Ads 468x60px

JERUSALEM: "TIGA AGAMA, SATU TUHAN".



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
JERUSALEM: "TIGA AGAMA, SATU TUHAN".
Yerusalem adalah kota yang istimewa, kota suci bagi orang Yahudi, Kristiani, dan Muslim, dan memiliki panggilan yang kuat akan perdamaian. Saya berdoa kepada Allah agar identitasnya yang demikian tetap terjaga dan dikuatkan demi kebaikan Tanah Suci ini, daerah Timur Tengah, dan seluruh dunia (Paus Fransiskus).
"Syalom - Damai!”
Kata ini punyai makna yang sangat luas, tidak sekedar harmonisasi antara kita dengan yang lain tapi juga keutuhan, kesejahteraan, kesehatan, kesembuhan bahkan pembebasan dan keselamatan.
Karena itu, kata “shalom” dalam bahasa Yunani diterjemahkan dengan 3 matra, yaitu:
- eirene (kedamaian, kesejahteraan)
- hugianinein (keadaan baik, sehat)
- soteria (pembebasan, keselamatan, kesembuhan)
Syalom kerap identik dengan Yerusalem (Ibr: Kota Damai) yang kerap disebut sebagai pintu gerbang surga: “Aku bersukacita ketika dikatakan orang kepadaku: Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Sekarang kaki kami ada di pintu gerbangmu, hai Yerusalem.” (Mzm 122)
Yerusalem - nama itu bergema di hati umat Kristen, Yahudi dan Muslim sejak berabad-abad sengketa dan sejarah bersama. Dalam bahasa Ibrani disebut Yerushalayim (kota damai) dan dalam bahasa Arab disebut al-Quds,
Yerusalem sendiri merupakan salah satu kota tertua di dunia. Di masa lalu, kota ini pernah berulang kali direbut, ditaklukan, dihancurkan dan dibangun kembali oleh berbagai pihak, dan seakan setiap lapisan buminya mengungkapkan berbagai potongan sejarah masa lalu.
Pusat -bahkan inti- Yerusalem adalan bagian Kota Tua, suatu labirin gang-gang sempit dan arsitektur bersejarah yang menandai empat penjuru kota - kawasan Kristen, Muslim, Yahudi dan Armenia. Dikelilingi oleh dinding batu berupa benteng tempat berdirinya sejumlah situs tersuci di dunia.
Setiap kawasan mewakili populasi tersendiri. Orang-orang Kristen memiliki dua kawasan, karena orang-orang Armenia juga beragama Kristen. Kawasan Armenia ini, yang terkecil dari keempatnya, adalah salah satu pusat Armenia tertua di dunia.
Di dalam "Kawasan Kristen", terdapat Gereja Makam Suci, sebuah tempat ziarah penting para penganut orang Kristen di seluruh dunia. Tempat itu terletak di sebuah lokasi yang sangat penting dalam kisah Yesus: kematian, penyaliban dan kebangkitannya.
Dalam kepercayaan tradisi Kristen pada umumnya, Yesus disalibkan di sana, di bukit Golgota atau bukit Kalvari, dan makamnya terletak di dalam bangunan pekuburan yang juga diyakini sebagai tempat kebangkitannya.
Gereja Makam Suci dikelola bersama oleh perwakilan aliran Kristen yang berbeda, terutama Patriarkat Ortodoks Yunani, kaum biarawan Fransiskan dari Gereja Katolik Roma dan Patriarkat Armenia, serta kalangan kristen Ortodoks Etiopia, Koptik dan Suriah.
Tempat ini adalah salah satu tujuan ziarah utama bagi ratusan juta orang Kristen di seluruh dunia yang mengunjungi makam kosong Yesus dan mencari penebusan dalam doa di lokasi tersebut.
Sedangkan "Kawasan Muslim" adalah yang terbesar dari keempatnya dan berisi tempat suci Kubah Batu (Kubah As-Shakrah, atau Dome of the Rock) dan Masjid al-Aqsa di dataran tinggi yang dikenal oleh umat Islam sebagai Haram al-Sharif. Masjid yang dikelola oleh sebuah lembaga wakaf itu merupakan tempat tersuci ketiga dalam Islam setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW datang ke Masjidil Aqsa ini dari Mekkah dalam perjalanan malam Isra Miraj, dan solat dan berdoa bersama ruh para nabi. Beberapa langkah dari masjid, adalah Kubah As-Shakrah yang berisi batu fondasi yang diyakini umat Islam sebagai tempat bertolak Muhammad menuju surga dalam peristiwa Isra Miraj.
Dan di "Kawasan Yahudi", terdapat Kotel atau Tembok Ratapan, atau Tembok Barat, sisa dari dinding tempat berdirinya Bait Suci zaman dulu.
Di dalam tempat suci itu terdapat Ruang Maha Kudus, situs paling suci dalam agama Yahudi.
Umat Yahudi percaya bahwa inilah tempat batu fondasi penciptaan dunia, dan tempat Abraham (atau Nabi Ibrahim), siap mengorbankan anaknya Ishak (atau Ismail). Saat ini, Tembok Ratapan adalah tempat orang Yahudi bisa berdoa dan meratap sekaligus mengadakan ibadat atau acara bersama. Situs ini dikelola oleh Rabi dari Tembok Barat dan setiap tahun menampung jutaan pengunjung. Orang-orang Yahudi dari seluruh dunia mengunjungi tempat ini untuk berdoa.
Indahnya, dalam peta, Yerusalem bahkan dianggap sebagai kota yang paling terkenal. Karen Amstrong, seorang penulis "History of God" dan seorang mantan biarawati pernah menyebutnya sebagai “kota tiga agama satu Tuhan” karena disanalah jelas hidup dan berkembang tiga agama monoteis besar yang sebenarnya juga merupakan satu keluarga yang tadi sudah sempat kita bahas juga: Ada Islam dengan Masjid Al-Aqsa. Ada Yahudi dengan Tembok Ratapan. Ada Kristiani dengan Taman Getsemani dan Gereja Makam Suci di Kalvari.
Pastinya, di Yerusalem inilah, jelas terdapat banyak warisan sejarah, semacam historiografi agama agama monoteis. Ada Bukit Moria, tempat Abraham mengorbankan Ishak anaknya. Raja Daud pernah juga menetapkan Yerusalem sebagai ibukota Israel. Salomo juga pernah membangun Bait Suci, kediaman Allah di kota ini.
Ya, Yerusalem diyakini sebagai tempat inspirasi bagi banyak nabi, seniman-penyair dan ilmuwan. Bagi kita, Yesus banyak mengajar, disengsarakan, wafat di salib dan bangkit di Yerusalem juga, bukan?
Nah, kitapun diajak menjadi “a channel of peace”, sebuah “yerusalem” dengan huruf kecil.
Kitapun tak perlu mencari “yerusalem” jauh jauh karena segala sesuatu, bahkan yang biasa dan sederhana juga menghadirkan sebuah “yerusalem” yang luar biasa dan istimewa.
Disinilah, tercandra bahwa kedamaian bukan hanya untuk dipikirkan tapi untuk dihayati lewat dunia harian, lewat olah rasa hati dan cita rasa budi sehari3, yang ber-“budi” sekaligus ber-”budaya”, bukan melulu sebagai budi yang substantif apalagi sekedar normatif.
Lebih lanjut, setiap mengenang Yerusalem, saya terkenang sepenggal pepatah latin: "Pulvis et umbra sumus - Kita hanyalah debu dan bayangan." Dari ungkapan ini, terbesit suatu fakta bahwa kita adalah terbatas. Prinsip ini juga berlaku bagi Yerusalem yang kerap disebut "City of GOD."
Secara rinci, Yesus sendiri pernah melukiskan kehancuran Yerusalem, yang membawa penderitaan luar biasa karna banyak yang tewas oleh pedang dan menjadi tawanan.
Semua ini merupakan penggenapan teks Kitab Suci (Ul. 28:32; Yer. 7:14-26, 30-34; 17:27; Mik. 3:12; Zef. 1:4-13), sebagai dampak atas ketidaktaatan Israel yang menolak dan menyalibkan kehadiran Mesias.
Peristiwa penghancuran Yerusalem sendiri merupakan bentuk nyata murka Allah (Th 70M, tentara Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus menghancurkan Yerusalem serta Bait Allah (Ada 97.000 orang dipenjarakan dan 1.100.000 orang terbunuh).
Di lain segi, habisnya waktu dan hancurnya "yerusalem" itu juga akan jelas terjadi ketika Kristus datang untuk kedua kalinya dengan penuh kekuasaan dan kemuliaan yang ditandai bencana, malapetaka dan chaos/ kekacauan sesama dan semesta.
Indahnya, di balik ketegasan dan keadilan Allah, tetap ada kemurahan dan kerahiman yang berbelaskasihan: "Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya, Apabila semua itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatanmu sudah dekat."
Jelasnya, Ia memberikan dua modal untuk menghadapi masa masa akhir itu, antara lain:
1."Bangunlah":
Kita diajak untuk bangkit dari "kuburan", keluar dari kubangan dosa kita masing masing sehingga menjadi orang yang siaga dan berjaga, tidak ikut-larut hanyut dalam arus dunia ini.
2."Angkatlah mukamu":
Kita diajak untuk berani karna bersama Tuhan.
Inilah sebuah optimisme iman bahwa Tuhan pasti tidak akan meninggalkan hambaNya yang selalu hidup bersama dan dalam namaNya.
Ini membuahkan sikap yang berani dalam menghadapi segala peristiwa hidup, yang kadang tidak mudah dan tidak indah, yang kadang kelabu dan abu abu, yang kadang menegangkan dan menyedihkan.
"Ada galah di rumah Abdullah - Selalu bangunlah dan berjagalah!"
=====
Hosanna filio David: benedictus qui venit in nomine Domini. Rex Israel: Hosanna in excelsis.
Terpujilah Putra Daud! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan! Terpujilah Yang Mahatinggi!
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
Pasca Perang 1948, Dimana Tanah Palestina?
Kisah bermula dari imperium Turki Usmani (khilafah yang sering dibanggakan HTI) yang sudah sakit-sakitan di awal abad XX. Banyak orang di wilayah kekuasaan Turki di Afrika Utara dan Asia Barat yang tidak puas.
Inggris sebagai saingan Turki menjanjikan kemerdekaan kepada orang-orang Arab kalau mereka mau melawan Turki bersama Inggris.
Dengan kekuatan Arab-Inggris itu, kekuasaan Turki di wilayah itu dipreteli. Inilah sebabnya maka orang-orang HTI sangat anti pada nasionalisme. Nasionalisme Arab dianggap biang kerok hancurnya Turki Usmani.
Inggris tak serta merta memerdekakan mereka pasca Perang Dunia I. Melalui Persetujuan Skyes-Picot dengan Perancis, wilayah daerah bekas kekuasaan Turki itu dibagi-bagi.
Perancis menguasai wilayah utara meliputi Syiria, Lebanon, dan Irak. Inggris menguasai wilayah selatan. Wilayah yang kini menjadi konflik antara Israel dan Palestina dikelola Inggris dengan sebutan Mandate of Palestine. Wilayah sebelah timur Laut Mati diberi nama Transjordan, diserahkan secara otonom kepada Abdullah bin Husein bin Ali. Husein bin Ali ini tadinya adalah penguasa Hijaz, kekuasaannya termasuk wilayah Mekkah. Ia kemudian disingkirkan oleh keluarga Ibnu Saud, yang kemudian mendirikan Kerajaan Saudi, yang berkuasa hingga kini.
Mandat Palestina di Inggris akan berakhir tahun 1948. Usai Perang Dunia II Inggris berencana memerdekakan wilayah itu, dengan membaginya untuk orang Arab dan Yahudi. Sebelumnya Inggris pernah menjanjikan wilayah kekuasaan bagi orang Yanudi melalui Deklarasi Balfour.
Keinginan Inggris itu ditentang oleh orang-orang Arab, tapi didukung oleh komunitas Yahudi. Inggris tidak menyelesaikan masalah, kemudian menyerahkannya pada PBB. Lalu muncullah usulan Partition Plan, yang membagi wilayah itu menjadi 2 wilayah. Satu bagian untuk Arab, satu bagian untuk Yahudi, ditunjukkan pada peta kiri pada foto.
Inggris meninggalkan wilayah itu di tahun 1948, maka terjadilah kekosongan kekuasaan. Negara-negara Arab, yaitu Mesir, penguasa Transjordania (yang kemudian menjadi Yordania), Syiria, dan Lebanon, menyerbu, berharap dapat menguasai wilayah itu. Pihak Yahudi memproklamasikan kemerdekaan, lalu melawan. Terjadilah Perang Arab-Israel 1948.
Tentara Arab sempat menguasai hampir seluruh wilayah, tapi kemudian berhasil dipukul mundur oleh Israel. Di akhir perang, Israel menguasai banyak wilayah, lebih banyak dari yang diperintukkan baginya dalam Partition Plan. Tentara Mesir hanya menguasai Gaza, sedangkan Tepi Barat dikuasai oleh Yordania.
Lalu, apa yang dilakukan Mesir pada Gaza, yang tadinya diperuntukkan oleh Inggris bagi negara Arab Palestina? Tidak ada. Mesir tetap mengontrolnya sebagai wilayah kekuasaannya sendiri. Mesir sempat mendirikan All Palestinian Government, tapi sifatnya hanya simbolik. Gaza tetap berada dalam kontrol militer Mesir. Belakangan administrasi All Palestinjan Government malah ditarik ke Kairo, dan menjadi semakin tidak jelas.
Tepi Barat dikuasai Yordania. Yordania menjalin perjanjian perbatasan dengan Israel, kemudian menjadikan wilayah itu sebagai wilayah kekuasaannya. Orang-orang yang tinggal di situ diberi kewarganegaraan Yordania.
Nah, di mana wilayah negara Palestina saat itu? Tidak ada. Siapa yang menduduki wilayah yang seharusnya jadi wilayah Palestina sesuai usulan Partition Plan? Mesir dan Yordania. Sebagian lagi dikuasai Israel.
Kalau Israel disebut menjajah Palestina, bagaimana dengan Mesir dan Yordania? Kalau seandainya Israel waktu itu kalah, akankah negara-negara Arab itu menyerahkan wilayah tadi menjadi negara Palestina, atau, mereka menguasainya sebagai wilayah kekuasaan mereka sendiri?
B.
Yerusalem dan Paus Fransiskus.
Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, mengomentari rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dalam komentarnya, Paus Fransiskus membela status quo Yerusalem.
Status quo yang dimaksud adalah pemahaman bersama di antara komunitas keagamaan dengan penuh hormat terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem dan Bethlehem. Setidaknya tiga agama, yakni Islam, Yahudi dan Kristen memiliki tempat suci di kedua wilayah itu.
"Saya tidak bisa diam saja soal kekhawatiran mendalam saya terkait situasi yang muncul beberapa hari terakhir. Pada saat bersamaan, saya memohon dengan tulus kepada semua pihak untuk menghormati status quo kota itu (Yerusalem), sejalan dengan resolusi-resolusi PBB terkait," ucap Paus Fransiskus saat menyampaikan pernyataan mingguannya, seperti dilansir Reuters dan AFP.
"Yerusalem adalah kota yang unik, sakral bagi umat Yahudi, Kristen dan Muslim," imbuh Paus Fransiskus. Menurut Paus Fransiskus, Yerusalem memegang 'panggilan khusus untuk perdamaian'. "Saya berdoa kepada Tuhan agar identitas ini dijaga dan dikuatkan demi Tanah Suci, Timur Tengah dan seluruh dunia, dan agar kebijaksanaan juga kehati-hatian bisa diberlakukan," harap Paus Fransiskus.
Ditambahkan Paus Fransiskus bahwa menjaga status quo itu penting 'demi menghindari munculnya elemen ketegangan baru' di dunia yang telah bobrok oleh begitu banyak konflik.
C.
Reaksi Atas Yerusalem.
SURAT TERBUKA KEPALA GEREJA-GEREJA DI YERUSALEM UNTUK TRUMP
Patriark dan Kepala Gereja-gereja Lokal di Yerusalem mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang baru saja mengumumkan pengakuan resmi AS tentang Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Apa isi surat itu?
Surat terbuka itu dilampirkan oleh Uskup Canterbury Justin Welby yang merupakan uskup paling senior dalam Gereja Inggris, lewat akun Twitternya pada 6 Desember 2017. "Surat dari kepala-kepala Gereja di Yerusalem untuk Presiden @realDonaldTrump," tulis Uskup Welby sambil me-mention langsung akun Twitter pribadi Trump.
Dalam surat terbuka yang ditulis di Yerusalem tertanggal 6 Desember 2017 itu, para kepala gereja Yerusalem memberikan penjelasan mengenai status Yerusalem kepada Trump. Pada intinya mereka meminta Trump untuk tetap mempertahankan status quo atau status internasional Yerusalem yang selama ini berlaku.
"Tanah kami disebut sebagai tanah perdamaian. Yerusalem, kota Tuhan, adalah sebuah kota perdamaian bagi kami dan bagi dunia. Sayangnya, meskipun, tanah suci kami dengan Yerusalem sebagai Kota Suci, hari ini menjadi tanah konflik," demikian bunyi surat terbuka itu.
Disebutkan bahwa tiga agama -- Yahudi, Islam, dan Kristen -- yang ada di Yerusalem selalu meminta perdamaian dalam doa-doanya.
"Pak Presiden, kami mengikuti, dengan kekhawatiran, laporan-laporan kemungkinan perubahan soal bagaimana Amerika Serikat memahami dan menangani status Yerusalem. Kami yakin langkah-langkah semacam itu akan meningkatkan kebencian, konflik, kekerasan dan penderitaan di Yerusalem dan Tanah Suci, membawa kita menjauh dari tujuan persatuan dan semakin mendalam pada pemecah-belahan yang menghancurkan," sebut kepala-kepala Gereja di Yerusalem dalam suratnya.
"Kami meminta kepada Anda, Pak Presiden, untuk membantu kami berjalan menuju cinta kasih dan perdamaian yang pasti, yang tidak bisa tercapai tanpa Yerusalem diperuntukkan bagi semua," imbuh surat terbuka itu.
"Saran dan permohonan serius kami adalah agar Amerika Serikat terus mengakui status internasional Yerusalem saat ini. Setiap perubahan mendadak akan memicu bahaya yang tidak bisa diperbaiki," imbau mereka untuk Trump.
Para kepala gereja di Yerusalem meyakini bahwa Israel dan Palestina bisa mewujudkan perdamaian yang adil dan abadi. Mereka menyebut, Yerusalem bisa dibagi dan dinikmati secara penuh oleh setiap orang yang tinggal di dalam Kota Suci itu.
"Menjelang Natal ini, kami memohon agar Yerusalem tidak dijauhkan dari perdamaian, kami meminta Anda Pak Presiden, untuk membantu kami mendengarkan suara malaikat. Sebagai pemimpin umat Kristen di Yerusalem, kami mengundang Anda untuk berjalan bersama kami dalam harapan, bahwa kita bisa membangun perdamaian yang inklusif, adil untuk semua warga kota unik ini dan Kota Suci," demikian bunyi surat terbuka itu.
====
TAK SEMUA YAHUDI ISRAEL DUKUNG KLAIM TRUMP SOAL YERUSALEM
Issa Jaber, seorang keturunan Yahudi beragama Islam, tak mendukung kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Wali Kota Abu Gosh, Yerusalem, itu menyebut kebijakan Trump bisa mengganggu stabilitas keamanan.
Setelah Trump mengumumkan kebijakan AS pada Kamis dini hari tadi, muncul reaksi keras dari warga Palestina. Jumat besok, warga di Jalur Gaza dan Tepi Barat akan menggelar unjuk rasa besar-besaran. Hal inilah yang membuat dia resah dan tak setuju dengan kebijakan Trump tersebut. "Tentu saya tidak setuju. Kebijakan Trump bisa mengganggu stabilitas di sini," kata Issa.
Di Yerusalem, kata Issa, ada tiga tempat suci tiga agama, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Kalaupun Yerusalem akan ditetapkan sebagai ibu kota Israel, harus ada kesepakatan di antara dua negara, yakni Israel dengan Palestina. "Itu harus melalui rekonsiliasi," kata dia.
Anggota parlemen Israel (Knesset) dari Parta Balad, Jamal Zahalka, bahkan sejak awal menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan Trump tersebut. Pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel itu akan memicu demonstrasi besar-besaran.
Dia sebenarnya berharap ada pejabat AS yang menasihati agar Trump membatalkan rencana mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. "Ini buruk bagi semua orang. Tidak ada yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan itu kecuali beberapa orang gila di Israel," kata Jamal.
Warga Yahudi keturunan India di Israel, Roley Horowitz, mengaku sepakat dan mendukung kebijakan Trump tersebut. Namun dia mempertanyakan motif di balik pengakuan Trump ini.
Sebenarnya, kata Roley, Kongres AS sudah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Namun kebijakan itu selalu ditunda pelaksanaannya oleh presiden yang berkuasa. Barulah pada masa Trump ini kebijakan itu dilaksanakan.
Menurut Roley, saat ini Presiden Trump tengah mengalami masalah internal di negaranya. Hal ini membuat Trump harus mengambil kebijakan untuk mendapatkan dukungan komunitas Yahudi di AS.
"Trump baru saja melakukan apa yang telah diputuskan oleh Senat AS. Mengapa dia melakukannya sekarang? Saya pikir mungkin ada negosiasi yang terjadi di balik layar," kata Roley.
D.
Black September
Tahukah Anda bahwa Palestine Liberation Organization (PLO) di bawah pimpinan Yasser Arafat pernah berperang melawan tentara Yordania di bawah pimpinan Raja Hussein? Itu terjadi di bulan September 1970, dan konflik-konfliknya berlanjut sampai Juli 1971.
Ceritanya, Yordania kehilangan kontrol atas Tepi Barat, setelah salah langkah mengikuti jejak Mesir menyerang Israel pada Perang Enam Hari di tahun 1967. Cerita detil soal perang ini akan dibahas terpisah.
Setelah Yordania kehilangan wilayah Tepi Barat, orang-orang Palestina berjuang melalui PLO yang dibentuk tahun 1964, mencoba mengusir Israel dari Tepi Barat dan Gaza. Gaza tadinya diduduki Mesir. Perang dengan Israel membuat mereka terdesak ke wilayah Yordania. Para pejuang PLO yang disebut Fedayen membentuk kantong-kantong di wilayah Yordania, termasuk di sekitar Amman. Dari kantong-kantong itu mereka menyerang Israel di Tepi Barat.
Dalam sebuah serangan balasan Israel menggempur kamp pengungsi Palestina di Karameh. Tapi Israel dipukul mundur oleh gabungan antara PLO dan pasukan Yordania. Keberhasilan ini membuat pamor PLO meningkat, dan mereka makin percaya diri.
Kepercayaan diri yang berlebihan membuat mereka justru hendak menggigit pelindungnya. PLO mulai mengumandangkan ajakan untuk menggulingkan pemerintah keluarga Hashemite, yang dipimpin oleh Raja Husein (yang mengklaim sebagai keturunan ke 40 Muhammad bin Abdullah, nabi umat Islam). Dua kali terjadi upaya pembunuhan terhadap Husein. Husein mulai muak dan ingin mengusir PLO dari wilayahnya. Tapi ia masih menahan diri, takut menghadapi sentimen Arab yang mendukung Palestina.
Kesabaran Husein habis ketika orang-orang PLO membajak 3 pesawat sipil, memaksanya mendarat di bekas pangkalan Inggris bernama Dawson Field di Zarqa, wilayah Yordania. Pembajak meledakkan pesawat sipil itu di bawah sorotan kamera media internasional.
17 September 1970, pasukan Yordania melancarkan serangan, mengepung lalu mendesak pada Fedayen, memaksa mereka berlindung dalam kamp-kamp pengungsi Palestina. Ehh, besoknya di bagian utara tentara Syiria ikut mendukung Fedayen menyerang Yordania. Serangan itupun berhasil dipatahkan oleh Yordania. Tentara Syiria akhirnya mundur setelah sejumlah jet tempur Israel terbang rendah melintasi posisi mereka, menunjukkan dukungan terhadap Raja Husein.
Para Fedayen itu kemudian dilucuti dan diusir ke luar menuju Lebanon, melalui wilayah Syiria. Di sana mereka membuat perang makin membara.
Sisi lain dari konflik ini adalah terbunuhnya Perdana Menteri Yordania Wasfi Al-Tal saat menghadiri konferensi di Kairo, serta pembunuhan terhadap atlet olimpiade Israel di Munich (kelak, PM Golda Meir membuat pasukan komando khusus untuk membalas mati para anggota teroris Black September. -admin) Semua dilakukan oleh Black September Organization, bagian dari PLO.
Begitulah Arab. Tanpa Israel pun mereka tetap berperang. Saling bunuh antar sesama Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar