Ads 468x60px

Minggu, 5 Nov 2017



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Minggu, 5 Nov 2017
Pekan Biasa XXXI
Maleakhi 1:14b-2:2b.8-10
1 Tesalonika 2:7b-9.13
Matius 23:1-12.
Verba docent exempla trahunt - Kata kata itu mengajar tapi teladan itu menyentuh hati."
Inilah pepatah latin yang seakan mengamini pesan inti Yesus hari ini: “Lakukanlah segala sesuatu yang mereka (para ahli kitab dan orang farisi) ajarkan kepadamu tapi janganlah kamu turuti perbuatan mereka, karena mereka mengajarkan tapi tidak melakukannya.
Dengan kata lain:
Yesus membenci sikap ahli kitab dan orang farisi yang munafik (Arab: منافق, munāfiqūn, "MUlutnya pedas-Nalurinya iri-FIKirannya negatif"), yang tampak dalam beberapa ciri dasar: "bila berkata-ia berdusta; bila berjanji-ia mengingkari; bila diberikan kepercayaan-ia mengkhianati".
Disinilah, kita diajak untuk meninggalkan sikap "NATO - No Action Talk Only", yang hanya sibuk mengobral janji tapi hidupnya tidak terpuji, yang selalu pandai berkata-kata tapi tidak punya cinta, yang hanya pandai berkotbah tapi tidak mau berubah. Imbasnya: walaupun pelbagai ajaran telah dinyatakan-dibentangkan-dicanangkan dan ditaburkan, tapi kerap kehilangan daya dan makna karena yang diajarkan tidak dilaksanakan dan termakan budaya materialistis, alias hanya menjadi “pabrik kata-kata, yang dalam bahasa Cicero: "tak ada benteng yang demikian kuat, di mana uang tak dapat memasukinya".
Jelasnya, kita butuh bahasa keteladanan dan diajak untuk menjadi dan memberi teladan kasih yang hidup karena menyitir Seneca: ‘Manusia lebih percaya pada mata mereka, daripada telinga mereka!”
Maka sebenarnya buat apa kesana kemari mengenakan jubah putih/kalung salib, lambang kesucian dan simbol pemihakan terhadap kebenaran, kalau buta dan tuli terhadap kebenaran itu sendiri?
Bersama dengan datangnya Bulan Arwah pada hari hari ini, atas nama keimanan yang manusiawi dan kemanusiaan yang imani, kita sebagai "homo religiosus" yang mengaku beriman kristiani, semestinya selalu berani memberikan pewartaan kesaksian iman yang hidup akan kerahiman ilahi, dengan “KUD”, karya murah hati, ucapan memberkati dan doa yang sepenuh hati. Ego Mitto Vos - Aku sekarang mengutus kamu!
"Cari baju di Lebak Bulus - Mari maju dengan hati yang tulus."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

NB:
1.
“Exempla in terris - Teladan di tengah dunia”.
Inilah harapan Yesus bahwa kita bisa menjadi teladan iman, bukan hanya dengan kata-kata (”verbum”) tapi lebih pada tindakan nyata yang penuh kebaikan (”bonum”).
Adapun 3 ajakan Yesus sebagai Sang Teladan Utama, antara lain:
A.”TE”guhkan iman dengan kerendahan hati:
Menyitir pesan Nabi Yesaya, "Basuhlah - bersihkanlah dirimu dan jauhkanlah perbuatanmu yang jahat dari mataKu. Berhentilah berbuat jahat dan belajarlah berbuat baik”.
Yesus dengan penyalibanNya sendiri dengan tegar mau meneguhkan iman kita: Ia rela mengalami sengsara fisik-sengsara rohani -sengsara sacramental dan sengsara aktual. Inilah derita, “passio” yang meneguhkan iman kita untuk bertindak.
Jelasnya, Yesus meneguhkan iman kita karena Ia jelas hadir demi GerejaNya yang dikejar-kejar, dalam mereka yang sakit-menderita dan yang mengalami ketidakadilan.
B.”LA”yani Tuhan dengan kemurahan hati:
Jalan terbaik menjadi teladan bukan melulu dengan menjadi “leader, tapi dengan menjadi “server”: Barangsiapa mau menjadi yang terbesar hendaklah ia mau melayani yang lain.”
Kalau kita hidup untuk saling melayani bukankah Ia hadir bersama kita, mulailah dengan hal-hal kecil dan sederhana karena bukankah pohon raksasa juga mulai dengan benih kecil dan orang yang paling perkasa pada mulanya adalah seorang bayi yang lemah dan tak berdaya?
C.”DAN” jauhi kemunafikan dengan ketulusan hati:
Dalam buku saya (“TANDA’, RJK, Kanisius) ada tiga indikasi orang munafik, al:
- MU lutnya pedas
- NA lurinya iri hati
- FIK irannya negatif
Dengan kata lain:
Hidup iman dan sikap baik kita harus dibarengi dengan kemurnian hati/”intentio pura” (bukan pura-pura) bagi kemuliaan Tuhan.
Yang pasti, Tuhan memang tinggi sekali tapi Ia melihat ke bawah, ke tempat yang rendah. Sebab itu janganlah mencari gunung yang tinggi untuk bertemu Tuhan. Bila kita meninggikan diri setinggi-tingginya, Ia akan menarik Diri sejauh-jauhnya. Tapi, jika kita merendahkan diri serendah-rendahnya, Ia akan tunduk mendekati kita sedekat-dekatnya.
Sudahkah kita rendah hati-murah hati dan tulus hati?
“Naik sedan di Pangkalan Jati – Jadilah teladan iman dengan sepenuh hati”.
2.
"Zi Bingfa - Seni Berperang."
Inilah salah satu judul buku karya Sun Zi, dimana dia pernah mengungkapkan:
"Sekuntum bunga sebenarnya menjadi elok berkat dukungan daun-daun yang hijau." Daun hijau yang memiliki klorofil-sekalipun tidak seelok bunga, mempunyai fungsi vital, yakni sebagai pemasok nutrisi karbohidrat melalui proses fotosintesis dari air dan gas asam arang serta penyinaran matahari.
Disinilah, kita diingatkan untuk tidak boleh menjadi sombong dan merendahkan yang lain, seperti yang ditunjukkan oleh para ahli Taurat dan orang Farisi: Alih-alih membuka kerajaan surga, mereka malahan menjadi batu sandungan bagi sesama.
Tentang mereka, Yesus berkata:
"Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksudkan untuk dilihat orang" (Mat 23:5).
Disinilah, kita diajak untuk menyatakan kehadiranNya dengan sikap tulus dan rendah hati: "Siapa saja yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu".
Dengan kata lain:
Jika kita hidup dengan tulus dan rendah hati di hadapanNya, "isi" kita jauh lebih penting daripada "sampul" luarnya karna kita semua adalah saudara, yang setara dan se-udara di ladangnya Tuhan, sekalipun memiliki fungsi yang berbeda-beda.
Yah, entah menjadi "bunga" atau "daun hijau", kita dapat terus saling bersinergi dan mendukung orang lain untuk bersama menghasilkan "buah-buah" yang baik dengan sikap nyata penuh ketulusan dan kerendahan hati.
"Belajar kalkulus di Gunung Jati - Jadilah orang yang tulus dan rendah hati."
3.
"Via purgativa - Jalan pemurnian."
Inilah sebuah keutamaan imani yang diwartakan Yesus. Ia menasehati para muridNya untuk mendengarkan dan melakukan segala yang diajarkan para pemimpin agama, namun tak boleh meniru perbuatan mereka.
Jelasnya, mereka yang dianggap sebagai "tokoh/pemuka" ternyata bukan pemimpin tapi pemimpi, bukan pahlawan tapi pecundang, tidak otentik tapi munafik.
Adapun 3 mentalitas orang munafik yang "MUlutnya pedas, NAlurinya iri dan FIKirannya negatif", antara lain:
a."Tomat - Sekarang tobat besok kumat."
b."Dele - Esuk dele sore tempe lambe domble mencla mencle".
c. "Blangkon - Bisa kotbah tidak bisa nglakoni."
Inilah 3 identitas banyak orang yang tidak mempunyai integritas karena yang dikatakannya tidak sesuai dengan yang dilaksanakannya. Mereka melakukan kebaikan hanya demi dilihat orang namun sikap asli mereka sehari-hari sangat buruk dan menjadi batu sandungan untuk yang lainnya.
Singkatnya, kita diajak belajar hidup murni dengan spiritualitas iman berpola “3K”, antara lain:
A."Ketulusan/intentio pura".
Inilah sikap yang tidak ber"pura-pura", tapi penuh ketulusan dan bukan kepalsuan.
Lihatlah Yesus! Ia mengambil sikap seorang Hamba yang menderita bahkan taat sampai wafat di kayu salib (bdk. Flp 2:7-8).
B."Kerendahan hati".
Sebuah sikap yang didasari pengalaman kasih akan banyak nya rahmat Allah (gratia domini).
Dan, syukur pada Allah, karena sadar akan berlimpahnya rahmat ilahi, Gregorius (540-604) adalah paus pertama yang menggunakan secara luas sebutan “Pelayan dari Para Pelayan Tuhan” (servus servorum Dei) sebagai sebuah gelar paus, sehingga melahirkan kebiasaan baik di kepausan untuk bertindak penuh kerendahan hati: "Barangsiapa meninggikan diri, akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri, akan ditingggikan."
C."Keterbukaan".
Inilah sebuah sikap yang tidak mudah menghakimi tapi selalu berani untuk belajar memahami, yakni melihat kebaikan orang lain dengan selalu membuka diri-hati dan budi, tanpa praduga.
Indahnya, tiga spiritualitas iman “3K” ini akan lebih mudah membawa kita pada sikap penyerahan dan kepasrahan diri kepada kebijaksanaan dan bimbingan Allah, yang selalu membutuhkan pengampunan, belas kasih, pertolongan dan bimbingan Tuhan.
"Dari Lebak Bulus ke Efesus - Orang tulus disayang Tuhan Yesus."
4.
ULASAN EKSEGETIS.
BOROK KEHIDUPAN AGAMA?
Suatu ketika di Bait Allah Yesus menyoroti tajam-tajam sikap tercela para ahli Taurat dan kaum Farisi (Mat 23:1-12, Injil Minggu Biasa XXXI tahun A). Kepada orang banyak dan para murid diajarkannya agar kelakuan itu tidak mereka ikuti, sekalipun orang-orang itu mempunyai hak mengajarkan Taurat. Mereka membebani orang dengan ajaran-ajaran tanpa bersedia menjalaninya sendiri. Mereka suka dipandang sebagai orang saleh, ingin diberi tempat kehormatan di tempat ibadat, mengharapkan sanjungan di hadapan umum. Tingkah mereka ini malah menjadi karikatur kesalehan beragama.
A. Borok Kehidupan Agama
Teks hari ini mudah dan kerap dipakai untuk melancarkan kritik terhadap para pemimpin masyarakat, khususnya mereka yang bergerak di bidang hidup agama. Tetapi apakah Injil pertama-tama bertujuan membuka borok-borok kaum agamaist seperti itu? Seandainya hanya itu, akan lebih menarik bila juga kita datangkan seorang karyawan pastoran atau pembantu biara untuk curhat tiga menit di mimbar sebagai selingan dalam khotbah. Dia bakal jadi narasumber otentik tentang bagaimana orang melihat kehidupan di pastoran. Atau bila keadaan mengizinkan, tayangkan sekaligus video (dengan muka para pembicara dikelabukan demi anonimitas) mengenai keluhan-keluhan seorang istri atau seorang suami atau anak terhadap tuntutan yang terasa terlalu besar untuk menjalankan hidup berumah tangga ideal menurut ajaran Gereja. Peragaan seperti itu akan lebih seru. Tapi itukah warta Injil hari ini? Rasa-rasanya bukan. Pewarta sabda tidak diminta menitip-nitipkan kritik ke dalam Injil dan memuatinya dengan nasihat dan seruan moralistis, atau memakainya sebagai pijakan bercurhat.
B. Di Bait Allah.
Ketika Yesus masuk di Yerusalem setelah disambut meriah di Betfage, seluruh kota jadi gempar (Mat 21:10). Pada hari itu juga ia datang di Bait Allah dan menyadarkan orang bahwa rumah doa itu kini telah jadi sarang “penyamun” (21:12-13).
Di situ juga, ia menyembuhkan orang-orang buta dan orang-orang timpang. Imam-imam kepala dan ahli Taurat tak senang melihat kepopuleran Yesus di wilayah mereka. Malamnya Yesus ke luar kota dan menginap di Betania yang terletak di sebelah timur Yerusalem (21:18). Keesokan harinya ia kembali ke Yerusalem dan masuk lagi ke Bait Allah (21:23).
Di situ terjadi serangkai pembicaraan dengan para pemimpin Yahudi yang mempermasalahkan kesahihan kuasa Yesus. Dalam kesempatan inilah ia mengajar dengan perumpamaan mengenai para penggarap kebun anggur yang mau merebut hasil serta tanah sang majikan (21:33-45) dan perumpamaan para undangan ke perjamuan nikah dan pakaian pesta (22:1-14). Di situ juga diberikan pemecahan masalah membayar pajak kepada Kaisar (22:15-22), jawaban bagi penolakan orang Saduki terhadap kebangkitan (22:23-33), dan pengajaran mengenai hukum yang terutama (22:34-40) dan penjelasan mengenai hubungan antara Yesus dan Daud (22:41-46).
Peristiwa yang disampaikan Injil hari ini terjadi di Bait Allah juga. Pengajaran ini disusul dengan tujuh kecaman keras terhadap sikap para ahli Taurat dan orang Farisi termasuk para pemimpin (23:13-36) dan keluhan terhadap kota Yerusalem (23:34-35). Setelah itu Yesus keluar dari Bait Allah dan Injil Matius mulai menceritakan pengajaran Yesus mengenai akhir zaman (24:1-25:46). Ini semua terjadi dua hari ia ditangkap untuk disalibkan dua hari menjelang Paskah orang Yahudi (26:2).
Konteks di atas dapat membantu menjelaskan pengajaran Yesus. Ia ditampilkan Matius sebagai orang yang berkuasa mengajar hal-hal mengenai Allah – di rumah-Nya sendiri. Bukan lagi para ahli Taurat dan orang Farisi. Wibawa mereka sudah pudar karena mereka tak menjalankan yang mereka ajarkan sendiri.
Akan tetapi kuasa yang kini dimiliki Yesus membawa risiko. Mereka yang tak senang kepadanya membuat rencana untuk menjatuhkannya. Yesus menerimanya sebagai bagian dari tugasnya (26:1-5). Ia juga menyadari bahwa risiko ini akibat dari keteguhannya dalam mengasihi Allah dengan seutuh-utuhnya dan mengasihi sesama yang sama-sama manusia. Ia menghayati yang diajarkannya. Di situlah integritasnya.
C.Kursi Musa.
Dalam terjemahan Indonesia dikatakan bahwa ahli Taurat dan orang Farisi “telah menduduki kursi Musa”. Sayang, kata “menduduki” dapat memberi kesan “menghuni dengan tanpa hak, merebut” yang tidak dimaksud di sini. Lebih cocok bila dikatakan “duduk di kursi Musa”.
Dalam tradisi Yahudi, memang para ahli Taurat dan kaum Farisi diakui memiliki wewenang mengajarkan dan menafsirkan Taurat dengan wibawa seperti yang dimiliki Musa sendiri. Pengaruh mereka mulai besar pada abad ke-5 seb. Masehi, yakni setelah orang Yahudi kembali dari pengasingan di Babilonia.
Pada zaman itu dibutuhkan pegangan untuk membangun kembali kehidupan bangsa dan agama. Dapat dimengerti bila sisi “hukum” ajaran agama lebih ditonjolkan. Tiap kali masyarakat Yahudi terdesak oleh kuasa politik dari luar, maka ciri-ciri legalistis kepercayaan mereka makin menjadi menonjol.
Keadaan seperti ini sering dijumpai di pelbagai masyarakat, juga pada zaman kita sekarang. Tentu saja ada ekses. Dan inilah yang dibicarakan dalam petikan hari ini. Pengajaran dan kesaksian hidup pribadi sering tidak sejalan. Boleh dikatakan ketimpangan itu berpusat pada diabaikannya hidup beragama yang semestinya bergantung pada dua perintah yang terbesar yang dibicarakan dalam bagian sebelumnya (Mat 22:34-40; Injil Minggu Biasa XXX tahun A).
D.
Pembaca Injil Matius Dulu dan Kini.
Injil Matius tumbuh di kalangan orang-orang Yahudi yang menjadi pengikut para rasul. Orang-orang itu memiliki latar pendidikan Taurat yang kuat dan memang berusaha hidup menurut ajaran agama dengan sebaik-baiknya. Memang ada yang jadi bersikap legalistis.
Ini terjadi juga di antara mereka yang sudah bergabung dengan para pengikut Yesus. Injil hari ini sebenarnya berbicara mengenai orang-orang seperti ini walaupun penyampaiannya berlatarbelakang kecaman Yesus terhadap para ahli Taurat dan kaum Farisi. (Tidak semua pemimpin dan ahli Taurat atau kaum Farisi tercela hidupnya. Ada orang-orang seperti Yusuf Arimatea dan Nikodemus; ada juga Saulus, orang Farisi yang fanatik tetapi yang kemudian menjadi rasul Paulus.)
Pembaca dari zaman dulu melihat masa lampau mereka sendiri secara kritis. Dengan halus mereka hendak menyampaikan kepada rekan-rekan mereka agar tidak lagi mengikuti cara lama itu. Mereka mau menyadari sisi mana dari cara hidup mereka tidak bisa lagi memberi inspirasi dan tidak bisa menjawab tantangan zaman. Mereka mau menimba kebijaksanaan dari ingatan para guru mereka yang masih mengenal Yesus ketika mengajar di Yerusalem dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh di sana. Inilah yang ditampilkan Matius.
Tentunya pembaca dari zaman sekarang tidak hanya berminat pada keadaan dulu-dulu saja. Kita ingin memakai Injil sebagai inspirasi hidup di zaman ini. Sebenarnya kuncinya juga terdapat di dalam Injil Matius sendiri.
Secara sederhana begini. Seluruh pengajaran Yesus menjelang akhir hidupnya dalam Mat 23 ditampilkan Matius sebagai gema atau padanan pengajarannya ketika ia mulai tampil, yakni ketika ia mengajar “orang banyak dan murid-muridnya” di sebuah bukit (Mat 5:1 dan 5:17-7:29).
Baik diperiksa bagaimana bagian yang memuat tujuh kecaman terhadap pemimpin, ahli Taurat dan orang Farisi (Mat 22:13-36, kelanjutan bacaan hari ini) berpadanan dengan Sabda Bahagia (Mat 5:3-12).
Mereka yang dicela itu dikatakan telah menutup pintu-pintu Kerajaan Surga (22:13), bdk. orang miskin dan orang yang dianiaya yang dalam Sabda Bahagia dikatakan bakal memiliki Kerajaan Surga (5:3 dan 10); mereka disebutkan calon penghuni neraka (22:15), bdk. pembawa damai yang akan disebut anak-anak Allah (5:9); mereka disebut buta (22:16-22), bdk. orang yang bersih hatinya yang akan melihat Allah (5:8); mereka mengabaikan belas kasihan (22:23-24), bdk. orang yang berbelaskasihan yang akan mendapat belas kasihan (5:7); mereka rakus tak pernah kenyang (22:25-26), bdk. orang lapar dan haus yang akan dipuaskan (5:6); batin mereka membusuk seperti mayat yang dikubur (22:27-28), bdk. orang berduka cita yang akan dihibur (5:4); kelakuan jahat mereka akan menjadi hukuman mereka sendiri (22:29-35), bdk. orang lemah lembut yang akan memiliki bumi (5:5).
Ada gambaran mengenai keadaan yang bakal terjadi bila pengajaran di bukit dan Sabda Bahagia tidak dihayati. Mereka yang merasa wajib menegakkan hukum agama malah akan menindas kehidupan agama sendiri! Ini kendala hidup beragama yang tidak sampai pada inti sikap beragama sendiri. Malah bisa memburuk dan memborok.
Injil Matius hendak membawa pembaca kembali ke inti kehidupan orang yang percaya, yakni ke pokok pewartaan Yesus sendiri: mengajak orang menyongsong masa depan di dalam Kerajaan Surga agar menemukan kembali manusia yang utuh. Dan sekali lagi, di situ kemerdekaan manusia serta kebijaksanaan menghayatinya menjadi pusat perhatian.
(Agustinus Gianto, SJ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar