Ads 468x60px

SANG PERINTIS "GEREJA KATOLIK RASA INDONESIA"



HIK – HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
SENSUS HISTORICUS:
SANG PERINTIS "GEREJA KATOLIK RASA INDONESIA"
Inzet foto:
Para rahib trappist bersama Mgr.Willekens SJ di Pertapaan St Maria Rawaseneng.
Petrus Joannes Willekens lahir pada tanggal 6 Desember 1881 di Reussel, Brabant Utara, Belanda. Dia adalah putra walikota setempat, Tuan Adrianus Willekens dan Nyonya Willekens-Borrenbergen.
Sejak kanak-kanak, Willekens telah mempunyai keinginan untuk menjadi imam. Hal ini sangatlah wajar bagi orang-orang Brabant saat itu. Para pemuda Brabant pada umumnya bercita-cita untuk menjadi guru atau menjadi imam, dua profesi yang dianggap berpendidikan baik di kalangan mereka
Pada tanggal 26 September 1900, Willekens masuk novisiat Yesuit di Mariendaal, dekat Grave, Brabant Utara. Lalu tahun 1904, ia belajar filsafat-teologi di Oudenbosch.
Di tengah masa studinya, Willekens mengalami gangguan kesehatan. Oleh karena itu, selama masa penyembuhan ia ditugaskan untuk menjadi surveillant di Kolese Kanisius, Nijmegen. Tanggal 24 Agustus 1915, di Maastricht, Willekens ditahbiskan menjadi seorang imam dalam ordo Serikat Jesus.
Perkenalannya dengan Hindia Belanda terjadi pada saat ia diangkat menjadi Visitator Regularis Yesuit untuk misi di Jawa di tahun 1928. Meski tidak begitu lama tinggal di Jawa, ia memperhatikan banyak hal sehingga mengenal wilayah misi dengan baik.
Sewaktu berkeliling di Jawa, dia mengajukan pertanyaan: apakah tidak lebih baik kalau di daerah tropis, jubah yang berwarna hitam model Eropa digantikan dengan jubah berwarna putih yang lebih sesuai dengan iklim yang panas? Usul tersebut kemudian diterima sehingga sejak saat itu, para imam, bruder, dan suster mulai memakai jubah putih.
Pada tahun 1933, Mgr. A.P.F van Velsen SJ, Vikaris Apostolik Batavia, mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Jabatan itu kemudian dilanjutkan oleh Willekens. Paus Pius XI, tanggal 23 Juli 1934, mengangkat pastor Willekens menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Pertimbangannya adalah bahwa Willekens mengetahui dengan baik wilayah misi di Jawa tatkala ia menjadi seorang visitator misi.
Motto tahbisan uskup yang dipilih dalam jabatannya adalah “Scio Cui Credidi”.Kata-kata ini diambil dari surat Rasul Paulus kepada Timotius, “…karena aku tahu kepada siapa aku percaya..” (2 Tim 1:12).
Permenungan atas motto itu adalah sebagai berikut. Yesus adalah sumber segala kepercayaan. Siapa yang percaya kepada-Nya dapat mengharapkan bahwa segala karya yang dilakukan bersama-Nya akan membawa buah-buah abadi.
Tugas Vikaris Apostolik Batavia saat itu adalah bertanggung jawab untuk menjalankan reksa pastoral atas wilayah yang sekarang menjadi wilayah Keuskupan Agung Jakarta dan Keuskupan Agung Semarang. Dengan tekun dan sabar, ia menjalankan tugas itu. Umat Katolik mengalami perkembangan jumlah yang teratur. Selain itu, panggilan untuk menjadi imam, bruder, dan suster pun semakin subur.
Perhatian besar Mgr. Willekens terhadap bibit-bibit panggilan rohanitampak dalam tiga langkah besar.
Pertama, pendirian lembaga pendidikan imam diosesan yakni Seminari Tinggi Santo Paulus.
Kedua, pendirian lembaga hidup bakti biarawati pribumi Tarekat Abdi Dalem Sang Kristus.
Ketiga, pengesahan lembaga hidup bakti biarawan pribumi Kongregasi Bruder Apostolik (Bruder Rasul).
Selain itu, beliau juga mulai membuka asrama Seminari di Jalan Lapangan Banteng pada tahun 1950. Penghuni asrama ini belajar di SMA Kolese Kanisius. Pada tahun 1952, Seminari ini dipindahkan ke Tangerang.
Karya Mgr. Willekens tidak sebatas pada pembangunan lembaga pendidikan calon biarawan/wati. Beliau juga punya andil besar dalam mengusahakan pembangunan tempat ibadah bagi jemaat. Salah satunya adalah Gereja Kampung Sawah, Bekasi. Gereja ini direnovasi dengan sebagian uang sumbangan dari Mgr. Willekens dari penduduk wilayah Reussel.
Di samping itu, beliau juga memperhatikan situasi umat dengan membangun sekolah-sekolah serta mendirikan rumah sakit-rumah sakit. Lalu, Mgr. Willekens juga menaruh perhatian khusus dalam bidang pers.
Beliau adalah pencetus terbitnya majalah dwimingguan “Penabur” untuk masalah kemasyarakatan di tahun 1946 dan majalah mingguan “De Katholieke Week” (sekarang dikenal dengan nama Majalah HIDUP) untuk masalah kekatolikan pada tahun 1947.
Dalam masa kegembalaannya, jumlah umat di Vikariat Batavia terus merangkak naik. Pada tahun 1934, umat berjumlah 51.908 dan di tahun 1940 jumlah umat menjadi 64.399.[4] Bertambahnya jumlah umat secara pesat ini mengakibatkan adanya pemekaran wilayah. Pada tanggal 5 Agustus 1940, daerah Semarang menjadi Vikariat tersendiri yang dipimpin oleh Mgr. Albertus Soegijapranata.
Mgr. Willekens adalah seorang uskup yang cekatan dan gagah berani. Hal ini terlihat ketika pecahnya Perang Dunia II. Indonesia dikuasai oleh Jepang. Jepang mempunyai keinginan untuk menghilangkan pengaruh Eropa di Asia dan menjadikan kawasan Asia Selatan sebagai wilayah persemakmuran Jepang. Pada tahun 1943, semua imam berkebangsaan Eropa di Vikariat Batavia diinternir. Jepang mengirim beberapa biarawan dari negaranya untuk menggantikan peran para misionaris Eropa.
Namun, Mgr. Willekens tidak ikut diinternir. Beliau memiliki langkah yang ‘cerdas’ dengan mengangkat dirinya sebagai “wakil resmi” Takhta Suci Vatikan.
Berkat “jabatan diplomatik” itu, beliau berhasil mendapatkan status kebal sehingga ia tetap depat berkeliling Jakarta untuk menguatkan iman umat.
Bersama dengan Soegijapranata, Willekens berjuang terus untuk memeliharan kehidupan umat Katolik. Prioritasnya adalah pendidikan imam. Hindia Belanda harus memiliki sebanyak mungkin imam pribumi mengingat jumlah misionaris Eropa akan menjadi semakin kecil. Larangan berkotbah di Gereja dilanggarnya dengan amat berani. Mgr. Willekens menyadari bahwa umat pada saat pendudukan Jepang membutuhkan kehadiran seseorang yang dapat meneguhkan kehidupan iman mereka.
Pada tahun 1952, usia Mgr. Willekens semakin tua dan kesehatannya berangsur-angsur menurun. Atas dua alasan itu, ia mengajukan permohonan diri untuk mundur dari jabatan Vikaris Batavia. Selanjutnya jabatan itu diemban oleh Mgr. Djajaseputra.
Memasuki masa tua, Mgr. Willekens menjadi pengasuh para novis Yesuit di Girisonta. Setelah itu ia berpindah ke Yogyakarta dan mnejadi pembimbing rohani bagi para frater teologan di Kolese Santo Ignasius. Lalu, pada tanggal 27 Januari 1971, Mgr. Willekens meninggal dunia di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Beliau meninggal pada usia 89 tahun.
======
"Maxima cum laude - Penuh dengan pujian".
Inilah predikat memuaskan bagi mahasiswa/i yang lulus dg hasil terbaik dalam ujian akhirnya.
Kita sebenarnya juga diajak u/"lulus dengan penuh pujian" dalam setiap ujian iman dan kehidupan ini. Adapun Yesus kembali memberikan cara mendasar supaya "lulus ujian" yakni biasa hidup lepas bebas, iklas dan tulus dengan berpola "pergi/meninggalkan" yakni kerelaan untuk benar benar melepaskan apa yang kita miliki untuk semata-mata bagi kemuliaan Tuhan dan keselamatan jiwa kita. Hal ini didasari akan janjiNya bahwa Tuhan akan memberikan gantinya berlipat-lipat secara nyata pada saat ini dan nanti: “Barangsiapa meninggalkan rumah, saudara-saudari, ibu ATAU bapa, anak-anak ATAU ladangnya, pada masa ini juga ia akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak-anak DAN ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan; dan di masa datang ia akan menerima hidup yang kekal." (Mrk 10:29-30)
Secara singkat, "pola meninggalkan" itu mengandung 3 sikap dasar, al:
1. Berbagilah:
Ia ajak kita untuk rela memberi supaya mdpt kekayaan. Ya, memberi perHATIan-persaudaraan+kasih secara nyata dan bukan hanya kata kata. Ada "5 bahasa cinta" yang bisa kita berikan, al: memberi kehadiran, pelayanan, sentuhan, hadiah dan memberi pujian,
2. Berkorbanlah:
Ia ajak kita untuk rela "mati" supaya bisa mendapatkan kehidupan. Ya, mati dari kedosaan - kelekatan dan ketergantungan pada hal hal duniawi sehingga hanya Tuhan yang benar benar meraja.
3. Beranilah memikul salib:
Ia ajak kita untuk mau disalibkan demi iman supaya layak mendapat kemuliaan karena salib adalah jembatan menuju kemuliaan Paska dan itulah paradoks iman kita: kalau mau "kaya"-berbagilah, kalau mau "hidup"-berkorbanlah, kalau mau "mulia"-beranilah disalibkan bagi Tuhan.
Lebih lanjut, adapun tiga sikap dasar ini juga mengacu pada Latihan Rohani Ignasian bahwa "tujuan kita diciptakan adalah untuk memuji dan memuliakan Tuhan dan semua saja yang ada di bumi ini, yang kita miliki dan cintai adalah ada untuk membantu kita mencapai tujuan kita diciptakan, yakni untuk memuji dan memuliakan Tuhan."
Selamat berbagi - berkorban dan memikul salib.
"Ada benalu di sungai Gangga - Carilah selalu kerajaan Surga."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
“Sentire cum Deo - Sehati dengan Tuhan.”
Itulah tugas seorang nabi, jubir/jurubicaranya Allah (Ibr: “Nabiy”=messenger/prophet=utusan/pembawa kabar).
Dalam buku saya, “BBM” (RJK, Kanisius), ada 4 sikap nabi, al: “SAFT”:
Siddiq/jujur;
Amanah/terpercaya;
Fathonah/rajin
Tabligh/berbagi.
Ada beberapa nama nabi besar, tiga diantaranya yakni:
- Elia ("Yahweh adalah Allah");
- Elisa ("Allah adalah keselamatan") dan
- Yesus (“Yahweh yang menyelamatkan”).
Mereka mempunyai 4 karakteristik dasar, al:
1. "N"ampakkan Tuhan “dengan cinta”:
Mereka nampakkan Tuhan yang mencinta, yang tidak suka mengotak-kotakkan, yang cintanya tidak eksklusif-politis-elitis/penuh akal bulus, tapi yang cintanya inklusif-positif-terbuka dan tulus: Elia mengenyangkan janda di Sarfat-Elisa mentahirkan Naaman, seorang panglima kerajaan Aram yang sakit kusta dan Yesus juga membuat banyak “tanda cinta” bagi sesamanya dari desa Kana sampai Betania (Yoh 2 - Yoh 11).
2. "A"rahkan tujuan “ke surga”:
Mereka focus “on track”-setia arahkan ke surga. Bagi mereka, hidup=“ziarah” (Jw: siji sing diarah - satu yang dituju) yakni surga dan bukan harta. Sepenggal buktinya: Ketika Naaman telah sembuh dan hendak memberi hadiah, Elisa menolak karena disadari karyanya hanya datang dari rahmat dan kuasa Tuhan: "vanita', tutta e' vanita'" ("sia-sia-segalanya adalah sia-sia"). Adapun penyakit kusta Naaman pindah ke Gehazi, salah satu pelayan Elisa yang serakah (2 Raj 5).
3. "B"inasakan setan “dengan doa”:
Nabi Daniel berdoa 3x sehari. Nabi Daud berkata: "7 x sehari aku memuji Engkau" (Maz 119:164). Elia dan Elisa juga biasa berdoa di gunung dan disanalah Elia menjumpai Tuhan dalam angin sepoi sepoi, bahkan Yesus setiap pagi dan malam pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa: "Doa orang benar sangat besar kuasanya” (Yak 5:16).
4. "I"kuti jalan iman “dengan matiraga”:
Yunus masuk ikan paus. Ayub ditinggal mati keluarganya. Yohanes dipenggal. Yeremia dipenjara dan Yesaya digergaji. Elia sendiri tinggal di tepi sungai Kerit dengan minum air sungai dan diberi makan roti/daging oleh burung gagak. Elia juga harus lari ke padang gurun dan tinggal di gua Horeb. Elisa pernah dicemooh: "Botak, naiklah botak!" Yesus juga dicemooh-dihina dan harus mati disalib. Inilah jalan iman: penyaliban dan derita, tapi bukankah itu adalah jalan menuju kebangkitan dan cinta?
“Cari serabi di Balik Papan - Jadilah nabi dalam kehidupan!”
B.
"Spe gaudentes, in tribulation patientes, oration instants - Bersukacita dalam pengharapan, bersabar dalam kesesakan dan bertekun dalam doa.”
Inilah salah satu ayat yang kerap saya daraskan di awal doa umat dalam misa kudus karena mengajak saya untuk selalu berani menghidupi iman lewat tiga sikap nyata: bersyukur-bersabar dan bertekun.
Adapun, Yesus juga menghidupi imannya, tidak hanya sebagai imam yang menguduskan/raja yang memimpin tapi juga sebagai nabi yang mewartakan kebenaran.
Nabi berakar dari kata "naba" : kabar/ berita/sabda, yang mendapat dan mewartakan kabar/berita/sabda ilahi walau dengan resiko kadang ditolak dan disingkirkan sesamanya.
Dengan kata lain: Nabi/Messenger/Prophet" berarti juga menjadi jubir-juru bicara/jurkam-juru kampanye Allah yang harus memiliki beberapa sikap ilahi seperti yang saya sebut di atas, antara lain:
"Bersyukur":
Ia mengajak kita untuk terus bersyukur dalam pengharapan bahwa Tuhan selalu menyertai setiap usaha dan niat baik kita para pilihanNya. Para nabi sendiri bersyukur karena menerima wahyu langsung dari Tuhan, misalnya Yeremia yang penuh syukur dan mengucapkan satu kalimat yang mencetuskan spirit kenabian: “jika aku tidak berbicara, bagai ada api yang terbungkus dalam dadaku.”
"Bersabar":
Kita diajak untuk bersabar dalam menghadapi resiko sebagai nabi modern, seperti Mgr Romero di Elsalvador yang ditembak mati ketika sedang merayakan misa pagi karena berani menyuarakan keadilan dan kenabian secara jujur dan adil.
"Bertekun":
Kita diajak untuk tetap membawa semua gulat-geliat hidup dalam doa secara terarah dan teratur kepadaNya, karena seperti kata Gibran dalam “Taman Sang Nabi”: Kita semuanya saling tergantung satu sama lain dalam jalinan hukum cinta semesta, sejak purba tanpa ada batas masa. Maka, marilah kita hidup ramah dalam suasana mesra satu terhadap yang lain. Kita saling mencari ketika merasa seorang diri, selagi menyusuri jalan yang sepi, atau di saat sunyi, tiada tungku penghangat badan yang alami.
"Makan bakut plus kue serabi - Jangan takut menjadi seorang nabi."
C.
“Hosanna in excelsis - Terpujilah Engkau di surga.”
Inilah pekik iman yang bisa kita kumandangkan kepadaNya atas berkatNya kepada kita.
Pertanyaannya: Apakah dalam memberikan rahmat-Nya, Tuhan pilih-pilih orang?
Dari sekian banyak janda yang kelaparan, Elia hanya diutus untuk janda di Sarfat (1Raj 17,7-24). Dari sekian banyak orang kusta, hanya Naaman yang disembuhkan-Nya dengan perantaraan Elisa (2 Raj 5,1-27).
Tentu saja tidak demikian! Tuhan jelas maha baik untuk semua orang: Ia "menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar" (Mat 5,45).
Oleh karena itu, yang menjadi pokok persoalan bukan pada Allah yang mengotak-kotakkan tetapi pada pihak manusia yang kerap menolak-Nya, yang tidak menerima-Nya dengan penuh “hik”: harapan iman dan kasih.
Dengan demikian, sabda Tuhan ini mengajak kita untuk dengan sebulat hati 100% menerima-Nya sebagai Dia yang kita imani, sebagai satu-satunya tempat di mana kita penuh dan utuh menggantungkan "hik", harapan iman dan kasih kita sepenuhnya, selalu dan senantiasa, sepanjang hayat di kandung badan.
"Dari Matraman ke Cililitan -
Dengan iman, kita kalahkan kejahatan."
D.
"Jesus' power to heal and cleanse"
Gospel Reading: Luke 4:24-30
And he said, "Truly, I say to you, no prophet is acceptable in his own country. But in truth, I tell you, there were many widows in Israel in the days of Elijah, when the heaven was shut up three years and six months, when there came a great famine over all the land; and Elijah was sent to none of them but only to Zarephath, in the land of Sidon, to a woman who was a widow. And there were many lepers in Israel in the time of the prophet Elisha; and none of them was cleansed, but only Naaman the Syrian."
When they heard this, all in the synagogue were filled with wrath. And they rose up and put him out of the city, and led him to the brow of the hill on which their city was built, that they might throw him down headlong. But passing through the midst of them he went away.
Old Testament Reading:
2 Kings 5:1-15
Naaman, commander of the army of the king of Syria, was a great man with his master and in high favor, because by him the LORD had given victory to Syria. He was a mighty man of valor, but he was a leper.
Now the Syrians on one of their raids had carried off a little maid from the land of Israel, and she waited on Naaman's wife. She said to her mistress, "Would that my lord were with the prophet who is in Samaria! He would cure him of his leprosy." So Naaman went in and told his lord, "Thus and so spoke the maiden from the land of Israel." And the king of Syria said, "Go now, and I will send a letter to the king of Israel." So he went, taking with him ten talents of silver, six thousand shekels of gold, and ten festal garments. And he brought the letter to the king of Israel, which read, "When this letter reaches you, know that I have sent to you Naaman my servant, that you may cure him of his leprosy." And when the king of Israel read the letter, he rent his clothes and said, "Am I God, to kill and to make alive, that this man sends word to me to cure a man of his leprosy? Only consider, and see how he is seeking a quarrel with me."
But when Elisha the man of God heard that the king of Israel had rent his clothes, he sent to the king, saying, "Why have you rent your clothes? Let him come now to me, that he may know that there is a prophet in Israel."
So Naaman came with his horses and chariots, and halted at the door of Elisha's house. And Elisha sent a messenger to him, saying, "Go and wash in the Jordan seven times, and your flesh shall be restored, and you shall be clean."
But Naaman was angry, and went away, saying, "Behold, I thought that he would surely come out to me, and stand, and call on the name of the LORD his God, and wave his hand over the place, and cure the leper. Are not Abana and Pharpar, the rivers of Damascus, better than all the waters of Israel? Could I not wash in them, and be clean?" So he turned and went away in a rage.
But his servants came near and said to him, "My father, if the prophet had commanded you to do some great thing, would you not have done it? How much rather, then, when he says to you, `Wash, and be clean'?" So he went down and dipped himself seven times in the Jordan, according to the word of the man of God; and his flesh was restored like the flesh of a little child, and he was clean. Then he returned to the man of God, he and all his company, and he came and stood before him; and he said, "Behold, I know that there is no God in all the earth but in Israel; so accept now a present from your servant."
Meditation
Do you believe that God wants to act with power in your life today? Power to set you free from sin and hurtful desires, fear and oppression. Throughout the Scriptures we see God performing mighty acts to save his people from death and destruction - from Noah's ark that spared his family from the flood of wickedness that had spread across the land to Moses and the Israelites who crossed through the parting waters of the Red Sea as they fled the armies of Pharoah their slave Master and oppressor.
Throughout the Gospel accounts Jesus praised individuals who put their faith in God as they remembered the great and wonderful deeds he had performed time and again. Jesus even praised outsiders - non-Jews and pagans from other lands who had heard about the mighty deeds of the God of Israel. One example Jesus mentioned was Naaman the pagan army commander from Syria who was afflicted with leprosy - a debilitating skin disease that slowly ate away the flesh (2 Kings 5:1-15).
Naaman's slave-girl was a young Jewish woman who had faith in God and compassion for Naaman her master. She urged him to seek healing from Elisha, the great prophet of Israel. When Naaman went to the land of Israel to seek a cure for his leprosy, the prophet Elisha instructed him to bathe seven times in the Jordan river. Namaan was indignant at first, but then repented and followed the prophet's instructions. In doing so he was immediately restored in body and spirit.
Healing the leprosy of soul and body
What is the significance of Naaman's healing for us? Ephrem the Syrian (306-373 AD), an early Christian teacher from Edessa, tells us that Naaman's miraculous healing at the River Jordan, prefigures the mystery of the healing which is freely granted to all nations of the earth by our Lord
Jesus through the regenerating waters of baptism and renewal in the Holy Spirit (Titus 3:5).
"Therefore Naaman was sent to the Jordan as to the remedy capable to heal a human being. Indeed, sin is the leprosy of the soul, which is not perceived by the senses, but intelligence has the proof of it, and human nature must be delivered from this disease by Christ's power which is hidden in baptism. It was necessary that Naaman, in order to be purified from two diseases, that of the soul and that of the body, might represent in his own person the purification of all the nations through the bath of regeneration, whose beginning was in the river Jordan, the mother and originator of baptism." (commentary On The Second Book of Kings 5.10-1)
Jesus told Nicodemus, "unless one is born of water and the Spirit, he cannot enter the kingdom of God" (John 3:5).
The Lord Jesus wants to renew in each one of us the gift of faith and the regenerating power of baptism and the Holy Spirit (Titus 3:5) which cleanses us of the leprosy of sin and makes us "newborn" sons and daughters of God.
Confronting the sin of indifference and unbelief
When Jesus first proclaimed the good news of God's kingdom to his own townspeople at Nazareth (Luke 4:23-27), he did not hesitate to confront them with their sin of indifference and unbelief. He startled his listeners in the synagogue at Nazareth with a seeming rebuke that no prophet or servant of God could receive honor among his own people.
He then angered them when he complimented Gentiles who had shown more faith in God than the "chosen ones" of Israel. Some who despised the Gentiles (non-Jews) even spoke of them as "fuel for the fires of hell."
Jesus' praise for "outsiders" offended the ears of his own people because they were blind-sighted to God's merciful plan of redemption for all the nations. The word of rebuke spoken by Jesus was met with indignation and hostility. The Nazarenes forcibly threw him out of their town and would have done him physical harm had he not stopped them.
We all stand in need of God's grace and merciful help every day and every moment of our lives. Scripture tells us that "the steadfast love of the Lord never ceases, his mercies never come to an end; they are new every morning" (Lamentations 3:22-23). God gives grace to the humble who seek him with expectant faith and with a repentant heart that wants to be made whole and clean again.
The Lord Jesus will set us free from every sinful habit and every harmful way of relating to our neighbor, if we allow him to cleanse and heal us. If we want to walk in freedom and grow in love and holiness, then we must humbly renounce our sinful ways and submit to Christ's instruction and healing discipline in our lives.
Scripture tells us that the Lord disciplines us for our good that we may share his holiness (Hebrews 12:10). Do you want the Lord Jesus to set you free and make you whole again? Ask him to show you the way to walk in his healing love and truth.
"Lord Jesus, teach me to love your ways that I may be quick to renounce sin and willfulness in my life. Make me whole and clean again that I may delight to do your will."
Psalm 42:2-4
My soul thirsts for God, for the living God. When shall I
come and behold the face of God?
My tears have been my food day and night, while men say to
me continually, "Where is your God?"
These things I remember, as I pour out my soul: how I went
with the throng, and led them in procession to the house of
God, with glad shouts and songs of thanksgiving, a
multitude keeping festival.
Psalm 43:3-4
Oh send out your light and your truth; let them lead me, let
them bring me to your holy hill and to your dwelling!
Then I will go to the altar of God, to God my exceeding joy;
and I will praise you with the lyre, O God, my God.
Daily Quote from the Early Church Fathers
"Fulfill the commandments out of love. Could anyone refuse to love our God, so abounding in mercy, so just in all his ways? Could anyone deny love to him who first loved us despite all our injustice and all our pride? Could anyone refuse to love the God who so loved us as to send his only Son not only to live among human beings but also to be put to death for their sake and at their own hands?" (Augustine, Bishop of Hippo, 354-430 A.D.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar