Ads 468x60px

PESAN KEBANGSAAN CAK NUR UNTUK AHOK / BASUKI TJAHAYA PURNAMA


Intermezzo dari Jendela Sebelah:
PESAN KEBANGSAAN CAK NUR UNTUK AHOK / BASUKI TJAHAYA PURNAMA
Cak Nur pernah menegaskan pentingnya sekularisasi di Indonesia. Maksudnya pembedaan antara tugas agama dan negara. tujuannya agar tidak terjadi politisasi sebagaimana yang saat ini terjadi di Jakarta. Di mana agama telah dimanipulasi demi kepentingan politis.
Sekularisasi yang dimaksudkan agar fungsi keduanya (agama dan negara) bisa berjalan sinergi beriringan. Agama penopang wilayah-wilayah etis moralitas keumatan. Sedangkan negara mengemban amanah mewujudkan hak-hak sipil politik dalam mewujudkan keadilan sosial yang merata.
Pesan Cak Nur ini sangat dipahami oleh Ahok. Ahok tidak pernah menjadikan agama berperan dalam urusan-urusan politiknya. Justru Ahok merangkul semua umat beragama untuk menjunjung tinggi pentingnya toleransi antar umat beragama.
Sebenarnya Cak Nur sudah mengingatkan sejak lama, bahaya jika agama dan negara bercampur dalam urusan konstitusional. Sangat rawan terjadinya politisasi. Kewaspadaan ini terbukti kini kelompok intoleran (radikal) membuat gerakan politik untuk merebut kekuasaan. Membuka pintu politisasi agama kepada kelompok intoleran sama saja menyerahkan kebangsaan kita kepada mereka.
Itulah kenapa Cak Nur menegaskan, “Islam Yes, Partai Islam No!” Islam sebagai agama memiliki tugas penting menata wilayah keumatan membentuk karakter kebangsaan. Bukan sebagai partai politik. Karena jika Islam sebagai partai maka rawan manipulasi, politisasi. Belum lagi akan mencampuri hal-hal konstitusional yang menyangkut kehidupan umat beragama di Indonesia.
Apalagi Indonesia adalah negara pancasila. Pancasila itu final. Cak Nur sering menegaskan bahwa pancasila adalah satu-satunya ideologi bangsa. Tidak ada pertentangan antara keduanya, antara agama (Islam) dan negara. Negara menjamin hak-hak umat beragama, sebagaimana bunyi sila pertama.
Pancasila itu pondasi dasar kebangsaan. Kini semua warga negara bahkan warga agama wajib merawat nilai-nilai pancasila sebagai pandangan hidup. Melalui pemahaman bersama tentang pentingnya nilai-nilai pancasila maka menjaga kebangsaan adalah tugas bersama, merawat kebhinekaan, hidup dalam keberagaman.
Ahok merepresentasikan nilai-nilai yang diajarkan Cak Nur. Ahok tampil sebagai gubernur Jakarta bukan karena agama namun karena demokrasi. Ahok merangkul dalam keberagaman, terbukti Ahok selalu menjaga toleransi antar umat beragama.
Ahok paham betul mengenai pentingnya merawat nilai-nilai pancasila. Melalui keteladanan Ahok kepada tokoh-tokoh bangsa, bahkan ulama keIndonesiaan, Ahok menjunjung tinggi pentingnya saling menghargai. Yang pasti Ahok toleran kepada keragaman dan sama sekali tidak toleran kepada kelompok intoleran.
NB:
A HIDDEN TRUTH AT PARAMA .... ! MEMBONGKAR KEDOK HITAM SENGKUNI YANG NAFSU JADI GUBERNUR DKI
Oleh: Lover’snya Cak Nur
Kembali saya ingin menulis kesaksian tentang Anies Baswedan, sahabatku yang kini sedang menggelorakan nafsunya untuk jadi gubernur DKI. Mengapa saya juga bergairah tinggi menyajikan kedok dan topeng sahabatku ini?Padahal, sudah sering saya dibully dan dianggap memakan bangkai saudara seagama. Tentu banyak alasan, pertama, sejak saya membongkar kedok hitam Anies saat mau ikut konvensi Partai Demokrat, sekian orang juga mulai bernyali menyajikan fakta & data prilaku dan watak culas sosok yang menipu publik dengan sihir wajah, kata dan kalimatnya bagai motivator pesohor yang dulu sering muncul di TV. Anies-ternyata- tidak seindah wajah dan kuah kata dan kalimat dari lisannya. Wataknya mengenaskan. Kedua, Anies politisi yang nyaman menjual murah ideologi dan integritas dirinya demi politik dan kuasa. Ketiga, Anies merupakan tangan politik dari limbah otoriterianisme agama dan politik.
Sejak 2014 saya menolak manifesto politik Gerindra-PKS yang puritan, ortodoks dan konservatif. Lebih-lebih bergabung FPI, HTI dan FUI. Ormas-ormas yang identik dengan nafsu islamisme dan radikalisme. Padahal sampai kini, formalisme Islam sebagai negara tak terbukti menjanjikan kedamaian, kesejahteraan dan keharmonisan dengan gerak jaman dan fakta kebhinekaan kehidupan. Bila ingin baldatun warabbun ghafur, negeri gemah ripah loh jinawi, tegakkan Islam sebagai nilai-nilai rahmatan lil alamin dan spirit berkemajuan.
Saya kenal Anies Baswedan saat dia baru pulang dari Amerika, dan dia mulai berkiprah di Indonesian Institute. Saat itu, tahun 2004-2005, saya sebagai Direktur Pusat Studi Islam Paramadina Tentu awalnya terpesona. Gimana tidak: dia doktor politik, ganteng, pintar, santun dan bicaranya tertata rapi dan emosinya terkendali. Tiap kali menyiapkan TOR dan flyer Klub Kajian Agama (KKA) bertema politik, saya menemuinya. Diskusi dan minta dia merevisi tulisan saya.
Suksesi Rektor Universitas Paramadina
Pasca wafatnya Cak Nur, pendiri, peletak visi, misi dan api gerakan pembaharuan pemikiran keislaman Indonesia, terjadinya kekosongan posisi Rektor Universitas Paramadina. Berat mendapatkan sosok sekualitas & selevel Sang Guru Bangsa ini. Berbasis tauhid, nilai dan esensi Islam, beliau berijtihad menemukan gagasan dan pemikiran untuk menopang masa depan bangsa Indonesia. Gagasan yang menginspirasi publik untuk menerima dan mengayomi fakta & takdir IIahi atas kebangsaan dan kebhinekaan. Sepotong surga bernama Indonesia.
Gerak dan kegiatan kampus Universitas Paramadina dijalankan oleh Pejabat Sementara (Pjs), yaitu Sudirman Said (mantan Menteri ESDM, kroni Wapres Jusuf Kalla). Karena kesibukannya tinggi, atas persetujuan anggota Dewan Pembina dan Yayasan diangkat Pjs lain, yaitu Dr. Shohibul Iman (Kini Presiden PKS). Saat itulah terjadi keriuhan yang meresahkan murid dan sahabat Cak Nur. Ada apa? Kader-kader paham Wahabi dan simpatisan partai yang mengklaim partai dakwah ini sesumbar: “ Paramadina sudah kita taklukkan”. Kelak, Anies Baswedan saat mengemis dukungan di markaz FPI melontarkan ucapakan semodel. “Saya sudah padamkan apinya”, katanya dengan arogan. Astagfirullah, durhaka dia kepada lembaga yang ditungganginya selama 10 tahun jadi rektor.
Dalam AD/ART Yayasan, pemilihan rektor dilakukan atas prinsip demokratis melalui proses suara senat guru besar. Dan pengesahan dan pengangkatan rektor pun atas restu Yayasan. Dalam jajaran rektorat, ada Dr. Yudi Latif. Sebelum di Paramadina, pengamat politik ini adalah peneliti dan akademisi di LIPI. Atas ajakan dan kharisma Cak Nur, Yudi bergabung dan nawaitu mengabdikan hidupnya di Universitas Paramadina. Yudi diberi amanat sebagai Purek III.Dia mengabdikan diri dan menunjukkan prestasi dan berkeringat deras. Wajar bila senat dan para dosen mendukung penuh. Yudi memperoleh suara signifikan. Namun, pelantikan sebagai Rektor Universitas Paramadina tak kunjung datang. Apa pasalnya?
Suara mayoritas senat guru besar dimentahkan oleh Pengurus Yayasan. Ada aroma politisasi ditingkat struktur Yayasan. Sekian orang tidak menghendaki Yudi Latif jadi Rektor. Maka hebohlah Paramadina. Sebelum Yayasan memilih Anies, sempat diangkat salah seorang pengurus Yayasan. Tapi terjadi lagi ketidaksepakatan di kalangan para anggota pendiri Yayasan. Terjadilah pemilihan lagi dengan voting. Saat itu saya di Yayasan ikut mengelola suara anggota yang absen dan memberikan surat kuasa kepada pihak-pihak yang segaris pemikiran. Ringkas kisah, dalam suasana heboh dan kondisi sengkarut itu, Anies ditampilkan dan dipilih sebagai rektor.
Setelah Anies terpilih, ia tidak langsung dilantik. Orang-orang dekat dan keluarga Cak Nur melihat ada pelanggaran prinsip dan nilai-nilai yang dikembangkan Cak Nur. Ibu Omi Komaria Madjid, istri almarhum tidak merestui Anies.”al-ibaratu fi al islami bi al amali la bi al nasabi”, apresiasi atau penghargaan dalam Islam itu berbasis karya atau amal. Bukan berdasar sekadar keturunan semata. Karenanya, setiap orang mesti berkeringat dan berpeluh kinerja dan karya dulu. Belum punya karya dan amal apa-apa di Paramadina, kok langsung jadi rektor. Buktikan prestasi dan berkarya dulu!
Seingat saya, Anies sebagai orang baru dan belum berkeringat di Paramadina, saat itu galau dan gamang. Dia butuh restu Bu Omi. Dalam kondisi deadlock itu, karena saya kenal baik dengan Anies berpikir jalan tengah dan solusi. “Mas Anies, urusan Bu Omi saya akan lakukan lobbi-lobbi asalkan Purek 1 untuk kader-kader Cak Nur”, omongan saya padanya. “Siapa mas orangnya”, tanya Anies pada saya. Saya menyebut satu nama yang Anies mengenalnya. Anies cocok dan deal dengan nama itu. Maka, saya bergerak melobbi dan membawa Anies roadshow ke orang-orang Cak Nur dan Bu Omi. Tak lama Anies Baswedan dilantik sebagai Rektor Universitas Paramadina.
Pasca pelantikan, saya tagih Anies deal politik tanpa MoU itu. Komitmenkah Anies Baswedan? Sama sekali tidak. Ternyata Anies ingkar janji dan abai kesepakatan itu. Saya masih ingat omongan Anies: “Tidak mas. Saya akan menegakkan good governance dan anti KKN di Paramadina”, itu yang disampaikan kepada saya. Apa responnya saya?Tak memperpanjang tuntutan. Saya paham watak leadership, kepemimpinan. Pasti cari dan mengajak orang dan teman-teman se-visi-misi, cocok selera dan yang bisa mendukung, menjalankan kebijakan dan mengamankan posisinya. Benarkah Anies Baswedan menegakkan semangat hebat dalam birokrasi itu?
Jauh dari konsisten dan amanah. Bagi saya Anies Baswedan itu munafik. Seperti panduan nilai dari Rasulullah, bahwa seseorang layak disebut hipokrit alias munafik bila melanggar 3 hal: Bila berkata ia berbohong, bila berjanji ia tidak menepati, bila diberi amanat dia khianat. Nah, Anies Baswedan menabrak ajaran Rasul itu. Apa yang dilakukan Anies?Dia membawa Purek I dan Purek III dan kepala biro di rektorat. Semuanya teman-teman karibnya. Koncoismenya parah. Coba dia tidak membual soal good governance dan anti KKN itu saya bisa menerima sikap dia. Jadi, saya lihat, bawaan oroknya Anies itu memang plintat-plintut. Dan, kelak kita banyak dapat berita aksi-aksi serupa dilakukan saat jadi anggota Tim Transisi Jokowi. Dan, kisah yang lebih bikin kita bilang: astaghfirullah berlangsung lebih parah saat jadi Menteri Pendidikan Nasional. Sudah baca kan kesaksian seorang pejabat eselon bahwa Anies itu KKN dan tidak cermat hal pertanggung jawaban dana publik terjadi. Gimana kabar lanjut dari dana Frankfurt Book Fair itu ya?
Setelah terpilih jadi rektor, Anies Baswedan nampaknya tidak ingin ada matahari kembar di Universitas Paramadina. Orang-orang Cak Nur di rektorat dan fakultas digiring tidak nyaman. Yudi Latif disingkirkan. Kok bisa? Sempat tersiar dia dipecat. Buru-buru Anies membuat klarifikasi yang tidak juga clear. Ia bilang Yudi tidak dipecat. Memang tidak dipecat. Yudi Latif mengundurkan setelah pihak rektorat tidak pernah menghubunginya dan mengabaikan hak-haknya sebagai Purek III dan sebagai dosen yang sah di Paramadina.
Anies Baswedan besar dan tumbuh di Jogja dan UGM. Secara akademis dan intelektual tidak terekam connect dengan gagasan dan pemikiran Cak Nur. Dalam perjalanannya sebagai rektor Anies membuat gerah dan tidak betah dosen dan fakultas Falsafah dan Agama. Fakultas ini trade-mark dan spesifikasi yang dirancang-bangun Cak Nur sebagai pembeda dari universitas lainnya di Indonesia. Apa yang Anies lakukan? Seingat saya, Anies mewacanakan pembubaran fakultas ini. Bahkan kerjasama bridging kebudayaan yang dilakukan Cak Nur dengan pusat kebudayaan Islam Iran di Inggris rontok dan gak berlanjut. Itu karena Anies tak punya visi kebudayaan Islam yang metropolitan. Mungkin karena tumbuh dalam tradisi al-Irsyad, teologi Anies memang puritan dan ortodoks.
Lebih jauh, entah disengaja atau tidak, terasa ada upaya membongkar jejak dan warisan Cak Nur di Universitas Paramadina. Salah seorang dosen yang dibuat tidak betah adalah Dr. Moqsith Ghazali. Banyak orang merasakan, ada langkah dan proses: Paramadina is not Cak Nur. Publik juga bertanya penganugerahan 100 tokoh intelektual publik dunia dari majalah Foreign Policy pada tahun 2008. Siapa sesungguhnya penerima anugerah itu? Kan Anies tak punya rekam jejak kerja-kerja kultural-akademis saat itu?!Hal lain, mahasiswa Falsafah & Agama mengeluh tidak ada dukungan dan dipersulit oleh rektorat untuk agenda-agenda berkaitan wacana-wacana keislaman yang inklusif, pluralisme, kebebasan akademis ke-Cak Nur-an dan keindonesiaan. Seingat saya, Purek 1 bawaan Anies alergi istilah dan wacana yang dikembangkan Cak Nur. Misalnya pluralisme dan inklusifisme. Padahal itu itu nilai dan isme untuk penopang masa depan keindonesiaan dan keislaman.
Ringkas kisah, Anies dan pureknya , tidak siap ramah dan tidak punya spirit dengan khittah pemikiran Cak Nur. Anies melakukan proses sterilisasi gagasan-gagasan keislaman pendiri lembaga. Wajar saja. Lha, jiwa intelektualnya tidak mengakar kepada neo-modernisme dan tradisionalisme Cak Nur. Sebab tidak punya kesejarahan intelektual dan bersentuhan langsung dengan pendiri Paramadina itu. Dan, kini publik tambah terperangah dan terganganga saat Anies menjual murah gagasan tenun kebangsaan yang pernah suarakannya, tak lebih dan sekadar polesan di bibir belaka. Sirna dan hanyut ditelan gelombang nafsunya untuk jadi gubernur DKI.
LAYAKKAH SENGKUNI JADI GUBERNUR DKI?
Kini publik mengenal Anies Baswedan tidak sebagai diduga sebelumnya. Bualan program yang ditawarkannya membingungkan. Kita ingat omongannya tentang rumah tanpa DP itu. Otoritas perbankan dan dunia properti pun menolaknya. Anies memang pengasong kata dan kalimat indah. Mirip Mario Teguh yang akhirnya tersungkur itu. Prilaku dan implementasinya tak seindah omongannya. Layakkah sang sengkuni jadi gubernur DKI?
Integritas dan moralitas Anies layak dipertanyakan. Modal untuk jadi gubernur tak lebih dari bualan kata dan kalimat indah. Itu pun luntur dan diralatnya dalam hitungan jam. Entah program apa yang mau ditawarkan?Ahok sudah melakukan semuanya. Untuk jabatan gubernur DKI ini, Anies tak lagi peduli integritas yang pernah diperjuangkan dengan sihir kata dan kalimatnya. Anies lebih buruk dari yang digambarkan Machiavelli kah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar