Ads 468x60px

Sekelumit oleh-oleh dari KUNJUNGAN KEMANUSIAAN ke penjara Pak Ahok.


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH.
No Future without for - get ness
No mature without for - giveness
Sekelumit oleh-oleh dari KUNJUNGAN KEMANUSIAAN ke penjara Pak Ahok.
Tidak ada satupun makhluk hidup di muka bumi yang tidak pernah mengalami kegagalan.
Bunga - bunga yang bermekaran mengalami dulu musim gugur sebelum musim semi tiba.
Kupu-kupu indah awalnya harus menembus cangkang kepompong dan tertatih dulu.
Seekor elang pun juga harus mengalami rasa takut terbang dan terjatuh sebelum akhirnya merajai cakrawala.
Seorang bayi harus mengalami jatuh bangun sebelum mampu berdiri, berjalan dan kemudian berlari.
Kegagalan- kegagalan; pada akhirnya memberikan kita pengalaman, ketahanan, kekuatan.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
Mengampuni = Menyembuhkan
(Sigit Triyono)
Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Pak Ahok (berusia 51 tahun pada 26 Juni 2017 nanti) yang sejak 09 Mei 2017 mendekam di Penjara Markas Komando Brigade Mobil (MAKO BRIMOB) Kepolisian RI, semakin memahami dan merasakan kedahsyatan dampak “mengampuni”.
Testimoni di atas diungkapkan saat dia menceriterakan kondisinya pada sepuluh hari pertama di dalam sel. Tidak mudah baginya untuk menjalani kehidupan di dalam penjara. Dia sempat mengalami kesulitan tidur, kalaupun bisa tidur hampir setiap jam terbangun. Sangat tidak nyaman.
Bahkan pada suatu saat dia pernah seperti dihimpit diantara dua dinding beton yang tinggi dan dia merasakan sesak bernafas. "Saya minta tolong penjaga untuk keluar sel sebentar karena nafas saya tersengal-sengal," ungkapnya sambil memegang dada.
Situasi seperti itu mendorongnya untuk berdoa dan berbicara secara khusuk kepada Tuhan. Setelah berulang kali dia berkomunikasi dengan Tuhan, pada titik tertentu dia sangat dimampukan untuk memaafkan dan mengampuni segala faktor yang membuatkan masuk penjara.
Seketika itu juga dia merasakan damai di hati sehingga membuatnya terlelap tidur. Yang semula dia merasakan suasana hatinya kacau dan sangat tidak nyaman, seketika dia merasa dipulihkan. “Mengampuni sungguh menyembuhkan,” katanya dengan penuh penghayatan.
Dalam perbincangan kami yang tidak lebih dari30 menit, Gubernur DKI periode 19 November 2014 hingga 9 Mei 2017 ini menyampaikan bahwa dia sudah melupakan masa lalunya. “Saya menjadi pejabat atau tidak menjadi pejabat rasanya sama saja, tidak ada yang berubah,” ungkapnya.
Dia menyampaikan bahwa selama dia menjabat siapapun bisa langsung bertemu dengannya. Dia hanya ingin menjadi pelayan. Bagi dia seorang Gubernur adalah pelayan masyarakat. “Kalau tanpa hasrat melayani, ketemu orang setiap pagi dengan berbagai masalah di Balaikota, kita bisa meledak lho,” sambungnya.
Sepanjang pertemuan kami melihat sosok Pak Ahok yang sangat sederhana dengan kaos berkerah warna biru dan celana panjang senada yang sudah agak kusam serta mengenakan sandal karet biasa. Jauh dari kesan “jaim” seorang mantan pejabat. Mungkin karena sudah terbiasa dengan kesederhanaan seperti ini, maka dia tidak merasa kehilangan “segala kemewahan” pejabat. Semakin lengkaplah dia mengampuni segala keadaan dan tampak semakin sehatlah dia.
Ketika ditanya: “Pak Ahok sehat kan?”
Dia berceritera sempat tekanan darahnya naik sampai 140 ketika mendengar anaknya sakit panas dan bertanya kapan Papanya pulang. “Tapi belakangan saya sangat sehat karena bisa tidur nyenyak tanpa wekker dan bisa olah raga rutin tanpa diuber-uber waktu,” ungkapnya sambil tersenyum. Olah raga yang dilakukannya adalah “senam khusus” di dalam sel. Dia sudah lama melakukan olah raga tanpa harus membutuhkan lahan luas seperti joggingatau berenang.
Dia bercerita aktivitas utamanya setiap hari adalah membaca dan menulis. “Di sini belum bisa melakukan aktivitas sosial seperti mengajar atau pembinaan untuk napi lain, karena jumlah napi disini tidak banyak,” katanya. Dia menjelaskan kalau bisa melakukan aktivitas sosial sebenarnya akan membuka peluang mendapat remisi lebih banyak sehingga semakin cepat bisa bebas.
Saat ditanya: “Apa rencananya kalau sudah selesai menjalani masa hukuman?”
Sambil menghela nafas panjang dia mengungkapkan: “Mungkin karier politik saya sudah habis. Saya mau bisnis saja sambil mengajar sesuai dengan kemampuan saya.”
Kami bersepuluh seperti tercekat dan tidak mampu berkata-kata lagi. Akhirnya tiga orang Ibu yang bersama-sama kami, yang sepanjang perjumpaan berulang kali menyeka air matanya, menyodorkan sebuah buku untuk ditandatangani Pak Ahok dan menyerahkan surat pribadi berbahasa Inggris dari seorang anak SMP.
Saya juga menyodorkan halaman belakang kartu nama saya untuk ditandatanganinya sebagai ganti foto bersama. Pak Duta Pranawa dan Pak Pdt Em Weinata Sairin perwakilan dari Lembaga Alkitab Indonesia menyerahkan Alkitab Edisi Finansial dan Alkitab dwibahasa Mandarin dan Indonesia sebagai tanda kasih.
Sebelum kami berpisah, kami mendoakan secara khusus untuk ketabahan, kekuatan, kesehatan dan hikmat kebijaksanaan bagi Pak Ahok, serta untuk keluarganya.
Bagi kita yang di luar, dua tahun sepertinya singkat. Tapi bagi siapapun yang di dalam penjara, dua hari pun mungkin serasa seperti lebih dari dua tahun.
Satu yang pasti, mampu mengampuni terbukti bisa menyembuhkan (ST)
B.
"No future without for - get ness - No mature without for - giveness"
(RJK. Buku "FAMILY WAY". KANISIUS).
Sebuah kenyataan yang terjadi, kadang sebuah keluarga atau komunitas menjadi tidak rukun dan tidak memiliki hikmah ketika salah satu pihak terus menuntut untuk dipenuhi semua kebutuhan psikologisnya, tanpa berusaha untuk berempati dengan yang lainnya.
Tentunya, pihak yang dirugikan pasti menghasilkan suatu reaksi tidak rukun dan tidak berhikmah, diakibatkan adanya sakit hati atau kecewa. Reaksinya bisa dua macam: mengampuni atau mendendam.
Secara ideal, dalam kacamata iman, setiap anggota keluarga yang ingin belajar hidup rukun dan penuh hikmah, diajak untuk mengampuni dan tidak mendendam, mengingat sebuah pesan Yesus dalam Kotbah di Bukit, “yang murah hati, akan memperoleh kemurahan Allah.” (Mat 5:7).
Di lain matra, Etika Kristiani memang selalu menekankan hubungan timbal balik. Kita ingin dihormati orang lain? Hormatilah orang lain! Kita minta dilayani? Jadilah pelayan! Begitupula bila kita mengharapkan pengampunan. Tiket yang mesti kita bayar adalah, tiket kesediaan untuk mengampuni: ”Penghakiman yang tak berbelas-kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas-kasihan” (Yakobus 2:13).
Atau juga pesan Yesus yang bangkit: Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada' (Yoh 20:22-23). Yah, inilah modal dasar membangun sebuah “rumah – rukun dan penuh hikmah,” yakni pengampunan.
Sejauh saya amati, seperti yang saya tulis dalam buku “XXX-Family Way” (Kanisius), secara umum terdapat dua buah jenis pengampunan, yakni:
a.”pengampunan formal”, yang berarti: mulut memaafkan, tapi hati tetap panas. Pemazmur menegur pengampunan jenis ini: ”Biarlah doanya menjadi dosa” (Mazmur 109:7). Mengapa? Sebab berdoa dengan mulut memuji-muji Tuhan, tapi dengan hati yang masih sesak oleh amarah yang tertahan, dan rasa dendam yang tak terlampiaskan, adalah dosa. Imbasnya adalah pribadi yang bersangkutan masih mempunyai kebencian atau dendam.
Padahal, Norman Vincent Peale pernah menegaskan, “kebencian atau dendam ini tidak menyakiti orang yang tidak Anda sukai. Tetapi setiap hari dan setiap malam dalam kehidupan, perasaan itu akan menggerogoti kita, bukan?
b.”pengampunan sementara”, yang berarti: sekarang memaafkan, tapi siap untuk mengungkit-ungkitnya kembali kemudian. Dkl: Kesalahan-kesalahan orang atau pasangan cuma disimpan di ”gudang”.
Padahal, sebenarnya orang-orang yang tidak pengampun, adalah orang-orang yang dengan sengaja menutup pintu pengampunan bagi dirinya sendiri, karena begitu mudahnya minta pengampunan, tetapi begitu sulitnya mengampuni, begitulah tukas Chrysostomus.
Satu hal yang paling penting dan paling benar ditegaskan dari dua jenis pengampunan di atas adalah, bahwa Allah hanya berkenan mengampuni orang-orang yang pengampun!
Penginjil Markus mengutip sebuah pesan Yesus, “dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu. Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” (Markus 11:25-26).
Memang pada kenyataannya, setiap orang kerap memakai ‘topeng’-nya pada setiap relasi persahabatan (termasuk juga relasi pernikahan dan keluarga), kadang dengan maksud baik: Ia tak mau hal-hal buruk mengenai dirinya terlihat. Ingatlah Jim Carrey dalam kisah ‘The Mask’ : seseorang bisa begitu hebat dalam topengnya tetapi akhirnya yang menang dan berharga adalah diri sesungguhnya.
Disinilah, mengacu pada sebuah pernyataan, bahwa setiap relasi persahabatan (termasuk juga relasi pernikahan dan keluarga) itu 70% memaafkan, 30% mencintai, maka marilah kita belajar menjadi diri yang asli, dalam bahasanya Ariel Peter Pan, “buka dulu topengmu”, sekaligus menjadi diri yang pengampun, terlebih mengampuni keluarga dan pasangan hidup kita masing-masing, sehingga kita semakin bisa menjadi orang yang “rukun dan penuh hikmah”, terlebih dalam keluarga: seminari dasar kita bersama.
“Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain,
penuh kasih mesra dan saling mengampuni,
sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
Rasul Paulus, Efesus 4 : 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar