HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Sebuah Persiapan
Minggu XXXIV
HR TUHAN YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM
"Adveniat regnum Tuum - Datanglah kerajaanMu."
Inilah salah satu harapan iman yang kita kenangkan di perayaan “Cristo
Regi – Kristus Raja Semesta Alam. Ia merajai hidup sekaligus menjadi
hakim atas hidup kita dan seluruh isinya. Jelasnya, Yesus adalah Tuhan
yang bersahaja tapi sekaligus juga mempunyai sifat-sifat seorang raja
(Bhs. Inggris: KING).
Dalam bahasa I ggris, “raja” kerap diartikan “KING”, dan adapun keempat sifat Yesus sebagai RAJA/KING, al:
1.Kasih:
Yesus pasti punya kasih, karena Ia banyak bicara soal kasih, dan
hidupNya pun penuh kasih bagi setiap orang. "Dengan jalan itu Ia telah
menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat
besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi,"
(2 Petrus 1:4)
2.Iman:
Setiap mukjijat Yesus, terjadi karena
manusia punya iman. Bartimeus di Yerikho, Marta di Betania, Seorang
perwira di Kapernaum, dan Bunda Maria di Kana menjadi contohnya. Yang
pasti, Yesus pasti penuh iman, terlebih ketika Ia mau mentaati BapaNya
sampai rela mati di kayu salib yang hina dina.
3.Nubuat:
Banyak perumpamaan, dan pernyataan nubuat Yesus yang dicatat dalam
Injil, bahkan yang masih bergema sampai sekarang. NubuatNya banyak
menginspirasi orang, dari Presiden sekaliber Ronald Reagan, sampai
bahkan mungkin seorang ahli psikologi dan motivasi sekelas Andri Wongso
dkk.
4.Gaya Hidup:
Yesus memiliki gaya hidup yang khas.
Dalam setiap hidupNya, ternyata Ia selalu memilih kelompok yang KLMTD,
Kecil Lemah Miskin Tersingkir dan Difable. Ketika Ia datang ke dunia,
saksi pertama bukan Raja Herodes di Yudea, atau Kaisar Agustus di
Roma,tapi kawanan gembala sederhana yang sedang tidur di padang rumput.
Ketika Yesus memulai karyaNya pada usia 30 tahun, murid pertama yang dia
pilih bukan para ahli kitab suci atau mahasiswa cerdik pandai di kota
Yerusalem, tapi Yesus memilih Simon Petrus dan Andreas, seorang nelayan,
penjala ikan yang miskin dan tidak pintar. Ketika Yesus bangkit dari
mati, saksi pertama bukan wartawan Metro TV atau jurnalis KOMPAS atau
majalah TEMPO, tapi Maria Magdalena, mantan pelacur yang bertobat.
“….Oh, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah!
Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak
terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran
Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah
yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus
menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan
kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya…” [Roma
11:33-36].
Sudahlah kita juga belajar dari sang “KING” ini?
"Dari Tarsus ke Jayakarta - Tuhan Yesus adalah Raja kita."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
1.
Inspirasi A:
BERKUASA ATAS SEMESTA ALAM?
Pada hari raya Kristus Raja Semesta Alam tahun B ini dibacakan Yoh
18:33b-37. Petikan ini memperdengarkan pembicaraan antara Pilatus dan
Yesus. Pilatus menanyai Yesus apakah betul ia itu raja orang Yahudi
ketika memeriksa kebenaran tuduhan orang terhadap Yesus. Yesus
menjelaskan bahwa keraja¬an¬nya bukan dari dunia sini. Ia datang ke
dunia untuk bersaksi akan kebenaran.
Injil mengajak kita
mengenali Yesus yang sebenarnya, bukan seperti yang dituduhkan
orang-orang, bukan pula seperti anggapan Pilatus yang sebenarnya tidak
begitu peduli siapa Yesus itu. Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam ini
juga merayakan kebesaran manusia di hadapan alam semesta. Itulah
kebenaran yang dipersaksikan Yesus dan yang dipertanyakan Pilatus.
RAJA DALAM PERJANJIAN LAMA
Dalam alam pikiran Perjanjian Lama, raja berperan sebagai wakil Tuhan
di dunia. Di Kerajaan Selatan, yakni Yudea, peran ini dipegang
turun-temurun. Kepercayaan ini terpantul dalam silsilah Yesus dalam
Injil Matius yang melacak leluhur Yesus, anak Daud, anak Abraham (Mat
1:1-17). Lukas menggarisbawahinya dan melanjutkannya sampai Adam, anak
Allah, yakni “gambar dan rupa” sang Pencipta sendiri di dunia ini (Luk
3:23-38). Tetapi dalam menjalankan peran ini, raja sering diingatkan
para nabi agar tetap menyadari bahwa Tuhan sendirilah yang menjadi
penguasa umat. Kehancuran politik yang berakibat dalam pembuangan di
Babilonia (586-538 s.M.) mengubah sama sekali keadaan ini. Raja ditawan
dan dipenjarakan, kota Yerusalem dan Bait Allah dijarah, negeri
terlantar dan morat-marit hampir selama setengah abad. Pengaturan
kembali baru mulai setelah pembuangan, pada zaman Persia. Bait Allah
mulai dibangun kembali (baru selesai 515 s.M.), walau kemegahannya tidak
seperti sebelumnya. Tidak ada lagi raja seperti dulu walau ada penguasa
setempat yang berperan dengan cukup memiliki otonomi di dalam urusan
keagamaan. Pada zaman Yesus, keadaan ini tidak banyak berubah. Memang
ada harapan dari sementara kalangan orang-orang Yahudi bahwa kejayaan
dulu akan terwujud kembali. Maka itu, ada harapan akan Mesias Raja.
Harapan ini mendasari pelbagai gerakan untuk memerdekakan diri. Hal ini
sering malah memperburuk keadaan. Penguasa asing menumpas gerakan itu
dan memperkecil ruang gerak orang Yahudi sendiri. Maka itu, di kalangan
pemimpin Yahudi ada kekhawatiran apakah Yesus ini sedang membuat gerakan
yang akan mengakibatkan makin kerasnya pengaturan Romawi. Mereka
mendahului menuduh Yesus di hadapan penguasa
PATUTKAH IA?
Menurut Yohanes, memang orang pernah bermaksud mengangkat dia sebagai
raja (Yoh 6:15, sehabis memberi makan 5.000 orang). Akan tetapi, tak
sedikit dari mereka itu nanti juga meneriakkan agar ia disalibkan.
Bukannya mereka tak berpendirian. Mereka itu seperti kebanyakan orang
ingin hidup tenteram. Mereka mendapatkan roti dan ingin terus, tetapi
mereka juga berusaha menghindari kemungkinan mengetatnya pengawasan dari
penguasa Romawi. Di dalam kisah sengsara memang tercermin anggapan yang
beredar di kalangan umum bahwa Yesus itu bermaksud menjadi raja orang
Yahudi: olok-olok para serdadu (Mat 27:29; Mrk 15:9.18; Luk 23:37; Yoh
19:3), papan di kayu salib menyebut Yesus raja orang Yahudi (Mat 27:37;
Mrk 15:26; Luk 23:38; Yoh 19:19-21), olok-olok para pemimpin Yahudi di
muka salib (Mat 27:42; Mrk 15:32), kata-kata Pilatus di depan orang
Yahudi (Yoh 19:14-15).
Kisah kelahiran Yesus menurut Matius juga
menceritaan kedatangan para orang bijak dari Timur mencari raja orang
Yahudi yang baru lahir (Mat 2:2). Namun demikian, seluruh kisah itu
justru menggambarkan kesederhanaannya. Gambaran yang sejalan muncul
dalam kisah Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Mat 21:1-11; Mrk 11:1-10;
Luk 19:28-38; dan Yoh 12:12-13). Ia disambut sebagai tokoh yang amat
diharap-harapkan dan diterima sebagai raja, terutama dalam Yohanes.
Jelas juga bahwa tokoh ini ialah raja yang bisa merasakan kebutuhan
orang banyak.
Menurut Markus, Matius, dan Lukas, di hadapan
Pilatus Yesus tidak menyangkal tuduhan orang Yahudi bahwa ia menampilkan
diri sebagai raja, tetapi tidak juga mengiakan (Mat 27:11; Mrk 15:2;
Luk 23:2-3). Dalam Yoh 18:33-39, ia justru menegaskan bahwa ia bukan
raja dalam ukuran-ukuran duniawi.
Injil mewartakan Yesus sebagai
Mesias dari Tuhan. Dalam arti itu, ia memiliki martabat raja. Namun
demikian, wujud martabat itu bukan kecermelangan duniawi, melainkan
kelemahlembutan, kemampuan ikut merasakan penderitaan orang, dan
mengajarkan kepada orang banyak siapa Tuhan itu sesungguhnya.
RAJA SEMESTA ALAM
Guna mendalami Injil Yohanes mengenai Yesus, sang raja yang bukan dari
dunia ini meski dalam dunia ini, marilah kita tengok madah penciptaan
Kej 1:1-2:4a. Injil Yohanes, khususnya dalam bagian pembukaannya (Yoh
1:1-18), mengandaikan pembaca tahu bahwa ada rujukan ke madah penciptaan
itu.
Ciptaan terjadi dalam enam hari pertama (Kej 1:1-31) dan
manusia sendiri baru diciptakan pada hari keenam. Dalam enam hari itu,
Tuhan mencipta dengan bersabda. SabdaNya menjadi kenyataan. Diciptakan
berturut-turut: waktu siang dan malam (Kej 1:3-5), langit (ay. 6-8),
bumi beserta tetumbuhan (ay. 9-12), matahari, bulan, dan bintang-bintang
(ay. 14-19), ikan di laut dan burung di udara (ay. 20-23), hewan-hewan
di bumi (ay. 24-25), dan akhirnya manusia.
Sesudah menciptakan
hewan-hewan pada hari keenam itu, Tuhan bersabda, “Marilah kita
menciptakan manusia menurut gambar dan rupa kita!” (Kej 1:26). Ungkapan
“kita” memuat ajakan kepada seluruh alam ciptaan yang telah
diciptakanNya itu untuk ikut serta dalam pen¬cipta¬an manusia. Seluruh
alam semesta yang telah di¬ciptakan kini “menantikan” puncaknya, yakni
manusia. Dalam diri manusia terdapat peta kehadiran Tuhan Pencipta yang
dapat dikenali oleh alam semesta. Oleh karena itu, manusia juga diserahi
kuasa menjalankan pengaturan bumi dan isinya (Kej 1:29).
Manusia
diciptakan “laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27). Dalam cara bicara
Ibrani, ungkapan dengan dua bagian ini merujuk kepada keseluruhan
manusia, jadi seperti kata “kemanusiaan” atau “humankind” dalam bahasa
Inggris. Bandingkan dengan ungkapan “benar-salahnya”, maksudnya
“kebenarannya”; “jauh-dekatnya” maksudnya “jaraknya”.
Pada hari
ketujuh (Kej 2:1-4a) sang Pencipta beristirahat dan memberkati hari itu.
Pekerjaan yang telah diawaliNya itu kini dilanjutkan oleh manusia
karena manusia memetakan kehadiranNya. Hari ketujuh tak berakhir, inilah
zaman alam semesta yang diberkati Tuhan Pencipta.
Gambaran di
atas menjadi gambaran ideal manusia sebagai raja yang mewakili Tuhan di
hadapan alam semesta. Kebesaran manusia sang “gambar dan rupa” Tuhan dan
alam semesta itu diterapkan Yohanes kepada Yesus. Dalam hubungan ini
Yohanes merujuk Yesus sebagai “Sabda”, yakni kata-kata “Terjadilah…!”
dst. yang diucapkan Tuhan dalam menciptakan alam semesta berikut isinya,
termasuk manusia sendiri.
Dengan latar di atas, makin jelas apa
yang dimaksud Yesus ketika berkata kepada Pilatus (Yoh 18:36) bahwa
kerajaannya bukan dari dunia ini, bukan dari sini. Yesus itu memang raja
dalam arti puncak ciptaan sendiri, kemanusiaan yang sejati seperti dulu
dikehendaki sang Pencipta. Dalam ay. 37 Yesus menambahkan bahwa untuk
itulah ia lahir, untuk itulah ia datang. Seluruh kehidupannya
mempersaksikan kebenaran, yaitu manusia yang dikehendaki Pencipta
sebagai puncak ciptaan yang membadankan unsur-unsur ilahi dan ciptaan
dalam dirinya.
Dengan demikian, dalam perayaan Kristus Raja
Semesta Alam, dirayakan juga kebesaran manusia, yakni manusia seperti
dikehendaki Pencipta. Itulah kebesaran martabat manusia sejati. Sesudah
perayaan ini, orang Kristen menyongsong Masa Adven untuk menantikan
pesta kedatangan Yesus, Raja yang bakal lahir dalam kemanusiaan yang
sederhana tapi yang juga mendapat perkenan Yang Maha Kuasa.
Kembali ke dialog antara Pilatus dan Yesus. Dalam Yoh 18:37 disebutkan
Yesus datang ke dunia, ke tempat yang dalam alam pikiran Injil Yohanes
dipenuhi kekuatan-kekuatan yang melawan Allah Pencipta, untuk
mempersaksikan “kebenaran”. Apa kebenaran itu? Pertanyaan ini juga
diucapkan oleh Pilatus. Ini juga pertanyaan kita yang dalam banyak hal
memeriksa Yesus. Menurut Injil Yohanes, “kebenaran” yang dipersaksikan
Yesus itu ialah kehadiran ilahi di kawasan yang dipenuhi kekuatan gelap.
Ia menerangi kawasan yang gelap. Inilah yang dibawakan Yesus kepada
umat manusia. Inilah yang membuatnya pantas jadi Raja Semesta Alam.
Orang yang mengikutinya akan menemukan jalan kembali ke martabat manusia
yang asali, yakni sebagai “gambar dan rupa” Allah sendiri. Orang yang
mendekat kepadanya dapat berpegang pada kebenaran ini. Masyarakat
manusia kini, di negeri kita, butuh cahaya itu juga. Dan kita-kita yang
percaya kepada terang itu diajak untuk ikut membawakannya kepada semua
orang. Inilah makna perayaan Kristus Raja Semesta Alam yang kita rajakan
bersama Injil Yohanes tahun ini.
2.
Inspirasi B
Kepada jemaat di Korintus, Paulus memaparkan bahwa salib adalah hikmat
Allah: "Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani
mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk
orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan
Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang
Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan
hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari
pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia."
(1Kor 1:22-25) Paulus begitu mengagumi hikmat Allah yang dinyatakan
dalam wafat Yesus disalib. Tak terbayangkan baginya bahwa sebagai orang
Yahudi dia akan tersandung oleh salib di jalan menuju Damsyik, tetapi
kemudian dibangkitkan untuk menjadi pewarta kebangkitan. Di dalam cahaya
kebangkitan, maka salib Yesus bagi-Nya mempunyai makna yang begitu
dalam. Salib menjadi ungkapan kasih Allah dalam Yesus yang rela mati
agar manusia boleh bangkit bersama-Nya. Dia tidak lagi malu untuk
mewartakan misteri salib yang menyimpan kekalahan sekaligus kemenangan,
yang menyimpan penghinaan sekaligus pemuliaan. Salib yang dulunya
menjadi sandungan dan pangkal ketidakpercayaannya pada Yesus, kini
menjadi kebanggaannya. Ketika para musuh Paulus menghina dan merendahkan
dia di Galatia, Paulus menulis surat yang mengesankan. Dia memang
merasa diri rapuh dan lemah sehingga layak dihina oleh para musuhnya,
tetapi dia tidak kehilangan alasan untuk bermegah dan bangga atas
kerapuhannya berkat misteri kasih Allah dalam salib Yesus : "Aku
sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus
Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi
dunia." (Gal 6:14) Paulus tidak membalas penghinaan itu dengan
menunjukkan kelebihan-kelebihannya, sebaliknya dia mengakuinya dengan
tulus dan jujur karena memang bukan kemegahan dirinya yang dia cari.
Justru di dalam kelemahan itu dia merasakan kekuatan Allah. Salib
menjadi satu-satunya alasannya untuk bermegah. Selemah dan serapuh
apapun umat manusia, dia boleh bermegah kerna Allah mengasihinya dalam
Yesus sampai dengan kematian-Nya di kayu salib.
Paulus mensharingkan
hal ini dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, ketika pada suatu
kali dia meminta tambahan rahmat agar boleh merasa diri kuat menghadapi
tantangan hidup. Dalam pengalaman rohaninya dia mendengar sabda Yesus:
"Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah
kuasa-Ku menjadi sempurna." (2Kor 12:9). Paulus ungguh disadarkan berkat
pengalaman rohani itu. Menyusul kesaksiannya akan sabda Yesus itu,
Paulus mengatakan: "Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas
kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku
senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam
kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus.
Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (2Kor 12:9b-10)
Bercermin
pada kesaksian Paulus ini kita dapat memahami mengapa dalam HR Kristus
Raja Semesta Alam dipilih teks penyaliban Yesus. Tak lain karena di
dalam salib-Nya, Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Raja Cinta-kasih. Di
atas salib, seorang penjahat mengakui Yesus sebagai Raja dan
Penyelamat. Yesus yang tersalib baginya adalah harapan untuk keselamatan
dalam hidup kekal. Kitapun boleh berbangga bersama Paulus atas salib
Cintakasih itu. Jika penjahat yang disalib bersama Yesus dapat sampai
pada keyakinan bahwa Dia adalah Raja yang membawa keselamatan abadi,
lebih-lebih kita sekalian yang telah dibaptis dalam nama-Nya. Dengan
salib suci-Nya Dia telah menebus dunia. Dialah Raja kita, bahkan Dialah
Raja semesta alam.
Pengangkatan Daud sebagai raja atas Israel bersatu
Bacaan pertama menggambarkan pengakuan dan pengangkatan suku-suku Utara
(Israel) terhadap Daud sebagai raja mereka. Peristiwa ini terjadi
setelah suku-suku Utara tidak dapat lagi mempercayakan pemerintahan atas
mereka kepada Isyboset dan keturunan Saul lainnya. Peristiwa ini
dipandang penting karena dengan pengakuan suku-suku Utara tersebut Daud
berhasil menjadi raja atas Israel bersatu (Israel dan Yehuda). Ia
menjadi raja dan diakui oleh dua belas suku Israel. Daud adalah figur
raja yang nantinya melahirkan idealisme Yahudi tentang Mesias. Bagi
mereka, Mesias adalah keturunan Daud dan akan melanjutkan tahta Daud.
Yesus Anak Allah yang meraja
Bacaan kedua merupakan uraian Paulus kepada jemaat di Kolose tentang
Yesus sebagai Anak Allah yang meraja, yang mengatasi dan menguasai
segala ciptaan serta kuasa di bumi. Segala ciptaan diciptakan oleh Dia
dan untuk Dia. Kuasa duniawi dari Yesus disatukan dengan kuasa Ilahi
sebagai gambar Allah, pendamai antara bumi dan sorga, penebus dan
pengampun atas dosa manusia. Kendati Paulus memberi kesaksian tentang
gambaran Kristus yang begitu mulia dan rajawi itu, ia tetap menegaskan
bahwa itu semua harus dicapai lewat salib. Antara salib dan kemuliaan
terjadi suatu paradoks ilahi yang merupakan misteri bagi umat manusia.
Paradoks ini semakin jelas kelihatan dalam kisah Injil Minggu ini.
Seorang Raja sejati yang dhukum salib
Yesus Sang Raja digambarkan sebagai pesakitan yang dibawa menuju bukit
Tengkorak (Aram: Gulguta) untuk disalibkan. Ia dibawa ke Golgota bersama
dengan dua penjahat yang akan mengalami hukuman yang sama. Ia terhitung
di antara para penjahat, disalibkan di antara dua penjahat. Lukas
mengisahkan doa Yesus di salib: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka
tidak tahu apa yang mereka perbuat". Yesus memahami benar ketidaktahuan
para musuh yang menyalibkan Dia. Untuk itu Ia mohon pengampunan Bapa
bagi mereka. Doa Yesus ini dikontraskan dengan cemoohan para pemimpin.
Dalam peristiwa penyaliban, Lukas membedakan para audience Yesus: para
pemimpin Yahudi, prajurit, orang banyak, para pengikut Yesus (termasuk
para perempuan dari Galilea), dan Yusuf dari Arimatea (anggota majelis
besar). Pada peristiwa penyaliban, "orang banyak" hanya berdiri
menonton, tidak ikut mengejek. Nanti pada ayat 48 dikatakan bahwa: "Dan
sesudah seluruh orang banyak, yang datang berkerumun di situ untuk
tontonan itu, melihat apa yang terjadi itu, pulanglah mereka sambil
memukul-mukul diri". Seolah-olah mereka hadir sebagai saksi netral yang
menyaksikan Yesus sebagai orang benar yang dihukum dan para pemimpin
Yahudi sebagai penghukum yang tak henti-hentinya mengolok-olok Yesus.
Pada akhirnya, orang banyak itu tahu dan yakin bahwa Yesus adalah orang
benar. Sikap mereka dinyatakan lewat tokoh "kepala pasukan" yang melihat
apa yang terjadi lalu memuliakan Allah dengan berkata: "Sungguh, orang
ini adalah orang benar". Mereka yang tidak secara khusus beriman pada
Yesus, hanya sampai pada pengakuan bahwa Yesus adalah orang benar yang
menderita (Bdk. Mzm 22). Namun, bagi penjahat yang bertobat dan para
murid yang beriman pada Yesus, kematian Yesus merupakan ungkapan kasih
total dari Dia yang berkuasa atas hidup dan mati.
Para prajurit
membuang undi atas pakaianNya (bdk. Mzm 22:19). Tidak ada lagi yang
tertinggal pada Yesus ketika Ia disalib. PakaianNya yang sebenarnya
sudah berlepotan darah itupun diundi. Para pemimpin mengejek Yesus. Apa
yang menjadi ini ejekan mereka? Tak lain adalah soal keselamatan.
Rupanya para pemimpin bukan hanya tidak kenal siapa Yesus tetapi juga
tidak mengerti makna keselamatan yang diwartakanNya: "Orang lain Ia
selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri, jika Ia
adalah Mesias, orang yang dipilih Allah" (bdk. Mzm 22:9). Para prajurit
ikut mengolok Dia dan menawarkan anggur asam pada-Nya. Dalam Mzm 69:22
anggur asam merupakan tanda ejekan. Meskipun begitu, anggur asam dalam
peristiwa penyaliban Yesus dimaksudkan untuk membuat-Nya mabuk sehingga
tidak merasakan sakitNya.
Antara penghinaan dan pemuliaan
Selain tentang "keselamatan", ejekan para pemimpin dan prajurit juga
mengarah pada tuduhan yang dikenakan pada Yesus, yaitu sebagai Mesias
atau Raja (bdk. frekwensi penggunaan kata-kata tersebut pada ay 35-38).
Bahkan salah satu penjahat yang ada disampingNya ikut mencemooh dengan
sebutan Mesias (Raja) mengulangi cemoohan para pemimpin pada ayat 35.
Akan tetapi penjahat yang lain justru membela Dia. Ia mengakui bahwa
dirinya layak dihukum karena memang bersalah. Akan tetapi Yesus tidak
layak dihukum, karena Ia tidak bersalah, Ia orang benar. Rupanya
penjahat yang membela Yesus itu sudah sampai pada iman akan Yesus
sebagai Raja dalam arti sebenarnya, ketika berkata: "Yesus, ingatlah
akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja". Ironi ini begitu tajam.
Yesus yang disalib dan sedang dicemooh itu disebut sebagai Raja oleh
penjahat yang bertobat. Dalam ayat berikutnya Yesus menanggapi
permohonan penuh iman itu dengan sabda keselamatan: "Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan
Aku di dalam Firdaus".Yesus yang dianggap tidak dapat menyelamatkan
diri-Nya sendiri itu ternyata justru menawarkan keselamatan di firdaus
bagi penjahat yang memohon kepadaNya itu.
Peristiwa salib Yesus
memang kaya dengan ironi, antara lain dengan adanya dua pandangan
kontras yang dibiarkan hadir bersama-sama. Mereka yang mencemooh Yesus
dan menganggapnya sebagai Mesias politik yang telah gagal dikontraskan
dengan mereka yang beriman padaNya dan memahamiNya sebagai Mesias sejati
(diwakili oleh salah satu penjahat, kepala pasukan, sejumlah orang yang
menyaksikan penyaliban, para murid perempuan, dan Yusuf dari Arimatea).
Salib tanda kemuliaan
Mengapa Gereja memilih teks penyaliban Yesus untuk dibaca pada hari
raya Kristus Raja semesta alam? Alasannya, justru dalam peristiwa yang
begitu menyedihkan dan menyakitkan itu, Yesus menunjukkan diri-Nya
sebagai Raja yang sejati. Apa yang terjadi sepertinya sungguh
bertentangan dengan logika manusia. Namun, penyaliban Yesus sesungguhNya
telah menempatkan diriNya sebagai Raja pengampunan, raja perdamaian,
raja belas kasih. Dalam suasana yang penuh kekerasan dan kekejaman itu
Yesus justru berdoa: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu
apa yang mereka perbuat". Salib Yesus meruntuhkan batas antara sorga
dan dunia. Tabir Bait Suci terbelah menjadi dua, berarti batas antara
yang ilahi dan yang duniawi dipertemukan di dalam salib Yesus. Sampai
pada saat-saat terakhir hidupNya Yesus menunjukkan diri sebagai
Pengampun dan Penyelamat. Dengan cara itulah Allah Bapa menawarkan
keselamatan kepada umat manusia. Dalam melaksanakan misi keselamatan
inilah Yesus layak kita imani sebagai Raja alam semesta. Refleksi ini
sebenarnya masih harus dilengkapi lagi dengan refleksi mengenai
kebangkitan.
Menggali pesan bacaan
- Gereja memilih teks
penyaliban Yesus sebagai pendukung tema HR Kristus Raja semesta alam.
Pada saat Yesus disalib semakin tampaklah martabat-Nya sebagai Raja
Belas Kasih dan keselamatan. Kasih-Nya yang tulus dan total kepada umat
manusia menjadi kekuatan dalam menanggung segala derita dan olok-olok
dari para lawan-Nya.
- Bagaimana kita sekalian yang mengimani Yesus?
Bukankah Dia adalah Raja kita? Bukankah salib yang kita kenakan dan
kita pasang di rumah menunjukkan keyakinan itu?
- Yesus bukan hanya
Raja umat manusia tetapi Raja semesta alam. Gelar yang diberikan
pada-Nya itu merupakan gelar yang diperoleh-Nya berkat kebangkitan-Nya
dari mati. Kita ingat tulisan Paulus dalam Flp 2:8-11:
"Dan dalam
keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai
mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat
meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,
supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan
yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah
mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!
3.
Inspirasi C
Dialog dalam pertemuan antara Yesus dan Pilatus dapat disebut sebagai
sebuah dialog yang macet. Pertanyaan terakhir Pilatus « Apakah kebenaran
itu ? », tidak memperoleh jawaban dari Yesus. Namun semua apa yang
terjadi setelah Pilatus cuci tangan dan menyerahkan Yesus untuk dihukum
salib, tentunya menjawab dengan lebih berlimpah pertanyaannya itu.
Sebagai gambaran situasi, saat itu Yesus berhadap-hadapan dengan Pilatus
untuk diinterogasi di dalam gedung pengadilan yang disebut litostrotos,
sedang di luar ada kerumunan besar orang banyak, yang kali ini berada
di pihak sebagai musuh dan pendakwa Yesus. Tentu ada pembesar-pembesar
romawi dan pasukan tentaranya sedangkan Yesus, seorang diri. Mari kita
meditasikan dan refleksikan Kisah Injil pada hari Raya Kristus Raja
Semesta Alam ini.
Dialog dalam tiga tahap :
Tahap pertama
(ayat 33-35), interogasi mengenai istilah Raja orang Yahudi. Pertanyaan
Pilatus kepada Yesus tampaknya menjadi sesuatu yang obsesif, mewakili
gejolak pada dirinya sendiri. Perwakilan Kaisar itu « takut » pada orang
Galilea, yang disebut sebagai raja orang Yahudi ini. Suatu kuasa yang
cemas pada kuasa-kontra, yang bisa mengancam sewaktu-waktu dominasi
Romawi di Palestina. Yesus mencoba menguji Pilatus yang memberikan
pertanyaan sindiran « Engkau inikah raja orang Yahudi ?» dengan balik
mempertanyakan apakah itu pengetahuan dan motif Pilatus sendiri tentang
sebutan Raja orang Yahudi itu. Pilatus sebetulnya mengakui
ketidaktahuannya, karena sebetulnya maknanya bisa berbeda antara apa yg
dimaksud oleh Yesus dan apa yang dituduhkan oleh orang Yahudi.
Kemungkinan besar istilah raja orang Yahudi atau raja Israel itu diambil
Pilatus dari teriakan orang banyak saat Yesus masuk ke Yerusalem,
ketika mereka bersorak-sorai menyambut Yesus : « Hosana, terpujilah Dia
yang datang atas nama Tuhan. Terpujilah dia Raja Israel, Putra Raja Daud
» ; walau sekarang orang banyak yang sama itu pulalah yang ikut
mengajukan Yesus ke pengadilan Pilatus. Maka di tahap pertama ini,
Pilatus tidak mendapatkan jawaban dari Yesus dan juga tidak bisa
menjawab pertanyaan Yesus. Dan untuk melanjutkan penyelidikan ia
bertanya « Apa yang telah Engkau buat, sehingga bangsa-Mu sendiri dan
orang-orang Yahudi menyerahkan Engkau untuk kuadili?
Tahap kedua
(ayat 36), Yesus lalu menjelaskan sifat dan kodrat kerajaan-Nya.
Kerajaan yang tidak bertentara, yang tidak punya kekuatan militer, tidak
berwilayah dan tidak berpemerintahan dan tidak berasal dari dunia ini
atau tidak bersifat seperti kerajaan duniawi .
Tahap ketiga (ayat
37, 38), karena Yesus menyebut “kerajaan-Ku”, maka Pilatus menyimpulkan
dengan pertanyaan “jadi Engkau adalah Raja?” namun tidak lagi
mengatakan Raja orang Yahudi. Dan Yesus menjawab untuk menegaskan bahwa
Pilatus sebetulnya telah mengatakan Yesus adalah Raja dari hatinya
sendiri: “Engkau mengatakan bahwa Akulah Raja”. Di sini Pilatus
mengasumsikan tanggungjawab dari pengadilannya, sebagai penguasa romawi
di sana, namun Yesus menjelaskan duduk-perkara alasan dan tujuan atau
misi-Nya, mengapa dan untuk apa Ia datang membawa kerajaan-Nya itu.
Yakni untuk bersaksi akan kebenaran dan membawa setiap orang dengan
kuasa otoritas-Nya kepada kebenaran, hal yang sama sekali tidak
mengancam eksistensi romawi. Dan dialog berakhir dengan pertanyaan
Pilatus tentang apakah kebenaran itu, yang tak memperoleh jawab dari
Yesus.
Kerajaan Politis dan Kerajaan Spiritual
Monolog
singkat Yesus di ayat 36 atau di tahap 2 dialog menegaskan transisi
antara dua elemen dialog. Pertama, yang berkaitan dengan konsep kerajaan
yang lebih bersifat politis (ayat 33-35), di mana Yesus diajukan oleh
bangsa Yahudi ke pengadilan dengan tuduhan mau menggalang kekuatan
politis melawan penguasa Romawi saat itu dengan ungkapan, “Siapa mengaku
dirinya raja, melawan Kaisar (ayat 12) atau “Kami tidak punya raja,
selain Kaisar (ayat 15). Hal mana, jika benar berarti menjadi ancaman
bagi regim romawi saat itu.
Kedua, yang sudah diberi tafsiran
teologis yang lebih luas, yakni bahwa Pilatus, figure dari dunia pagan
ini mendapat penjelasan cukup dari Yesus dan siap untuk mengakui pada
diri Yesus, suatu kerajaan yang bersifat spiritual, melalui pewahyuan
mengenai kebenaran. Dalam Injil Yohanes, kebenaran ini tak lain adalah
pewahyuan rencana keselamatan Allah dalam diri Yesus sendiri.
Kerajaan-Nya ini tidak memiliki nasionalisme atau ambisi duniawi, karena
Ia memang bukan dari dunia ini dan ketika Ia mengumpulkan orang, mereka
dipanggil tidak untuk menjadi tentara yang siap berperang
mempertahankan kekuasaan atau kedudukan, namun menjadi murid-murid yang
penuh perhatian pada suara Gurunya dan yang musti mengaku diri sebagai
saksi-saksi kebenaran dan yang nantinya tak kenal lelah bersaksi tentang
Dia. Bila kisah diteruskan, kita tahu bahwa setelah itu Pilatus hendak
membebaskan Yesus karena memang tidak menemukan kesalahan apapun
pada-Nya, dan lebih dari itu Yesus tidak membahayakan dirinya atau
kekuasaan romawi.
Rancangan Allah, bukan rancangan manusia.
Kisah Kerajaan ini menjadi makin ironis ketika Pilatus tak mampu menolak
keinginan orang banyak. Sebuah rencana akan berdirinya kerajaan yang
bersifat universal dan abadi sebagai perwujudan kasih Allah pada
bangsa-manusia dengan memberikan Putera-Nya yang tunggal dan terkasih,
sepertinya dengan mudah menjadi layu sebelum berkembang, ketika Pilatus
akhirnya memilih cuci tangan, dan menyerahkan Yesus untuk disalibkan.
Namun cara inilah yang dipilih Allah, karena memang Allahlah yang tahu
jalan-jalan terbaik untuk mengasihi manusia. Lewat jalan-jalan yang
sulit dimengerti manusia itulah Ia menghadirkan Kerajaan-Nya. Ia
mempersiapkan kerajaannya hanya dengan 3 tahun masa bakti-Nya di dunia.
Ia memilih dan menempatkan orang-orang di kerajaannya, bukan dari kaum
cerdik-pandai, namun dari golongan marginal yang polos dan sederhana.
Mahkotanya adalah rangkaian duri dan tahta-Nya adalah kayu salib. Namun
kerajaannya itu, yang nota bene berdurasi sejak inkarnasi-Nya sampai
parousia, memang tidak dari dunia ini, atau lebih tepatnya mengatasi
dunia ini. Ia sendiri, merubuhkan kerajaan maut musuh abadinya,melalui
sengsara dan wafat-Nya, membangun Kerajaan Barunya hanya dalam 3 hari
lewat misteri kebangkitan-Nya. Dan melihat Dia berani mengaku diri
sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup, Akulah Alfa dan Omega, maka kita
memahami bahwa kerajaan-Nya itu bersifat dahulu, sekarang dan yang akan
datang alias tanpa batas dan tanpa akhir alias mengatasi segala ruang
dan waktu alam semesta ini.
Apa yang bisa kita petik dari pemahaman akan Kerajaan Allah seperti ini?
Pertama, ketika Yesus diakui sebagai Raja dengan ciri-ciri tadi,
berarti Ia meraja tidak untuk menonjolkan kuasa-Nya, melainkan untuk
memberi pada kita kebebasan atau kemerdekaan sebagai anak-anak Allah.
Yesus memberi kebebasan kepada setiap orang dengan menawarkan jalan
keselamatan dengan memberikan hukum kasih: Kasih kepada Allah dan kasih
kepada sesama. Dan Kasih sebagai jalan keselamatan itu diteladankan
Allah dengan menyerahkan anak-Nya yang tunggal. Oleh karena tak
seorangpun mampu menjalankan hukum kasih dengan sempurna, maka Allah, si
pembuat hukum sendiri, yang menjelma menjadi manusia yang melaksanakan
hukum itu secara paripurna untuk memungkinkan penebusan dosa dalam
rencana keselamatan itu. Ya, itu karena hanya Allah sajalah yang dapat
mengasihi, mengampuni, menghapus dan menebus dosa manusia, secara penuh.
Jadi Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk menerima pemberian
kasih-Nya itu atau sebaliknya menolaknya.
Kedua, untuk masuk ke
dalam Kerajaan-Nya ini, yang diperlukan adalah pertobatan. Karena soal
keselamatan adalah soal terbebasnya manusia dari belenggu dosa dan maut.
Ketika Yohanes Pembaptis mengawali karyanya, ia berseru-seru,
bertobatlah karena Kerajaan Allah sudah dekat. Yesus juga mengundang
kepada pertobatan, kepercayaan kepada Injil dan pemberian diri untuk
dibaptis karena kerajaan Allah sudah dekat. Jadi untuk menyambut dan
masuk ke Kerajaan Allah ini, orang lebih dahulu harus menjadi pantas dan
layak, bersih dari dosa.
Ketiga, kita dalam kerajaan ini, tidak
perlu mengandalkan apapun selain kasih Allah. Karena ini adalah Kerajaan
Allah, maka memang cara Allah yang musti dipakai. Ya, walaupun cara
Allah, yang meraja tanpa kuasa seperti ini, dapat menjadi skandal: baik
dahulu maupun sekarang. Bagi orang Yahudi ini batu sandungan: sebab
mesias haruslah jaya dan pemenang, pengusir penjajah romawi. Jadi mesias
yang tak berdaya di kayu salib, jelas-jelas skandal yang naif dan tidak
bisa diterima. Lalu bagi orang Yunani ini kebodohan : kebodohan salib.
Orang pandai tak mungkin melakukan kegilaan seperti ini. Kerajaan tanpa
tentara, tanpa senjata tanpa kuasa-kuasa yang membuat orang bergetar
ketakutan, dapat saja dan umumnya diragukan. Namun bagi kita, yang
percaya, ini adalah kebijaksanaan dari kehendak Allah. Mulai dari
kesederhanaan dalam saat kelahiran-Nya di Betlehem, hidup dalam
kemiskinan di Nazareth yang jauh dari gambaran jaya garis keturunan
Daud, Bapa leluhurnya ; Raja yang « blusukan » tanpa batas dengan mereka
yang lepra, yang kumuh, yang dihindari masyarakat ; Raja yang bergabung
dengan para pendosa, yang berkelana dari desa ke desa ; Raja yang
dengan tangan kosong berhadapan dengan para penangkapnya di taman zaitun
dan sendirian di hadapan penguasa dunia saat itu dan puncak skandal
Raja ini adalah ketakberdayaan dalam penyiksaan dan hukuman di kayu
salib, lalu mati. Tak ada kuasa, tak ada wibawa, hanyalah
kelemahlembutan dan kerendahhatian yang ditunjukkannya pada mereka yang
mencerca, menghina dan memusuhinya, tatapan teduh pada setiap
pengikutnya, hati yang berbelaskasih pada mereka yang lapar, dan
pengampunan bagi para pendosa yang bertobat dan pada para pembunuh-Nya.
Ia yang mahatinggi telah mengambil tempat terendah, menjadi hamba dari
para hamba, mengambil ras dari bumi, ras insani. Menjadi Anak domba kelu
yang digiring ke tempat pembantaian. Lahir dalam kerendahan dan mati
dalam kehinaan.
Pembalikan Radikal : Inti Iman Kita
Sekali
lagi melihat itu semua mustinya tak ada alasan apapun yang bisa
mendukung kerajaannya akan bisa tumbuh dan berkembang. Waktu terlalu
singkat, sarana-prasarana tak memadai, dan infrastruktur tidak jelas dan
berantakan. Namun akan menjadi salahlah kalau kita hanya berhenti di
situ, karena akan ada pembalikan total yang mengubah segala skandal dan
batu sandungan itu, yakni kebangkitan-Nya. Pembalikan sempurna ini untuk
membentuk keseluruhan ekstrim yang serba gelap dan tanpa nilai positif
itu menjadi ekstrim gemilang dan terang-benderang. Lewat cahaya Paska,
kebangkitan-Nya, kita dapat melihat bahwa apa yang dilakukan-Nya adalah
suatu bentuk konsekuensi dan konsistensi total dengan seluruh sabda-Nya
sendiri, karena Ia adalah pelaksana sempurna hukum yang dibuat-Nya
sendiri. “Barang siapa ingin menjadi yang terkemuka, hendaklah ia
menjadi pelayan bagi semua; yang meninggikan diri akan direndahkan, yang
terdepan akan menjadi yang terbelakang, barangsiapa ingin menjadi
sempurna, hendaklah ia melepaskan segala miliknya, barangsiapa ingin
menjadi pembesar ia harus menjadi seperti anak kecil, barangsiapa
kehilangan nyawanya, akan mendapatkannya kembali. »
Raja Semesta Alam
Pembalikan total inilah yang menjadi inti iman kita dan setelahnya kita
tahu bahwa Ia yang telah mengasihi tanpa batas dengan kasih agung
pergurbanan diri, menjadi sahaya dari para sahaya inilah yang kemudian
memiliki Nama, yang melebihi segala nama. Pada Dia yang dahulu menerima
segala hojat dan hinaan serta fitnah keji inilah, yang kelak segala
lutut akan bertekuk dan bersujud, serta segala lidah akan mengaku bahwa
Ia adalah Tuhan dan Juru selamat. Dia yang mengawali kerajaan-Nya tanpa
wilayah dan zero-modal ini ternyata adalah pemilik semesta alam, Raja
segala raja. Berkuasa penuh atas segala milik-Nya, sehingga bisa berkata
dosamu sudah diampuni, bangkitlah dan berjalanlah!, Hai anak muda
bangkitlah!, hari ini juga engkau akan bersama-Ku di firdaus.. ; sebab
sebagai penguasa semesta alam Ia tahu di mana Dia dahulu berada, kini
berada dan akan berada; Ia tahu isi hati setiap manusia.
“Layaklah Anak domba yang disembelih itu, menerima kuasa, kemuliaan,
kebijaksanaan, kekuatan dan hormat. Bagi-Nya, yang telah membuat kita
menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, bagi
Dialah kemuliaan dan kekuasaan sampai selama-lamanya. Amin.” (Wahyu 5,
12 dan 1,6).
4.
Inspirasi D
Pada hari Minggu ini kita
memperingati Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam. Minggu ini merupakan
hari minggu terakhir dalam masa liturgi sebelum kita memulai tahun
liturgi yang baru dengan Masa Adven. Gereja mau menutup seluruh
rangkaian perjalanan tahun liturgi dengan suatu kesimpulan bahwa seluruh
sejarah dan waktu adalah milik Tuhan semata: Yesus Kristuslah Raja
Semesta Alam.
Bacaan hari Minggu ini pun secara khusus mengajak
kita untuk merenungkan perihal raja. Dalam bagian pembukaan dikatakan
bahwa Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan-Nya dan Ia akan
bersemayam di atas tahta-Nya. Bagi kita orang kristiani, sebutan Anak
Manusia dalam Perjanjian Baru mengacu kepada diri Yesus sendiri dan
bahkan beberapa kali Yesus menyebut diri-Nya sendiri sebagai “Anak
Manusia”. Istilah tahta sendiri tentu tidak bisa dipisahkan dari seorang
raja. Jadi Yesuslah yang akan duduk di atas tahta sebagai Raja.
Jika Yesus memang sungguh adalah raja semesta alam berarti Dia juga
seharusnya merajai kita. Nah, sudahkan Yesus meraja di hati kita?
Bagaimana aku bisa mengetahuinya?
Injil memberikan jawaban bahwa
caranya adalah lewat kepedulian dan tindakan kasih kepada sesama yang
menderita. Penderitaan orang-orang kecil adalah masalah yang serius di
mata Tuhan. Sejak dari Perjanjian Lama, Allah telah bersabda agar
orang-orang kecil senantiasa mendapat perhatian. Bahkan dalam Perjanjian
Baru, Yesus menyamakan diri dengan orang-orang kecil, malahan justru
Yesus hadir secara nyata dalam diri mereka. Orang-orang kecil dan
menderita memang perlu mendapat perhatian khusus sebab justru merekalah
yang terkadang terlupakan. Padahal penderitaan yang mereka alami kadang
begitu berat. Justru Tuhan mau mengajak kita semua untuk memberi
perhatian kepada mereka. Kita diajak sedikitnya membantu meringankan
penderitaan mereka. Jika sesamanya manusia saja tidak memperhatikan
mereka, siapa lagi yang akan mereka harapkan? Kepedulian dan tindakan
kasih bagi mereka yang menderita akan menentukan bagaimana keadaan kita
kelak. Apakah akan ditempatkan sebagai domba yang akan menikmati
Kerajaan atau ditempatkan sebagai Kambing yang akan menerima kecelakaan.
Dalam Injil telah disebutkan 6 contoh tindakan kasih kepada
sesama. Tentu saja masih banyak contoh lainnya yang bisa kita lakukan
sesuai dengan kemampuan dan kondisi kita masing-masing.
Jadi
menerima Yesus sebagai raja berarti mau melayani Yesus yang hadir dalam
diri mereka yang miskin dan menderita. Mungkin kita belum bisa melihat
Yesus yang sungguh hadir dalam diri mereka namun yakinlah bahwa semua
yang kita lakukan untuk mereka kita lakukan juga untuk Tuhan Yesus.