Ads 468x60px

TUMBUK AGENG 64 TAHUN PERTAPAAN ST MARIA - OCSO (TRAPPIST) RAWASENENG 1953 – 2017 part 3



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK:
TUMBUK AGENG
64 TAHUN PERTAPAAN ST MARIA - OCSO (TRAPPIST) RAWASENENG
1953 – 2017

A.
ORDO CISTERCIENSIS / TRAPPIST
Pada tahun 1098, sejumlah rahib dari biara Benediktin di Molesme, Perancis, dipimpin oleh St. Robertus, Alberikus dan Stefanus Harding, meninggalkan biara mereka dan membuka hutan Cîteaux (dekat kota Dijon) untuk mendirikan biara yang baru.
Di Cîteaux, mereka menjalankan hidup bertapa secara keras, yang mereka anggap lebih sesuai dengan semangat asli St. Benediktus. Mereka sangat menekankan kesederhanaan dan kerja tangan, yang menurut hemat mereka sudah kurang mendapat perhatian di biara Molesme. Dari nama “Cîteaux” inilah muncul nama “Ordo Cisterciensis”.
Beberapa waktu lamanya tak seorang pun bersedia menggabungkan diri dengan para rahib Cîteaux, karena takut melihat cara hidup mereka yang keras. Hal ini membuat para rahib gelisah dan putus asa. Siang malam dengan mencucur¬kan air mata mereka mohon panggilan-panggilan baru kepada Tuhan.
Ternyata doa mereka tidak sia-sia. Pada tahun 1112, di luar dugaan, karena belas kasih-Nya, Allah mengirimkan pemuda Bernardus bersama 30 orang sanak saudara dan temannya masuk ke biara Cîteaux.
Berkat pengaruh St. Bernardus, dalam beberapa dekade saja Ordo Cisterciensis sudah meluaskan sayapnya di benua Eropa. Sebelum St. Bernardus wafat pada tahun 1153, hampir 350 buah biara Cisterciensis sudah tersebar di seluruh Eropa.
Sayang kejayaan ini tidak bersifat langgeng. Sejak abad XIV, kemerosotan mulai menggerogoti Ordo dan kecemerlangan Cisterciensis semakin memudar. Kemerosotan ini antara lain disebabkan juga oleh wabah penyakit pes, peperangan-peperangan, skisma, dan timbulnya Reformasi Protestan.
Meskipun demikian, tiap kali selalu ada biara-biara yang ingin membarui diri. Dalam abad XVII, ada biara-biara yang ingin kembali ke semangat asli dan menamakan diri biara-biara ”Observansi Ketat”.
Salah satu di antaranya adalah biara La Trappe, yang dari tahun 1664-1700 dipimpin oleh Abas De Rancé. Semangat pembaruan biara "La Trappe" (cikal bakal lahirnya sebutan para "trappist") mempunyai pengaruh besar terhadap biara-biara Cisterciensis Observansi Ketat lainnya di Perancis.
Pada saat Revolusi Perancis (akhir abad XVIII) berlangsung, hampir semua biara Cisterciensis, baik di Perancis maupun di negara-negara lainnya, disapu bersih oleh Napoleon.
Sesudah jatuhnya Napoleon (1814), para rahib yang masih bertahan berusaha mendirikan kembali biara-biara mereka. Sejak saat itu, para rahib yang melanjutkan pembaruan La Trappe lebih dikenal sebagai “rahib Trappist”.
Sementara itu, sebagian dari biara-biara Cisterciensis lain yang tidak mengikuti pembaruan La Trappe juga hidup kembali.
Dengan demikian dewasa ini, ada dua Ordo Cisterciensis yaitu: Sacer Ordo Cisterciensis (S.O.Cist.) yang juga disebut “Ordo Cisterciensis Observansi Umum”, dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau “Ordo Cisterciensis Observansi Ketat”, yang juga dikenal sebagai “Ordo Trappist”. Kedua Ordo tersebut, terdiri dari dua cabang, yaitu cabang pria (para rahib) dan cabang wanita (para rubiah).
B.
PERTAPAAN RAWASENENG
Rawaseneng adalah nama sebuah dusun kecil, 14 km dari kota Temanggung di Jawa Tengah, tepatnya di wilayah desa Ngemplak, kecamatan Kandangan. Di sana, sebuah komunitas para rahib dari Ordo Trappist hidup berdampingan dengan masyarakat pedusunan.
Sebelum digunakan untuk pertapaan, pada tahun 1936 berdirilah sekolah pertanian asuhan para Bruder Budi Mulia. Namun, ketika terjadi pertempuran pada tahun 1948, sekolah beserta asrama, biara dan bangunan gereja yang ada, dibumihanguskan sehingga yang tersisa tinggal puing-puing.
Pada tahun 1950, Pater Bavo van der Ham, seorang rahib Trappist dari biara Koningshoeven-Tilburg, negeri Belanda, datang ke Indonesia untuk menjajaki segala kemungkinan bagi pendirian biara cabang (“biara anak”).
Setelah mengunjungi beberapa tempat di Jawa Tengah, akhirnya pilihan jatuh pada Rawaseneng dan mulailah dibangun pertapaan di atas puing-puing bekas sekolah pertanian. Tiga tahun kemudian, tanggal 1 April 1953, pertapaan Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng dibuka secara resmi sebagai cabang dari pertapaan induk di Tilburg.
Sedikit demi sedikit berdatangan para pemuda yang ingin menggabungkan diri hingga pada tanggal 26 Desember 1958 pertapaan Rawaseneng diangkat menjadi biara otonom dengan status keprioran.
Pada tanggal 23 April 1978, dalam rangka Pesta Perak berdirinya biara, status pertapaan maju setapak lagi menjadi Keabasan. Rm. Frans Harjawiyata terpilih men¬jadi Abasnya yang pertama. Sejak 16 Oktober 2006, Rm. Frans meletakkan jabatannya sebagai abas dan digantikan oleh Rm. Gonzaga Rudiyat yang menggembalakan komunitas para rahib Rawaseneng hingga saat ini.
Pertapaan Rawaseneng merupakan biara Trappist pria pertama di Indonesia. Namun, sejak tahun 1997, dimulailah kehidupan biara cabang di Flores, tepatnya di desa Lamanabi, di Keuskupan Larantuka. Selain biara pria, biara Trappist wanita (atau lebih dikenal “Trappistin”) sudah dibuka secara resmi pada awal tahun 1987, di Gedono, Salatiga, Jawa Tengah.

C.
REFLEKSI:
Sebuah Kerasulan Tersembunyi
Setiap komunitas monastik diarahkan sepenuhnya kepada kontemplasi, persatuan utuh (budi-batin) dengan Allah. Seturut arah hidup itu, setiap rahib dan rubiah mengabdikan diri kepada Allah dengan menghayati kasih persaudaraan, kesunyian dan diam diri, doa dan kerja, serta tertib hidup monastik.
Melalui penggabungan tetap di biara sebagai “sekolah pengabdian Tuhan”, masing-masing rahib dan rubiah dilatih menertibkan hati dan tindakan guna mencapai kemurnian hati dan kesadaran terus-menerus akan Allah yang hadir.
Berkat ikatan cinta kasih, komunitas para rahib Rawaseneng mempersembahkan hidup untuk mencari Allah dan mengikuti Kristus, dalam pingitan biara Trappist. Hidup komunitasnya ditata menurut Peraturan St. Benediktus (PSB) dalam reksa pastoral seorang abas. Dalam tata hidup Benediktin-Cisterciensis yang khas itu, para rahib dan rubiah turut serta mengembangkan Tubuh Mistik Kristus berkat kesuburan “kerasulan yang tersembunyi”.
Wujud khas dari kerasulan monastik adalah hidup doa yang tak kunjung henti, terutama melalui praktik ibadat harian (ofisi) atau Opus Dei. Selain itu, mereka juga melakukan bacaan rohani (Lectio Divina) dan kerja tangan (Opus Manuale), serta mengembangkan hospitalitas melalui pendampingan para tamu supaya “dalam segalanya, Allah dimuliakan” (Peraturan St. Benediktus 57:9).
======
Memanusiakan Manusia
Rahib berolah diri
Untuk jadi orang damai:
Mapan, sopan
Baik, iba
Kebapaan, Keibuan
Tenang, Hening
Sendang Bening
Siapa pun boleh minum ...
Rendah hati
Tercerap Roh
Ramah Tanpa dibuat-buat
Tampil Empuk
Hadir Sejuk
Siapa pun boleh reguk ...
Budi, Hati
Ilmu, Cinta
Tumbuh Beranting Berbuah
Mewah Makmur
Merah Anggur
Siapa pun Bisa Terhibur ...
Rahib Asli
Mengemban Misi
Bagai Titik-Temu Bagi
Gurun Tandus
Dan Cinta Kristus:
Siapa pun Dicinta Khusus!
Rahib berusaha menjadi manusia
Yang memanusiakan Manusia.....
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar