ketentuan “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” (ay. 38) yang dikutip dari Kel 21:24, Im 24:20 dan Ul 19:21 hanya dipakai sebagai pedoman dalam forum pengadilan untuk menyelesaikan kasus perseteruan yang menyebabkan cacat fisik dengan maksud untuk mencegah balas dendam yang tidak proporsional dan main hakim sendiri sebagaimana dilakukan oleh Lamekh dalam Kej 4:23. Emosi yang meluap-luap karena kebencian dan dendam bisa membuat manusia kehilangan pikiran yang jernih sehingga melakukan tindakan yang tidak terkontrol dan di luar batas kewajaran.

02. Kata “melawan” (Yun. anthistemi) pada ay. 39 dalam tulisan-tulisan rabbinis dipakai dalam konteks proses pengadilan. Maksudnya melawan gugatan orang-orang jahat di pengadilan yang dilakukan dengan maksud jahat pula. Perlawanan itu bisa berwujud gugatan balik. Larangan untuk melawan tindakan jahat dalam ay. 39 ini tidak dimaksudkan untuk menghentikan perlawanan terhadap tindak kejahatan secara umum tetapi larangan terhadap tindakan balas dendam terhadap musuh dalam konflik pribadi. Larangan itu juga tidak ditujukan kepada para penegak hukum tetapi untuk para murid dalam konteks kehidupan bersama sehari-hari. Maksudnya para murid jangan sampai terjebak dalam lingkaran balas dendam yang kejam dan tak terkendali. Kejahatan justru akan menjadi semakin subur dengan balas dendam tetapi sebaliknya kejahatan akan kehilangan dayanya bila dihadapi dengan pengampunan dan belas kasih. Dengan kata lain kuasa jahat tidak akan berkembang dan merajalela bila dihadapi dengan cara-caranon-violence.

03. Dalam budaya Timur Tengah menampar pipi bukan pertama-tama merupakan tindak kekerasan tetapi sebuah bentuk penghinaan yang paling kasar dan sangat merendahkan, apalagi tamparan dengan tangan sebelah luar. Dengan memberikan pipi kiri maksudnya meskipun para murid menerima penghinaan yang paling kasar dan memalukan sekali pun tidak boleh berpikir untuk membalasnya. Sekali lagi, dengan ilustrasi itu Yesus tidak mengajarkan kita untuk bersikap pasif terhadap kejahatan atau ketidakadilan dan acuh tak acuh terhadap kebaikan, kebenaran dan kesucian. Tentu saja tidak! Justru sebaliknya, untuk mengalahkan kejahatan para murid harus memakai strategi yang jitu yakni dengan mematahkan rantai balas dendam, dengan mengampuni dan melakukan kebaikan terhadap musuh. Anjuran yang sama pernah diberikan oleh penulis Kitab Amsal, “Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu.” (Ams 25:21-22). Untuk menggemakan ajaran Yesus agar memutus rantai balas dendam, St. Paulus menasehatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rom 12:19-21).

04. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari, selain memakai baju (Yun. chiton) yaitu pakaian tipis yang panjangnya sampai ke lutut,seorang pria Yahudi juga memakai mantol (Yun. himaton) yang panjangnya sampai ke mata kaki dan berfungsi baik sebagai pakaian luar maupun untuk selimut di malam hari. Baju dalam ini sangat diperlukan untuk melindungi tubuh. Baju itu hanya boleh diminta bila seseorang dijual sebagai budak (lih. Kej 37:23). Maka meminta baju merupakan penghinaan yang berlebih-lebihan dan sangat merendahkan karena memperlakukan seseorang sebagai budak. Meskipun demikian Yesus menganjurkan agar para murid mau memberikannya bila diminta. Bahkan kalau perlu jubah luar juga diberikan (ay. 40). Dalam Perjanjian Lama, jubah luar merupakan kebutuhan dasar yaitu sebagai selimut untuk melindungi tubuh dari cuaca yang ekstrem di malam hari, maka tidak boleh digadaikan atau pun sebagai jaminan hutang piutang, “Jika engkau sampai mengambil jubah temanmu sebagai gadai, maka haruslah engkau mengembalikannya kepadanya sebelum matahari terbenam, sebab hanya itu saja penutup tubuhnya, itulah pemalut kulitnya -- pakai apakah ia pergi tidur? Maka apabila ia berseru-seru kepada-Ku, Aku akan mendengarkannya, sebab Aku ini pengasih." (Kel 22:26-27; Ul 24:12-13).

05. Anjuran Yesus dalam ay. 41 harus dibaca dalam konteks zaman-Nya. Pada saat itu Palestina dijajah oleh kekaisaran Roma. Seorang serdadu Roma boleh memaksa orang Yahudi untuk memikul barang-barangnya sebagai porter sejauh 1 mil atau seribu langkah (mungkin sekitar 1,5 Km). Simon dari Kirene dipaksa oleh para serdadu untuk memikul salib Yesus (lih. Mat 27:32 par). Yesus menganjurkan bila para murid dipaksa seperti itu, hendaklah melakukannya dengan ikhlas. Tidak menggerutu dan terpaksa. Bahkan kalau perlu berjalan lebih jauh, melampaui tuntutan yang diperbolehkan. Pikiran dan perasaan kita sangat mempengaruhi penghayatan dan kualitas kerja. Bekerja dengan tidak ikhlas akan berdampak pada buruknya kualitas kerja dan hasil akhirnya. Namun sebaliknya, pekerjaan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan akan menumbuhkan semangat dan kegembiraan.

06. Ungkapan “meminta” dan “meminjam” dalam ay. 42 nampaknya dipakai untuk menunjuk pada keadaan yang dialami oleh orang-orang miskin yang karena kemiskinannya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menggantungkan hidup pada pemberian atau pinjaman orang lain. Kesediaan untuk memberi dengan ikhlas dianjurkan juga dalam Hukum Taurat, “Jika sekiranya ada di antaramu seorang miskin, salah seorang saudaramu di dalam salah satu tempatmu, di negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, maka janganlah engkau menegarkan hati ataupun menggenggam tangan terhadap saudaramu yang miskin itu, tetapi engkau harus membuka tangan lebar-lebar baginya dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup untuk keperluannya, seberapa ia perlukan.” (Ul 15:7-8). Esensi kesempurnaan yang menjadi tujuan hidup setiap orang adalah memberi. Yang menjadi acuan kesempurnaan adalah karya Allah Sang Pencipta Kehidupan. Allah Bapa sebagai Pencipta dan Sumber kehidupan adalah Sang Maha Pemberi, selalu memberi kepada siapapun tanpa pilih kasih dan tidak peduli apakah orang itu baik atau jahat (ay. 45).

07. Antitesis keenam atau terakhir dalam Kotbah di Bukit berisi perintah untuk mencintai musuh. Struktur kalimat kelima antitesis sebelumnya selalu diawali dengan kutipan dari Kitab Pentateukh. Meskipun dalam antitesis keenam ini juga diawali dengan kutipan yang seolah-olah diambil dari Kitab Pentateukh, namun tidak ada satu ayat pun dalam Pentateukh yang berisi perintah secara langsung untuk membenci musuh. Meskipun demikian kita dapat menemukan beberapa ayat yang senada dengan “kutipan” itu. Misalnya, “TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka.” (Ul 7:2). Kendati tidak langsung dan to the point untuk membenci musuh, namun selain teks itu, ada beberapa teks Perjanjian Lama yang berisi ajakan cukup keras dan kasar dalam memperlakukan musuh, seperti Ul 20:13-18; 23:3.6; Yes 13-23; Mzm 137:7-9; 139:19-22. Karena itu meskipun Sabda Yesus itu bukan merupakan kutipan langsung sebuah ayat namun mencerminkan semangat dasar beberapa ayat, pedoman tindakan yang dianggap bernilai oleh orang-orang sezaman-Nya. Apakah “musuh” yang dimaksud di sini merupakan musuh pribadi, musuh dalam hidup beriman, atau musuh bangsa? Tidak ada jawaban yang jelas untuk pertanyaan itu. Masih menjadi perdebatan di antara para ekseget. Namun kemungkinan besar yang dimaksudkan adalah musuh pribadi karena contoh-contoh yang diberikan (mis. penganiayaan, salam) menunjuk pada orang-orang yang sering dijumpai secara pribadi dalam kehidupan bersama.

08. “Mencintai” musuh yang diajarkan Yesus dalam ay. 44-45 ini tidak mengacu pada masalah rasa perasaan, emosi, simpati atau daya tarik afektif karena (i) contoh yang diberikan merupakan tindakan, bukan perasaan meskipun sikap itu tidak bisa lepas dari pikiran dan perasaan; (ii) kata Yunani yang dipilih adalah agapao, bukan phileo (distingsi itu terus dipertahankan dalam seluruh Injil Mateus). Nampaknya Mateus memahami bahwa “cinta” yang dimaksudkan di sini adalah kehendak baik dan concern yang secara aktif mesti diupayakan perwujudannya (agape) dan bukan afeksi spontan yang muncul dalam hati (philia). Tentu saja cinta kepada musuh berbeda dan tidak identik dengan cinta kepada orangtua, suami atau isteri, atau kepada sahabat dekat. Mencintai musuh bukanlah idealisme yang konyol dan ngayawara tetapi merupakan cara yang terbaik untuk mengubah permusuhan menjadi persaudaraan. Untuk menumbuhkan rasa cinta itu membutuhkan prasangka baik. Mulai dengan positive thinking dan positive feeling. Pikiran dan perasaan yang positif akan menumbuhkan sikap positif pula. Dari sikap positif itu terpancarlah cinta, kebaikan, kebahagiaan, kesehatan dan gairah hidup. Demikianlah, prasangka baik akan menumbuhkan tindakan baik dan sebaliknya, tindakan baik akan membuahkan prasangka baik.

09. Dalam ay. 46 Yesus mengajukan pertanyaan retoris: Apakah upahmu? Dengan pertanyaan itu Yesus mengingatkan bahwa mencintai orang yang mencintai kita itu merupakan hal yang mudah dan semua orang bisa melakukannya. Kalau kita mencintai orang yang mencintai kita akibatnya kita hanya akan bertumbuh dalam cinta manusiawi tapi bila kita mengasihi musuh kita akan bertumbuh dalam kasih Ilahi. “Kesempurnaan” yang mestinya menjadi arah hidup para murid (ay. 48) bukanlah kesempurnaan ontologis seperti yang dipikirkan dalam filsafat Yunani. Bukan pula kesempurnaan moral atau ketidak-berdosaan karena Yesus tahu bahwa hal itu tidak mungkin dicapai mengingat manusia itu punya sisi gelap (bdk. Mat 7:11; Luk 11:13). “Kesempurnaan” (dalam Injil Lukas 6:36 dipakai kata “murah hati”) yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah keutuhan, totalitas, tak terbagi. Sebagaimana Bapa mencintai semua manusia tanpa kecuali, entah yang baik atau pun yang jahat, demikian pula kasih kita kepada semua sesama manusia: utuh, penuh, total, tak terbagi.

10. Ketika merasa dirugikan, dikhianati, ditipu, ditolak atau dihina reaksi yang muncul secara spontan adalah marah, sakit hati dan ingin membalas dendam. Dendam atau luka batin bagaimana pun juga merupakan racun yang merugikan diri sendiri. Karena itu kita sering mendengar ungkapan: “Dendam itu artinya kita yang meminum racun tetapi mengharapkan orang lain yang mati”. Memaafkan orang yang melukai hati itu bukan perkara mudah bergantung pada tingkat luka batin yang diderita, sikap pelaku, gengsi, karakter individu yang terluka (pendendam atau pengampun). Tetapi apapun alasannya, tidak memberi maaf dan meminta maaf akan menjadi duri dalam batin bagi yang terluka. Ketidakmauan mengampuni (unforgiveness) dapat menjadi faktor resiko munculnya pelbagai penyakit karena emosi negatif yang muncul berulang-ulang akan meningkatkan produksi adrenalin dan kortisol yang merugikan tubuh. Kemarahan dan kebencian yang dilampiaskan kepada orang kita anggap merugikan akan ditanggapi dengan sikap serupa. Akibatnya kita akan terjebak dalam lingkaran balas dendam. Mahatma Gandhi mengatakan, “If we practice an eye for an eye and a tooth for a tooth, soon the whole world will be blind and toothless”. Memaafkan tidak hanya membebaskan orang yang bersalah, tetapi juga membebaskan diri kita dari kelumpuhan. Inilah mukjizat pengampunan. Mengampuni itu menyembuhkan, membuka hati, melepaskan emosi yang tersumbat, dan mengalirkan daya hidup. Pepatah mengatakan, “Ketika memutuskan untuk berdamai, kita membuat jalur hati menuju cinta tanpa syarat kepada sesama. Cinta tanpa penghakiman itu merupakan awal kebebasan batin”.
Berkah Dalem.


B.Teks Bacaan Injili: Mat 5:38-48
5:38 Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. 5:39 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. 5:40 Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. 5:41Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. 5:42 Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. 5:43 Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. 5:44 Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. 5:45 Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. 5:46 Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? 5:47 Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? 5:48 Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar