Ads 468x60px

Senin, 10 Juni 2019

HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Senin, 10 Juni 2019
Peringatan Wajib Santa Perawan Maria, Bunda Gereja
Kisah Para Rasul (1:12-14)
(Mzm 87:1b-3.4-5.6-7; Ul: 3)
Yohanes (19:25-27)
"Mater Dolorosa - Bunda Dukacita"
Inilah salah satu gelar Maria yang dikenangkan Gereja, dimana pada awalnya, peringatan ini bergelar “Santa Perawan Maria Bunda Berbelas Kasih” (Our Lady of Compassion) dengan menekankan besarnya kasih Maria ("compassion": "cum" et "patior", menderita bersama).
Selanjutnya, gelar ini sejatinya diberikan kepada Maria dengan menitik-beratkan pada 7 dukacitanya, antara lain:
- Nubuat Simeon,
- Pengungsian ke Mesir,
- Yesus hilang & diketemukan di Bait Allah,
- Maria berjumpa dengan Yesus dalam perjalananNya ke Kalvari,
- Maria berdiri di kaki salib,
- Maria memangku jenasah Yesus, dan
- Yesus dimakamkan.
Dari 7 dukacita Maria inilah, hatinya kerap dilukiskan terbuka dengan tujuh pedang menembusinya.
Disinilah, bersama dengan Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Bunda Gereja, persis sehari pasca Pentakosta, kita diajak punya pedang iman berpola "3K", antara lain:
1.Keberanian.
Maria berdiri dengan berani & setia di kaki salibNya (Yoh 19:26-27). Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium, menulis:
"Maria sesuai dengan rencana Allah berdiri di dekatNya. Disitulah ia menanggung penderitaan yang dahsyat bersama dengan Putranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya ia menggabungkan diri dengan korbanNya yang penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkannya.” (#58).
2.Kasih.
Ketika Yesus hilang di bait Allah, ia terus mencariNya dengan penuh kasih juga ketika orang banyak kekurangan anggur di Kana, ia berkata padaNya: "Mereka kehabisan anggur!"
Tepatlah St. Bernardus menulis, “Ia wafat secara jasmani oleh karena kasih yang jauh lebih besar daripada yang dapat dipahami manusia."
3.Kepasrahan.
Mengacu pada Fiat-nya:
"Aku ini HAMBA Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu", kita diajak untuk berpasrah dengan semangat dasar Maria, "MAu Rendahhati Ikut Allah."
"Dari Samaria ke Sukabumi - Bunda Maria doakanlah kami"
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
NOVENA HATI KUDUS YESUS.
"Hati Yesus yang lemah lembut dan murah hati, jadikanlah hatiku seperti HATIMU...."
Perayaan HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHAKUDUS adalah 19 hari, terhitung sejak hari Pentakosta kemarin.
Untuk mempersiapkan diri menyambut HR Hati Yesus yang Mahakudus, umat beriman dapat berdoa Novena Hati Kudus Yesus, dengan rumusan doa yang sama selama 9 hari menjelang Perayaan HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHAKUDUS.
A.
O Dolorosa - Dukacita Sang Bunda.
(Buku MOM - Mary Our Mother. RJK).
Injil menghubungkan bagian pertama kehidupan Maria sebagai rangkaian saat rahmat dan bahagia, tapi perannya sebagai seorang ibu menjadi lebih sulit setelah Anaknya dibaptis dan memulai pelayananNya.
Yesus meninggalkan rumah dan mulai berkhotbah dan mengumpulkan murid baru. Maria hadir dan mendorong terjadinya mukjizat pertamaNya, ketika Yesus mengubah air menjadi anggur di Pernikahan Kana.
Menjanda, Maria mengikuti anaknya dalam beberapa perjalananNya, yakin akan ajaran-ajaranNya, tapi sebagai seorang ibu, dia kuatir tentang Anaknya, yang memberikan seluruh hidupNya sementara para musuhNya pun makin bertambah.
Yesus sering mengingatkan Ibunya bahwa mereka yang percaya kepada-Nya adalah keluargaNya yang sesungguhnya, dan Ia juga mengatakan bahwa Ia telah ditakdirkan untuk menderita dan dibunuh. Kata-kata ini membuat Maria mencintai Anaknya semakin lebih lagi.
Terakhir kalinya Maria melihat Anaknya adalah ketika ia pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah, Yesus berumur tiga puluh tiga tahun.
Maria berada di istana Pontius Pilatus. Ia mendengar hukuman mati dijatuhkan atas Puteranya, dan ikut berada di sepanjang jalan salib; dimana Anaknya menderita dan disiksa begitu berat.
Maria juga berada berdiri di kaki salib, hatinya tertusuk dengan kesedihan mendalam menyaksikan Anaknya wafat, diturunkan dari salib, dan dikuburkan.
B.
Stabat Mater Dolorosa - Kidung Derita Bunda
(Buku MOM - Mary Our Mother. RJK).
“Stabat Mater” adalah nama dari sebuah himne pada abad ketiga belas yang menceritakan penderitaan Perawan Maria.
Himne ini pada awalanya dibuat dalam bahasa Latin oleh seorang biarawan Fransiskan yang bernama Jacapone da Todi di Italia, dan dimulai dengan kata-kata ini:
"Stabat mater dolorosa, juxta crucem lacrimosa" (Ibu berdiri penuh kesedihan, menangis di samping Salib).
Ini adalah suatu karya berbentuk meditasi panjang yang mengundang seseorang untuk berbagi kesedihan seorang wanita yang melihat anaknya meninggal dalam penderitaan yang mengerikan:
"Hai quam tristis et afflicta fuit illa Benedicta, mater unigeniti" (Betapa sedih dan tertekannya ibu dari Putra Yang Tunggal.)
Merupakan salah satu dari beberapa himne yang menceritakan tentang kedukaan Maria, Stabat Mater menjadi terkenal seiring dengan pertumbuhan devosi kepada Maria. Selama berabad-abad, para komposer besar telah membuatkan lirik kata-kata untuk musiknya, termasuk Pergolesi, Scarlatti, Vivaldi, Haydn, Schubert, dan Verdi.
Dalam liturgi, Stabat Mater dikaitkan dengan perayaan “Maria yang Berdukacita” pada tanggal lima belas September, sehari setelah perayaan Hari Raya Salib Suci pada empat belas September-nya.
C.
“SDM” - Sapta Duka Maria
(Buku MOM - Mary Our Mother. RJK).
Episode paling menyakitkan dalam kehidupan Maria telah mengilhami sejumlah gambar dan karya seni tradisional.
“Maria Berdukacita”, atau “Mater Dolorosa” yang menekankan“Tujuh Dukacita Maria” salah satunya. Disebutkan dalam liturgi Gereja Ortodoks Timur dari awal Abad Pertengahan, devosi kepada "Bunda Berdukacita" belum meluas sampai abad ketiga belas.
Salah satu praktek yang paling intensif dan massif menghormati "tujuh kesengsaraan" Maria diprakarsai oleh Servite, anggota Ordo Duta Maria, yang didirikan pada 1233 di Florence, Italia.
Ini adalah komunitas biarawan kontemplatif yang memusatkan ibadah mereka pada Maria dan terutama pada penderitaannya. Mereka menciptakan sebuah rosario khusus yang terbuat dari tujuh seri dari tujuh manik-manik, yang dipergunakan kala membacakan tujuh duka, mengingat kata-kata Simeon kepada Maria di Bait Allah, yaitu :
Pembunuhan kanak kanak Yesus yang tak bersalah,
Pelarian ke Mesir,
Kejadian Yesus hilang dan ditemukan di Bait Allah,
Maria di sepanjang Jalan Salib Yesus,
Maria berdiri di kaki salib Kristus,
Maria memeluk tubuh Putranya setelah diturunkan dari palang salib,
Maria di makam Yesus.
Dalam banyak gambaran baik patung maupun lukisan, duka ini sering diwakili oleh tujuh belati atau pedang yang menusuk hati Maria.
Hari raya perayaan Maria Berdukacita adalah setiap tanggal lima belas September.

D.
Kutipan Teks Misa:
“Ibu tersuci, kami menyebut engkau lebih dari seorang martir, karena kecemasan hati yang kauderita melebihi semua penderitaan badani” (St. Bernardus Abas)
“Maria adalah sungguh ibu dari anggota- anggota Kristus, yaitu kita semua. Sebab oleh karya kasihnya, umat manusia telah dilahirkan di Gereja, [yaitu] para umat beriman yang adalah Tubuh dari Sang Kepala, yang telah dilahirkannya ketika Ia menjelma menjadi manusia.” (St. Agustinus, De sancta virginitate, 6 (PL 40, 399)
Antifon Pembuka (Lih. Kis 1:14)
Dengan sehati para murid bertekun dalam doa, bersama Maria, ibu Yesus.
Doa Pembuka
Allah Bapa Yang Maharahim, Putra Tunggal-Mu yang dipaku di kayu salib, telah memilih Santa Perawan Maria, Bunda-Nya, untuk menjadi Bunda kami juga. Semoga dengan pertolongan kasih-Nya, Gereja-Mu semakin berbuah limpah dari hari ke hari dan bersukacita dalam kekudusan anak-anaknya serta mampu merangkul seluruh keluarga umat manusia. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.
Bacaan dari Kisah Para Rasul (1:12-14)
"Dengan sehati mereka semua bertekun dalam doa."
Setelah Yesus diangkat ke surga, dari bukit yang disebut Bukit Zaitun kembalilah para rasul ke Yerusalem yang hanya seperjalanan Sabat jauhnya. Setelah tiba di kota, naiklah mereka ke ruang atas tempat mereka menumpang. Mereka itu ialah Petrus dan Yohanes, Yakobus dan Andreas, Filipus dan Tomas, Bartolomeus dan Matius, Yakobus bin Alfeus, Simon orang Zelot, dan Yudas bin Yakobus. Dengan sehati mereka semua bertekun dalam doa bersama dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus.
Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.
Mazmur Tanggapan
Ref. Hal-hal yang mulia dikatakan tentang engkau, ya kota Allah.
Ayat. (Mzm 87:1b-3.4-5.6-7; Ul: 3)
1. Di gunung-gunung yang kudus ada kota yang dibangun-Nya; Tuhan lebih mencintai pintu-pintu gerbang Sion daripada segala tempat kediaman Yakub. Hal-hal yang mulia dikatakan tentang engkau, ya kota Allah.
2. Aku menyebut Rahab dan Babel di antara orang-orang yang mengenal Aku, bahkan tentang Filistea, Tirus dan Etiopia Kukatakan, “Ini dilahirkan di sana.” Tetapi tentang Sion dikatakan, “Tiap-tiap orang dilahirkan di dalamnya,” dan Dia, yang Mahatinggi, menegakkannya.
3. Pada waktu mencatat bangsa-bangsa Tuhan menghitung,”Ini dilahirkan di sana.” Dan orang menyanyi-nyanyi sambil menari beramai-ramai, “Semua mendapatkan rumah di dalammu.”
Bait Pengantar Injil
Ref. Alleluya, alleluya
Ayat. Berbahagialah engkau, Perawan yang mengandung Tuhan; engkaulah Bunda Gereja yang bersukacita yang mengandung dari Roh Kudus dan melahirkan Yesus Kristus, Putramu.
Inilah Injil Yesus Kristus menurut Yohanes (19:25-27)
"Inilah anakmu. Inilah ibumu."
Waktu Yesus bergantung di salib, di dekat salib itu berdirilah ibu Yesus dan saudara ibu Yesus, isteri Klopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu!” kemudian kata-Nya kepada murid-Nya, “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima ibu Yesus di dalam rumahnya. Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci?: "Aku haus!" Di situ ada suatu bekas penuh anggur asam. Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus. Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: "Sudah selesai." Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. Karena hari itu hari persiapan dan supaya pada hari Sabat mayat-mayat itu tidak tinggal tergantung pada kayu salib -- sebab Sabat itu adalah hari yang besar -- maka datanglah orang-orang Yahudi kepada Pilatus dan meminta kepadanya supaya kaki orang-orang itu dipatahkan dan mayat-mayatnya diturunkan. Maka datanglah prajurit-prajurit lalu mematahkan kaki orang yang pertama dan kaki orang yang lain yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus; tetapi ketika mereka sampai kepada Yesus dan melihat bahwa Ia telah mati, mereka tidak mematahkan kaki-Nya, tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air.
Demikianlah Injil Tuhan
U. Terpujilah Kristus.
Renungan
Sejak tahun lalu (2018), Bapa Suci Paus Fransiskus telah menetapkan bahwa sebab setelah Hari Raya Pentakosta merupakan peringatan wajib Maria Bunda Gereja. Kita tahu bahwa Allah telah memilih Maria sebagai Bunda Allah. Mengapa? Karena Kristus yang dikandung dan dilahirkannya adalah Allah.
Dengan melahirkan Kristus, Maria juga dapat disebut sebagai Bunda Gereja Mengapa? Karena Kristus sebagai Kepala Gereja selalu berada di dalam kesatuan dengan Gereja. Dan Gereja itu adalah anggota-anggota Tubuh-Nya yang memperoleh hidup di dalam Dia. Demikianlah, peringatan Maria sebagai Bunda Gereja hendak menjelaskan peranannya yang istimewa sebagai ibu kita semua. Yang membuat Maria menjadi istimewa bukan karena dirinya sendiri tetapi karena Kristus yang dikandung dan dilahirkannya.
Dalam Kitab Kejadian 3:15, kita melihat salah satu keistimewaan Bunda Maria. “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” Para Bapa Gereja (St. Yustinus Martir, St. Irenaeus, Tertullianus, dan St. Agustinus) mengatakan bahwa “perempuan” yang keturunannya akan mengalahkan iblis itu mengacu kepada Bunda Maria, karena keturunan yang dimaksud adalah Yesus. Bunda Maria mengalahkan iblis dengan meremukkan kepalanya dan ini terjadi karena kuasa Yesus semata.
Kita sungguh bersyukur atas peran Bunda Maria, Bunda Gereja, bunda kita semua. Dialah yang membuat kita turut mengalami keselamatan dari Yesus Tuhan kita. Bersama Maria Sang Bunda Gereja, yang hatinya bersahaja karena “miskin di hadapan Allah”, marilah kita ucapkan dengan penuh penghayatan Sabda Bahagia dari Yesus Tuhan kita! (lih. Mat. 5:1-12).
Antifon Komuni (Yoh 19:26-27)
Ketika bergantung di kayu salib, Yesus berkata kepada murid yang Dia kasihi, "Inilah Ibumu."
E.
Kesaksian Iman tentang Bunda Maria.
Salve, Regina, Mater misericordiae!
Vita, Dulcedo, et Spes nostra!
Salve.
1.
AYU UTAMI, Novelis
Maria menyelamatkan iman saya di masa-masa paling sulit. Di era ini agama menghadapi pertanyaan akal budi yang berat: bagaimana ia mempertanggungjawabkan diri di hadapan perjuangan kesetaraan jender?
Kita tahu hak asasi wanita adalah hak asasi manusia. Seorang anak serius yang kebetulan Katolik bisa bertanya: kenapa perempuan tidak boleh jadi imam?
Pertanyaan itu demikian berat sehingga pada suatu saat saya memutuskan untuk menjauhi Gereja, bersama dengan beberapa alasan lain. Tapi rupanya saya tidak pernah pergi terlalu jauh.
Pertama,
Saya selalu senang membaca Alkitab, setidaknya sebagai buku sastra. Dari Alkitab saya faham bahwa tak semua hal langsung mendapat rumusan yang tepat. Sebagian besar akan tetap tinggal sebagai kisah, yang tak bisa diformulakan. Itu modal saya untuk tidak tergesa menghakimi apapun.
Kedua,
Maria sudah terlanjur menjadi ibu spiritual bagi saya. Sebagai pemudi yang rasional dan skeptis, saya terbuka bahwa “ibu spiritual” mungkin adalah ilusi belaka. Agama adalah ilusi dan sugesti buat orang-orang lemah. Itu baik, hanya palsu. Baiklah. Maka dalam periode agnostik di umur 20 hingga 30-an itu, saya sedia menerima bahwa Maria―juga segala orang kudus dan personifikasi Tuhan―adalah produk budaya.
Tapi, bahkan manakala saya melihatnya sebagai produk budaya pun Maria adalah gejala yang menakjubkan.
Di tengah-tengah segala macam budaya patriarki, Maria menjulang dan bercahaya. Tak satu bintang pun meredupkan dia. Ia terus hadir tanpa banyak bicara, mengiringi perjalanan Gereja, dan ini telah tahun ke-dua ribuan. Bagaimana satu sosok perempuan bisa demikian dihormati dan dicintai dalam kebudayaan yang sangat patriarkal?
Para feminis yang sinis bisa berkata: "yah, itu kan karena sosok Maria telah diidealisasi secara berlebihan. Dia bunda dan perawan sekaligus! Mana bisa perempuan betulan jadi seperti itu? Terlalu berat!"
Pendeknya, Maria adalah seperti Barbie: idealisasi yang terlampau jauh untuk dicapai di dunia nyata sehingga hanya menimbulkan beban yang tak manusiawi. Baiklah.
Tapi, sejujurnya, Maria memang bukan Barbie. Boneka Barbie adalah ideal tentang keindahan perempuan. Sebaliknya, Maria tidak pernah dianggap sebagai ideal bagi wanita, dalam arti perempuan Kristen harus menjadi perempuan seperti Maria, meniru femininitas atau dandannya dll.
Ini kerap dilupakan para pengkritiknya: Maria adalah ideal tentang manusia beriman bagi perempuan maupun lelaki! Ini penting dicatat: tradisi Gereja menerima bahwa manusia selalu konkrit dan partikular (secara konkret-partikular Maria adalah perempuan), tetapi yang konkrit-partikular itu bukan membatasi melainkan menjadi jalan kepada yang universal (Maria adalah model bagi semua manusia, apapun jenis kelaminnya).
***
Setelah bertahun-tahun membaca Alkitab sebagai buku sastra, pada akhirnya saya mengatakan bahwa penyaliban bisa dibaca sebagai penyaliban patriarki. Saya telah mencoba menulis tentang itu. Semua agama utama yang kita kenal sekarang muncul dari dalam kebudayaan patriarki. (Patriarki―dari kata yang sama dengan “pater”, “patris” atau bapak―adalah sistem di mana lelaki menjadi patriark atau pemimpin.)
Patriarki adalah fakta sejarah. Kristus memenuhi semua persyaratan sebagai anak sulung masyarakat patriarki, tapi ia tidak mengambil segala kemewahan para patriark. Sebaliknya, ia disalibkan.
Dengan demikian, patriarki tidak ditolak sebagai fakta historis, sekaligus dengan penyaliban dan kebangkitanNya kita bisa beranjak membangun tatanan baru di atas sejarah itu.
Agama Kristen bertumbuh, barangkali satu-satunya yang eksplisit hanya menerima monogami (ini penegasan yang luar biasa terhadap kesetaraan jender). Meski demikian, Gereja Katolik Roma hanya menerima imam lelaki selibat. Ini sesungguhnya bisa difahami, sambil tetap dalam posisi feminis, jika kita melihatnya sebagai sebuah “penyaliban patriarki” (patriarki tidak disangkal, tapi disalibkan).
***
Untuk sampai pada kesimpulan feminis perihal penyaliban itu prosesnya lama. Dan selama itu Maria mengiringi saya. Seorang yang tidak beriman, asalkan bersikap jujur dan tulus, akan melihat bahwa Maria tampil secara istimewa menyintasi zaman. Ia menjadi model bagi pria dan wanita tentang bagaimana beriman (dan bagaimana mencintai). Pada saat yang sama, kewanitaan dan keibuannya membuat pernyataan istimewa juga:
Pertama,
Tanpa Maria, sejarah Gereja sungguh-sungguh akan terseret jadi sejarah lelaki belaka.
Kedua,
Maria mengangkat wong cilik. Penampakan Maria nyaris selalu kepada anak-anak, petani dan kaum sahaja. Ini memberi perimbangan yang penting terhadap para teolog dengan bahasa rasional yang canggih. Ini sejalan dengan apa yang ada dalam Alkitab. Maria tak terlalu banyak dikatakan, tapi ia selalu hadir. Lihatlah: Iman bukanlah rumusan kata-kata (bahkan yang jenius sekalipun) melainkan kehadiran.
Ketiga,
Maria membantu saya bisa paham cerita yang paling sulit dimengerti: kisah manusia jatuh ke dalam dosa. Adam “jatuh ke dalam dosa” karena Hawa menerima bujukan setan. Kristus lahir untuk “menebus dosa” karena Maria menerima permintaan Tuhan. Tanpa Maria, dunia bisa terus menyalahkan wanita sebagai Hawa. Dengan adanya Maria, kita bisa terbebas dari jebakan misogini (kebencian terhadap perempuan) tafsir kisah Taman Eden itu.
Sebagai penulis, saya tahu bahwa sastra yang hebat adalah yang menyediakan kunci-kunci dan simetri-simeteri di dalam dirinya. Alkitab menyediakan itu secara luar biasa, bahkan manakala saya tidak membacanya sebagai kitab iman melainkan sebagai kitab sastra belaka.
***
Karena itu buku dari Jost Kokoh Prihatanto ini amat sangat berharga. Bagi yang beriman tentu! Bagi yang tidak beriman, asalkan bersikap jujur dan terbuka, buku ini memberi ringkasan teks-teks terpenting yang tak terlalu rumit mengenai hubungan Maria dengan umat Kristiani sepanjang sejarah.
Penulis memulainya dengan fakta bahwa Maria tidak terlalu banyak disebut dalam Kitab Suci (tapi disebut selalu dalam momen-momen terpenting dan tersulit). Tapi Maria tidak hilang dalam perjalanan Gereja, sebaliknya ia menemani putra-putrinya (yaitu Gereja) sebagaimana ia menemani Putra-nya. Dalam bahasa yang lebih sekular: umat Kristen selalu menemukan penguatan pada Maria Sang Bunda.
Dalam buku dari Jost Kokoh Prihatanto ini adalah sederet pemikiran dan kesaksian ringkas orang-orang itu (dari era para Bapa Gereja hingga modern), doa-doa, dan di bagian akhir adalah aneka permenungan dari penulis buku ini sendiri.
Romo Kokoh atau Romo Jost, begitu saya biasa memanggilnya, adalah seorang pastor yang berada dan akrab di kalangan umat dan anak muda. Karena itu, ia menggunakan bahasa yang cukup popular dan menjalar untuk dibaca orang biasa, sehingga bacaan ini tidak menjadi beban. Jelasnya, buku ini sangat berharga untuk merenungkan misteri Tuhan melalui misteri Maria. “Tolle et legge” - Ambil dan bacalah!
2.
ARSWENDO ATMOWILOTO, Budayawan
Andai para bapa Gereja, atau juga penulis buku Perjanjian Baru , adalah kaum perempuan, barang kali peta dan sejarah Kristianitas dunia berbeda, juga cara umat Kristiani berdoa dan menggereja. Barang kali di pusat altar bukan patung Tuhan Yesus yang disalib, atau hanya salib kosong, melainkan wajah anggun Bunda Maria yang digambarkan menggunakan jubah biru dalam wajah pasrah, haru.
Barang kali jenis begini adalah jenis barang kali yang tak mungkin, karena sejarah tak bisa di restart, diulang kembali seperti kalau kita main games di komputer. Dan syukurlah begitu. Tanpa itupun, Bunda Maria, Ibu Tuhanku—seruan Elizabeth yang mewakili kemanusiaan kita secara utuh, tetap istimewa, terpuji, menginspirasi lahir batin, dalam segala doa. Juga dalam kitab suci agama lain.
Bunda Maria adalah nama yang saat disebutkan tak mengenal akhir, de Maria numquam satis. Lebih dari dibicarakan, melainkan diteladani, diikuti, di-eja wantah-kan, dibumikan secara aktual saat ini atau sampai nanti saat Putranya datang lagi. Bunda Maria adalah segalanya, dan segala kekatolikan terkait dengan Bunda Maria. Misteri terbesar dunia, dan sekaligus teragung, Tuhan Yesus lahir dari Rahim Perawan Maria.
Dan Romo Jost Kokoh – dalam buku dilengkapkan dengan nama Prihatanto, menuliskan secara utuh,penuh dan menyeluruh dalam nuansa teduh tentang itu. Baik melalui khotbah para santo, atau calon santo, melalui Martin Luther , John Calvin, Zwingli atau ungkapan Salam Maria dalam berbagai bahasa, dalam tata rahmat dan liturgi Gereja.
Saya sangat suka buku ini dan merekomendasikan kepada banyak orang, salah satunya tentu istri saya yang lebih sering melarikan derita—sebagian karena saya, sebagian karena ulahnya sendiri, kepada Bunda Maria, ibu kita juga.
Buku ini ibarat ensiklopedi mengenai Bunda Maria, buku referensi terpercaya karena yang menulis seorang Romo Jost Kokoh yang selalu jatuh hati dan tergila-gila dengan bundanya, yang selalu terbuka disapa dan menyapa.
Saya kadang iri dengan istri saya, dengan romo dengan suster, dengan anggota dewan paroki, atau umat Katolik yang baik, yang bisa mesra dengan Bunda Maria sejak awal. Sebagai Katolik “turis—turut istri”, awalnya saya tak bisa in dalam menyenandungkan Salam Maria secara beramai-ramai, berurutan menunggu giliran.
Sampai suatu ketika saya dan istri berdoa di Gereja Solo, tempat saya menerima sakramen pernikahan dengan dispensasi, saya menangis terguguk, di depan patung Bunda Maria. Saya malu, tapi tak mampu menahan itu. Komentar istri :”Kamu sudah diterima Bunda.” Lhooo, jadi selama ini belum ya?
Yang kedua ketika ke Larantuka, Flores dalm rangka mengisi seminar perayaan Lima Abad Bunda Maria “Tuan Ma”, dalam rombongan ada Romo Jost Kokoh, ada Romo Sindhunata, dan mas Adi Kurdi meskipun tidak janjian. Di salah satu Gereja di luar pulau, entah kenapa saya bersama isteri dan Romo Jost Kokoh cs boleh masuk. Pengantar pun tak bisa masuk ke dalam Gereja “Tuhan Yesus membawa ayam”, sehari sebelumnya.
Di sini terulang kembali pengalaman aneh, saya menangis – dan kata orang yang mendengarkan tangisannya seru dan keras di kaki Bunda Maria.
Semua peristiwa yang sedang dan telah saya jalani, bermunculan. Padahal sebelumnya kita tertawa-tawa, potret memotret dan merasakan air kelapa muda yang fresh from the tree, bukan from the oven lagi. Rasanya saya baru berlutut, belum selesai memulai doa awal, atas nama Bapa… sudah langsung sesengrukan lama. Makin tua saya ini memang makin cengeng, tapi saat itu bisa jadi tangis paling lama sampai membuat orang lain bertanya : kenapa, kenapa?
Padahal saya sendiri juga sering bertanya kenapa. Kenapalah perawan yang bisa jadi baru berusia 13 tahun, seusia anak zaman sekarang yang baru lulus SD, mengandung dari Roh Kudus, dan bagaimana menghadapi ini semua selain ketaatan total dan kerendah-hatian tanpa reserve? Kenapalah malaikat yang datang padanya yang meramalkan segala yang hebat dan besar , termasuk “KerajaanNya tak pernah berakhir?”, lalu klepat meninggalkan Bunda, masih muda, Maria sendirian menghadapi dunia ini? Kenapa pula Sang Putra yang hilang dan dicari-cari malah menjawabi bahwa Dia di rumah Bapa-nya? Kenapa pula Bunda Maria masih bisa bertahan di bawah kayu salib , dan menyaksikan semua penderitaan dan penyiksaan tiada taranya. Kekuatan mahadahsyat apa membuat kuat menatap peristiwa menyayat atas putra tunggalnya ini? Sungguh kemampuan yang kalau kita menyoba menggambarkan masih bisa merinding dan berdebar.
Sampai akhirnya saya mendengar kisah nyata. Seorang ibu, berdoa di depan patung Bunda Maria di Gereja Katedral Jakarta, menangiskan penderitaan. Anaknya menderita kelainan darah yang langka, kalau tak segera mendapat donor darah yang sesuai, kisah hidupnya selesai. Ibu tadi berdoa, mengucap Salam Maria, sudah beberapa kali.
Entah karena iseng, atau sirik, atau ingin meledek, kisah ibu yang berdoa di bawah patung Bunda Maria ini muncul di media sosial dengan caption : 'zaman sekarang kok masih ada yang memuja berhala untuk kesembuhan penyakit langka'.
Namun sungguh ajaib dan heranlah. Justru karena dimuat di media sosial, ada pembaca dari luar negeri yang menderita kelangkaan, dan akhirnya bisa berkomunikasi. Saya meramu dalam novel berjudul "Horeluya", bukan salah tulis dari Haleluya, diterbitkan dan sudah cetak ulang oleh Gramedia, lalu saya angkat dalam FTV, film untuk televisi, dan ditayang SCTV, meskipun sempat dipersoalkan adegan berdoa di bawah patung.
Dan sesungguhnya, buku karya Romo Jost Kokoh ini menghangatkan kembali. Ia menjadi kenangan yang hidup dan masih relevan hingga saat ini.
Ya, Romo Jost Kokoh, yang kerap mempopulerkan singkatan kata menjadi bermakna, yang suka aksesori militer, menuliskan dengan encer sehingga mudah dimengerti. Seperti sikap Bunda Maria, bahkan yang tak masuk akal pikiran pun, sebenarnya bisa diterima dan menginspirasi umat untuk meneladani.
Sekarang pun saya ganti memberi nasehat ke anak dan menantu—belum ke cucu, kalau kalian belum bisa menangis ketika berdoa kepada Bunda Maria, maka bisa jadi kalian belum diterima. Hayati dan rasakan kelembutan pertanda rendah hati itu dan berkah kelegaan akan menyertaimu, selalu.
Berkah Dalem.
3.
MAYONG SURYO LAKSONO, Wartawan
Saya perhatikan, ujub doa saya berubah sejak ibu meninggal dunia, 10 Juni 1991. Saya tidak tahu sebabnya. Sengaja berubah? Mungkin. Tidak sengaja? Enggaklah. Berdoa kok tidak sengaja.
Tapi benar. Ibu saya, Antonia Maria Sitti Mukadarun, yang meninggal dunia di siang hari setelah paginya membangunkan saya dari tidur karena menunggui beliau yang sakit jantung di Paviliun Maria Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, tidak lantas menjadi inspirasi doa di masa-masa selanjutnya.
Saya sangat sayang dan hormat kepada ibu, ya. Tapi tidak lantas merasa paling dekat, karena ibu memang dekat dengan keenam anaknya – tapi si sulung Mas Ari telah meninggal dunia (karena pembengkakan jantung) sembilan bulan sebelumnya sehingga kami jadi lima bersaudara. Tidak lantas membuat saya sedih tak berkesudahan. Tidak juga membuat saya bermimpi atau merasa seolah-olah ketemu ibu, sementara adik-adik saya beberapa kali bertemu dalam mimpi, dan bapak tak terhitung lagi memimpikan ibu. Saya memang tidak berbakat mimpi bertemu dengan orang yang masih hidup maupun sudah meninggal, orang dekat sekalipun. Sama tidak berbakatnya dengan melihat makhluk gaib atau mengalami hal-hal gaib meski dalam hati ingin juga sesekali seperti adik-adik atau bapak yang bahkan merasa seperti berinteraksi di alam nyata dengan mendiang ibu. Makanya saya tidak pernah yakin dengan aneka cerita gaib seperti penampakan dan sebagainya, termasuk penampakan Bunda Maria.
Dari sebelumnya berdoa selalu dengan (sangat) banyak intensi, sejak ibu meninggal, saya menjadikan beliau perantara dalam doa. Lebih sederhana. Tentu saja tanpa saya tiba-tiba berharap ibu akan hadir dalam imajinasi atau mimpi. Saya hanya percaya ibu telah memiliki keabadian hidupnya di surga. Ibu tetap memiliki kasih sayang dan perhatian, memberi segalanya tanpa diminta. Sebagai salah satu pemiliki keabadian surgawi, ibu tentu mudah menjadi perantara doa kepada para penghuni surga.
Antonia Maria tentu tidak sama dengan Maria bunda Yesus. Tapi dua-duanya sama-sama ibu. Saya tahu bahwa ibu di masa hidupnya telah melakukan apa saja bagi kami, anak-anaknya. Ibu menolong dan membantu kami tanpa diminta. Tentu bapak juga. Tapi bagi saya, bapak lebih berperan dalam soal pemikiran dan penyikapan terhadap hidup, sementara ibu menanamkan dasar-dasar bagi tumbuhnya nurani dan rasa kemanusiaan.
Meski ibu sudah tidak ada, perasaan saya sebagai anak tidak pernah hilang. Setiap kali mengunjungi makam beliau, saya merasa bisa menyampaikan segala maksud dan isi hati. Seperti orang mengobrol tapi satu arah, monolog. Meski sebenarnya hanya menghadapi batu nisan, tapi ya biar saja. Sebab itu yang bisa saya lakukan alih-alih menemuinya dalam mimpi atau bayang-bayang imajinasi.
Kepada Maria bunda Yesus saya juga melakukan hal yang hampir sama, dalam arti saya menempatkan diri sebagai anak. Saya bercerita, “curhat”, bersyukur, atau meminta kepada Bunda Maria. Kalau dipikir-pikir, porsi saya bermonolog kepada Bunda Maria lebih banyak daripada kepada Yesus dan orang-orang kudus lain. Kenapa bisa begitu, logika saya sederhana saja: seorang ibu pasti dekat dengan anak-anaknya, pasti memikirkan anak-anaknya, akan melakukan apa saja untuk anak-anaknya, dan akan membantu anak-anaknya tanpa diminta.
Entah keberhasilan dan kegagalan yang telah terjadi selama hidup saya merupakan akibat dari doa-doa saya atau tidak. Sebab sebagai manusia yang tidak berbakat mengalami keajaiban, saya merasa belum pernah mendapatkan bukti dari setiap permintaan dalam doa. Apalagi yang sifatnya seketika. Tapi itu tidak lantas mengurangi, apalagi menghilangkan, kebiasaan berdoa. Saya tetap meminta, tetap “curhat”, dan tetap bersyukur dan tidak berharap pada hasilnya. Saya hanya merasa harus menyampaikan sesuatu, dan itu hanya bisa dilakukan dalam doa. Bukan dengan cara lain.
Hampir setiap tahun saya terlibat dalam aktivitas devosi kepada Bunda Maria. Saya banyak belajar tentang bunda Yesus itu dari para ahli, juga mendengar pengalaman hidup banyak orang dalam berinteraksi dengan Maria.
Ketika sekian banyak pengalaman secara sepotong-sepotong itu disatukan, rasanya bisa menjadi risalah tebal seperti buku karya Romo Jost Kokoh ini. Memang ada banyak hal yang bisa tersampaikan lewat perbincangan. Tapi banyak pula hal yang hanya bisa disampaikan secara tertulis. Baik karena mendasarkan referensi tertulis maupun sebaliknya, juga bisa menjadi referensi tertulis.
Romo Jost Kokoh tidak hanya menggali bahan-bahan mengenai Bunda Maria, tetapi juga mensintesakannya menjadi rangkaian persembahan ( “tribute”) bagi ibu utama itu. Bagi kita yang awam, buku ini menjadi pegangan iman yang amat bernilai. Ada historiografi, ada referensi, ada interpretasi dan refleksi. Cukup lengkap, dan itu memperkaya wawasan saya dalam menempatkan diri sebagai anak yang membutuhkan ibu. Selalu. Berkah Dalem.
Totus tuus ego sum et omnia mea Tua sunt.
Accipio Te in me omnia.
Praebe mihi cor Tuum, Maria.
Aku adalah milikmu
dan segala milikku adalah milikmu.
Engkau kuterima dalam diriku seluruhnya.
Berikan aku hatimu, ya Maria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar