Ads 468x60px

Jesuit dan Ignatius Loyola



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Jesuit dan Ignatius Loyola.
Ordo Serikat Yesus, sering dikenal dengan "Jesuit" adalah Ordo Katolik Roma yang didirikan lima abad yang lalu oleh mantan tentara dari suku Basque, yang kemudian menjadi seorang mistikus, Ignatius Loyola.
Dengan semangat berusaha untuk "menemukan Tuhan dalam segala hal", para Jesuit mendedikasikan diri untuk “kemuliaanAllah yang lebih besar - Ad Maiorem Dei Gloriam - For the Greater Glory of God" dan kebaikan seluruh umat manusia.
Dengan 16.000 lebih para imam, bruder, dan novis di seluruh dunia, Serikat Yesus menjadi ordo laki- laki terbesar dalam Gereja Katolik, yang memberi pelayanan dalam segala bidang, baik di dalam Gereja dan di masyarakat, dengan berdasarkan pada tradisi dan spiritualitas Ignasian.
Anggota Ordo, yang melihat diri sebagai "sahabat- sahabat Yesus" mengambil tiga sumpah: kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan; dan sumpah keempat adalah ketaatan khusus dalam hal misi ke seluruh dunia.
Setiap Jesuit harus siap untuk menerima misi apapun yang dibutuhkan Paus, sumpah yang mencerminkan dedikasi yang lebih luas kepada Gereja universal, dan untuk kebaikan semua orang dari berbagai agama dan budaya.
Di bawah ini, saya lampirkan kembali sepenggal kisah founding father, St Ignatius Loyola.
1. Inigo dan Masa Mudanya.
Inigo, begitulah nama Ignatius Loyola, adalah seorang anak bungsu dari 12 bersaudara. Lahir di Basque, daerah utara spanyol dari keluarga bangsawan di Puri Loyola. Di tempat inilah Inigo dibesarkan dan memulai takdirnya dalam hidup kebangsawanan dan juga ksatria. Pada umur 14 tahun dia mulai dididik untuk menjadi bagian dari kebangsawanan Raja Spanyol.
Masa mudanya penuh dengan semangat dan gaya hidup bangsawan serta didikan untuk menjadi seorang ksatria, yang tentunya menarik hati banyak wanita dalam romantisme kebangsawanan atau juga machoisme sebagai seorang ksatria. Sulit untuk menduga bahwa garis hidup yang demikian adalah cara Tuhan “menggodok” seorang Santo
Renungan:
Sebagaimana kita merenungkan kisah hidup Inigo, apa yang anda pikirkan tentang hidup anda sendiri? Mungkin kita sering merasakan dimanakah Tuhan dalam hidup saya ketika saya berjuang jatuh bangun untuk membangun diri dan hidup yang saya impikan? Seringkali cara terbaik untuk menemukan Dia, adalah dengan tetap setia dan sabar melihat kedalaman diri dan hati tanpa judgement, tanpa prasangka, berpikir positif dan tetap percaya bahwa Tuhan hadir dan menyertai. Melihat secara realistis apa yang terjadi dalam hidup, merefleksikannya di dalam kedalaman hati kita, jujur dan tulus dengan hidup ini bisa jadi merupakan “jalur” yang baik untuk menemukan kehendakNya.
====
Kisah hidup berikut adalah sebuah kisah pertempuran di Pamplona. Dalam pertempuran dahsyat antara Spanyol dan Perancis, Inigo dengan semangat gagah berani ikut mempertahankan mati-matian benteng Pamplona dari serbuan massal pasukan Perancis. Semangatnya yang pantang mundur membuatnya tetap bertahan dan mengambil alih kendali pasukan ketika pasukan Spanyol sendiri sudah banyak yang putus asa dan lari menyelamatkan diri.
Dalam pertempuran yang hebat itu, sebuah peluru meriam menerjang kakinya, meninggalkan Inigo dengan luka dan cedera yang serius. Dia pun harus dipapah pasukan Perancis sebelum akhirnya dibawa kembali ke Loyola. Cedera kakinya, yang membuatnya pincang sungguh meruntuhkan kebanggaan dirinya, ambisi pribadi, kepercayaan diri, dan juga mimpi-mimpinya. Dia menjadi frustrasi karena cedera ini seperti menyingkirkan dia dari aksi-aksi kebangsawanan yang gagah berani dan tentu saja kesempurnaan.
Saat kegagalan di Pamplona rupanya menjadi saat dimana Tuhan berkarya. Kekalahan Spanyol adalah berkat buat Inigo. Saat-saat sakitnya adalah moment penting bagi Inigo untuk merasakan sentuhan Tuhan dan membuat dirinya sungguh bisa bekerja sama dengan rahmat Tuhan sendiri. Bukankah memang seringkali moment-moment yang penting dalam perubahan hidup kita terjadi ketika kita dalam kekecewaan, tak berdaya, dan pada saat kita gagal? Saat-saat itu bisa sungguh menjadi saat dimana kita mulai memahami cinta dan hidup yang mendalam; menjadi sebuah moment dan tempat dimana kita menemukan benih-benih untuk berkembang dalam hidup.
Renungan:
Apakah ada dalam moment hidup anda yang mengingatkan anda akan peristiwa Pamplona sebagaimana Inigo alami- saat dimana anda bertindak tanpa hati-hati, dengan kenekatan dan keberanian? atau ketika anda sungguh merasa tak berdaya dan dalam kegagalan? Kalau melihat ke belakang, melihat peristiwa-peristiwa itu, apa yang bisa anda rasakan dan pikirkan sekarang ini?
2. Inigo, Mimpi dan Pengorbanannya.
Inigo mengalami pertobatan yang radikal ketika berada dalam masa pemulihan dari cedera kakinya yang didapat dalam pertempuran di Pamplona (baca Novena Hari 1). Selama berbaring di Puri Loyola, dia banyak membaca kisah para Santo, dan juga buku-buku spiritualitas yang akhirnya mengubah perspektif hidupnya, yang semula dipenuhi dengan ambisi kebangsawan menjadi ambisi untuk membaktikan diri pada semangat-semangat religius, dan persembahan diri pada Tuhan. Pertobatan ini membuat dirinya berani untuk pergi meninggalkan Puri Loyola dan memulai pejiarahan.
Dalam perjalanan pejiarahannya, Inigo sampai di Manresa tepatnya di dekat Biara Montserrat, di atas pegunungan yang indah. Di situ dia melakukan pengakuan dosa, yang menurut tradisi biasanya dilakukan selama 3 hari. Dalam proses pejiarahan batinnya di Manresa inilah Inigo pertama kali menuliskan pengalamannya dan juga insight rohaninya yang mendalam tentang doa, yang menjadi salah satu bagian pokok dalam Latihan Rohani Santo Ignatius yang terkenal itu.
Pengalaman rohani yang mendalam di Manresa ini mengantar Inigo untuk masuk ke dalam keputusan lain yang lebih radikal, untuk mengikuti Tuhan: Dia memberikan pakaian kebangsawanannya kepada seorang pengemis, dan menukarnya dengan pakaian sederhana khas pejiarah. Dia juga menyerahkan pedangnya di atas altar sebagai simbol penyerahan atas masa lalu dan juga nilai-nilai yang dia pegang dalam hidupnya terdahulu, serta juga sebagai simbol atas komitmentnya dalam membaktikan diri pada Tuhan.
Renungan:
Dapatkah anda melihat saat-saat dalam hidup anda ketika anda dipenuhi oleh idealisme dan impian yang membuat anda berani untuk menyerahkan segala sesuatu demi impian dan idealisme yang dirasakan dalam diri anda dan menguasai hati anda? Pernahkah hidup anda dipenuhi oleh semangat dan idealisme, ataukah hanya biasa-biasa saja, membiarkan hidup mengalir saja? Dapatkah anda “seperasaan” dengan Inigo yang mengejar impian dan cita-citanya secara total?
Inigo meninggalkan pedang dan pakaian kebangsawanan untuk mengejar impian dan hasrat mendalamnya untuk mengikuti panggilan Tuhan. Dalam semangat yang sama, apakah yang pernah atau bahkan sekarang ini membuat anda berani untuk meninggalkan dan mengorbankan apa yang dianggap berharga demi sebuah impian dan cita-cita yang lebih luhur? Apakah anda adalah orang yang berani dan mau berkorban buat orang yang anda cintai, buat keluarga anda?
Bila anda merasa tidak memiliki mimpi dan impian hidup, apakah ada kemungkinan bahwa anda kurang melihat diri lebih mendalam tentang apa yang sesungguhnya anda mau dalam hidup ini? Bila anda sulit untuk berkorban atau meninggalkan masa lalu anda, apakah yang membuat anda tidak memiliki keberanian untuk melakukannya?
Tidak perlu menghakimi diri anda….tetapi tetaplah tulus dan sadar apa yang terjadi dalam diri anda. Bila anda merefleksikan hal-hal di atas….telitilah apa yang anda rasakan dan inginkan saat ini….
3. Inigo dan Pembedaan Roh.
Pengalaman Inigo di perbukitan dekat Biara Montserrat membuahkan pengalaman rohani yang begitu mendalam dan memantapkan tekadnya untuk membaktikan diri pada Tuhan. Penyerahan pedang di atas altar, dan juga memberikan pakaian kebangsawanannya kepada pengemis sungguh menggambarkan sikap batin Inigo yang total. Rupanya pengalaman rohaninya begitu dahsyat dan transformatif sampai-sampai menggerakannya untuk berbuat secara total pula.
Inigo, memutuskan untuk berjiarah ke Yerusalem dengan kapal dari Barcelona. Namun sebelum berangkat ke Barcelona, dia memutuskan untuk “turun gunung” dan tinggal beberapa hari di Manresa. Semangatnya masih meluap-luap. Pengalaman rohaninya masih “hangat” sehingga dengan tekad bulat dia pun menghidupi dirinya sebagai pengemis di Manresa, dan tinggal di tepi sungai. Ya, inilah cara hidup seorang peziarah.
Berjuang hidup sebagai peziarah dan pengemis membuat dia bertemu dengan “setan” dalam dirinya. Kerinduan akan nostalgia di Puri Loyola, kesepian batin, sampai akhirnya keinginan untuk bunuh diri mewarnai hari-hari inigo di Manresa. Naik turunnya dorongan batin dan suasana hati Inigo rupanya menjadi guru yang baik baginya untuk memahami gerak batin dan gerak roh; untuk semakin memahami bagaimana Tuhan menyentuhnya dan berkarya dalam hidup. Dia menjadi peka dan belajar menghadapi dorongan batin, melihat kelemahan diri dan juga memahami cinta Tuhan secara realistis. Godaan dan dorongan batin yang ada sungguh mengajarkan kepada Inigo bagaimana menggunakan perasaan, reaksi dan ingatan serta kehendak, mencari kehendak Tuhan dan menemukan jalan yang membawanya kepada Tuhan.
Renungan:
Ingatlah saat-saat pengalaman “puncak” ketika anda begitu merasa dekat dengan Tuhan dalam doa-doa anda, dimana anda penuh dengan inspirasi dan semangat. Ingatlah juga ketika anda harus membawa buah-buah doa itu ke dalam realitas harian. Apakah kegembiraan dan semangat itu tetap bertahan ketika anda menghadapi problem dan realitas hidup sehari-hari? Apakah hanya lalu lenyap ditelan oleh rutinitas, arus jaman, pengaruh buruk, atau karena kita tidak berpendirian?
Ketika anda mengalami dinamika “manresa” yaitu ketika mencari atau mewujudkan kehendak Tuhan dalam hidup anda, yang anda dapatkan dari pengalaman doa-doa, apakah anda sungguh peka terhadap gerakan-gerakan batin yang ada dalam diri anda? Sejauh manakah gerakan batin, godaan-godaan dan keinginan-keinginan sesaat yang anda alami dimengerti sebagai sebuah jalan untuk semakin berkembang dan matang dalam hidup rohani dan juga hidup pribadi?
4. Inigo dan Kerendahan Hati.
Perjalanan hidup Inigo setelah Manresa dipenuhi dengan kekecewaan, tantangan dan frustrasi. Keinginannya untuk mengajarkan injil dan berkotbah pun membawanya berurusan dengan lembagai Inkuisisi Gereja. Bagaimana mungkin seorang awam, pada waktu itu, yang tidak pernah mengenyam pendidikan seminari mau berkotbah? Otoritas Gereja dan bahkan sekuler rupanya menentang niat mulia Inigo ini, karena dikuatirkan hanya akan menyesatkan orang. Inigo tidak patah semangat. Dia tetap berusaha dan gigih untuk bisa melayani banyak orang walaupun harus menghadapi tantangan dari banyak sisi.
Dia sadar bahwa cara satu-satunya untuk dapat diterima secara kredibel di mata Gereja adalah dengan ditahbiskan. Untuk itu dia rela kembali untuk mengenyam pendidikan, belajar bahasa latin dan juga teologi. Di usianya yang menjelang 40 tahun, dia rela untuk bersama belajar bahasa latin dengan anak-anak usia 20 tahunan. Sikap rendah hatinya ini berbuah besar di kemudian hari.
Renungan:
Ingatkah anda akan masa-masa dimana anda merasa banyak memiliki tantangan dan halangan dalam mewujudkan cita-cita dan harapan yang baik dalam hidup anda? apakah anda dengan rendah hati tetap teguh memegang cita-cita itu, dan berusaha dari langkah ke langkah untuk mewujudkannya? Apakah anda pernah merasa malu, rendah diri karena dianggap tidak kompeten dalam usaha anda ini? Lihatlah kembali pengalaman anda itu, dan bagaimana anda menyikapinya. Bagaimanakah pengalaman Inigo bisa menjadi inspirasi buat anda?
5. Para Jesuit Pertama.
Perjuangan Inigo belajar bahasa latin dengan penuh kerendahan hati, demi cita-citanya melayani Gereja mulai membuahkan hasil. Dia berhasil menyelesaikannya dan sekarang Inigo mulai memasuki kehidupan universitas: Studi di Paris.
Di Paris, karisma Inigo rupanya menarik hati teman-temannya yang tinggal bersamanya. Kedekatan Inigo dengan beberapa orang seperti Fransiskus Xaverius, dan Petrus Faber ternyata menggerakkan Inigo untuk mau berbagi pengalaman rohaninya di Manresa. Pengalaman rohani tentang doa dan pembedaan roh, ternyata sungguh mengubah hidup kedua orang sahabatnya ini.
Pengalaman dan catatan-catatan rohani Inigo tentang doa dan pembedaan roh inilah yang sekarang kita kenal dengan Latihan Rohani Santo Ignatius. Rupanya, efek dari Latihan Rohani ini sungguh bergema, sehingga dalam beberapa tahun, persahabatan orang-orang ini berkembang sampai 7 orang. Pada tanggal 15 Agustus 1534, dalam sebuah rekreasi bersama mereka semua akhirnya berjanji untuk melayani Tuhan dan berikrar bersama sebagai Sahabat-sahabat Yesus, alias Serikat Jesus.
Renungan:
Pernahkah anda merasakan bahwa pengalaman rohani anda mengubah hidup anda secara fundamental? Apakah hidup rohani anda sungguh merupakan sebuah pengalaman hidup yang integral ataukah hanya semata-mata ritual belaka?
Apakah anda memiliki “teman rohani” dimana bisa saling berbagi satu sama lain tentang insight ataupun inspirasi hidup? Sejauh mana pertemanan itu bisa saling memperkaya satu sama lain?
6. La Storta.
Tahun 1536, pada waktu itu Inigo sudah ditahbiskan menjadi imam (diosesan?), dan mengubah namanya menjadi Ignatius. Dalam perjalanannya menuju Roma, Ignatius berdoa di sebuah kapel di La Storta, dan rupanya pengalaman di La Storta ini merupakan salah satu pengalaman penting dalam konteks pejiarahan rohani Ignatius. Mengapa demikian?
Dalam doanya di Kapel La Storta, Ignatius mengalami sebuah pengalaman rohani mendalam dimana dia melihat Allah Bapa menempatkan dirinya di samping PutraNya Yesus. Pengalaman rohani ini merupakan sebuah pengalaman rohani yang transformatif bagi Ignatius karena meyakinkannya bahwa doanya sungguh terkabul. Dia selalu meminta kepada Tuhan, dalam doa-doanya,supaya ditempatkan bersama dengan Kristus sendiri, dan sekarang entah bagaimana, dia mengalami sebuah pengalaman rohani yang begitu “agung” tetapi sekaligus “misteri”. Pengalaman La Storta ini bagi Ignatius semakin meneguhkan keinginannya mengabdi Allah dan Gereja, dan juga hidupnya dalam Serikat Jesus.
Renungan:
Berefleksi dari pengalaman Ignatius di La Storta, apakah anda pernah mengalami pengalaman personal “berjumpa dengan Allah” dalam doa-doa anda? Apakah anda pengalaman perjumpaan itu menyentuh realitas hidup anda? Sejauh mana perjumpaan itu memberikan pencerahan dalam diri anda tentang makna dan arah hidup anda? Apakah itu memberi energi dan inspirasi baru untuk anda? Ataukah anda hanya memahaminya sebagai sebuah moment “sentimental” dalam doa?
Apakah doa-doa anda sungguh menggerakkan anda secara integral? atau hanyakah itu menjadi sebuah rutinitas harian yang lama-kelamaan menjadi kosong dan membosankan?
7. Ignatius di Roma.
Ignatius dan para sahabatnya setelah diteguhkan dalam Latihan-Latihan Rohani, bertekad teguh untuk mengabdikan diri mereka kepada Gereja. Itulah sebabnya, Ignatius pada tahun 1537 pergi ke Roma untuk memberikan diri mereka pada Bapa Suci dalam semangat ketaatan kepada Gereja.
Ignatius sungguh diterima oleh Paus Paulus III pada waktu itu, dan dalam kesempatan itu Ignatius juga mengungkapkan keinginan mereka untuk pergi ke Yerusalem dan bekerja disana sebagai sebuah impian dan cara untuk melayani Gereja. Agaknya Bapa Suci sendiri tidak terlalu antusias untuk mengirim mereka ke Tanah Suci, dan sebaliknya dalam sebuah kesempatan, secara spontan Bapa Suci pernah mengatakan “Mengapa kamu begitu ingin pergi ke Yerusalem? Itali bisa menjadi sebuah Yerusalem kalau kalian memang sungguh-sungguh mau bekerja bagi Gereja”. Nampaknya perkataan Bapa Suci ini dalam kesempatan berikutnya sungguh menjadi nyata.
Roma pada waktu itu terancam bahaya kelaparan, banyak gelandangan, pengungsi dan juga tingkat pertumbuhan ekonomi yang buruk akibat adanya perang Turki yang mempengaruhi stok pangan dan kebutuhan hidup lainnya. Setting kota yang seperti ini menjadi kesempatan buat Ignatius dan kawan-kawannya untuk berbuat sesuatu membantu banyak orang yang menderita dalam kegiatan sosial. Kegiatan Ignatius ini menjadi sungguh signifikan dan besar sampai-sampai ribuan orang sudah dilayani oleh mereka. Lambat laun mereka mulai sadar bahwa impian pergi ke Yerusalem bukanlah sesuatu yang realistis, mengingat situasi politik dan ekonomi, dan apalagi kalau melihat apa yang ternyata bisa mereka buat di Roma pada waktu itu.
Renungan:
Dalam spiritualitas Ignasian, impian atau keinginan seringkali merupakan pintu masuk untuk menemukan hidup anda dan juga bahkan menemukan kehendak Tuhan sejauh anda mau membawa dan menimbang-nimbangnya di dalam doa dan percakapan hidup anda.
Setiap kali kita melakukan Latihan Rohani, ataupun berdoa secara Ignasian, kita selalu diajak meminta rahmat secara spesifik, yang kita dambakan di awal doa kita. Mengapa demikian? Karena doa dan hidup kita adalah 2 hal yang integral dan terkait satu sama lain. Rahmat Tuhan bekerja lewat kodrat kita sebagai manusia dengan segala dimensinya. Dalam impian-impian kita, energi untuk hidup dan berkembang itu sungguh nyata dan tumbuh. Integrasi keduanya dalam doa dan lewat pembedaan roh sebenarnya merupakan inti pokok dalam spiritualitas Ignasian.
Sekarang soalnya adalah: apakah anda masih berdoa dan memiliki impian hidup? Ataukah 2 hal ini seringkali merupakan 2 hal yang terpisah? Sejauh mana hidup anda merupakan hidup yang terinspirasi dari doa-doa anda? atau hidup anda hanya terinspirasi dari impian anda saja? Ataukah anda hanya hidup dari harapan-harapan kosong doa anda yang lepas dari realitas sehari-hari? Masihkah menemukan ruang dimana energi dalam impian anda itu anda “timbang-timbang” dalam doa dan percakapan anda dengan Tuhan?
8. Ignatius dan Desolasi.
Dimanakah Tuhan ketika kita kesepian? Dimanakah Dia ketika kita terpuruk dalam kelemahan kita? Dimanakah Dia ketika penderitaan datang? Rasanya pertanyaan-pertanyaan tersebut sangatlah tidak asing dalam hidup kita. Apakah Tuhan sungguh meninggalkan kita pada saat-saat yang demikian?
Membaca kisah hidup Santo Ignatius, kita bisa melihat bahwa dari pertobatannya, hidup Ignatius selalu diwarnai dengan kesepian jiwa atau kesepian rohani selain kegembiran dan semangat rohani atau batin yang luar biasa pula. Dalam pertobatannya, kesepian pun dirasakan. Dalam perjalanan rohaninya seringkali dia merasa lelah, putus asa, sendirian, pun bila itu semua adalah demi Kemuliaan Tuhan yang lebih besar.
Kesetiaan Ignatius dan keteguhan iman Ignatius-lah yang membuat imannya berbuah dan semakin meyakinkan dia bahwa Tuhan hadir. Kesepiannya tidak membuat Ignatius goyah iman, tetapi dengan sabar mencoba “menjiarahi” batinnya, menyelami alam kesepian dan berjumpa dengan Tuhan sendiri disana. Kesepian, ibarat Tuhan yang diam, tetapi tetap hadir menemani kita untuk berani masuk ke dalam “gelap”, menyelami relung hati kita, dan terkadang melihat wajah kita yang sesungguhnya…..wajah yang seringkali tidak berani kita tatap sungguh-sungguh, karena penuh dengan kelemahan dan dosa kita.
Inilah yang dalam Spiritualitas Ignasian disebut dengan desolasi (kesepian rohani). yang harus dihadapi dengan dengan besar hati dan sikap berserah kepada Tuhan. Ini mengandaikan iman dan harapan yang besar akan cinta Tuhan sendiri. Kita kiranya bisa sungguh belajar dari Ignatius. Latihan Rohani-nya yang dahsyat itu adalah hasil buah iman dan kepercayaan yang sungguh besar akan kasih Tuhan, dan juga menunjukkan sikap kerendahan hati seorang Ignatius.
Saya mengajak anda merenungkan saat dimana kita berada dalam kesepian rohani dan batin, dan merenungkan sungguh bagaimana kita menghadapinya dengan iman.
9. Ad Maiorem Dei Gloriam.
Ambillah ya Tuhan kebebasanku
kehendakku, budi ingatanku
pimpinlah diriku dan Kau kuasai
perintahlah, akan ku taati
Hanya rahmat dan cintaMu padaku
yang ku mohon menjadi milikku
hanya rahmat dan cinta dariMu
berikanlah menjadi milikku
Lihatlah semua yang ada padaku
kuhaturkan menjadi milikMu
pimpinlah diriku dan Kau kuasai
perintahlah akan kutaati
Doa dan lagu yang sering kita dengar ini adalah bagian dari Latihan Rohani St. Ignatius (no.234), yang bisa menjadi sebuah “ringkasan” perjalanan hidup Ignatius: Mengabdi Sang Pencipta.
Keinginannya adalah mengabdi Tuhan, membawa orang kepada Tuhan dan mencintai orang miskin. Kita mungkin bisa bertanya, darimanakah energi yang Santo Ignatius dapatkan sehingga ia berani meninggalkan Puri Loyola yang megah dan status kebangsawanannya, pergi berjiarah, menjadi pengemis, kembali ke bangku sekolah dan belajar hingga mendirikan Serikat Jesus? Sebuah pejiarahan hidup yang sangat panjang dan tentunya melelahkan.
Satu-satunya jawaban adalah: Perasaan dicintai oleh Tuhan yang begitu besar. Ya, perasaan cinta Tuhan yang begitu besar inilah yang menggerakkan Ignatius. Energi yang dia dapat bersumber dari pengalaman dicintai oleh Tuhan sendiri yang begitu besar. Kisah Ignatius adalah kisah seorang santo yang sangat manusiawi. Dia tidak lepas dari ketakutan, kesepian, godaan atau kelemahan-kelemahan manusiawi lain
Namun alih-alih lari dari realitas itu, Ignatius malah berani menghadapinya, merasakan godaan yang ada dan akhirnya menjadi peka akan kelemahan diri, gerakan roh baik dan jahat serta karakter dirinya. “Menjadi suci adalah menjadi semakin manusiawi, bukan menjadi sempurna”, mungkin begitulah kisah Ignatius bisa kita lukiskan. Artinya, dengan merengkuh nyata kemanusiawian kita, lengkap dengan segala kelemahan dan kedosaan, kita semakin juga merasakan cinta Allah yang besar dalam seluruh perjalanan hidup kita.
Dalam kelemahan kita, Allah pun bekerja, dan seringkali kita menemukan bahwa pengalaman jatuh kita merupakan sebuah ajakan untuk bertemu Dia dan juga ajakan untuk mengenal diri kita secara lebih mendalam. Disinilah cinta Tuhan sungguh menjadi lebih nyata: “Menjadi suci adalah menjadi semakin manusiawi, bukan menjadi sempurna”
Apakah anda pernah merasakan cinta Tuhan? Dimanakah dan bagaimanakah cinta Tuhan itu anda terima dan rasakan? Apakah dalam kelemahan dan pergulatan diri anda, anda pernah menemukan dan berjumpa dengan Tuhan sendiri? Sejauh mana perjumpaan itu membekas dan sungguh mengubah diri anda? Darimanakah energi yang menggerakkan hidup anda sekarang? apakah hidup kita hanya digerakkan semata-mata atas kebutuhan untuk “survive”, semata-mata hanya karena kita harus bekerja, mencari uang, menghidupi diri atau keluarga? atau adakah dimensi spiritual dari apa yang kita kerjakan dalam hidup ini? Dimanakah Tuhan dalam hidup anda?
Mungkin ada baiknya kita menyisihkan waktu untuk merenungkan hal ini….dan akhirnya bisa bertanya sebagaimana Santo Ignatius pun bertanya dalam dirinya kepada Kristus yang tersalib:
“Apa yang telah kulakukan untuk Dia”
“Apa yang sedang kulakukan untuk Dia”
“Apa yang akan kulakukan untuk Dia”
Ad Maiorem Dei Gloriam- begitu semboyan dari Ignatius, yang artinya Demi Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar. Apakah hidup kita adalah wujud ekspresi “Ad Maiorem Dei Gloriam”? Semoga!
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar