RENUNGAN V MASA PRAPASKAH
PASTOR RANIERO CANTALAMESSA OFMCAP : TENTANG KEMURNIAN KRISTIANI
(23 Maret 2018)
Apakah kemurnian itu dan mengapa kemurnian sangat berarti bagi umat kristiani? Itulah pertanyaan dasariah yang diajukan dalam renungan V Masa Prapaskah oleh pengkhotbah rumah tangga kepausan, Pastor Raniero Cantalamessa, OFMCap kepada Paus Fransiskus dan para anggota Kuria Roma.
“Kata-kata yang dipergunakan oleh Santo Paulus memberitahu kita… bahwa ada dua sikap yang bertentangan terhadap tubuh dan seksualitas kita. Sikap pertama adalah buah Roh dan sikap lainnya adalah hasil kerja daging; sikap pertama adalah keutamaan, sikap lainnya adalah perbuatan jahat", Pastor Cantalamessa menjelaskan. “Sikap pertama berupa mengendalikan diri dan tubuh; sikap kedua sebaliknya berupa menjual diri atau menggunakan tubuh, yaitu, menggunakan seksualitas untuk kesenangan diri, untuk tujuan menggunakan yang berbeda dari tujuannya diadakan. Sikap tersebut membuat tindakan seksual sebagai tindakan yang menjijikkan, bahkan jika perolehannya tidak selalu berkaitan dengan uang seperti dalam kasus prostitusi yang sesungguhnya, dan membuat kesenangan diri menjadi tujuan dalam dirinya sendiri”.
Pastor Cantalamessa mengingatkan bahwa di dunia kafir keutamaan dianggap untuk mengendalikan diri. Tetapi makna kristiani tentang kemurnian jauh melampaui sekadar "mengendalikan".
“Motif kafir, dalam arti tertentu, terjungkir balik; nilai utama melindungi bukan lagi menguasai diri tetapi 'tidak berkuasa atas diri' : Tubuh tidak dimaksudkan untuk percabulan, tetapi untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh” (1 Kor 6:13). Oleh karena itu, motif utama untuk kemurnian yaitu 'Yesus adalah Tuhan!'. Kemurnian kristiani, dengan kata lain, tidak berupa membentuk penguasaan akal budi atas naluri kita sebegitu banyak seperti membentuk penguasaan Kristus atas seluruh pribadi, termasuk akal budi dan naluri kita”.
Dalam ajaran Paulus - dalam pandangan kristiani - tubuh manusia ada untuk memuliakan Allah. Dengan menjalani kehidupan seksual dan fisik sesuai dengan kehendak Allah, orang kristiani memuliakan Allah. Dan ketaatan kepada Allah dapat memuliakan-Nya dalam kehidupan selibat atau kehidupan perkawinan.
"Kemurnian semacam ini adalah gaya hidup yang melebihi keutamaan pribadi", menurut Pastor Cantalamessa. “Kemurnian memiliki berbagai perwujudan yang melampaui lingkup seksual tertentu.
“Ada kemurnian tubuh, tetapi ada juga kemurnian jiwa yang menolak bukan hanya tindakan tetapi juga hasrat dan pikiran jahat (bdk. Mat 5:8,27-28). Ada kemurnian ucapan yang berupa, secara negatif, menahan diri dari bahasa yang tidak senonoh, ketidaksopanan, dan pembicaraan yang konyol atau berprasangka ... ada kemurnian kasat mata dan kasat pandang”.
Bagi umat kristiani, kata Pastor Cantalamessa, kemurnian memiliki dampak di luar pribadi. Kemurnian memungkinkan tindakan untuk membantu orang lain.
"Kemurnian dan kasih kepada sesama mewakili penguasaan diri dan karunia diri bagi orang lain", kata Pastor Cantalamessa. “Bagaimana saya bisa memberikan diri jika saya tidak memiliki diri karena saya adalah budak nafsu saya?"
“Berpikir bahwa kita dapat menggabungkan pelayanan sejati kepada saudara dan saudari, yang selalu menyerukan pengorbanan, altruisme, melupakan diri sendiri, dan kemurahan hati, dengan kehidupan yang secara pribadi tidak teratur, semua ditujukan untuk menyenangkan diri sendiri dan memuaskan hasrat, adalah sebuah khayalan. Hal tersebut pasti berakhir dengan mempergunakan saudara dan saudari, sama seperti kita mempergunakan tubuh kita. Orang-orang yang tidak bisa mengatakan 'tidak' pada diri mereka sendiri tidak bisa mengatakan 'ya' kepada saudara dan saudari mereka”. (PS)
NB:
A.
RENUNGAN III MASA PRAPASKAH
(9 Maret 2018) :
"KERENDAHAN HATI MEMBAWA KITA SEMAKIN DEKAT DENGAN ALLAH, SANG KEBENARAN"
Menurut Santo Paulus, orang-orang adalah bijaksana ketika mereka rendah hati dan orang-orang rendah hati ketika mereka bijaksana, dan perkiraan diri kita yang sesungguhnya adalah mengakui ketiadaan kita.
Dalam artinya yang paling dalam, kerendahan hati hanya milik Yesus, Sang Kebenaran, kata Pastor Raniero Cantalamessa OFMCap dalam renungan Prapaskah 9 Maret 2018. Sang pengkhotbah rumah tangga kepausan tersebut memberikan sebuah permenungan kepada Paus Fransiskus dan para anggota Kuria Roma.
Berbicara tentang keutamaan kerendahan hati kristiani dari sudut pandang Santo Paulus, Pastor Cantalamessa mengatakan bahwa orang yang benar-benar rendah hati hidup menurut kebenaran, dan Allah menghukum keangkuhan karena itu adalah bukan kebenaran, sebuah kebohongan.
Dengan merendahkan diri, manusia semakin mendekati sang kebenaran, yaitu Allah sendiri. Menurut alasan yang diberikan Santo Paulus, satu-satunya yang belum saya terima, yang sepenuhnya milik saya, adalah dosa yang bersumber di dalam diri saya dan bukan di dalam diri Allah.
Ketika Yesus berkata, "Tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa", itu berarti perkiraan diri kita yang sesungguhnya adalah mengakui ketiadaan kita, kata Pastor Cantalmessa. Ketika kita memeriksa diri kita dan menemukan kebenaran di mana kita sangat angkuh, yang merupakan kesalahan kita dan bukan kehendak Allah, karena kita telah menyalahgunakan kebebasan kita, itu memang kerendahan hati.
Pastor Cantalamessa mengenang Santa Angela dari Foligno yang mendesak para saudarinya untuk memasuki ruang batin keberadaan kita guna mengenali ketiadaan kita, bukan untuk menutup diri kita dengan mementingkan diri sendiri dan narsis, tetapi membuka diri terhadap orang lain, di mana kita tidak lagi melihat aib dalam diri sesama kita.
Dalam hal ini, Pastor Cantalmessa berkata, Maria adalah sokoguru kerendahan hati yang tak tertandingi - kebenaran.
Hal ini terlihat jelas dalam kidung pujiannya, "Magnificat", yang tidak berbicara tentang kerendahan hatinya, tetapi keadaannya yang hina. Kerendahan hati Bunda Allah, yang bahkan tidak meninggikan dirinya di atas makhluk yang paling hina, memang merupakan mahakarya rahmat Allah. Orang-orang yang benar-benar rendah hati tidak meyakini bahwa mereka rendah hati, dan orang-orang tidak menganggap mereka rendah hati.
Pastor Cantalmesa melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa kerendahan hati juga termasuk dipermalukan. Kerendahan hati kita nyata ketika kita menerima teguran, pembetulan, kritik, dan hinaan.
Menurut penulis Meneladan Kristus, ketika orang lain menegur kita karena mengetahui kekurangan kita, mereka membantu kita tetap rendah hati. Di sisi lain, kesombongan dikutuk oleh Yesus yang mengatakan, "Bagaimana kamu bisa percaya, ketika kamu saling menerima kemuliaan dan tidak mencari kemuliaan yang berasal dari Allah saja?".
Imam Kapusin tersebut juga memperingatkan bahwa kesombongan dapat mengubah bahkan perjuangan kita untuk rendah hati menjadi sebuah tindakan kesombongan, tetapi dengan rahmat kita dapat keluar dengan kemenangan bahkan dari pertempuran yang mengerikan ini.
Berbicara tentang "duri dalam daging" Santo Paulus, beliau mengatakan bahwa semua orang memilikinya. Duri tersebut bisa berupa cacat, penyakit, kelemahan, ketidakberdayaan, godaan yang terus-menerus mempermalukan atau bahkan orang yang tidak menyenangkan. Semua duri itu berbicara tentang kelemahan kita dan menghancurkan kesombongan diri kita. Kerendahan hati, beliau menambahkan, juga penting bagi berfungsinya kehidupan jemaat dan untuk membangun Gereja. (PS)
B.
RENUNGAN I MASA PRAPASKAH :
"UNTUK MENGUBAH DUNIA, KITA PERLU MENGUBAH DIRI KITA TERLEBIH DULU".
Hari Jumat 23 Februari 2018 Pastor Raniero Cantalamessa OFMCap, Pengkhotbah Rumah Tangga Kepausan, memberikan renungan pertama Masa Prapaskah. Beliau mengacu pada surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma : "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini" (Rm. 12:2).
Orang-orang yang "merasa terpanggil untuk mengubah dunia atau Gereja", pertama-tama dipanggil untuk mengubah diri mereka. Kesimpulan yang masuk akal dari "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini", akan tampak menjadi "maka, ubahlah dunia!". Sebaliknya, Paulus mengatakan kepada kita, 'Ubahlah dirimu!'", kata Pastor Cantalamessa.
1.
Di dunia, bukan dari dunia.
Umat kristiani selalu memahami bahwa dunia adalah dan tetap "ciptaan Allah yang baik", kita merangkul "sikap" Yesus terhadap dunia : berada di dunia, bukan dari dunia. Umat kristiani selama berabad-abad telah menjalani idaman ini dengan berbagai cara. Setelah menerima kekristenan di Kekaisaran Romawi, beberapa umat kristiani melarikan diri dari dunia, "ingin tetap menjadi garam dunia yang tidak kehilangan citarasanya". Umat kristiani lainnya mengusulkan pelarian rohani dari dunia ketimbang pelarian jasmani. Beberapa Bapa Gereja mengusulkan pelarian dari dunia yang berakar pada baptisan yang "merupakan karya rahmat ketimbang usaha manusia".
2.
Saatnya bangun.
"Iman adalah medan pertempuran utama antara umat kristiani dan dunia. Melalui imanlah umat kristiani bukan lagi 'berasal dari dunia'", kata Pastor Cantalamessa. Berbicara secara moral, dunia dapat didefinisikan sebagai "orang-orang yang menolak untuk percaya".
Dunia dapat membuat orang-orang tertidur dan menyedot "seluruh energi rohani mereka". Penyembuhnya adalah seseorang berteriak "Bangunlah!" yaitu "apa yang dilakukan Sabda Allah pada begitu banyak kesempatan dan yang diperbuat liturgi Gereja sehingga kita mendengar lagi tepat pada awal Masa Prapaskah : 'Bangunlah, hai kamu yang tidur' (Ef 5:14); 'saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur' (Rm. 13:11).
3.
Dunia akan berlalu.
Alasan dasariah mengapa umat kristiani "janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini" adalah karena "dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu" (1 Kor 7:31). Di dunia sekarang ini, ada satu wilayah penting untuk tidak menyesuaikan diri kita dengan dunia yakni rupa.
Pastor Cantalamessa mengatakan pada suatu ketika puasa makanan dan minuman dianggap paling efektif dan berpuasa diperlukan. Pada suatu saat hal tersebut tidak lagi terjadi. Saat ini orang melakukan puasa seperti itu untuk banyak motif lain, terutama untuk mempertahankan sosok yang baik. Alkitab mengatakan bahwa makanan dan minuman tidak menajiskan (bdk. Mrk 7:19), tetapi banyak rupa menajiskan. Rupa tersebut telah menjadi "salah satu kendaraan favorit yang melaluinya dunia menyebarkan anti-Injilnya", kata Pastor Cantalamessa.
4.
Marilah kita memandang salib.
Ada satu rupa yang padanya kita seharusnya memandang : "Marilah kita memandang salib dan pergi ke hadirat Yang Kudus", Pastor Cantalamessa mengakhiri. Rupa itu adalah penyembuh bagi seluruh racun yang telah kita telan sehingga kita bisa bersama Yesus "beralih dari dunia ini kepada Bapa" (Yoh. 13:1).
C.
RENUNGAN II MASA PRAPASKAH : "KEKUDUSAN YANG SEMPURNA ADALAH PERSATUAN YANG SEMPURNA DENGAN KRISTUS."
Mengutip kata-kata dari Lumen Gentium no. 50, Pastor Raniero Cantalamessa OFMCap, pengkhotbah rumah tangga kepausan, mengingatkan rumusan sederhana Konsili Vatikan II : kekudusan yang sempurna adalah "persatuan yang sempurna dengan Kristus". Inilah pokok renungan kedua Masa Prapaskah yang diberikan oleh Pastor Cantalamessa.
Beliau kemudian menjelaskan perbedaan pokok antara pandangan kekudusan menurut skolastik yang berlandaskan "alasan yang tepat" seperti dalam tulisan-tulisan Aristoteles - dan pandangan kekudusan menurut Kitab Suci yang berarti mengikuti pribadi Kristus.
"Perpaduan alkitabiah yang paling lengkap dan paling ringkas tentang kekudusan yang berdasarkan pewartaan adalah perpaduan yang digarisbawahi oleh Santo Paulus dalam nasehatnya kepada jemaat di Roma (Rm 12-15)", kata Pastor Cantalamessa.
"Pada awalnya, Rasul Paulus menjabarkan sebuah pandangan menyeluruh tentang jalan menuju pengudusan umat beriman - pokok terpentingnya dan tujuannya : "Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasehatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna" (Rm 12:1-2).
Pastor Cantalamessa menunjukkan bahwa Santo Paulus mencantumkan keutamaan-keutamaan pokok kristiani : pelayanan, cinta kasih, kerendahan hati, ketaatan, kemurnian. Tetapi ia mengingatkan para pendengarnya bahwa mereka tidak ditumbuhkembangkan demi kepentingan mereka sendiri, tetapi merupakan hasil karya Kristus dan baptisan.
"Agape, atau kasih kristiani, bukanlah salah satu keutamaan, agape adalah keutamaan yang terutama; agape adalah bentuk dari seluruh keutamaan, yang padanya 'seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi tergantung' (bdk. Mat 22:40; Rm 13:10), Pastor Cantalamessa menjelaskan.
"Untuk memahami jiwa yang mempersatukan seluruh petunjuk ini, gagasan hakiki yang mendasarinya, atau sebaiknya, 'perasaan' yang dimiliki Paulus terhadap kasih, kita perlu mengawali dengan nasehatnya yang pertama : 'Marilah mengasihi dengan tulus!' Ini bukan salah satu dari sekian banyak himbauan tetapi matriks yang daripadanya seluruh himbauan lainnya berasal. Mengasihi dengan tulus mencakup rahasia kasih".
Dalam berbicara tentang kasih "sejati", Pastor Cantalamessa mencatat wawasan Santo Paulus tentang kasih lahiriah dan batiniah. Beliau menyarankan bahwa kasih batiniah adalah untuk kasih lahiriah seperti jiwa untuk tubuh.
"Rasul Paulus sendiri adalah orang yang membuat perbedaan di antara kedua jenis kasih tersebut", kata Pastor Cantalamessa. "Ia mengatakan bahwa tindakan kasih lahiriah yang terbesar (membagi-bagikan segala sesuatu kepada orang miskin) tidak akan berarti apapun tanpa kasih batiniah (bdk. 1 Kor 13:3).
Kasih lahiriah tanpa kasih batiniah akan menjadi kebalikan dari kasih 'sejati'. Kasih yang tidak tulus pada kenyataannya justru berbuat baik tanpa menghendaki kebaikan; secara lahiriah menunjukkan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati. Dalam kasus ini, seseorang memiliki penampilan kasih yang bisa, paling buruk, menyembunyikan egotisme, pencarian diri, menyalahgunakan orang lain, atau bahkan penyesalan hati nurani yang sederhana".
Apakah ini berarti bahwa seseorang seharusnya tidak melakukan karya kasih kecuali jika hatinya tulus? Tidak. Dan bukan juga, Pastor Cantalamessa menjelaskan, berarti bahwa karya-karya yang dilakukan tanpa hati yang tulus tidak bermanfaat bagi orang-orang yang menerima hasil karya-karya kasih tersebut.
"Kita dapat bertanya kepada diri kita, mengapa kita 'berutang' kasih kepada orang lain?", Pastor Cantalamessa bertanya. "Karena kita telah menerima takaran kasih yang tak terbatas untuk pada gilirannya dibagi-bagikan kepada rekan-rekan pelayan kita (bdk. Luk 12:42; Mat 24:45+).
Jika kita tidak melakukan hal itu, kita menipu saudara dan saudari kita bahwa kita berutang kepada mereka. Seorang saudara mendatangi pintumu dan mungkin meminta sesuatu yang tidak dapat kamu berikan, tetapi jika kamu tidak dapat memberikan apa yang ia minta, janganlah mengusirnya tanpa hutang yang kamu miliki terhadapnya, yaitu kasih".
======
KILAS BALIK:
KHOTBAH PASTOR RANIERO CANTALAMESSA, OFM.CAP PADA IBADAT JUMAT AGUNG
DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN
3 April 2015 :
"ECCE HOMO! (LIHATLAH MANUSIA ITU!)" :
KITA SEMUA, LEMBAGA-LEMBAGA KITA BERESIKO MENJADI SEPERTI PILATUS, MENCUCI TANGAN KITA
Kita baru saja mendengar kisah pengadilan Yesus di hadapan Pilatus. Ada satu titik tertentu di dalam kisah itu di mana kita perlu berhenti sejenak.
Lalu Pilatus mengambil Yesus dan menyuruh orang menyesah Dia. Prajurit-prajurit menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya. Mereka memakaikan Dia jubah ungu, dan sambil maju ke depan mereka berkata: "Salam, hai raja orang Yahudi!" Lalu mereka menampar muka-Nya .... Lalu Yesus keluar, bermahkota duri dan berjubah ungu. Maka kata Pilatus kepada mereka: "Lihatlah Manusia itu! [Ecce Homo!]" (Yoh 19:1-3,5).
Di antara lukisan-lukisan yang tak terhitung banyaknya yang memiliki Ecce Homo sebagai subjek mereka, ada satu yang selalu membuat saya terkesan. Lukisan dari pelukis Flemish abad keenam belas, Jan Mostaert. Izinkan saya mencoba untuk menggambarkannya. Ini akan membantu membekaskan dengan lebih baik episode tersebut dalam pikiran kita, karena sang seniman hanya menuangkan dengan setia dalam lukisan fakta-fakta kisah Injil, terutama Injil Markus (lihat Mrk 15:16-20).
Yesus memiliki mahkota duri di kepala-Nya. Serangkaian ranting berduri yang ditemukan di halaman, mungkin untuk menyalakan api, dianyam para serdadu sebuah kesempatan untuk olok-olok kedudukan raja-Nya ini. Tetesan-tetesan darah turun ke wajah-Nya. Mulut-Nya setengah terbuka, seperti orang yang sedang mengalami kesulitan bernapas. Di pundak-Nya ada beban dan mantel usang, lebih mirip dengan lapisan tipis ketimbang kain. Pundak-Nya memiliki luka-luka pukulan-pukulan terakhir selama pencambukan-Nya. Pergelangan tangan-Nya terikat bersama-sama oleh sebuah tali kasar yang mengitari sebanyak dua kali. Mereka telah menempatkan sebuah buluh di salah satu tangan-Nya bagaikan semacam tongkat serta seikat ranting pada tangan lainnya, lambang mengejek kedudukan raja-Nya. Yesus tidak bisa menggerakkan bahkan sebuah jari pun; ini adalah seorang manusia yang diturunkan hingga sepenuhnya tidak berdaya, bentuk dasar dari semua orang dalam sejarah dengan tangan mereka yang terikat.
Merenungkan sengsara tersebut, filsuf Blaise Pascal menulis kata-kata ini suatu hari : "Kristus akan kesakitan sampai akhir dunia; kita seharusnya tidak tidur selama waktu ini".[1] Ada rasa yang di dalamnya kata-kata ini berlaku bagi pribadi Kristus sendiri, yaitu, bagi kepala tubuh mistik, dan tidak hanya bagi para anggotanya. Meskipun tidak bangkit dan hidup sekarang tetapi justru karena Ia telah bangkit dan hidup. Tetapi marilah kita kesampingkan makna yang terlalu mengandung teka-teki ini dan malahan berbicara tentang makna paling jelas dari kata-kata ini. Yesus berada dalam kesakitan sampai akhir dunia dalam setiap pria atau wanita yang mengalami siksaan yang sama dengan-Nya. "Kamu telah melakukannya untuk Aku!" (Mat 25:40). Ia mengatakan kata-kata ini tidak hanya tentang orang-orang yang percaya kepada-Nya; Ia juga mengatakannya tentang setiap pria atau wanita yang lapar, telanjang, teraniaya, atau dipenjara.
Untuk sekali janganlah kita berpikir tentang kejahatan sosial bersama : kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, eksploitasi orang lemah. Kejahatan-kejahatan ini berbicara tentang sering (bahkan jika itu tidak pernah cukup), tetapi ada resiko bahwa mereka menjadi pemisahan-pemisahan - kelompok-kelompok ketimbang pribadi-pribadi. Mari kita memikirkan bukan penderitaan perorangan, orang-orang dengan nama dan jatidiri tertentu; memikirkan siksaan-siksaan yang diputuskan dengan darah dingin dan secara sukarela ditimbulkan pada saat ini oleh manusia pada manusia lain, bahkan pada bayi-bayi.
Berapa banyak contoh dari "Ecce homo" ("Lihatlah manusia itu!") ada di dunia! Berapa banyak tahanan yang menemukan diri mereka dalam situasi yang sama seperti Yesus dalam praetorium Pilatus: sendirian, tangan diborgol, disiksa, pada belas kasihan dari para serdadu yang bengis penuh kebencian yang terlibat dalam setiap jenis kekejaman fisik dan psikologis serta yang menikmati menonton orang-orang menderita. "Kita seharusnya tidak tidur; kita seharusnya tidak meninggalkan mereka sendirian!"
Seruan "Ecce homo!" tidak hanya berlaku untuk para korban tetapi juga untuk para penyiksa. Artinya, "Mampulah melihatlah orang ini!" Dengan rasa takut dan gentar, mari kita juga mengatakan, "Kita mampu melihat orang ini!" Alangkah jauh di depan kita pawai yang tak terhentikan, dari homo sapiens sapiens (manusia modern yang tercerahkan), dari orang semacam itu yang menurut seseorang, harus dilahirkan dari kematian Tuhan dan menggantikan-Nya![2]
* * *
Orang-orang Kristiani tentu saja bukan satu-satunya korban kekerasan yang mematikan dunia, tetapi kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa di banyak negara mereka adalah para korban yang paling sering dimaksudkan. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya suatu hari, "Akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah" (Yoh 16: 2). Mungkin jangan pernah memiliki kata-kata ini menemukan pemenuhan persis seperti yang mereka lakukan hari ini.
Seorang uskup abad ketiga, Dionisius dari Alexandria, telah meninggalkan kita sebuah kesaksian Paskah yang dirayakan oleh umat Kristen selama penganiayaan bengis oleh kaisar Romawi Desius :
Pertama kami ditetapkan dan dikelilingi oleh para penganiaya dan para pembunuh, namun bahkan kemudian kami adalah orang-orang satu-satunya untuk memelihara suasana pesta. Setiap tempat di mana kami diserang menjadi bagi kami sebuah tempat untuk perayaan apakah lapangan, gurun, kapal, penginapan, atau penjara. Suasana pesta yang paling cemerlang dari semuanya dipelihara oleh para martir yang menunaikan, yang berpesta di surga.[3]
Ini akan menjadi cara Paskah bagi banyak orang Kristiani tahun ini, 2015 tahun setelah Kristus.
Ada seseorang yang, dalam tekanan sekuler, memiliki keberanian untuk mengecam ketidakpedulian yang mencemaskan dari lembaga-lembaga dunia dan opini publik dalam menghadapi semua pembunuhan orang-orang Kristiani ini, mengingat apa yang kadang-kadang dibawa ketidakpedulian tersebut di masa lalu.[4] Kita semua dan semua lembaga kita di Barat beresiko menjadi Pilatus-pilatus yang mencuci tangan kita.
Namun, kita tidak diperbolehkan untuk membuat pengingkaran apapun hari ini. Kita akan mengkhianati misteri yang sedang kita rayakan. Yesus wafat, berseru, "Bapa, ampunilah mereka; sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Luk 23:34). Doa ini tidak hanya bergumam di bawah napas-Nya; ia berseru sehingga orang-orang itu bisa mendengarnya dengan baik. Ia bahkan bukan hanya sebuah doa; ia adalah sebuah permintaan yang harus ditaati yang dibuat dengan otoritas yang berasal dari menjadi Putra : "Bapa, ampunilah mereka!" Dan karena Ia sendiri telah mengatakan bahwa Bapa mendengar semua doa-Nya (lihat Yoh 11:42), kita harus percaya bahwa Ia mendengar doa terakhir dari salib ini dan akibatnya bahwa para penyalib Kristus kemudian diampuni oleh Allah (tentu saja tidak tanpa bertobat dalam beberapa cara) dan berada bersama Dia di surga, untuk bersaksi bagi semua kekekalan yang kepada ekstrem ini kasih Allah mampu pergi.
Ketidaktahuan, pada hakekatnya, ada secara eksklusif di antara para serdadu. Tetapi doa Yesus tidak terbatas pada mereka. Kemegahan ilahi pengampunan-Nya terdiri dalam kenyataan bahwa itu juga ditawarkan bagi para musuh-Nya yang paling tanpa belas kasihan. Alasan ketidaktahuan dikedepankan dengan tepat bagi mereka. Meskipun mereka bertindak dengan licik dan dengki, pada kenyataannya mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat; mereka tidak berpikir mereka sedang memaku pada salib seorang manusia yang benar-benar Mesias dan Putra Allah! Alih-alih menuduh musuh-musuh-Nya, atau mengampuni mereka dan mempercayakan tugas balas dendam kepada Bapa surgawi-Nya, Ia membela mereka.
Ia menyajikan murid-murid-Nya dengan sebuah contoh kemurahan hati yang tak terbatas. Mengampuni dengan kebesaran yang sama dari jiwa-Nya tidak berarti hanya sebuah sikap negatif yang melaluinya orang menolak keinginan jahat pada orang-orang yang berbuat jahat; itu harus diubah bukan menjadi sebuah keinginan positif untuk berbuat baik kepada mereka, bahkan jika itu hanya melalui sebuah doa kepada Allah atas nama mereka. "Berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat 5:44). Jenis pengampunan ini tidak bisa mencari balasan dengan harapan hukuman ilahi. Ia harus diilhami oleh sebuah amal yang memaafkan sesama tanpa, tetapi, menutup mata terhadap kebenaran tetapi, sebaliknya, mengusahakan menghentikan para pelaku kejahatan sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan melakukan yang lebih membahayakan orang lain dan diri mereka sendiri.
Kita mungkin ingin mengatakan, "Tuhan, Engkau meminta kami untuk melakukan hal yang mustahil!" Ia akan menjawab, "Aku tahu, tapi Aku wafat untuk memberikan kamu apa yang sedang Aku minta daripadamu. Aku tidak hanya memberi kamu perintah untuk mengampuni dan tidak hanya sebuah contoh heroik pengampunan, tetapi melalui wafat-Ku, Aku juga menganugerahkan kamu rahmat yang memampukan kamu untuk mengampuni. Aku tidak memberikan dunia hanya sebuah ajaran tentang belas kasih seperti yang diberikan banyak orang lain. Aku juga Allah dan Aku telah mencurahkan bagimu sungai-sungai belas kasih melalui wafat-Ku. Dari mereka kamu dapat menarik sebanyak mungkin belas kasih yang kamu inginkan selama Tahun Yubileum Kerahiman".
***
Seseorang bisa mengatakan, "Jadi, apakah mengikuti Kristus selalu berarti menyerahkan diri secara pasif untuk mengalah dan mati?" Sebaliknya! Ia mengatakan kepada murid-murid-Nya, "Bersoraklah" sebelum masuk ke dalam sengsara-Nya : "Aku telah mengalahkan dunia" (Yoh 16:33). Kristus telah mengalahkan dunia dengan mengalahkan kejahatan dunia. Kemenangan definitif kebaikan atas kejahatan yang akan diwujudkan pada akhir jaman telah terjadi, secara hukum dan de facto, pada salib Kristus. "Sekarang", Ia berkata, "adalah penghakiman atas dunia ini" (Yoh 12:31).Sejak hari itu, kejahatan hilang, dan ia semakin hilang ketika ia tampak semakin menang. Ia sudah diadili dan dihukum dalam ungkapannya yang terakhir dengan sebuah kalimat yang tidak dapat diajukan banding.
Yesus mengalahkan kekerasan tidak dengan menentangnya dengan sebuah kekerasan yang lebih besar tetapi dengan menanggungnya dan membongkar semua ketidakadilan dan kesia-siaan. Ia meresmikan semacam kemenangan baru yang dirangkum oleh Santo Agustinus dalam tiga kata: "Victor quia victima : Kemenangan karena korban" [5] Melihat Ia wafat dengan cara ini menyebabkan perwira Romawi berseru," Sungguh, orang ini adalah Anak Allah! "(Mrk 15:39). Lainnya bertanya pada mereka diri sendiri bisa berarti apa "teriakan keras" yang dipancarkan oleh kematian Yesus (lihat Mrk 15:37). Perwira itu, yang ahli dalam pertarungan dan pertempuran, mengakui seketika itu juga bahwa itu adalah sebuah teriakan kemenangan.[6]
Masalah kekerasan mengganggu kita, mengejutkan kita, dan ia telah menciptakan bentuk-bentuk baru dan menghebohkan dari kekejaman dan kebiadaban hari ini. Kita orang-orang Kristiani ngeri akan gagasan bahwa orang dapat membunuh dalam nama Allah. Tetapi, seseorang bisa menolak, "Tetapi bukankah Alkitab juga penuh dengan cerita-cerita kekerasan? Bukankah Allah disebut 'Tuhan semesta alam'? Bukankah untuk mengutuk seluruh kota untuk pemusnahan dikaitkan dengan-Nya? Bukankah Ia yang mengatur sejumlah kasus hukuman mati dalam Hukum Musa?"
Jika mereka telah mengalamatkan keberatan-keberatan yang sama itu terhadap Yesus selama hidup-Nya, Ia pasti telah menanggapi dengan apa yang Ia katakan tentang perceraian: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian" (Mat 19:8). Hal yang sama berlaku untuk kekerasan: "sejak semula tidaklah demikian". Bab pertama Kejadian menyajikan sebuah dunia di mana kekerasan bahkan tidak masuk akal, tidak di antara manusia itu sendiri maupun di antara manusia dan hewan. Bahkan tidak untuk membalas kematian Habel, dan karena itu menghukum si pembunuh, apakah diperbolehkan untuk membunuh (lihat Kej 4:15).
Kehendak Allah yang sebenarnya Allah dinyatakan oleh perintah "Jangan membunuh" lebih daripada oleh pengecualian terhadap perintah dalam hukum itu, yang merupakan kelonggaran terhadap "kekerasan hati" dan praktek masyarakat. Kekerasan, bersama dengan dosa, sayangnya adalah bagian dari kehidupan, dan Perjanjian Lama, yang mencerminkan kehidupan dan harus berguna bagi kehidupan sebagaimana adanya, berusaha melalui perundang-undangan dan hukuman matinya setidaknya menyalurkan dan mengekang kekerasan sehingga ia tidak merosot menjadi keleluasaan pribadi dan orang-orang kemudian saling mengobrak-abrik.[7]
Paulus berbicara tentang sebuah periode waktu yang ditandai dengan "kesabaran" Allah (lihat Roma 3:25). Allah bersabar terhadap kekerasan cara Ia bersabar terhadap poligami, perceraian, dan hal-hal lain, tetapi Ia sedang mempersiapkan orang-orang untuk sebuah masa yang di dalamnya rencana awal-Nya akan "diikhtisarkan" dan dipulihkan untuk menghormati, seakan-akan sebuah ciptaan baru. Masa itu tiba bersama Yesus, yang menyatakan di atas bukit, "Kamu telah mendengar firman: 'Mata ganti mata dan gigi ganti gigi'. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu .... Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat 5:38-39,43-44).
"Khotbah di Bukit" yang sejati yang mengubah sejarah bukanlah, bagaimanapun, salah satu khotbah yang diucapkan di sebuah bukit di Galilea tetapi khotbah yang sekarang dinyatakan, dengan keheningan, dari salib. Di Kalvari Kristus memberikan sebuat "tidak" yang definitif terhadap kekerasan, pengaturan yang bertentangan dengannya tidak hanya dengan tanpa kekerasan tetapi, bahkan lebih, dengan pengampunan, kelemahlembutan, dan kasih. Meskipun kekerasan masih akan terus ada, ia tidak akan lagi - bahkan tidak jauh - dapat menghubungkan dirinya kepada Allah dan menyelubungi dirinya dalam kekuasaan-Nya. Melakukan hal demikian akan membuat konsep Allah mundur ke tahap primitif dan bersahaja dalam sejarah yang telah dilampaui oleh hati nurani umat manusia yang religius dan beradab.
* * *
Para martir sejati bagi Kristus tidak mati dengan tangan terkepal tetapi dengan tangan mereka yang tergabung dalam doa. Kita telah memiliki banyak contoh terbaru dari hal ini. Kristus adalah orang yang memberikan dua puluh satu orang Kristen Koptik dipenggal di Libya oleh ISIS 22 Februari lalu ini kekuatan untuk mati membisikkan nama Yesus.
Tuhan Yesus Kristus, kami berdoa untuk saudara dan saudari kami yang dianiaya dalam iman dan untuk semua manusia Ecce Homo yang berada di muka bumi pada saat ini, orang-orang Kristiani dan bukan Kristiani. Maria, di kaki salib engkau menyatukan dirimu kepada Putramu, dan engkau berbisik, setelah Dia, "Bapa, ampunilah mereka!" Bantu kami mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, tidak hanya di panggung dunia, tetapi juga dalam kehidupan kami sehari-hari, di dalam dinding-dinding rumah kami. Engkau "berbagi penderitaan-Nya ketika Ia wafat di kayu salib. Dengan demikian, dengan cara yang sangat khusus engkau bekerja sama dengan ketaatan, iman, harapan dan penyalaan amalmu dalam karya Juruselamat"[8] Semoga engkau mengilhami para pria dan wanita dari masa kami dengan pikiran damai dan belas kasih. Dan pikiran pengampunan. Amin.
______________________
[1] Blaise Pascal, ”Misteri Yesus”, #552, dalam Pensées (New York: E. P. Dutton & Co., 1958), 148.
[2] Friedrich Nietzsche, Ilmu Homo III, 125.
[3] Eusebius, Sejarah Gereja, VII, 22, 4, terjemahan G. A. Williamson (New York: Penguin Books, 1965), 236-237.
[4] Ernesto Galli della Loggia, “L’indifferenza che uccide” [“Ketidakpedulian yang Membunuh”], dalam Corriere della sera, 28 Juli, 2014, hal. 1.
[5] Augustine, Pengakuan-pengakuan, X, 43.
[6] Lihat Permainan Sengsara Allah yang Mustahil oleh Frank Topping.
[7] Lihat René Girard, Hal-hal Tersembunyi Sejak Adanya Dunia (Stanford , CA : Stanford University Press, 1987).
[8] bdk. Lumen Gentium, no. 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar