Ads 468x60px

Ignatius Slamet Riyadi



SENSUS HISTORICUS:
S L A M E T.......
Ignatius Slamet Riyadi lahir di Solo 26 Juli 1927 dengan nama Soekamto. Ibunya, Soetati, -seorang penjual buah- tidak sengaja menjatuhkan bayi Soekamto yang sedang digendong. Entah mengapa sejak saat itu Soekamto jadi sering sakit-sakitan.
Ayahnya, Raden Ngabehi Prawiropralebdo, seorang tentara pada Kesultanan Solo, sangat khawatir. Maka, digelarlah acara ‘jual beli anak’. Sebuah adat Jawa, yakni anak yang –biasanya- bermasalah dengan kesehatannya ‘dijual’ pada saudara sendiri dan namanya diganti.
Dengan upacara kecil ini, diyakini, semua penyakit bisa ‘dikecoh’ karena telah lahir manusia baru.
Benar saja, setelah namanya diganti menjadi Slamet Riyadi tubuhnya sehat selalu. Slamet berati Selamat. Riyadi untuk sehat, kuat dan bijaksana. “Pembeli” bayi malang ini tak lain adalah sang paman sendiri. Dan ketika Slamet selesai sekolah menengah dan tak pernah sakit-sakitan lagi, sang ayah pun ‘membeli kembali’ anaknya sendiri.
Masa pendudukan Jepang, Slamet belajar ilmu pelayaran dan sempat jadi navigator kapal di Jakarta.
Begitu Jepang kalah dari sekutu, 1945, Slamet ikut melucuti senjata Jepang untuk dibawa kabur pulang ke Solo.
Slamet pun bergabung dengan tentara perjuangan Indonesia di kota kelahirannya. Bakatnya luar biasa dan jiwa kepemimpinannya sangat menonjol.
Pangkatnya melesat naik. Tahun 1949 Slamet sudah menyandang Letnan Kolonel. Ia memimpin brigade V, Solo, yang menguasai Jawa Tengah. Memegang sebuah Brigade dengan kekuatan 1.000-5.000 tentara tentu tidak mudah, karenanya, biasanya, sebuah brigade dipimpin oleh seseorang berpangkat setidaknya Kolonel atau Brigadir Jenderal. Ternyata Slamet tidak mengecewakan pimpinannya.
7 Agustus tahun 1949 Belanda berusaha merebut kembali kota Solo, pasukan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Frits Mollinger langsung masuk dan menduduki kota.
Let Kol Slamet Riyadi memakai taktik cerdas, ia dan pasukannya segera menyingkir ke perbatasan kota, malam harinya pasukan militan bentukannya bergerak dengan diam-diam mengepung seluruh kota!
Di perbatasan, pasukan Slamet dibantu rakyat biasa memasang ribuan barikade dengan menebangi pohon-pohon besar. Jalan Jogja ke Solo ditutup, begitu juga jalan dari utara, Semarang ke Solo. Barikade menghalagi semua jalan memasuki Solo. Pasukan Mollinger tidak hanya terkepung, tetapi juga terisolir!
Menjelang subuh, secara serempak pasukan komando di bawah Slamet Riyadi menggempur dengan hebat. Belanda kaget bukan kepalang. Gempuran dahsyat terus dilakukan. Bukan hanya satu hari tetapi empat hari!
Pasukan yang terkepung ini pun kalah. Mollinger kemudian mengajukan gencatan senjata dan mundur ke Semarang. Ia pun berniat menyerahkan Solo, Pacitan dan pantai selatan pada TNI.
Dalam upacara penyerahan, Mayor Jenderal Frits Mollinger kaget bukan main bahwa pasukan yang mengalahkannya ternyata ‘hanya ‘ dipimpin oleh seorang Letnan Kolonel, yang secara hirarki berada tiga tingkat di bawah pangkatnya sendiri! Namanya, Slamet Riyadi!
Penasaran karena hanya tahu nama saja, saat memasuki lapangan upacara Mollinger bertanya pada seorang anak muda yang berdiri disana.
“Maaf, saya bertanya, yang mana yang bernama Slamet Riyadi??”
“Saya sendiri Jenderal!”
Mollinger kaget dan memandang dari kaki hingga kepala anak muda yang berdiri di depannya, “Anda sendiri??”
Slamet mengangguk sambil tersnyum.
Mollinger heran dan kagum pada anak muda ini. Rambutnya hitam tebal, wajahnya keras namun ramah dan berkulit hitam khas tentara lapangan yang biasa bergerak dengan cepat. Tubuhnya ‘mungil’ hanya 160 cm, sangat pendek untuk ukuran orang kulit putih. Dan, wajahnya, ah, masih muda sekali. Mirip anak baru selesai sekolah menengah!
Mollinger mengangkat tangan dan menyalami musuhnya dengan sangat hangat, “ Anda sungguh luar biasa!”
Slamet membungkukkan badan, menghormati Mollinger.
“Berapa usia Anda?” kejar Mollinger.
“22 tahun” senyum khas Slamet terkembang.
Mollinger tersentak.
Inilah sepenggal kisah salah satu orang hebat dari negeri sendiri. Usianya sedemikian muda di umur republik yang baru empat tahun, namun Slamet sudah membentuk unit tempur yang luar biasa. Pasukan Komando. Pasukan berani mati yang bisa bergerak dengan cepat, bertempur dengan hebat dan pantang menyerah.
Bahu kiri Slamet tertera emblem: Komando. Pasukan khusus ini belum sempat diresmikan dan diberi nama, banyak tugas teritorial datang: di Jawa barat dan Maluku guna menumpas pemberontakan.
Pada rekannya Kolonel Alexander Evert Kawilarang, Slamet mengutarakan keinginannya membentuk suatu pasukan hebat bagi negeri. Sayang, keinginannya belum terwujud. Di Maluku, Kolonel Slamet Riyadi gugur. Pangkatnya dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal.
Tanggal 6 Nopember 2007 , pemerintah secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional bagi Ignatius Slamet Riyadi.
Namanya diabadikan menjadi nama Universitas, Kapal Perang (kapal perang jenis perusak kawal- escort destroyer- no lambung:352), hingga menjadi nama jalan utama
sepanjang 58 km kebanggaan warga Solo.
Dialah bapak pendiri cikal bakal pasukan khusus kabanggaan Indonesia, Kopassus.
(GW)
Foto:
Letnan Kolonel Slamet Riyadi menandatangani dokumen penyerahan wilayah Solo, Pacitan dan sekitarnya oleh Belanda kepada pasukan TNI, disaksikan komandan tentara Belanda, Mayor Jenderal Frits Mollinger.
May. Jend Mollinger menyalami dengan erat Letnan Kolonel Slamet Riyadi, disaksikan oleh Kolonel JH. M.U.L.E Ohl perwira lapangan yang pasukannya dihajar pasukan Slamet.
======
Letkol Slamet Riyadi beserta pasukan republik butuh waktu berbulan-bulan untuk mencapai Kota Ambon pada pertengahan 1950 itu. Bukan hanya medan berupa hutan bakau dan hamparan rawa saja yang menghadang, juga kemungkinan serangan mendadak dari musuh bisa datang setiap saat.
Kala itu, Slamet Riyadi merupakan salah satu pemimpin pasukan yang ditugaskan untuk membasmi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di kawasan timur Indonesia. Usianya masih sangat muda, 23 tahun, namun pemuda asal Solo ini sudah menempati posisi penting dalam misi bernama Operasi Senopati itu.
Setelah bersusah-payah menembus liarnya alam dan berkali-kali lolos dari rentetan tembakan lawan, pasukan republik akhirnya berhasil mendekati Benteng Victoria di Kota Ambon pada 4 November 1950. Namun, misi ini rupanya menjadi pengabdian terakhir Slamet Riyadi. Ia tertembak dan mengembuskan nafas penghabisan pada malam harinya.
Slamet Riyadi lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 26 Juli 1927 dengan nama Soekamto. Ayahnya, Raden Ngabehi Prawiropralebdo, adalah seorang abdi dalem sekaligus perwira di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sementara sang ibunda, Soetati, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berjualan buah.
Soekamto kecil pernah terjatuh dari gendongan ibunya saat masih berusia 1 tahun. Sejak itu, ia sering sakit-sakitan. Tubuh kecilnya kurus kering, dan fisiknya pun sangat lemah sehingga mudah diserang berbagai penyakit (Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, Brigadir Jenderal Anumerta, 1996:9).
Keluarga Soekamto yang tinggal tidak jauh dari lingkungan Kraton Solo menganut ajaran Kejawen. Maka, ditempuhlah ikhtiar yang sesuai tradisi Jawa terkait kondisi Soekamto, yakni dengan cara “menjualnya” kepada salah satu kerabat, yakni pamannya yang bernama Warnenhardjo.
Sebagai syarat, nama Soekamto harus diganti agar terhindar dari marabahaya. Nama yang dipilih adalah Slamet demi harapan untuk keselamatan hidupnya. Semenjak itu, Soekamto resmi menyandang nama baru: Slamet.
Dalam ritual yang dihadiri oleh para tetua kampung, tokoh adat dan masyarakat, juga warga sekitar tersebut, Warnenhardjo berucap:
“… maka, kami minta serta memohon doa restu dari semua hadirin agar Slamet bisa selalu kalis ing sambekala, terhindar dari segala macam bahaya, tumbuh dewasa, dan selalu berbakti kepada orangtua, masyarakat, bangsa, serta negaranya.” (Julius Pour, Ignatius Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS, 2008:16).
Secara adat, Soekamto alias Slamet sudah menjadi anak dari Warnenhardjo. Meskipun begitu, ia tetap tinggal bersama ayah dan ibunya. Nantinya, ketika Slamet beranjak remaja, ia kembali "dibeli" oleh ayahnya seperti tradisi yang berlaku.
Nama tambahan Riyadi diperoleh Slamet ketika ia duduk di bangku sekolah menengah milik Mangkunegaran di Solo. Nama tersebut diberikan karena di sekolah itu cukup banyak siswa yang bernama Slamet di sekolah (Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, Brigadir Jenderal Anumerta, 1996:11).
Slamet Riyadi lulus dari sekolah menengah bertepatan dengan kalahnya Belanda dari Jepang yang kemudian mengambil-alih wilayah Indonesia pada 1942. Slamet yang saat itu baru berusia 15 tahun memutuskan merantau ke Jakarta untuk meneruskan pendidikan di akademi kelautan milik pemerintahan militer Jepang.
Hingga suatu malam di dekat Stasiun Gambir, Slamet Riyadi bersua dengan para pejuang yang bergerak dari secara sembunyi-sembunyi dengan harapan bisa mengusir Jepang suatu saat nanti. Nah, ketika Jepang akhirnya kalah oleh Sekutu dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi mengajak rekan-rekannya sesama pelaut untuk turut mengangkat senjata.
Salah satu gebrakan Slamet Riyadi dan rekan-rekannya pada masa ini adalah berhasil membawa kabur kapal milik Jepang, serta menggalang kekuatan dari para prajurit Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam kesatuan militer bentukan Dai Nippon (National Geographic Indonesia, 23 September 2013).
Slamet Riyadi kemudian kembali ke Solo untuk membantu perjuangan rakyat di sana hingga akhirnya Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Setelah itu, ia sepenuhnya membaktikan diri untuk mempertahankan kemerdekaan RI karena Belanda yang ingin berkuasa lagi telah datang kembali.
Bergabung dengan angkatan perang RI, Slamet Riyadi langsung terlibat sentral dalam berbagai aksi perjuangan melawan Belanda, termasuk Agresi Militer Belanda I dan II yang masing-masing terjadi pada 1947 dan 1949.
Slamet Riyadi memimpin Serangan Umum Kota Solo selama 4 hari dari tanggal 7 hingga 11 Agustus 1949. Serbuan frontal ini mengakibatkan 7 tentara Belanda tewas dan 3 orang lainnya menjadi tawanan (Sewan Susanto, Perjuangan Tentara Pelajar dalam Kemerdekaan Indonesia, 1985:86).
Keberhasilan ini membuat Slamet Riyadi semakin dilibatkan dalam misi-misi berikutnya yang tak kalah penting. Selain itu, usai Serangan Umum Kota Solo yang sukses besar tersebut, Slamet Riyadi dibaptis di Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan Solo. Namanya kemudian menjadi Ignatius Slamet Riyadi.
Slamet Riyadi selalu terlibat dalam operasi-operasi militer penting angkatan bersenjata RI selanjutnya. Ia terlibat dalam usaha menghentikan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) juga gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, lalu menghadapi pasukan Andi Aziz di Makassar, hingga dikirim ke Ambon kontra Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada suatu kali saat menjalankan tugas, Slamet Riyadi pernah menyatakan cita-citanya kepada sahabat sekaligus rekan kerjanya, Kolonel A.E. Kawilarang.
“Kalau operasi ini selesai, saya ingin membentuk pasukan khusus yang setangguh pasukan baret hijau Belanda seperti yang kita hadapi saat ini,” ucap Slamet Riyadi kala itu.
Keinginan itu tak kuasa diwujudkan. Namun, cita-cita Slamet Riyadi ditunaikan A.E. Kawilarang dengan membentuk Kesatuan Komando (Kesko), lalu berturut-turut berganti nama Korp Komando Angkatan Darat (KKAD), Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha), hingga menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Slamet Riyadi meninggal dunia terlalu dini. Pada 4 November 1950, perutnya terkena berondongan peluru di depan gerbang Benteng Victoria di Kota Ambon. Usai tertembak, Slamet Riyadi langsung diamankan untuk segera mendapatkan pertolongan medis.
Meskipun perutnya terluka parah, ia terus memberikan instruksi agar disampaikan kepada pasukannya yang masih bertempur di Ambon. Di rumah sakit darurat di atas kapal di perairan Tulehu, Maluku Tengah, dokter dan tenaga medis lainnya berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa Slamet Riyadi.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Soekamto yang namanya sudah diganti menjadi Slamet dengan harapan selalu mendapat keselamatan ternyata tidak tertolong. Di hari yang sama, pukul 11 malam, Slamet Riyadi menghembuskan nafas terakhirnya.
Jasad sang perwira muda dimakamkan di Tulehu atas permintaan masyarakat setempat. Sedangkan sebagian tanah kuburnya dibawa ke Surakarta untuk disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Solo.
======
Mengenang Ignatius Slamet Riyadi.
Dirgahayu Kopassus ke 66
16 April 1952 - 16 April 2018
Berani ,Benar, Berhasil ....Komando!!!
HYMNE KOMANDO:
Sigap nan tegap waspada dan wibawa
Prajurit Komando berjiwa satria
Bagi nusa bangsa dan negara
Pantang kan menyerah di medan laga
Di bawah dwi warna sang panji
Di atas persada negri kami
Demi Tuhan kami ini berjanji
Rela binasa membela Ibu Pertiwi
Indonesia kami puja
Tanah air kami cinta
Baret Merah jiwa hamba
Sudah janji kita semua
Lebih baik pulang nama
Daripada gagal di medan laga.
===
KOPASSUS
bukan milisi bersenjata,
yang bertempur secara ugal-ugalan.
pertempuran bagi Kopassus adalah pilihan terakhir yang TERPAKSA harus dilakukan, dan itupun tidak dilakukan spontan sak maunya sendiri, tetapi atas kebijakan dan keputusan politik negara.
..... dan bila keputusannya harus bertempur, tidak ada pilihan lain kecuali Kopassus harus menang dan berhasil.
Dirgahayu KOPASSUS
berani-benar-berhasil
KATANYA.....
A.
Siapakah komandan Kopassus pertama?
Dia adalah Idjon Djanbi. Bukan orang Indonesia, melainkan seorang pria asal Belanda yang kemudian menjadi WNI.
Namanya dianggap keramat bagi Kopassus, sebab, dialah orang yang pertama kali mengasah mental dan fisik anggota TNI AD. Melalui latihan ketat, terpilih sejumlah prajurit tanggung berkualifikasi komando.
Idjon Djanbi sebenarnya bernama Rokus Barendregt Visser. Dia lahir di sebuah kota kecil di selatan Belanda, Boskoop, pada 13 Mei 1914. Keluarganya merupakan petani bunga.
Sejak kecil, Visser punya hobi yang menantang, mulai dari balapan mobil, mendayung perahu kayu, bermain sepak bola, berkuda, dan mendaki. Kegiatannya ini, membuat kakek dan neneknya kewalahan mengawasinya.
Selain hobi yang menantang, Visser juga dikenal cerdas di bidang akademik. Prestasinya di sekolah juga lumayan baik.
Sedangkan pihak keluarga membuatnya meminati bidang agraria. Pada tahun 1935-1940, Visser menjadi pengusaha ekspor-impor bidang agraria dan holtikultura.
Pada tahun 1939, Perang Dunia II terjadi. Dia pun tak bisa pulang ke Belanda karena telah dikuasai Jerman. Hingga di usianya yang ke-25 tahun, ia masuk dunia militer untuk membela Belanda.
Tugas pertamanya kali itu menjadi sopir Ratu Wilhelmina. Tapi setahun kemudian dia mengundurkan diri. Ia lalu mendaftarkan diri sebagai operator radio di Pasukan Belanda ke-2.
Operasi pertamanya dilakukan pada September 1944. Kala itu dia dan pasukannya mendarat di wilayah konsentrasi pasukan Jerman. Dua bulan kemudian, semua pasukan dikumpulkan. Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu lain untuk operasi amfibi di Walcheren.
Ia juga mendapatkan pendidikan komando di Commando Basic Training di Achnacarry di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Setelahnya, dia menyandang brevet Glider alias baret hijau.
Sedangkan baret merah diperoleh Visser setelah menjalani pendidikan komando di Special Air Service (SAS). Ia juga mengantongi lisensi penerbang PPL-I dan PPL-II.
Ia kemudian bergabung dengan Koninklij Leger untuk mengusir Jepang dari Indonesia. Tapi, Jepang terlebih dulu mundur sebelum mereka datang.
Hingga pada tahun 1949 ia memutuskan keluar dari militer dan menetap di Indonesia.
Sedangkan awal mula Kopassus adalah ketika pemuda bernama Letnan Dua Aloysius Sugianto dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) membujuknya untuk melatih komando di CIC II (Combat Inteligen Course) Cilendek, Bogor.
Meski sempat menolak, akhirnya Idjon Djanbi menerima tawaran itu dan mengajar selama tiga bulan. Ia juga diangkat menjadi Mayor Infanteri TNI AD pada 1952.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar