Ads 468x60px

SERI FRANSISKAN: GITA SANG SURYA



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
RE - POST:
SERI FRANSISKAN: GITA SANG SURYA
Krisis Ekologik dari Perspektif Mistik
Selayang Pandang
Krisis ekologi yang sedang kita hadapi telah melahirkan berbagai macam analisis mengenai sebab dan jalan keluar krisis ini. Krisis ini dapat ditinjau dari berbagai macam perspektif. Ia dapat dipandang sebagai akibat pelaksanaan pembangunan yang tidak memperhatikan ekologi. Selanjutnya praktek pembangunan yang tidak memperhatikan kesejahteraan alam dilihat sebagai akibat dari pendekatan ekologi yang antroposentris. Persoalan ini semakin luas ketika memasuki wilayah agama. Agama (baca agama Kristen) diklaim sebagai agama yang sangat antroposentris dalam memahami alam. Klaim ini telah menempatkan agama Kristen sebagai agama yang telah memberikan legitimasi teologis atas penghancuran alam.
Tulisan ini bermaksud untuk menguraikan persoalan ekologi dari perspektif mistik ekologi. Yang diuraikan di sini adalah mistik ekologi yang ada dalam salah satu karya sastra abad pertengahan, Kidung Saudara Matahari, gubahan Fransiskus dari Asisi. Ada dua hal yang menjadi alasan mengapa kidung ini dijadikan pokok uraian ini. Pertama, Fransiskus hidup di jaman abad pertengahan yang diklaim sebagai zaman yang pemikirannya abstrak dan jauh dari kepedulian terhadap alam. Kedua teologi penciptaan dalam agama Kristen sering diklaim bersifat antroposentris dan karenanya memberikan legitimasi bagi penghancuran alam.
1. Teks Kidung Saudara Matahari
Kidung ini dikarang oleh Fransiskus pada tahun 1225, menjelang kematiannya. Para pengikut Fransiskus yang pertama memberikan kesaksian bahwa sebelum wafatnya ia ingin menulis sebuah nyanyian pujian tentang ciptaan Allah. Nyanyian pujian ini terdiri dari 14 ayat yang dapat dibagi ke dalam 3 bagian. Setiap bagian mengungkapkan visi Fransiskus tentang Allah, Ciptaan, dan jiwa manusia.
Ayat 1-9 pengarang menyanyikan pujian ciptaan dalam memuliakan Allah. Pada bagian ini, pengarang tidak saja memuji Allah melalui alam tetapi juga memuji alam kerendahan dan kesederhanaan mereka.
1).Yang Mahaluhur, Mahakuasa, Tuhan yang baik, Milik-Mulah pujaan, kemuliaan dan hormat dan segala pujian. 2) Kepada-Mu saja, Yang Mahaluhur, semuanya itu patut disampaikan, namun tiada insan satu pun layak menyebut nama-Mu. 3) Terpujilah Engkau, Tuhanku, bersama semua makhluk-Mu, terutama Tuan Saudara Matahari; dia terang siang hari, melalui dia kami Kauberi terang. 4) Dia indah dan bercahaya dengan sinar cahaya yang cemerlang;tentang Engkau, Yang Mahaluhur, dia menjadi lambang. 5) Terpujilah Engkau, karena Saudari Bulan dan bintang-bintang, di cakrawala Kaupasang mereka, gemerlapan, megah dan indah. 6) terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Angin, dan karena udara dan kabut, karena langit yang cerah dan segar cuaca, dengannya Engkau menopang hidup makhluk ciptaan-Mu. 7) Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Air; dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni. 8) Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Api, dengannya Engkau menerangi malam; dia indah dan cerah ceria, kuat dan perkasa. 9) Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena saudari kami Ibu Pertiwi; dia menyuap dan mengasuh kami, dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan.
Ayat 10-11 adalah gagasan perdamaian, pengampunan dan penderitaan. Dalam pujian ini, nampak arti terdalam perdamaian. Perdamaian adalah merasa tenteram dengan semua ciptaan, mencintai semua kehidupan dan menghormati segala sesuatu. Perdamaian antara sesama tercipta hanya kalau ada perdamaian di dalam hati setiap orang. Kedamaian inilah yang memampukan orang untuk memberikan pengampunan dan sabar menanggung segala penderitaan.
10) Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena mereka yang mengampuni demi kasih-Mu, dan yang menanggung sakit dan duka-derita. 11). Berbahagialah mereka, yang menanggungnya dengan tenteram, karena oleh-Mu, Yang Mahaluhur, mereka akan dimahkotai.
Ayat 12-13 mengungkapkan pemahaman pengarang mengenai kematian. Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan melainkan suatu bentuk ungkapan kehadiran Allah.
12). Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Maut badani, daripadanya tidak akan terluput insan hidup satu pun. 13). Celakalah mereka yang mati dengan dosa berat; berbahagialah mereka yang didapatinya setia pada kehendak-Mu yang tersuci karena mereka takkan ditimpa maut kedua.
Ayat 14 dipandang sebagai refrein pujian ini. Akhirnya, bagi pengarang setiap orang mesti mengabdi penciptaNya dengan merendahkan diri. Sikap ini pertama-tama bertitik tolak pada kesadaran bahwa Allah adalah Allah yang kemudian akan mengantar orang bersyukur kepada Allah karena Dia adalah Allah, memujinya bagi dirinya. Dalam pujian dan syukur Allah mengkomunikasikan dirinya kepada kita. Dan kita memujinya bukan karena dia membutuhkan pujian kita.
14) Puja-pujilah Tuhanku, bersyukurlah dan mengabdilah kepada-Nya dengan merendahkan diri serendah-serendahnya.
2. Mistik Ekologi Kidung Saudara Matahari
Kidung Saudara Matahari merupakan ungkapan pengalaman batin Fransiskus Asisi. Pengalaman batin itu adalah pengalaman akan Allah. Allah yang dialami oleh Fransiskus adalah Yang Mahaluhur, Mahakuasa, Tuhan yang baik, yang kepadaNya segala pujian, kemuliaan, dan hormat patut diberikan (Ay 1-2). Ia sungguh mengalami Allah yang transenden.
Allah yang transenden itu, telah mencipta dan terus memelihara hidup manusia (Ay. 3-6). Karena itulah, relasi Fransiskus dengan alam pada dasarnya bersifat religius. Dikatakan bersifat religius sebab titik pangkal relasi ini adalah Allah sendiri. Allah yang dialami Fransiskus telah menjadi dasar bagi sikap dan fahamnya akan alam dan dirinya sebagai manusia. Dengan kata lain refleksi Fransiskus tentang ciptaan tidak dapat dilepaskan dari pengalaman akan Allah.
Sikap dan fahamnya dapat dirumuskan dalam dua rumusan yakni dari Pencipta kepada ciptaan dan dari ciptaan kepada Pencipta. Rumusan pertama ingin menegaskan bahwa cinta terhadap Allah adalah sumber cintanya terhadap alam. Sedangkan rumusan kedua ingin menegaskan bahwa alam mengantarnya kembali kepada Allah. Melalui saudara matahari, bintang dan bulan, air dan bumi ia menyadari kebaikan dan kebesaran sang Abadi. Dengan demikian bagi Fransiskus dirinya bukanlah subyek yang tertutup yang berhadapan dengan subyek-subyek ciptaan yang lain. Sebaliknya dia menemukan dirinya berada di tengah persaudaraan yang universal.
Persaudaraan universal tersebut mencakup relasi antara manusia dan ciptaan lain. Relasi ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Pencipta. Ia ada berkat cinta sang Pencipta. Persaudaraan ini bertugas memuji dan memuliakan Pencipta. Di sinilah Fransiskus melihat doa sebagai cara manusia berelasi dengan Allah, sesama dan alam. Doa diartikannya sebagai afirmasi atas tindakan Allah. Dengan mengafirmasi tindakan Allah atas dirinya, manusia meniru Allah khususnya dalam cara Allah mencintai ciptaanNya. Konsekuensinya doa tidak dapat direduksikan pada sisi pribadi semata-mata; doa tidak dapat dipisahkan dari cinta akan ciptaan. Secara tegas dapat dikatakan ketika doa jauh dari dunia, itu bukan lagi doa.
Konsep ini memperlihatkan diri Fransiskus sebagai manusia universal (homo universalis). Dikatakan demikian sebab dia telah menyatukan dalam dirinya seluruh realitas, sehingga dalam dirinya tidak ada lagi pemisahan antara apa yang ada di dalam (the inner) dan apa yang ada di luar (the outer) manusia. Kesatuan dengan realitas membawanya pada cinta yang kontemplatif akan ciptaan sebagaimana adanya. Air misalnya tidak dicintai karena hal-hal yang dapat ada di dalamnya melainkan karena dia adalah ciptaan. Sebagai ciptaan dia adalah saudari.
Menempatkan alam dan manusia pada status yang sama yakni ciptaan Allah membawa konsekuensi lain. Manusia mesti memandang dan mengakui alam ciptaan sebagai suatu keseluruhan yang berdiri sendiri, otonom tidak berada di bawah kekuasaan manusia.
Paham otonomi alam sepintas nampak bertentangan dengan paham penciptaan yang antroposentris yang ada dalam agama-agama, juga dalam agama Kristen yang dianut oleh Fransiskus dari Asisi. Tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Sebab paham antroposentris yang sering didasarkan pada Kisah Penciptaan (Kej 1) juga menuntut legitimasi mistik. Kita dapat mengatakan pandangan Fransiskus ini adalah pandangan alternatif mengenai alam dan relasi manusia dengan alam. Yang ditawarkan Fransiskus di sini adalah kesadaran akan Allah.
Penekanan pada kodrat alam dan manusia sebagai ciptaan yang dengannya Allah menyatakan diriNya dan menuntut sikap hormat bukanlah suatu bentuk panteisme. Panteisme menekankan kesatuan dan hilangnya individu dalam bentuk suatu keseluruhan yang tidak berbentuk. Fransiskus sebaliknya, dengan gembira melihat Allah melalui setiap bentuk ciptaan. Karena itu pandangannya dapat disebut panenteisme yang aktif. Pandangan tersebut mengakui imanensi Allah dalam setiap ciptaan jenis dan satuan ciptaan. Pandangan ini sering dikacaukan dengan panteisme.
3. Kehancuran Alam Dalam Perspektif Mistik Ekologi
Krisis ekologi bukanlah persoalan yang muncul pada dunia modern saja. Ia adalah persoalan abadi, ada dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Karena itu, krisis ekologi kadang dilihat sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan peradaban manusia. Sikap ini justru mengundang pertanyaan: mengapa alam selalu menjadi korban dari peradaban manusia?
Ada berbagai macam jawaban terhadap pertanyaan ini. Jawaban-jawaban itu dapat berasal dari studi kritis atas praksis pembangunan juga konsep ekologi dalam budaya dan agama-agama. Kata kunci yang dapat merumuskan jawaban-jawaban itu adalah prilaku eksploitatif dan destruktif manusia modern yang nampak dalam pembangunan yang mengabaikan ekologi berakar pada konsep ekologi yang antroposentris. Bagi kaum beragama, ketidakadilan ini adalah sebuah dosa manusia modern.
Dari perspektif mistik ekologi, seperti yang nampak dalam kidung ini, dosa dapat diartikan sebagai pengingkaran manusia akan imanensi Allah dalam keanekaragaman ciptaan. Orang tidak lagi melihat kedudukan yang khas alam ciptaan dalam berelasi dengan Allah yang Mahakuasa. Alam memang dilihat sebagai karya Allah namun ia diperuntukan bagi manusia untuk dikuasai sepenuh-penuhnya. Atau orang tidak dapat melihat kebesaran Allah dan karya-Nya yang tetap dan terus menerus dalam alam ciptaan. Kata lainnya manusia telah kehilangan aspek mistik dalam dirinya.
Hilangnya aspek mistik dalam diri manusia didorong oleh kuatnya ideologi materialisme dan didukung oleh filsafat humanisme. Alam dipandang hanya sebagai obyek yang berguna untuk menjadi alat memenuhi kebutuhan material saja. Alam tidak dilihat sebagai suatu sistem kehidupan yang utuh. Lingkungan hidup hanya dilihat dalam konteks ekonomi, khususnya keuntungan materi. Alam ditempatkan sebagai objek-objek yang bernilai sejauh ia membantu pengungkapan diri manusia. Implikasi lanjut dari keadaan ini adalah eksploitasi alam secara besar-besaran baik yang legal maupun yang ilegal.
Catatan Akhir
Kidung Saudara Matahari bukanlah sebuah kidung yang dikarang di tengah situasi kehancuran alam. Kidung ini justru lahir dari pengalaman akan keharmonisan alam dan keterbatasan manusia di hadapan Allah (menjelang kematian). Kidung ini tidak dapat menjadi cara menyelesaikan masalah ekologi. Ia hanya dapat dipakai sebagai cara memandang relasi alam dan manusia. Relasi alam dan manusia adalah relasi antarciptaan. Keduanya memiliki asal dan tujuan yang sama, yakni Pencipta. Dalam relasi ini, manusia tidak dipanggil untuk merusak alam atau menguasainya tanpa batas. Sebaliknya di sini ia dipanggil untuk senantiasa menyadari kehadiran kebesaran Allah melalui ciptaan. Wujud kesadaran ini adalah tanggungjawab terhadap ekologi.
Ada beberapa hal yang dapat kita tarik dari uraian di atas. Pertama, dari perspektif mistik-ekologi kehancuran alam, dalam berbagai bentuknya, berakar pada kondisi spiritual manusia modern. Kondisi spiritual itu adalah dangkalnya pengalaman akan Allah dalam relasinya dengan alam. Kedua, mistik ekologi dapat menjadi suatu sumbangan bagi pendekatan ekologi yang holistik; pendekatan yang memandang ekologi sebagai ilmu alam dan manusia (science of nature and human beings) bukan hanya sebagai ilmu alam (science of nature).
Selain itu, ketiga, dalam konteks pengembangan teologi yang berbasis ekologi, aspek mistik adalah sesuatu yang mesti diperhatikan. Yang dimaksudkan dengan mistik di sini adalah pengalaman akan Allah dalam alam ciptaan. Teologi mesti mengantar orang pada kesadaran ini. Dan akhirnya, keempat, harus disadari bahwa pada dunia sekarang teologi mistik ekologi harus berhadapan dengan kecenderungan tirani ekologi dalam diri manusia. Inilah persoalan teologi mistik ekologi yakni mengubah paham yang mendukung tirani ekologi kepada tanggungjawab ekologi.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar