SENSUS HISTORICUS:
Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
IGNATIUS FRANCISCUS MICHAEL
CHALID SALIM.
"Dari Digul menjadi Unggul"
Mulai awal tahun ini, seluruh Gereja Katolik di KAJ konon memulai pastoral evangelisasi 2018 yang bertajuk "TAHUN PERSATUAN".
Fokus tema yang akan dihayati dan disuarakan terinspirasi dari Sila Ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Seluruh nilai-nilainya akan diamalkan sepanjang 2018 ini dengan tema "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
Dari sinilah, ditampil-kenangkan beberapa tokoh kebangsaan yang saya repost dari grup "dialog katolik islam", yang tentunya bersemangat dasar "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia" dengan mengingat sebuah pesan Founding Father, Bung Karno yang kembali terbaca ketika saya berkunjung ke rumah pembuangannya yang kini disebut "Taman Pancasila" di kota Ende: "Bersatu karena kuat. Kuat karena bersatu."
Ya. Semangat persatuan dalam keberagaman Inilah juga yang saya rasakan ketika "napak tilas": berkunjung ke rumah pembuangan Bung Karno dan sekaligus "Taman Pancasila", tempat dia dulu menemukan inspirasi soal Pancasila di bawah pohon sukun, di dekat biara para pastor SVD di Ende.
Kita sendiri jelas diajak menjadi orang yang bercahaya karena hidupnya penuh dengan pelbagai keutamaan. Ia tidak menjadi "batu sandungan" tapi terus berjuang menjadi "batu loncatan" bagi bangsa dan rakyatnya dengan cucuran airmata-darah dan keringat, menjadi orang yang benar-benar bercahaya dengan "pancasila" keutamaan iman setiap harinya, antara lain:
1."Ketuhanan":
Kita diajak menjadi orang yang selalu menekankan dimensi keberimanan secara utuh-penuh dan menyeluruh.
2."Kemanusiaan":
Kita diajak sadar bahwa kita hidup di dunia real jadi tetap menjadi orang beriman yang sesuai konteksnya, karena bukankah menjadi suci juga berarti menjadi manusiawi? Beriman lewat dan bersama hal-hal insani setiap hari.
3."Persatuan":
Kita diajak untuk hidup rukun dan bersatu dengan semua orang yang berkehendak baik, demi suatu kosmos/keteraturan yang lebih bermutu, tidak mudah terpecah oleh gosipan/"adu domba".
4."Keterbukaan":
Inilah sebuah semangat demokrasi, berani menuntut hak juga berani untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai orang beriman sekaligus warga bangsa.
5."Keadilan":
Kita diajak untuk hidup "jurdil-jujurd dan adil", mentaati pelbagai aturan hukum yang berlaku dan tidak menjadi "parasit" bagi gereja dan bangsa, sesama dan dunia.
"Cari arang di Gunung Kelimutu - Jadilah orang yang benar-benar bermutu."
Merah darahku
Putih tulangku
Katolik imanku
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
====
IGNATIUS FRANCISCUS MICHAEL CHALID SALIM (Adik Kandung H. Agus Salim)
Tokoh Pergerakan kemerdekaan Indonesia
Abdoel Chalid Salim adalah adik Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-3, Haji Agus Salim. Keduanya merupakan putra Sutan Muhammad Salim, seorang jaksa dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Chalid adalah seorang wartawan dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dikenal berhaluan kiri, sampai suatu hari kelak dia memberikan dirinya dibaptis Katolik dan dikenal dengan nama Ignatius Franciscus Michael Salim.
Ya, ia dianggap membahayakan, pemerintah kolonial Belanda memenjarakannya ke Digul. Dan ia malahan menemukan Tuhan dalam pembuangan.
Chalid sendiri lahir di Tanjungpinang, Hindia Belanda, 24 November 1902 dan meninggal di Belanda, 10 Maret 1985 pada usia 82 tahun.
Setelah meninggalkan bangku sekolah MULO (1923) di Weltevreden, Batavia (kini Jakarta) Chalid Salim pergi bekerja ke Lumajang.
Setelah itu dia mengikuti saudaranya Jacob Salim (kakak Agus Salim) di Pontianak. Disini, ia bekerja di kantor advokat dan aktif menulis di mingguan Halilintar Hindia.
Kemudian pindah ke Medan, dan bekerja sebagai redaktur harian Pewarta Deli. Tulisannya banyak mengecam kebijakan pemerintah Hindia Belanda, seperti poenale sanctie, hingga kedoknya sebagai aktivis komunis terbongkar. Chalid dipenjara selama setahun di Medan, sebelum akhirnya dibuang ke Boven Digul. Ia mendekam di Digul selama 15 tahun (1928-1943), dan merupakan salah satu tahanan politik yang paling lama mendekam di kamp tersebut.
Boven Digul, sebuah wilayah di pedalaman Papua, dulu pernah tersohor sebagai tempat pengasingan para tahanan politik. Pada masa kolonial Belanda (1927-1943), lebih dari 1.000 orang “pemberontak” dipenjarakan disini. Para ekstremis ini kebanyakan berasal dari Jawa dan Sumatera Barat.
Memang, kedua daerah ini merupakan wilayah Hindia-Belanda yang paling sering melakukan perlawanan. Pemberontakan komunis di Banten 1926 dan Silungkang 1927, merupakan perlawanan terbesar bangsa Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Pemberontakan ini menimbulkan kepanikan yang hebat di kalangan orang-orang kulit putih. Di Batavia, banyak orang Belanda diliputi rasa cemas. Mereka takut keluar rumah dan lebih memilih untuk mengunci diri.
Sejak pemberontakan itu, Belanda telah menangkap sekitar 20.000 orang rakyat Indonesia. Dari jumlah itu, 1.308 orang diasingkan (823 orang ke kamp Digul), dan 16 orang di hukum gantung.
Kamp konsentrasi Digul didirikan oleh Kapten L. Th. Becking pada awal tahun 1927. Kamp ini terletak di hulu Sungai Digul, yang berjarak kira-kira 455 km dari bibir pantai Laut Arafura. Dulu, di-Digul-kan berarti harus menghadapi maut.
Hal ini dikarenakan banyaknya nyamuk malaria yang sering menyerang para penghuni kamp. Di samping itu ada pula jenis penyakit mematikan lainnya, yang dikenal sebagai black water fever.
Selain dua penyakit tersebut, musuh terbesar para penghuni kamp adalah rasa sepi dan kejenuhan yang luar biasa. Tekanan semacam ini kemudian menimbulkan ketegangan dan gangguan jiwa bagi sebagian interniran.
Setelah Perang Pasifik berkecamuk dan Jepang menginvasi wilayah Hindia-Belanda, kamp Digul segera ditutup. Banyak tahanan yang dibebaskan dan sebagian diungsikan ke Australia.
Disana, para mantan Digulis mendirikan Komite Indonesia Merdeka. Di Brisbane, mereka turut mensponsori pemogokan buruh-buruh pelabuhan. Tak hanya itu, mereka juga mensabotase kapal-kapal yang akan mengangkut persenjataan ke Hindia-Belanda. Tak sedikit pula dari mereka yang akhirnya kecantol dan menikah dengan wanita Australia. Diantaranya adalah Mohammad Bondan dan Zakaria.
A.
Petite Histoire de Indonesia.
Buku “Jalan ke Pengasingan” karya John Ingleson.
Penghuni kamp Digul hampir semuanya adalah para aktivis politik. Di antara tokoh-tokoh terkenal yang kelak menjadi pemimpin bangsa adalah Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Ada banyak cerita dari para penghuni kamp, yang merupakan sejarah kecil (petite histoire) dalam perjalanan menuju Indonesia merdeka. Antara lain cerita tentang Thomas Nayoan, seorang Minahasa yang selalu berusaha untuk melarikan diri dari kamp tersebut.
Dalam buku “Jalan ke Pengasingan” karya John Ingleson, diceritakan bahwa meski usahanya mengalami kegagalan, namun Nayoan tak pernah patah arang. Dalam pelariannya yang ke dua kali, ia sempat tiba di Australia dengan perahu.
Namun dikarenakan adanya perjanjian ekstradisi antara Australia dan Hindia-Belanda, ia digelandang dan kembali ke Digul. Karena tahu pelariannya ke selatan tak akan selamat, dalam pelariannya yang ketiga ia nekat masuk hutan Papua.
Setelah itu kabarnya tak terdengar lagi. Tak jelas apa sebabnya Thomas Nayoan di-Digul-kan. Memang! ia ikut pemberontakan PKI di Banten. Namun posisinya di dalam partai tersebut tidaklah menentukan. Ia ditangkap oleh opas kolonial di Surabaya pada tanggal 7 Oktober 1926. Setelah itu, tiga bulan ia menjalani hukuman penjara di Manado. Sebelum akhirnya dikirim ke Boven Digul.
Cerita lainnya datang dari Mohammad Bondan, aktivis PNI kelahiran Cirebon tahun 1910. Lewat buku “Spanning a Revolution”, Molly Bondan menceritakan pengalaman suaminya selama berada di kamp konsentrasi Digul.
Dalam buku itu dikisahkan bagaimana senangnya Bondan ketika di Digul, bisa berkenalan dan belajar bersama Hatta, Sjahrir, dan para aktivis lainnya. Bondan juga bertutur tentang perlakukan pemerintah kolonial, yang sering mengadu domba antara tahanan yang mau bekerja sama dengan Belanda dan yang tidak. Selain itu dibeberkan pula bagaimana ia dan kawan-kawannya mengurusi kebutuhan sendiri, karena makanan yang didapat dari pemerintah kolonial tidaklah mencukupi.
Kisah lain adalah tentang Ayun Sabiran, yang ditangkap pemerintah kolonial ketika hendak menyelundupkan bahan-bahan kimia ke Padang Panjang. Konon bahan kimia tersebut akan digunakan sebagai bahan peledak untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
Sebenarnya Sabiran hanyalah kroco dalam pergerakan kaum muda di Sumatera Barat. Namun keberaniannya menyamar sebagai seorang Katolik dan menyelundupkan bahan-bahan kimia dari Batavia, membuat pemerintah Hindia-Belanda memasukkan namanya ke dalam daftar pemberontak yang harus di-Digul-kan.
Beruntung bagi dirinya, di Digul ia berkenalan dengan Salihun, seorang aktivis asal Banten. Di sana ia dinikahkan dengan Yumenah, yang juga merupakan putri Salihun. Setelah menjalani masa hukuman selama enam tahun (1927-1933), Sabiran dibebaskan. Kemudian ia menjalani kehidupan normalnya di Jakarta, dengan berdagang dan mengelola studio foto. Kisah tentang Ayun Sabiran ini diceritakan oleh putra pertamanya Misbach Yusa Biran, dalam bukunya “Kenang-kenangan Orang Bandel.”
Di antara para tahanan Digul, Chalid Salim merupakan salah seorang yang paling lama menghuni kamp tersebut. Terhitung hingga tahun 1943, ia telah menghuni Boven Digul selama 15 tahun.
Chalid merupakan adik kandung Haji Agus Salim. Karakternya setali tiga uang dengan sang kakak : berhati keras, kokoh, dan tak mau membungkuk. Namun begitu, ideologi mereka bertolak belakang. Sang kakak memilih ideologi Islam dalam perjuangannya, sedangkan si adik melewati jalur Marxis.
Chalid ditangkap dalam kapasitasnya sebagai wartawan. Tulisan-tulisannya kerap kali memerahkan kuping para penguasa. Dalam sebuah harian terbitan Medan : Pewarta Deli, Chalid menyerang kebijakan pemerintah yang menerapkan poenale sanctie. Bukan didengarkan, kritiknya itu malah berujung penangkapan atas dirinya. Ia dipenjarakan selama satu tahun di Medan, sebelum akhirnya dikirim ke Digul.
B.
Menemukan Tuhan dalam Pembuangan.
Kisah Chalid Salim selama di Boven Digul, diceritakannya secara tuntas dalam buku yang bertajuk “Vijftien Jaar Boven-Digoel Concentratiekamp op Nieuw-Guinea Bakermat van de Indonesische Onafhankelijkheid (terjemahan: Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea, Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia).”
Sekali waktu, seorang Belanda pernah bertanya kepada Haji Agus Salim, “Zeg Salim, bagaimana itu, adik Anda masuk agama Katolik?”.
“God zij dank, Alhamdullilah, ia sekarang lebih dekat dengan saya,” jawabnya santai.
“Mengapa Anda malah berterima kasih kepada Tuhan?” tanya orang Belanda itu semakin keheranan.
“Dia dulu orang komunis, tidak percaya Tuhan, sekarang dia percaya Tuhan,” tukasnya kembali.
Adik Haji Agus Salim yang dimaksud orang Belanda itu adalah Chalid Salim. Selama lima belas tahun, Chalid menjadi Digulis karena dituduh komunis. Dia dijatuhi hukuman pembuangan ke Digul karena tulisannya yang tajam di Pewarta Deli, atas sikap polisi kolonial dalam menumpas pemberontakan komunis tahun 1926.
Sebelum di Pewarta Deli, Chalid memulai karir jurnalistiknya dari mingguan Halilintar Hindia di Pontianak, yang banyak mengadopsi asas PKI. Lalu pindah ke majalah Proletar di Surabaya yang juga "merah."
Pada Juli 1928, vonis dijatuhkan kepada Chalid, “Sebagai orang yang ‘berbahaya bagi ketenteraman dan ketertiban negeri’ maka saya dibuang ke Digul sebagai nomor 925,” seperti ditulisnya dalam memoar Lima Belas Tahun Digul. Meski ayahnya, Sutan Mohammad Salim yang bekerja sebagai anggota Landraad (pengadilan negeri, red) Medan berupaya membebaskannya, Chalid tetap dibuang.
Selama di Digul, dia mulai meninggalkan sikap ateisnya. Mulanya dia menggandrungi ajaran teosofi, dengan membaca karya Annie Besant, Krishnamurti dan W.C. Leadbeater. Namun kemudian tertarik pada Katolik, sebab kedekatannya dengan Soekardjo Prawirojoedo, Digulis yang terlibat peristiwa kapal Zeven Provincien, yang sudah lebih dulu dibaptis dalam Katolik Roma.
Chalid akhirnya berkenalan dengan pastor Mauwese. Dia pun mulai mengakrabi aktivitas gereja. Keyakinannya semakin kuat untuk memeluk agama Katolik. Dia pun meminta Mauwese mengajarkan langkah untuk masuk Katolik. Namun Mauwese tak mau begitu saja meluluskan permintaan Chalid beralih iman.
“Tidak sadarkah Anda, tuan Salim, konsekuensi dari ini? Ada kemungkinan anak-keluarga Anda yang menganut Islam akan memutuskan segala hubungan kekeluargaan,” tanya Mauwese.
Chalid pun langsung menerangkan bahwa dia telah berpikir matang. Dia pun mulai belajar kathekismus. Mauwese juga menghadiahinya buku karangan Thomas A. Kempis yang berjudul Imitatione Christi, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Maka, pada 26 Desember 1942, Chalid dibaptis oleh pastor Mauwese. Namanya pun bertambah menjadi Ignatius Fransiscus Michael Chalid Salim.
Langkah Chalid ini ternyata didukung oleh sanak keluarganya. Saat Haji Agus Salim menemuinya di Belanda, Agus Salim justru senang mendengar Chalid memeluk Katolik.
“Aku bersyukur bahwa Anda akhirnya percaya pula kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu sudah menjadi takdir Illahi,” ujar Agus Salim kepada Chalid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar