Ads 468x60px

IN TIME OF “TEROR & HOROR”



RE-POST:
IN TIME OF “TEROR & HOROR”
Never again!
Nunca más!
Jangan pernah terulang lagi!
1.Kekerasan mengingatkan bahwa kini kita hidup di “era korban”. Di satu sisi, kita mewarisi sejarah yang penuh dengan pengalaman brutal dengan korban. Di sisi lain, kita hidup pada masa ketika manusia dengan mudah mengorbankan orang lain demi memuaskan insting primitif mereka akan kekuasaan.
2.Kekerasan dengan aneka ria cerita korban tak cuma menghiasi buku-buku sejarah, tapi telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Ada banyak tragedi yang pernah terjadi dalam sejarah di masa lalu, tetapi dampak dan bekas goresannya masih bisa kita lihat sekarang. Holocaust di Eropa, kamp Gulag di Rusia, eksterminasi Bosnia-Herzegovina, hingga pembantaian ratusan ribu tertuduh komunis di Jawa adalah peristiwa-peristiwa traumatik yang tak cuma bagian dari masa lalu.
3.Kekerasan menjadi seperti sebuah spiral. Ia seperti bergerak tak putus-putus dari satu garis ke garis lain. Menyalakan api di sini, membubuhkan bara di sana.
4.Kekerasan menjadi seperti bakteri, ia merambah ke mana-mana dan, dengan atau tanpa sadar, membentuk cara pandang “kita” terhadap “mereka”.
5.Kekerasan, kata Emmanuel Levinas, bahkan bermula ketika kita memberanikan diri menyentuh Wajah sang lain, ketika terbersit kehendak untuk mengurai dan membiarkan kemisteriusannya tersingkap.
6.Kekerasan kadang bermula dari sini: hasrat keras untuk menaklukkan dan menguasai yang-beda. Inilah sesuatu yang “keras”, yang destruktif dalam diri manusia.
7.Kekerasan terjadi di masa ketika konon katanya peradaban manusia mencapai puncaknya. Nyatanya: kita, entah sendiri atau berbondong-bondong, melihat dengan telanjang betapa yang “keras”, yang destruktif itu begitu mudah muncul di mana-mana dan menyisakan luka dan “neraka” yang terbuka.
8.Kekerasan bukanlah drama biasa. Ia adalah kejahatan dalam bentuknya yang absolut, yang tak tertampik karena kekejiannya yang kadang amat menyengat dan sangat , entah verbal- entah fisikal.
9.Kekerasan terus ada dan mengada, karena meskipun konon tercipta sebagai makhluk yang tak bernoda dan fitri, ada sisi gelap dalam diri manusia yang dihuni oleh semacam ketakaburan. Dan dari sanalah kekerasan itu muncul.
10.Kekerasan berkembang dari ketakaburan bahwa ada yang “murni” dalam hidup, masyarakat, dan negara, yang harus dijaga agar tak terkontaminasi oleh yang-beda. Mereka melakukannya, sekali lagi, demi “kemurnian” ala mereka.
11.Kekerasan selalu punya alibi. Dan itu tak semata lahir dari kebencian. Ia juga berbiak dari ambisi untuk menertibkan, dari otoritas untuk mengatur dan menundukkan yang-beda.
12.Kekerasan karena itu tak akan pernah berhenti di Manchester, London, Prancis, Amerika, Mosul Irak, Alepo Suriah, Mesir, Turki, Belgia, Jerman dan Jakarta. Dalam kehidupan yang terus berputar, kita akan menemukan kekerasan itu terulang di tempat lain, kadang tidak jauh bahkan bisa jadi di sekitar rumah dan halaman kita
13.Kekerasan, mungkinkah ia berakhir? Jika setiap waktu terjadi kekerasan di mana-mana mungkinkah ia memiliki titiknya? Mungkinkah kita memutus mata rantai kekerasannya?
14.Kekerasan pada setiap ceritanya pasti membawa tumbalnya masing-masing. Disana ada korban yang terluka, yang celaka, yang berduka dan mengalami “neraka”, yang nahas dan buas. Dan luka korban itu bukan tak mungkin suatu waktu akan mengeras menjadi kebencian, bukan?
15.Kekerasan pada setiap ceritanya pasti juga bisa hadir sebagai “auto-imunitas”. Ia seperti tubuh, memiliki mekanisme yang membuatnya kebal. Tak lain lewat kebencian baru, yang lahir sering kali justru dari luka dan trauma para korban.
16.Kekerasan pada setiap ceritanya pasti juga bisa hadir sebagai sebuah upaya “bunuh diri”: dengan kekerasan, para pelaku menularkan infeksi baru kepada korban, yang akan membalas balik kekerasan itu kepada pelaku.
17.Kekerasan yang penuh benci dan caci bisa beranak-pinak menjadi kekerasan dengan benci dan caci yang baru, dan seterusnya dan seterusnya. Kekerasan menjadi amat mengerikan justru karena ia bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja dan dengan cara apa saja.
18.Kekerasan melumpuhkan imajinasi karena ia kerap membuat kita tak mampu berpikir siapa yang salah, sebab siapa pun ternyata bisa bersalah, pernah bersalah. Saya, Anda, dan mereka bukanlah manusia yang bebas dari infeksi kekerasan. Hari ini, saya menyiksa Anda, tapi besok atau lusa, siapa tahu, Anda akan datang membunuh saya.
19.Kekerasan yang pernah menimpa para korban meninggalkan luka traumatik yang mendalam. Trauma itu sering kali mengeras dan melahirkan kekerasan baru yang dilakukan atas dasar balas dendam (vengeance) dan keinginan untuk membayar “mata dibalas mata”, satu-nyawa-untuk-satu nyawa—sebuah asas talion (pembalasan) yang kadang ditegakkan atas nama Tuhan dan agama.
20.Kekerasan selalu melahirkan lingkaran setan yang tak berkesudahan. Kekerasan selalu membuat korban kian terpuruk lebih dalam dan kehilangan masa depannya sebagai seorang manusia karena balas dendam bukanlah akhir dari kisah kekerasan.
21.Kekerasan perlu dilawan. Itu pasti. Tapi dengan apa? Dengan “kelembutan”? Ya “kelembutan”, semacam kerendahan hati untuk mengakui betapa masing-masing kita bisa berbuat jahat, justru karena kita tak menginginkannya. Dan cermin dari “kelembutan” yang rendah hati itu adalah kesediaan untuk memberi maaf kepada siapa pun yang salah.
22.Kekerasan perlu dilawan dengan memberi maaf? Ya, memberi maaf. Bukan hal yang mudah, memang, terutama karena orang lebih percaya bahwa kekerasan harus dibalas dengan yang setimpal, dan “kesetimpalan” itu identik dengan “keadilan”. Jika misalnya saya mencucuk hidung Anda hingga kesakitan, maka Anda harus membalasnya hingga saya kesakitan. Itu baru “adil”.
23.Kekerasan yang mau dilawan dengan kelembutan, membuat kita bisa bertanya, dengan apa kita mengukur “kesakitan” itu? Mungkinkah kita menakar penderitaan kita dan orang lain, dengan cara dan hitungan yang persis sama? Itulah persoalan yang kita hadapi setiap kali kita gigih bicara tentang keadilan. Apakah “keadilan” itu, tetap tak akan terjawab. Keadilan adalah sebuah aporia: kita tak dapat menentukan dengan pasti batas-batasnya, terutama apabila kita berpikir bahwa keadilan adalah sebuah simetri kekerasan: satu nyawa untuk satu nyawa, sebiji mata untuk sebiji mata, sepotong gigi untuk sepotong gigi.
24.Kekerasan mengajak kita untuk terus bertolak ke tempat yang lebih dalam, yakni bagaimana “melampaui” keadilan sekaligus bergerak “menuju” keadilan. Dengan kata lain, keluar dari konsep keadilan sebagai “simetri” dan menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang tak-mungkin (l’impossible) atau yang belum mungkin: keadilan sebagai agenda yang tak pernah selesai, justru karena orang tak tahu cara terbaik menerapkan keadilan oleh sebab yang adil saat ini atau di sini belum tentu adil besok atau di sana.
25.Kekerasan bukan konsep. Begitu juga dengan keadilan. Kita tak dapat membayangkan ia berdiri utuh sebagai sesuatu yang “koheren”. Ia tak dapat diukur dan karenanya selalu bersifat anekonomis dan asimetris: keadilan, berbeda dengan pembalasan, tak dapat ditebus. Keadilan hampir selalu berupa “keadilan-yang-akan datang” (la justice à venir). Kita tak sekali-kali dapat menangkap keadilan atau mengklaim bahwa “tindakan saya adil”. Keadilan selalu mrucut dari jangkauan kita.
26.Kekerasan ditanggapi dengan apa? Dalam kaitan inilah, memberi maaf lebih dari sekadar momen yang berharga. Kesediaan memberi maaf dari sang korban menunjukkan bahwa ada yang terwakilkan oleh bahasa hukum. Kekerasan akan terus terjadi dan memakan korban. Tapi setiap kali kekerasan itu terpatahkan secara radikal ketika kita mendengar korban berkata: “Aku memaafkanmu”.
27.Kekerasan dilawan dengan “kelembutan”, karena maaf itu tak menuntut balas. Sang pemberi maaf tidak memegang kendali apa pun untuk memaksa pelaku kekerasan untuk bertobat atau mengubah perilakunya. Pemaafan niscaya muncul dari keadaan “tak bersyarat”, ketika korban memberikan segalanya tanpa mengharapkan apa-apa.
28.Kekerasan mengajak kita untuk semakin memahami arti “kelembutan”, kerendahan hati - seperti dikatakan Gandhi, hanya orang yang berhati baja yang bisa meminta dan memberikan maaf. “Memaafkan yang tak termaafkan”: jelas ini bukan hal yang mudah. Terutama karena di dalam diri kita masing-masing kadang masih ada sisa-sisa dengki, yang mau agar kekerasan itu terus berlanjut untuk menuntaskan dendam yang tak terbalas, bukan?
29.Kekerasan dekat dengan kekejian dan walaupun kita tahu bahwa ada yang keji dalam hidup, kita tetap yakin ada sisi terang yang terselubung dalam hati manusia, betapapun kita ingin menutupnya dengan senjata dan tahta, dosa dan kuasa, teror dan horor.
30.Kekerasan dalam kacamata positif mengajar kita untuk memaafkan yang tak termaafkan? Alangkah beratnya! Hanya orang yang berbesar hati yang bisa melakukannya. Maka benar kata Mahatma Gandhi: “The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong.” Memaafkan yang tak termaafkan: dengan itu, sejarah kekerasan diakhiri secara radikal. Dengan itu pula, korban terlahirkan kembali sebagai manusia.
Akhirnya.....
Kekerasan yang sudah terjadi semoga bukan cuma cerita yang sesak dengan banyak keharuan pilu dan rintihan kelu. Disana, semoga kita juga masih mendengar harapan, yang tumbuh:
Bahwa manusia pada dasarnya baik
Bahwa manusia diciptakan dengan nurani dan roh imani.
Bahwa ada yang tak mudah lapuk dalam diri manusia
Bahwa ada sesuatu yang berharga dan khas surga
Bahwa manusia itu baik dan menghasrati kebaikan.
Bahwa seperti dikatakan oleh Jürgen Moltmann, pada dasarnya setiap manusia adalah homo sympathetikos, makhluk yang berbela rasa dan simpati kepada sesama.
Bahwa akan muncullah kalimat “Aku akan memaafkanmu, meski yang kau lakukan padaku sungguh tak termaafkan.”
Semoga..
Deus providebit
Tuhan yang menyelenggarakannya.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar