Ads 468x60px

VOX - SUARA



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
"VOX - SUARA."
Inilah salah satu judul buku terbaru saya yang rencananya akan terbit.
Inilah juga yang menjadi salah satu inti pada bacaan hari ini ketika Yesus menyuarakan peringatannya.
Ya. Keruntuhan Yerusalem adalah sinyal/tanda peringatan untuk "parousia-kedatangan Yesus sebagai HAKIM" pada akhir jaman.
Di lain matra, kita seringkali bertanya tentang tanda dan waktunya supaya bisa me-nunda, bersantai dan menunggu saat terakhir (Luk 21:5-11) tapi suara Yesus mengingatkan agar kita ada dalam posisi "SIAP-Selalu Ingat Akan Panggilan", sehingga tidak mudah disesatkan oleh nabi nabi palsu:
"Waspadalah, jangan sampai kalian disesatkan. Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku .... Janganlah kalian mengikuti mereka."
Adapun "S3" yang menjadi prasyarat agar kita selalu siap mendengarkan suara Yesus, al:
1. Setia.
Seperti dikatakan dalam Kitab Wahyu 2:10c, "Kita harus setia sampai mati dan Allah akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan", Yesus mengajak kita untuk "SETIA - SElalu Taat dan Ingat Allah" , kapanpun-dimanapun dan dengan siapapun.
2. Siaga.
Kita diajak berjaga, "eling lan waspada", kita memang ada di tengah dunia tapi kita bukan milik dunia.
Kita ikut tapi tidak boleh larut hanyut dalam arus dunia, terlibat tanpa harus terlipat.
Dkl: Kita diajak berhati hati dalam hidup, dalam ucapan dan tindakan, dalam pikiran dan perasaan selalu membawa nama Tuhan, In Nomine Iesu.
3. Semangat.
Kita diajak untuk menjalani hidup dengan antusias, memiliki passion bukan melulu tension, punya api yang menghangatkan bukan membumihanguskan.
Jelasnya kita diajak bukan cuma nantinya "RIP-Rest In Peace" tapi juga mulai sekarang, "LIP-Live In Peace".
Kita ber-dokar, berdoa dan karya dengan semangat (in spirit- dalam roh kudus) karena yakin bahwa Tuhan selalu menyertai hidup kita sampai akan datang waktunya Ia akan memahkotai kita mahkota kehidupan selama-lamanya.
"Hodie mihi cras tibi - Sekarang aku, besok kamu (yang mati)."
"Cari galah di Gunung Sahari - Berjaga dan waspadalah setiap hari."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
1.
Soal Persembahan dan Janda Miskin.
"Non multa sed multum - Bukan banyaknya tapi mutunya"
Inilah yang diwartakan Yesus ketika memuji janda miskin di Bait Allah: "Sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya tapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya!"
Ya, memberikan persembahan bisa dilakukan oleh semua orang, tak usah menunggu tua-kaya atau jaya. Tuhan melihat bukan pertama-tama berapa "kuantitas" jumlah yang dipersembahkan tetapi "kualitas" ketulusan pemberiannya dengan "dua tas" yang melengkapi, antara lain:
A. Totalitas-Keseluruhan:
Pemberian seseorang ditentukan bukan oleh jumlah yang ia berikan tetapi oleh jumlah pengorbanan yang terlibat dalam pemberian itu. Seringkali kita hanya memberi dari kekayaan kita dan hal ini tidak meminta pengorbanan. Sebaliknya, pemberian janda ini menuntut segalanya: Ia memberi sebanyak-banyaknya yang dapat diberikannya.
B. Loyalitas-Pengabdian:
Ia menilai pekerjaan/pelayanan kita tidak berdasarkan ukuran atau pengaruh atau keberhasilannya, tetapi berdasarkan kadar pengabdian, iman dan kasih yang tulus yang terlibat di dalamnya (Luk 22:24-30; Mat 20:26;Mrk 12:42)
Dari Kediri ke Kramat Jati - Berikanlah diri sepenuh hati."
2.
"Intentio pura - Maksud yang murni."
Inilah salah satu ciri orang beriman, hidupnya penuh kebaikan dan bukan kejahatan, penuh ketulusan dan bukan kepalsuan. Sebaliknya para ahli Taurat yang notabene adalah tokoh agama malahan kerap ber-"intentio pura pura."
Disinilah, Yesus mengingatkan kita agar hati-hati terhadap sikap hidup palsu dan munafik (Mat 23:13-15,23,25,29) yang mengutamakan kebenaran lahiriah semata (Mat 23:25-28). Orang semacam ini tidak didiami oleh Roh Kudus dan kasih karunia-Nya (Rom 8:5-14). Lebih lanjut, Yesus secara tulus memberi perHATIan bagi wanita yang hidup sendirian yang tetap bermurah hati.
Adapun, di daerah Bait Suci yang dinamakan Pelataran untuk perempuan, terdapat peti persembahan yang berisi tiga betas peti berbentuk nafiri untuk memasukkan persembahan. Rupanya Yesus terus mengawasi org-orang yang memberikan persembahan untuk beberapa waktu dan Ia melihat sejumlah orang kaya memberikan persembahan sebaliknya janda tersebut mempersembahkan uang seharga dua peser/satu duit (satu peser/lepton adalah kepingan mata uang terkecil senilai seperdelapan sen; Duit/kodrantēs adalah kepingan mata uang Romawi senilai seperempat sen).
Jelasnya, Yesus mengukur persembahan bukan dari jumlah yang dipersembahkan tapi dari kasih, pengabdian dan pengorbanan yang terkandung di dalamnya (Luk 21:1-4).
Janda ini telah mempersembahkan jumlah yang paling kecil, tapi justru lebih berharga daripada semua persembahan lainnya, sebab dia mempersembahkan semua yang ada padanya.
"Dari Kramat Jati ke Kalisari-
Jadilah orang yang murah hati setiap hari."
3. Catatan Mengenai Perpuluhan dalam Iman Katolik
Pertama:
Hukum persepuluhan seperti yang dipraktekkan banyak (tidak semua) Gereja Kristen berarti bahwa setiap anggota jemaat yang mempunyai penghasilan, wajib memberikan sepersepuluh (10 persen) dari penghasilan bulanan/mingguan mereka kepada Gereja.
Praksis ini didasarkan pada tindakan Abraham setelah menang perang, yaitu memberikan sepersepuluh dari hasil rampasan perang itu kepada Melkisedek, Imam Agung (Kej 14:17-24). Tindakan Abraham ini dipandang sebagai kewajiban yang harus dijalankan oleh umat Israel sebagai keturunan Abraham dalam tradisi mereka (Ul 14:22-23; 26:12-15; Bil 18:20-22; Neh 10:37-38; Im 27:32-33).
Karena orang-orang Kristiani adalah keturunan Abraham (Gal 3:7), maka mereka juga wajib membayar sepersepuluh dari penghasilan mereka kepada penerus imam Melkisedek, yaitu Yesus Kristus (bdk Ibr 7:1-28). Dalam hal ini, Kristus diwakili Gereja atau pemimpin Gereja. Praksis dalam kebanyakan Gereja Kristen ini dipandang sesuai dengan ungkapan Yesus berkaitan dengan persepuluhan (Mat 23:23), yaitu bahwa Yesus tetap menyetujui praksis persepuluhan itu.
Kedua:
Gereja Katolik tidak mempraktekkan persepuluhan, artinya umat Katolik tidak dikenakan kewajiban membayar persepuluhan kepada Gereja.
Namun demikian, dalam Konsili Trente, Gereja Katolik pernah mewajibkan umat Katolik untuk membayar persepuluhan. Tetapi, praksis membayar persepuluhan itu lenyap pelan-pelan, yaitu sejak Revolusi Perancis pada abad ke-XVIII, meskipun peraturan itu sendiri belum pernah dicabut. Keputusan Konsili Trente itu bukanlah keputusan dogmatis, karena itu bisa saja diubah oleh pemimpin Gereja berikutnya bila dipandang kurang tepat.
Lenyapnya praksis membayar pesepuluhan dalam Gereja Katolik ini sebenarnya sangat sesuai dengan catatan sejarah Gereja bahwa praksis persepuluhan itu tidak tampak dalam Perjanjian Baru dan tidak dilakukan pada Gereja apostolis.
Ada juga catatan dari bapa-bapa Gereja bahwa praksis persepuluhan itu kurang sesuai dengan semangat Perjanjian Baru, yaitu memberi secara sukarela seperti yang dikatakan Paulus: "Hendaknya masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (2 Kor 9:7).
Ketiga:
Adalah sangat baik memberikan sumbangan kepada Gereja karena selama Gereja masih hidup di dunia ini, tetap akan dibutuhkan dana untuk mendukung kehidupan dan pelayanan Gereja. Demikian pula tetap dibutuhkan bantuan untuk orang-orang miskin.
Gereja mengajarkan dengan tegas bahwa membantu Gereja dan membantu orang miskin bukan bersifat manasuka tetapi suatu "kewajiban" (KHK Kan 222 # 1 dan 2; bdk Kan 1260-1266).
Namun demikian, pelaksanaan kewajiban ini tidak ditentukan dengan jumlah tertentu, misalnya sepersepuluh, tetapi diserahkan kepada kerelaan hati umat.
Keempat:
Perubahan penting yang hendak ditegaskan di balik "lenyapnya praksis persepuluhan" dalam Gereja Katolik ini ialah perubahan semangat dasar yang harus menggerakkan umat untuk memberikan sumbangan, yaitu dari semangat berdasarkan hukum (sebagai kewajiban) ke semangat cinta kasih kepada Allah dan sesama.
Janda miskin yang memberikan persembahan seluruh miliknya menjadi contoh cinta kasih yang memberikan diri tanpa batas (Luk 21:1-5). Cinta kasih ini bebas dari pamrih, yaitu memberi untuk menerima (do ut des). Cinta kasih ini yang menggerakkan kita untuk mengakui karunia kesejahteraan yang telah dilimpahkan Tuhan kepada kita, suatu ungkapan syukur atas berkat Tuhan disertai keinginan untuk membalas kasih-Nya. Cinta kasih inilah yang menggerakkan kita menyadari diri sebagai bagian dari Gereja, dan karena itu selalu bersedia untuk saling mendukung dalam karya pelayanan. Cinta kasih inilah yang menggerakkan kita membagikan harta milik kita kepada orang miskin (KGK 2443-2447).
Dengan ini menjadi nyata bahwa Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, tetapi untuk menggenapinya (Mat 5:17). Juga menjadi nyata bahwa semua hukum dirangkum dalam perintah cinta kasih kepada Allah dan sesama krn sbenarnya hukum punya arti yg indah, "Hadir Untuk Kselamatan Umat Manusia."
Nah, itu dari perspektif historis dan teologis kristiani yg coba dimaknai dlm grj katolik, pastinya kita ingat sebuah kalimat dari St Ignatius Loyola, "Tujuan setiap manusia diciptakan adalah utk memuji dan memuliakan Tuhan, dan setiap benda yang ada di muka bumi ini ada untuk membantu manusia mencapai tujuan ia diciptakan itu."
4.
Itung itungan sederhana
Yuk itung2 berapa PERSEMBAHAN SI JANDA MISKIN di Luk 21:1-4
Seorang janda miskin memasukkan DUA PESER ke dalam peti itu. Dikatakan janda miskin itu memasukkan DUA PESER.
Dalam bhs Yunani:
LEPTA DUO = DUA KOIN TEMBAGA (Ing. TWO COPPERS).
Identitas perempuan ini dapat digali lebih dalam dari kata DUA PESER ini.
Dalam masyarakat Yahudi pada jaman Yesus ada 3 jenis bahan yang umum dipakai untuk membuat mata uang:
Ada KOIN PERAK, KOIN PERUNGGU, paling kecil nilainya adl KOIN TEMBAGA.
LEPTA atau LEPTOS sendiri dalam bahasa Yunani mengacu pada SESUATU YANG TIPIS dan KURUS.
Pada jaman itu nilai mata uang ditentukan pada BERAT logam yang dipakai.
Maka kadang uang logam itu dipotong-potong sebagai kembalian.
Nah potongan kecil2 itulah yang disebut PESER, sisa uang kembalian yang kadang dianggap tidak ada harganya dan kadang diberikan kepada PENGEMIS.
Begini cara hitungnya:
1 peser = 1/4 duit.
1 duit = 1/10 dinnar.
1 dinnar = upah kerja SATU HARI.
Kalau UMR Jakarta Rp.2,900,000
Maka 1 dinnar = Rp.93,500
Maka 1 duit = Rp.9,350.
Lalu 1 peser = Rp.2,300
Uang yang dimasukkan janda dalam kotak persembahan adalah 2 peser kurang lebih Rp.5,000
Yang menarik adalah uang kecil-kecil yang dianggap SISA/SAMPAH/TIDAK BERARTI oleh orang lain, namun menjadi SELURUH NAFKAH bagi si janda miskin ini.
Sebenarnya janda ini punya pilihan, dengan memasukkan 1 saja dari dua peser yang dia punya.
Tetapi dia memasukkan semuanya.
Mungkin setelah itu dia kembali mengemis lagi (baca: mencari nafkah lagi). Dia yakin dia pasti nanti juga dapat rejeki lagi untuk makan (mudah dibayangkan saat itu hari masih siang karena Yesus sedang mengajar dan ada banyak orang di Bait Allah).
Bagi janda miskin ini Allah dulu yang utama. Urusan perutnya bisa dikesampingkan.
Totalitasnya dalam memberi kepada Allah, itulah yang dipuji oleh Yesus.
Teks ini bukan bicara soal jumlah uang persembahan/kolekte tapi BAGAIMANA JANDA INI DENGAN LUAR BIASA MENEMPATKAN ALLAH DI ATAS SEGALANYA.

Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam.







HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
26 Nov 2017
Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam.
"KING" :
Kasih - Iman - Nubuat - Gaya hidup
"...Oh, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Allah? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihatNya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantinya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia : Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya..." (Roma 11: 33-36)
"Rex Mundi - Raja Semesta."
Inilah nama Gereja Katedral di Ende Flores yang terkenang ketika kita merayakan HR.Tuhan Raja Semesta Alam.
Adapun Hari Raya ini dirayakan pertama kali pada tahun 1926, ditetapkan oleh Paus Pius XI dengan ensiklik "Quas Primas".
Ensiklik ini dikeluarkan pada tanggal 11 Desember 1925 sebenarnya untuk menanggapi maraknya gejala sekularisme dan ateisme yang mengesampingkan keberadaan Allah ketika peran Allah dan Yesus Kristus disingkirkan dan dipinggirkan, dilemahkan dan dikeluarkan dari tatanan kehidupan.
Implikasinya:
Manusia menjadi satu-satunya penentu dalam kehidupan dunia ini padahal menyingkirkan peran Allah dalam kehidupan merupakan tindakan “bunuh diri” secara rohani, moral, dan mental serta pada gilirannya akan berakibat fatal yakni kehancuran masyarakat manusia itu sendiri karena manusia kehilangan dasar yang joss dan kokoh akan keberadaannya karna sejatinya Allah adalah asal dan tujuan dari segala sesuatu.
Dengan ensiklik itu, Paus juga mengajak kita untuk menempatkan Kristus sebagai pusat hidup yang merajai hati, pikiran, kehendak dan tindakan kita, baik sebagai individu, dalam keluarga, komunitas, maupun dalam pengelolaan pemerintahan, persaudaraan antar bangsa dan dalam pemanfaatan serta pengelolaan lingkungan hidup.
Pada mulanya, perayaan ini dirayakan setingkat pesta dengan nama “Domini Nostri Iesu Christi Regis” dan dirayakan pada minggu terakhir bulan Oktober mendahului pesta Semua Orang Kudus sebagai mahkota atas semua misteri kehidupan Kristus yang telah dirayakan sepanjang tahun.
Pada tahun 1960, Paus Yohanes XXIII meningkatkannya menjadi Hari Raya. Dengan motu proprio Mysterii Paschalis pada tahun 1969 Paus Paulus VI memberikan nama baru pada perayaan ini: "Domini Nostri Iesu Christi Universorum Regis" (Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam) dan dirayakan pada hari Minggu terakhir dalam tahun liturgi untuk menonjolkan makna eskatologis misteri iman ini.
Adapun "Domini Nostri Iesu Christi Universorum Regis" (Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam) yang dikenangkan Gereja pada minggu liturgi terakhir sebelum masa Advent kerap mengangkat perumpamaan tentang Pengadilan Terakhir yang merupakan penutup dari pengajaran tentang akhir zaman.
Ditekankan bahwa sejarah kita itu menuju dan memuncak ke sebuah akhir yang ditandai dengan kedatangan kembali Sang Mesias.
Pada saat kedatangan Kristus yang kedua, Dia akan membuka jati diri kita dimana lewat perumpamaan inilah, Yesus melengkapi kriteria untuk menentukan siapa yang boleh ikut serta dalam kemuliaanNya dan siapa yang tidak, al:
* miskin di hadapan Allah (Mat 5:3),
* dianiaya oleh sebab kebenaran (Mat 5:10),
* kesediaan mengampuni (Mat 6:14-15),
* melakukan kehendak Bapa (Mat 7:21-23),
* mengakui Yesus dihadapan umum (Mat 10:32-33),
* aktif melakukan kebaikan dengan mempergunakan anugerah yang dipercayakan (Mat 25:14-30).
Lewat perumpamaan pada bacaan tentang penghakiman terakhir, Yesus menyebutkan 6 kelompok orang : yang lapar, haus, asing, telanjang, sakit, dan dalam penjara.
Indahnya, Yesus yang menjadi raja dan hakim itu menyamakan diriNya dengan orang2 yang lemah itu. Merekalah gambar Kristus yang paling nyata di dunia ini. Mengabdi kepada Kristus berarti mengulurkan hati dan budi, terlibat-tergerak dan bergerak dalam keprihatinan, penderitaan orang-orang kecil (the least), lemah (the last), tersisih (the lost).
Disinilah hadir bahwa Kristus meraja bukan dengan mengandalkan dan mencintai kekuatan ("loves power") tapi Dia meraja dengan kekuatan cinta ("the power of love").
Jelasnya, pada pengadilan terakhir kita akan diadili atas dasar seberapa dalam dan besarnya cinta kita pada sesama. Mencintai itu sederhana dan nyata karna sejatinya kita bisa saja memberi tanpa mencintai tapi mustahil mencintai tanpa memberi. Dan cara tercepat untuk mendapatkan cinta adalah memberi, bukan?
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Madah Ibadat Bacaan, Pagi, Siang,
(Minggu, 26 Nov 2017)
HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM
Ya Allah, bersegeralah menolong aku
Ya Tuhan, perhatikanlah hambaMu
MADAH IBADAT BACAAN
Kristus raja para bangsa
Penguasa jagat raya
Engkau merajai juga
Sanubari manusia
Isi surga sujud bakti
memujiMu dan bernyanyi
kami bangga mengakui
engkaulah raja tertinggi
Kristus pangkal perdamaian
Tanamkanlah kerukunan
Antar bangsa sedunia
Supaya aman sentosa
Terpujilah Yesus Tuhan
Raja yang tak terkalahkan
Bersama Bapa dan RohNya
Mulya sepanjang masa
Amin
MADAH IBADAT PAGI
Kristus cahaya dunia
Gambar kekal Allah Bapa
Engkau mulya dan berjaya
Berkuasa selamanya
Engkau putra prawan murni
Ketua penghuni bumi
Kaurebut kekuasaan
Dari tangan kegelapan
Engkau guru, imam, raja
Yang membebaskan dunia
Gembala para gembala
Penguasa alam raya
Terpujilah Yesus Tuhan
Raja yang tak terkalahkan
Bersama Bapa dan RohNya
Mulyalah sepanjang masa
Amin
MADAH IBADAT SIANG
Ya Roh kudus sumber cinta
Serta Bapa dan Putera
Datanglah di tengah kami
Membawa hidup Ilahi
Gerakkanlah hati kami
Agar giat penuh bakti
Menyanyikan lagu puji
Mengamalkan cinta suci
Kabulkanlah doa kami
Ya Allah Bapa surgawi
Bersama Putera dan RohMu
Sekarang serta selalu
Amin
BACAAN SINGKAT
(Ef 4,15-16)
Dengan bertindak jujur dan benar dalam cinta kasih, kita tumbuh dalam segala hal menuju kepala, yaitu Kristus.
Dari Dia seluruh tubuh menerima daya tumbuhnya guna membangun diri dalam cinta kasih.
Tubuh itu rapih tersusun dan rukun bersatu karena pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan peranan dan kegiatan setiap anggota.
DOA
Allah yang mahakuasa, Engkau membaharui segala sesuatu dalam PuteraMu terkasih, raja semesta alam.
Bebaskanlah seluruh ciptaan dari perbudakan dosa agar seluruh alam raya mengabdi dan memuji Engkau tak berkesudahan.
Demi Yesus Kristus, pengantara kami, yang hidup dan berkuasa bersama Engkau dalam persekutuan Roh Kudus, sepanjang segala masa.
Amin

KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM
Gelar Raja semesta alam berakar pada salah satu sebutan/gelar Allah YHWH dalam Perjanjian Lama yang paling terkenal yaitu EL SHADDAI, The Almighty God, Allah Yang Maha.
Gelar ini mengungapkan bahwa Allah YHWH itu mengatasi segala dewa bangsa2 lain, juga merangkum semua sebutan:
Elyon, Allah yang Maha Tinggi
El Olam, Allah yang Kekal
El Roi, Allah yang Melihat
Mau digambarkan bahwa YHWH inilah yg paling kuat perkasa dan tidak ada ALLAH lain selain Dia. Allah inilah yg masuk ke dalam sejarah manusia, bukan Allah yang hanya abstrak di buku buku suci ataupun dunia ide.
Allah yang dengan kuasa dan gagah perkasa namun sekaligus penuh belas kasih dan pengampunan. Allah yang pencemburu namun karena kasih bukan karena cinta diri.
Nah gambaran Allah seperti itu mulai ditempelkan pada Yesus. Karena Gereja perdana, yang mulai terpisah dari agama yahudi, mulai merefleksikan secara baru bahwa Allah yang hadir dalam PL kini betul2 sungguh dan sudah hadir dalam Yesus.
Yang menarik dalam semua bacaan pada minggu ini adalah gambaran Yesus sebagai Raja dan gembala. Mengapa? Kita ingat siapa raja dalam PL yang paling hebat. Raja Daud, yang adalah seorang gembala.
Gambaran raja di penghakiman terakhir yang memisahkan hamba baik dan jahat kiranya akan sangat tidak adil bila tidak dibaca dalam konteks bac pertama dan Mazmur.
Dalam Yehezkiel, Allah mewahyukan diriNya dengan simbol gembala yang baik, yang memberi makan minum domba2Nya, melindungi dari kegelapan dan bahaya, mencari yang hilang, menyembuhkan yang terluka dan sakit, menguatkan yang lemah.
Tindakan penggembalaan ini dilakukan setiap hari. Artinya kasih Allah kepada manusia, bukan sekedar teori, otoriter, melainkan nyata.
Allah sungguh hadir dalam keseharian.
Hal itu diperjelas dalam Mazmur yang merupakan suatu tanggapan indah dari para domba yang merasakan dasyatnya penggembalaan Allah.
Kasih Allah yang sungguh nyata itu mengundang kita untuk membalas kasih itu secara nyata juga lewat karya untuk sesama yang kecil lemah miskin tersingkir dan difable. (Mat 25).
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
Va’ dove ti porta il cuore
“….Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu
dan kau tak tahu jalan mana yang harus diambil,
janganlah memilihnya dengan asal saja,
tetapi duduklah dan tunggulah sesaat.
Tariklah nafas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan,
seperti saat kau bernafas di hari pertamamu di dunia ini.
Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatianmu,
tunggulah dan tunggu lebih lama lagi.
Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu.
Lalu ketika hati itu berbicara,
beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu….”.
Va’ dove ti porta il cuore
B.
M.A.G.I.S
Anugerahkanlah kepadaku ya Tuhan,
kemampuan untuk dapat melihat segala sesuatu
kini dengan mata baru;
untuk memilah-milah, memilih-milih lalu
menguji roh yang dapat membantu diriku
membaca tanda-tanda jaman;
untuk mencecap nikmat segala hal yang menjadi milikMu
dan untuk mewartakan segala ini kepada pribadi-pribadi di luar diriku
Berilah aku kejernihan pemahaman yang Engkau berikan kepada Ignatius.
(Pedro Arrupe, 1907-1991)
Magis, adalah istilah dalam Spiritualitas Ignasian yang berarti “Lebih”. Tentunya istilah ini digali dari motto para Jesuit sendiri “Ad Maiorem Dei Gloriam”. Dengan kata “Magis” berarti seseorang mau berbuat lebih, tidak cepat berpuas diri, tidak “suam-suam” kuku, seenaknya, bersantai ria, tetapi secara optimal mau mencari dan mewujudkan kehendak Allah dalam hidupnya dan tugas panggilannya bagi orang-orang di sekitarnya.
Dalam buku saya, “Via Veritas Vita” (RJK), semangat magis ini juga berakar pada jiwa dan semangat Latihan Rohani: Apa yang telah saya perbuat untuk Tuhan? Apa yang sedang saya perbuat untuk Tuhan? Dan apa yang akan saya perbuat untuk Tuhan?
Bicara lebih lanjut seputar kata “magis”, inilah permenungan sederhana di hari ke-17, ketika saya mengadakan retret pribadi di Rawaseneng tahun lalu:
“Hari ini, aku juga terkesan lagi dengan kata “magis”. ”Magis” itu tidak hanya salah satu ciri, tetapi seharusnya menyangkut keseluruhan hidupku sebagai seorang imam yang berhasrat untuk menjadi pontifex atau jembatan – ex officio – antara manusia dan Tuhan. Aku melihat lebih dalam, dari waktu ke waktu, kehidupan Yesus juga merupakan dinamika peziarahan mencari dan menemukan, menjalani arah kehidupan yang Magis, kemuliaan Allah Bapa yang selalu lebih besar, pelayanan kepada sesama yang makin purna, usaha-usaha yang makin umum, dan sarana-sarana pewartaan Kerajaan Allah yang lebih efektif sekaligus lebih afektif. Sifat dan karakter, sikap dan parameter yang cenderung mediocritas (yang setengah-setengah) tidak nampak dalam laku hidup Yesus. Inilah juga yang ingin kudapatkan, belajar terus menjadi imam yang total, sepenuh dan seutuhnya. Bukankah seorang imam yang ingin bersemangat magis terus menerus rela dibimbing bahkan kadang dibentur-hancurkan untuk menemukan dan meneruskan kembali apa yang lebih dan apa yang magis dalam karya dan wartanya? Aku terkenang lagi untuk bertanya tentang arti seorang imam, yang kadang diharapkan menjadi manusia setengah dewa. Ya Tuhan, inikah imamMu? ”Inikah Manusia Andalan Mu?”Kuingat sebuah nama seorang anak muda dari daerah Parakan yang berziarah beberapa hari di pertapaan Rawaseneng. Adi namanya. ”Andal mengabDI” artinya. Semoga aku juga semakin andal mengabdi Tuhan selamanya.”
Pastinya, terimaKASIH banyak untuk Rama Priyono Marwan, SJ yang berkenan mengirimkan tulisan Rama Susilo SJ mengenai tujuh matra pokok soal arti "magis" sebagaimana sumber-sumber yang andal menerangkannya. Semoga kita semua yang ingin selalu belajar menjadi “magis, selalu “sehat, semangat dan sukacita.”
1. Visi USD (Universitas Sanata Dharma) dalam Renstra 2013–2017 dirumuskan sebagai berikut: “Menjadi penggali kebenaran yang unggul dan humanis demi terwujudnya masyarakat yang semakin bermarta¬bat.” Kemudian dalam deskripsi mengenai Visi tersebut dijelaskan bahwa “unggul” merupakan terjemahan dari kata bahasa Latin “magis” yang berarti “lebih”. “Lebih” dimaknai bukan dalam suatu kerangka kompetisi atau perbandingan antara individu satu dengan individu lain atau lembaga satu dengan lembaga lain, melainkan dalam kerangka pengembangan diri seca¬ra terus menerus (Renstra USD 2013–2017, hlm. 70).
2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “unggul” berarti 1) lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat, awet, dsb) daripada yang lain-lain; 2) menang. Jadi sebenarnya kata “unggul” itu mengandung arti “lebih” dibandingkan dengan yang lain-lain. Dalam deskripsi Visi USD tersebut, kata “ung¬gul” (magis) itu dipakai dalam arti “pengembangan diri secara terus menerus”, yaitu “setiap individu yang terlibat di USD diharapkan mampu mengembangkan bakat serta kemampuan pribadi¬nya dari tahapan satu ke tahapan lain yang lebih jauh atau le-bih tinggi”.
3. Menurut penelitian Barton T. Geger (2012), St. Ignatius dan kawan-kawannya para Yesuit awal tidak pernah menggunakan kata Latin “magis” untuk menjelaskan suatu unsur dari spiritua¬litas Ignasian. Menurut Geger, orang yang pertama kali menggunakan kata “magis” itu adalah Karl Rahner, seorang teolog Yesuit, dalam tulisannya sekitar tahun 1960 yang mem-bahas “Azas dan Dasar” dalam Latihan Rohani St. Ignatius. Kemudian Pedro Arrupe ber-ulang kali menggunakan kata itu sesudah ia dipilih menjadi Jenderal SJ pada tahun 1965. Dan selanjutnya kata itu sering muncul dalam dokumen-dokumen resmi Konggregasi Jenderal (KJ) sejak KJ 32 tahun 1975.
4. Banyak interpretasi mengenai makna istilah “magis” yang beredar dalam institusi-institusi Yesuit sampai saat ini. Menurut Geger, interpretasi mengenai makna istilah “magis” yang baik harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1) berakar dalam spiritualitas Ignasian seperti di¬gariskan oleh St. Ignatius sendiri; (2) mudah dipahami dan relevan; (3) tidak mudah disalah¬tafsirkan; dan (4) cukup konkret untuk dapat dilaksanakan dan diukur dalam praktek hidup yang nyata. Berikut akan dibahas pemaknaan “magis” yang paling dapat memenuhi keempat syarat yang dikemukakan oleh Geger itu.
5. Kata “MAGIS” memang berasal dari bahasa Latin yang berarti “LEBIH”. Semangat LEBIH itu berakar dalam spiritualitas Ignasian, yang terkandung dalam dalam dua karya tulis St. Ig-natius Loyola (1491–1556), pendiri Serikat Yesus, yaitu “Latihan Rohani” (1548) dan “Kon-stitusi Serikat Yesus” (1558). Dalam “Azas dan Dasar” dari buku Latihan Rohani (LR) terse-but, St. Ignatius menyatakan: “Manusia diciptakan untuk memuji, memuliakan, dan mengabdi Allah, dan dengan demikian menyelamatkan jiwanya… Kita hanya menginginkan dan memilih apa yang LEBIH membantu kita untuk mencapai tujuan kita diciptakan itu.” (LR 23). Dalam Konstitusi Serikat Yesus, St. Ignatius menggariskan suatu cara bertindak yang khas dalam Serikat Yesus untuk memberikan pedoman bagaimana seharusnya se¬orang Pem¬besar Serikat Yesus memberikan tugas kepada para anggotanya: “Untuk memutuskan dengan le¬bih tepat dalam mengutus orang ke tempat ini atau ke tempat itu, Pembesar harus berpedo¬man pada pelayanan yang LEBIH besar kepada Allah dan kebaikan yang LEBIH universal sebagai norma yang menjamin bahwa dirinya berada pada langkah yang benar.” (Konst. 622 [a]). Kebaikan yang lebih universal menurut St. Ignatius adalah perwujudan konkret dari pelayanan yang lebih besar kepada Allah, seperti ditulisnya: “Semakin universal kebaikan itu, semakin bersifat ilahi (the more universal the good is, the more is it divine).” (Konst. 622 [d]). Berdasarkan kedua sumber asli tersebut, KJ 35 (2008) dalam Dekrit 2 memaknai se¬mangat MAGIS itu sebagai “to be ever available for the more universal good” (selalu tersedia untuk mewujudkan kebaikan yang lebih universal), seperti sejak semula telah di¬gariskan oleh St. Ignatius.
6. Semangat MAGIS itu secara operasional terwujud pada saat kita melakukan pilihan, khusus-nya dalam memilih antara dua hal yang sama baiknya (bukan memilih antara yang baik dan yang tidak baik). Dilandasi semangat tersebut, kita selalu akan memilih apa yang LEBIH membantu kita untuk mencapai tujuan kita diciptakan, yaitu apa yang LEBIH menambah kemuliaan Allah (Ad Maiorem Dei Gloriam – AMDG). Perwujudan semangat MAGIS itu mengandaikan perlunya kebebasan batin yang membuat kita tidak terbelenggu pada keingin-an-keinginan pribadi kita, tetapi selalu terbuka untuk memilih apa yang LEBIH menambah kemuliaan Allah. Secara lebih rinci Dekrit 4 KJ 35 menegaskan bahwa pelaksanaan sema¬ngat MAGIS itu mengandaikan adanya “discernment, freedom, and creativity”. Diperlukan penegasan rohani yang dilandasi kebebasan batin mengenai mana yang sungguh merupakan kehendak Allah (kebaikan yang lebih universal), dan kreatifitas untuk melaksanakannya.
7. Secara lebih konkret memilih apa yang LEBIH menambah kemuliaan Allah berarti memilih apa yang menghasilkan kebaikan yang lebih universal (the more universal good), yaitu memilih berdasarkan apa yang akan menghasilkan dampak positif paling besar bagi umat manusia. Contoh: Ketika Serikat Yesus didirikan pada tahun 1540, tujuan utamanya adalah untuk pergi ke mana saja dan berkarya di tempat mana saja yang paling dibutuhkan oleh Gereja. Pada waktu itu karya sekolah tidak menjadi pilihan karena karya ini membutuh¬kan tenaga-tenaga yang harus menetap di suatu tempat. Tetapi sejak tahun 1546, dilandasi sema-ngat MAGIS itu, St. Ignatius berganti haluan dan memerintahkan untuk didirikannya seko-lah-sekolah karena ia semakin menyadari dampak positif karya pendidikan di seko¬lah untuk kebaikan yang lebih universal.
Tuhan Yesus, kini aku mohon kepadaMu:
bantulah aku
agar tetap bersamaMu selalu,
agar tetap dekat padaMu dengan hati berkobar,
agar tetap gembira mengemban perutusan yang
Engkau percayakan kepadaku, yakni:
melanjutkan kehadiranMu,
dan menyebarkan berita gembira –
Engkau telah bangkit!
(Carlo Maria Martini)
C.
IN TE CONFIDO.
“Djamin alias Imin alias Darmoyuwono”
Siapakah dia?
Justinus Darmoyuwono nama lengkapnya.
Djamin nama panggilannya (teman- teman sekolahnya memanggilnya, “Imin”).
Ia adalah seorang imam diosesan dari Keuskupan Agung Semarang. Dialah kardinal pertama di Indonesia, yang diangkat pada tanggal 29 Juni 1967.
Ia sendiri lahir di Klewonan, Godean, Yogyakarta, pada tgl 2 November 1914, kira-kira 13 kilometer sebelah barat Kota Yogyakarta, tidak jauh dari desa kelahiran Pak Harto, mantan Presiden RI.
Darmojuwono, Uskup Agung Semarang, yang adalah alumnus Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, dan Universitas Gregoriana, Roma, Italia ini, pernah mengatakan,
“Seumur-umur, saya tidak pernah memimpikan menjadi uskup agung apalagi kardinal. Sejak pertama saya masuk seminari, cita-cita saya hanya mau menjadi pastor biasa. Sinting apa, berpikir untuk menjadi uskup, uskup agung, atau kardinal.”
Dia menjadi imam selama 46 tahun 7 bulan, menjadi uskup selama 29 tahun 8 bulan, dan menjadi kardinal selama 26 tahun 6 bulan.
Apa cita-citanya?
Darmojuwono, yang pernah menjadi pastor tentara pada 1950-an, sejak kecil bercita-cita menjadi guru.
Oleh karena itu, setelah lulus dari sekolah dasar Ongko Loro pada 1931, kemudian dia masuk di asrama sekolah guru Normall School, Muntilan, Jawa Tengah. Tapi, setelah lulus dari sekolah guru dan melihat teladan para pastor Belanda, ia malahan masuk asrama seminari.
Satu hal yang diinginkannya hanyalah menjadi pastor biasa. Baginya, menjadi pastor biasa bisa lebih akrab dengan rakyat kecil. Inilah juga yang mendorongnya menetap di kompleks Perumnas, setelah pensiun sebagai Uskup Agung Semarang. ‘’Ingin hidup di tengah pergolakan hidup,’’ katanya.
Memang benar, sejak Desember 1981, ia tinggal di sebuah rumah di Banyumanik, bagian selatan Kota Semarang. Di situlah sebagai pastor biasa, ia memimpin sebuah paroki kecil, Gereja St. Maria Fatima, dengan jemaat empat ribu orang.
Bagaimana hidup sehari-hari dalam keluarganya?
Sebagai anak desa, ia mengaku senang dan bangga. Keluarganya tidak kaya, namun cukup, boleh dikatakan harmonis.
Disiplin dalam keluarganya sangat terjaga.
Katanya, “Kami semuanya harus kerja keras. Di samping sekolah, saya, kakak, dan adik saya harus kerja di rumah. Setelah pulang sekolah, ada yang kerja di sawah, memelihara tanaman di kebun, atau mencarikan rumput untuk
makanan ternak. Karena kami memelihara beberapa ekor kambing, kerbau, dan sapi. Saya sendiri mendapat tugas memelihara tiga ekor kerbau.”
Ayahnya, Surodikira adalah lurah desa, ibunya bernama Ngatinah. Seperti juga pada umumnya wanita Jawa di masa itu, Ngatinah menangani pekerjaan rumah dan ngopeni (mengasuh) putra-putrinya.
Dalam keluarga, mereka kerap membuat macam-macam slametan (kenduri).
Jika ada anggota keluarga yang meninggal, mereka mengadakan slametan: membuat tumpeng, mengundang orang dan santri untuk berdoa bersama.
Seperti apa orang tuanya?
Kedua orang tuanya pada awalnya bukan Katolik, tapi juga tidak sholat, mungkin lebih tepat disebut sebagai Islam abangan atau pengikut Kejawen.
Setiap malam Jumat, ayahnya selalu membakar kemenyan dan menyebar kembang di tempat yang dianggap keramat.
Menurut pengakuan Djamin, ketika ia bertanya untuk apa ayahnya melakukan hal itu, jawabnya, “Ya kanggo nyuwun marang ingkang murbeng jagad, supoyo olehe golek sandang pangan lancar. Supoyo anggonmu podo sekolah ugo lancar.” (Ya untuk minta kepada Tuhan agar mudah mencari sandang pangan, supaya sekolahmu juga lancar).
Upayanya bertingkah laku yang baik ternyata menarik orang tuanya sendiri. Jusup Surodikira, ayahnya, akhirnya dipermandikan oleh Darmojuwono sendiri (1952).
Pada saat usia tua dan sudah sakit-sakitan, Surodikira minta untuk dibaptis, “Aku ingin mengikuti jejakmu. Aku minta dibaptis. Tapi, aku tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu cuma para nabi,” ucapnya.
Setengah tahun kemudian setelah dibaptis, bapaknya meninggal dan dimakamkan dengan tata cara agama Katolik: dimasukkan dalam peti mati, dan diberi pakaian yang bagus.
Pada saat upacara pemakaman, ibunya, Ngatinah berbisik kepada Djamin:
“Kalau kelak aku meninggal, dandani juga seperti ayahmu. Dimasukkan peti, pakai baju segala.”
Ibunya meninggal tepat di hari Natal 1963 setelah dibaptis juga olehnya dengan nama baptis Maria.
Gambaran masa kecilnya?
Djamin bersekolah di Sekolah Dasar Desa Gedongan, waktu itu namanya sekolah Ongko Loro, kira-kira lima kilometer dari desa.
Dia selalu berjalank kaki bila pergi ke sekolah. Melompat-lompat di atas balok rel lori tebu.
Jika pulang sekolah bersama teman-temannya, dia memilih jalan terobosan yang dekat. Melintasi galengan (pematang) sawah dan ladang.
Katanya lagi, “Enaknya, kalau tebu sudah mulai tua. saya dan teman-teman ngrampasi tebu, ha ... ha ... Semua anak, waktu itu, sama. Kalau pulang sekolah, pasti nyolong tebu. Kami haus karena jalan kaki jauh. Kalau mau beli minuman, dilarang Ibu.”
Dia mengakui, waktu bermain cuma sebentar, paling-paling ramai ramai mandi di kali pada sore hari, katanya.
Di sore hari, sebelum waktu belajar, mereka biasa makan bersama. Dia belajar di sebuah meja bundar, diterangi lampu teplok.
Seusai belajar pribadi atau kadang bersama dengan beberapa temannya, ibunya pasti menyuguhkan segelas teh manis panas dan pelbagai makanan kecil: ketela, singkong, kimpul, semuanya hasil kebun sendiri.
Mengapa Darmojuwono menjadi Katolik?
Dia mengakui, pengaruh kakaknya (bernama, Janis), yang kebetulan juga bersekolah di Sekolah Katolik, membuatnya jadi kerap membaca kisah dalam Kitab Suci dan buku-buku mengenai Yesus juga Gereja.
Pada 1932, ketika dia sedang belajar di sekolah guru di Muntilan, dia dibaptis dengan nama permandian Justinus.
Hal apa yang membuatnya tertarik untuk menjadi pastor?
Menurut rohaniwan kelahiran Yogyakarta itu, agama tidak ada gunanya tanpa teladan.
Tatkala di sekolah guru Muntilan, dia selalu ikut Cembengan (perayaan menjelang giling) di pabrik-pabrik gula.
Di situlah, dia menyaksikan perbedaan tingkah laku orang-orang Belanda yang bekerja di pabrik- pabrik dengan orang-orang Belanda yang menjadi pastor.
Dia melihat, orang Belanda yang bekerja di pabrik itu punya banyak perempuan
(“gundik”). Selain itu, mereka juga suka muring-muring (marah-marah) kepada orang lain.
Dia membandingkannya dengan para pastor Belanda.
Mereka memberikan teladan: terkesan arif dan bijaksana, sopan dan tidak pernah marah kepada orang lain. Lalu, dia berpikir, daripada jadi guru, lebih baik sekalian menjadi pastor saja.
Adalah suatu kisah.
Setelah lulus sekolah guru di Muntilan, dia mendaftarkan diri di Seminari Menengah Mertoyudan.
Mendengar bahwa dia ingin menjadi pastor, ayahnya keberatan. Ia menasihati Djamin. “Pastor itu tidak kawin, tidak punya anak, tidak digaji. Orang hidup tak memiliki keturunan, dan tidak makan jerih payah sendiri, itu tidak lumrah.”
Djamin tak berani membantah langsung, meskipun waktu itu dia sudah berumur 21
tahun.
Satu hal yang dia ingat betul, sehari sebelum keberangkatannya masuk Seminari, Pada waktu itu, 30 Agustus 1935 malam, seluruh sanak saudara dan keluarganya berkumpul di rumahnya.
Ternyata, semua orang-orang tua yang hadir pada waktu itu sudah dibujuk bapaknya untuk membatalkan niat Djamin menjadi pastor.
Akan tetapi, karena keinginan Djamin sudah kuat, akhirnya bapaknya berkata, “Aku tidak akan menentang panggilan Tuhan. Sebab, menentang Tuhan itu besar dosanya. Sudah, berangkatlah, aku berkati. Hanya, semoga menjadi pastor itu bukan panggilan jiwamu.”
Bagaimana juga perjalanan panggilannya?
Setelah lulus dari seminari Mertoyudan, dia melanjutkan ke Seminari Tinggi
St. Paulus, Yogyakarta, pada 1941.
Ia ditahbiskan sebagai imam diosesan, pada tanggal 25 Mei 1947 oleh Mgr. Soegijapranata di Gereja St. Antonius, Kotabaru, Yogyakarta.
Ia sendiri ditahbiskan bersama 3 orang imam lainnya, yaitu Romo Pusposoegondo, Romo Pojohardoyo, dan Romo Hadisudarso.
Saat itu, Indonesia masih dalam suasana prihatin, pertempuran dengan
tentara Belanda terjadi di mana-mana sehingga tidak ada pesta besar dalam tahbisan imam, bahkan juga tidak dibuat foto untuk kenang-kenangan.
Sebagai pastor, pertama kali dia ditugaskan di Gereja Kidul Loji, Yogyakarta
selama 35 hari.
Kemudian dia ditugaskan di Ganjuran, Bantul, kira-kira 15 kilometer sebelah selatan Yogyakarta. Berhubung karena Seminari Menengah di Ambarawa cerai-berai karena perang, maka Vikariat Semarang memutuskan untuk mengumpulkan para seminaris di Ganjuran, Bantul. Disitulah, dia dipercaya untuk menangani mereka.
Selain mengajar di seminari, dia juga mendapat tugas melayani umat Katolik di sekitar itu dan mengelola rumah sakit di Ganjuran.
Pertengahan 1950, ia pindah tugas ke Klaten, Jawa Tengah, menjadi pastor paroki pada Gereja Maria Assumpta, Klaten, merangkap sebagai pastor pembantu militer. Pada waktu itu komandan militernya dipegang Pak Harto, mantan Presiden RI.
Dari Klaten, kemudian ia berpindah ke Solo pada 1952. Hanya beberapa bulan di Solo, kemudian ia mendapatkan tugas belajar misiologi di Universitas Gregoriana, Roma.
Sekembali dari Roma, ia menjadi pastor pembantu di Purbayan, Solo, merangkap pastor pembantu militer.
Selain itu, ia juga ditugasi merintis berdirinya sebuah Gereja di Solo bagian utara. Pertengahan 1961, Gereja itu mulai ditempati, meskipun belum selesai seluruhnya. Kemudian dia diangkat menjadi bouwpastoor, semacam pastor kepala, di gereja itu.
Gereja itu kelak bernama Gereja Maria Regina Purbawardayan.
Pada 1962, dia berpindah ke Semarang, menjadi pastor kepala di Paroki Katedral Randusari, Semarang, merangkap Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang. Kemudian, Uskup Agung Semarang, Mgr. Soegijapranoto meninggal dalam perjalanan ketika menghadiri Sidang Konsili Vatikan II di tahun 1962.
Oleh karena itu, dia ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang pada tanggal 6 April 1964, oleh Mgr. Ottavio De Liva, Internuntius (Duta Besar Vatikan) di Indonesia saat itu.
Dia diangkat menjadi kardinal oleh Paus Paulus VI pada 26 Juni 1967.
Pengalaman y ang di a ingat ketika menj adi
p astor paroki?
Tatkala Bantul mulai diduduki Belanda, banyak tentara RI yang mengungsi
di rumah sakit Ganjuran, Bantul. Kepada tentara yang tinggal di rumah
sakit, dia menyarankan memakai sarung dan berpura-pura menjadi orang
sakit. Oleh karena itu, ketika Belanda datang, dia katakan pada mereka
bahwa yang tinggal semuanya orang sakit, kecuali dirinya dan suster-suster.
Segerombolan tentara Belanda datang, memeriksa, menggeledah dan
mencari tentara RI. Dalam situasi itulah, ia berkata, “Ini rumah sakit, yang
ada orang sakit. Semua yang ada menjadi tanggung jawab saya. Kalau kamu
akan mengganggu orang-orang di sini, saya akan laporkan pada atasanmu.”
Pada masa perang itu, bahan makanan sulit didapat. Uang ORI
dinyatakan tak berlaku, yang berlaku hanya uang gulden, mata uang
Belanda. Dia berkeliling dengan sepeda ontel ke berbagai tempat meminta
sumbangan apa saja, untuk membiayai para korban perang di rumah sakit,
juga untuk memberi makan para seminaris, dan pengelola rumah sakit juga
Gereja. Dia juga mencari kayu bakar untuk memasak. Ketika ia bertugas
menjadi pastor paroki di Gereja Maria Assumpta, Klaten, ia ingat menjelang
Natal 1950, pabrik gula Klaten dibumihanguskan. Siang malam orang-orang
mengangkuti gula dari pabrik itu. Bahkan sampai ada yang mati tertimbun
gula. Siang malam orang-orang terus menjarah gula sampai habis. Tidak
hanya barang-barang yang ada di pabrik gula yang dijarah rakyat, barangbarang
yang ada di sekolah pun mereka angkuti. Bangku, kursi, bahkan
dinding pun dicopoti.
Kesibukannya sebagai Kardinal sekaligus Uskup Agung Semarang?
Dia tidak tahu mengapa dia diangkat menjadi Kardinal. Yang jelas, sejak
ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang pada tahun 1963, ia sibuk
mengadakan pelbagai kunjungan ke paroki-paroki, peresmian juga
pemberkatan pelbagai paroki dan Gua Maria baru di wilayah Jawa Tengah.
Pada tahun 1964 ia juga dipercaya menjadi Ketua MAWI (Majelis Agung
Wali Gereja Indonesia (sekarang KWI, Konferensi Wali Gereja Indonesia).
Dia pernah mengatakan, “Setelah saya menjadi kardinal, pekerjaan
saya lalu banyaknya tidak karuan. Dalam setahun, 180 hari saya tidak di
rumah, seratus hari di antaranya berada di luar negeri. Saya keliling dunia
untuk urusan Gereja. Kadang-kadang di negara Asia, Amerika Latin, Eropa.
Bahkan setahun dua kali harus pergi ke Roma.“ Tatkala kunjungan Paus ke
Manila pada tahun 1970, dia mengadakan lobi ke mana-mana, bersama
Uskup Labayen dari Fipilina dan Kardinal Kim dari Korea untuk merintis
terbentuknya Konferensi Para Uskup Asia (FABC, Federation of Asian Bishops
Conferences).
Dia juga beberapa kali bertemu Bung Karno, di kediamannya maupun
di Jalan Merdeka. Pada suatu pagi, dia ditanya oleh Bung Karno, “Romo
Agung, bagaimana, apakah orang yang menjadi duta besar di Vatikan itu
harus orang yang tidak menikah?” Jawabannya tentu saja tidak; duta besar
di Vatikan itu juga boleh menikah. Orang-orang pada waktu itu, termasuk
Bung Karno, sering memanggilnya dengan sebutan Romo Agung, walaupun
ia mengaku sebenarnya lebih suka dipanggil romo saja.
Apa y ang di a kenang dari tanah Vatikan?
Pelantikannya sebagai kardinal. Ia dilantik di Kapel Sistina, sebuah kapel
indah di dalam kompleks Basilika St. Petrus, Roma. Pengangkatannya
menjadi kardinal berbarengan dengan pengangkatan beberapa kardinal
lainnya, di antaranya Kardinal Karol Wojtyla dari Polandia, (yang kelak
menjadi Paus Yohanes Paulus II). Satu hal yang lain lagi, pada tahun 1978,
ketika berlangsung konklaf, untuk memilih pengganti Paus Yohanes Paulus
I (yang hanya bertakhta selama satu bulan), Kardinal Darmojuwono duduk
persis di samping Kardinal Karol Woytilla. Sejarah kemudian mencatat
bahwa Wojtyla yang orang Polandia itu akhirnya terpilih sebagai Paus baru
dengan nama Yohanes Paulus II. Pada 25 Agustus 1978, dia juga hadir dan
ikut dalam pemilihan serta penobatan Paus Yohanes Paulus I. Kemudian,
16 Oktober 1978, dia juga hadir dan ikut dalam pemilihan dan penobatan
Paus Yohanes Paulus II. Dia juga pernah menjadi anggota Departemen
Inkulturasi Liturgi dan Departemen Non-Kristiani yang membidangi
agama-agama non-Kristiani. Dia juga pernah menjadi anggota Departemen
Sakramen. Setiap kardinal juga memperoleh sebuah gereja khusus di Roma,
yang sering disebut Gereja Titel Kardinal. Dengan demikian, semua kardinal
mempunyai ikatan khusus dengan Dioses Roma. Gereja Titelnya sendiri
terletak di salah satu jalan yang ramai, yakni Via Del Carso No. 45.
Bagaimana kehidup an dan ke s ibukan di ma s a
p ens iunny a?
Setelah enam belas tahun menjadi Uskup Agung Semarang, Darmojuwono
meminta mengundurkan diri kepada Tahta Suci Vatikan pada Januari 1980.
Alasannya, keadaan kesehatannya tidak lagi mengizinkan dirinya mengurus
keuskupan yang semakin berkembang itu. Permintaan itu baru dikabulkan
Paus setahun kemudian. ‘’Saya tidak ingin tergolek begitu saja, seperti dalam
museum. Saya tidak bisa menganggur,’’ Begitu pengakuannya. Oleh karena
itu, lepas dari jabatan sebagai uskup agung, rohaniwan sederhana ini tetap
menyibukkan diri. Ia bangun pagi-pagi, membaca surat kabar Kompas, Suara
Merdeka, dan majalah Time. Itulah caranya mengatasi kesepian. ‘’Kalau
tidak ada kerja, saya merenung, bersemadi, kadang berkorespondensi, atau
mengunjungi umat dengan berjalan kaki, hitung-hitung sambil berolah raga.”
Sesekali, ia juga memberi konferensi bagi para suster-suster Fransiskanes
(OSF), yang sudah berusia senja, 70-80 tahun. Jelasnya, bangun pagi adalah
kebiasaan rutinnya, karena pukul 05.00 dia harus mempersiapkan misa
untuk umat. Setelah selesai, lalu dia membaca koran dan buku-buku, sampai
makan siang. Setelah makan siang, dia beristirahat sebentar. Pukul 14.30 dia
sudah siap menerima tamu lagi dan menyelesaikan pekerjaan yang belum
rampung. Pada malam hari, biasanya dia habiskan dengan membaca buku
sampai pukul 21.00, lalu menonton siaran “Dunia dalam Berita” TVRI.
Kemudian istirahat.
Memang, tatkala memasuki masa pensiun dan berpindah ke
Banyumanik, dia tidak membawa apa-apa. Semuanya masih ditinggal
di keuskupan. Bahkan pakaian kardinal juga masih tersimpan di sana.
Selama tinggal di Banyumanik, dia sering menjadi langganan orang-orang
yang minta sumbangan dan bantuan. Katanya, “Yang rutin saja, setiap
bulannya, ada lima organisasi sosial yang datang. Saya memang tidak bisa
memberi sumbangan banyak. Paling-paling cuma Rp 2 ribu sampai Rp 3 ribu
per organisasi. Karena memang saya tidak kaya. Selain itu, ada juga orangorang
yang secara pribadi datang kepada saya, meminta bantuan. Ada yang
minta bantuan untuk membayar uang sekolah anaknya, ada yang terdampar
lalu minta sangu untuk ongkos pulang. Kalau cuma minta sangu atau minta
sumbangan, kalau memang itu sungguh-sungguh, ya saya beri. Pernah datang
seseorang yang mengaku anggota DPR. Pada saya, ia mengaku mobilnya rusak
menabrak pohon, kehilangan barang ini dan itu, dan kehabisan uang. Dia
minta uang bensin untuk perjalanan dari sini ke Cirebon. Lalu saya suruh
menghitung berapa liter habisnya bensin buat perjalanan dari sini ke Cirebon,
dan berapa uang yang dibutuhkan untuk sangu. Waktu itu dia minta duit
sekian puluh ribu. Ya, saya kasih saja. Eee, ternyata dia itu penipu. Tapi kan
tidak semua orang yang datang kepada saya itu menipu? Andaikata ada yang
menipu, toh tidak banyak juga. Kan lebih baik ditipu, daripada menipu?”
Saat memasuki masa pensiun, waktunya juga lebih banyak terpakai
untuk membaca buku. Ia membeli buku sendiri dari toko. Setiap ada buku
baru yang bagus, dia pasti membelinya. Ruang pribadinya merupakan ruang
kerja sekaligus perpustakaan. Dia senang membaca buku-buku masalah
sosial, buku tentang pergerakan suatu bangsa, juga tentang pergerakan agama
seperti DI/TII. Untuk menulis buku, dia mengakui sudah tidak sanggup
lagi. Dia dari dulu juga lebih sering menulis naskah pidato atau makalahmakalah
untuk seminar. Biasanya mengenai masalah pendidikan, sosial,
agama, dan kependudukan. Kardinal Justinus Darmojuwono sendiri wafat
pada tanggal 3 Februari 1994, dan dimakamkan di Makam Muntilan.
Beberapa pernyataan dari Kardinal
Darmojuwono y ang baik untuk kita ingat?
Menurut Rm. Sumaryo, ketika menjadi Ekonom KAS, dia belajar banyak
soal kejujuran dalam pengurusan atau pengelolaan harta benda dari sosok
seorang Justinus Kardinal Darmojuwono, Pr. Ketika kardinal meninggal,
dan ia diminta membongkar kamar almarhum, ia terkesan dengan ketertiban
dan pengelolaan uang yang dilakukan Bapak Kardinal, antara lain semua
pemasukan dan pengeluaran uang dicatat setiap hari, misalnya biaya cukur,
biaya bayar jalan tol, biaya membeli obat nyamuk, penerimaan stipendium,
“dana pensiun” sebagai Uskup, dan seterusnya. Bahwa hal itu dikerjakan
setiap hari tampak terlihat dalam tulisan tangan. Atau juga, ketika Kardinal
hendak berpindah ke Banyumanik dan Keuskupan Agung Semarang berniat
memberikannya mobil, dia malahan dengan lembut menolaknya. Katanya,
“Kalau saya mau ke Semarang, bisa jalan kaki lalu naik angkutan umum.”
Masih banyak lagi hal baik, yang bisa dipetik, tapi kali ini saya hanya
mengangkat empat pernyataan beliau sebagai berikut.
Pernyataan yang pertama, “Sesungguhnya, baptis itu tidak dapat
menjamin seseorang untuk naik surga. Tatkala saya masih belajar di Seminari,
dilaksanakan Natalan yang bagus sekali. Kalau ibu saya (waktu itu belum
dibaptis), menyaksikan peristiwa itu, tentu saja, tidak akan bisa merasakan
dan menghayatinya. Karena, ya, dunianya lain. Tapi, kalau ada surga, tentu,
ayah dan ibu saya naik surga. Tidak hanya saya yang mengatakan bahwa ayahibu
itu orang baik. Para tentangga, dulu, menyanjung ayah-ibu saya memang
orang baik. Hampir semua tetangga saya beranggapan demikian. Jadi, bagi
saya, Kerajaan Allah bukan hanya ikut Gereja. Kerajaan Allah adalah untuk
siapa saja yang melakukan kehendak Allah. Kalau orang itu baik dan berbudi
luhur, tentu, akan masuk Kerajaan Allah. Yang dilihat Tuhan itu bukan yang
sorbanan, bukan pula yang jubahan, tapi hati yang berkenan. Kerajaan Allah
lebih luas dari agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan lainnya.
Karena Tuhan tidak bisa diukur dengan semua itu. Apakah semua orang yang
ke gereja masuk surga? Kok, enak. Kok koyo ono karcis neng suwargo! (Kok, enak.
Kok, seperti ada tiket masuk surga!) Artinya, ya, semua itu, yang penting hati.
Jika orang sungguh berbudi luhur, berbuat baik, sudah melaksanakan kehendak
Tuhan, itu berarti sudah “dipermandikan” secara batin. Ia juga berhak masuk
surga. Sebaliknya yang secara formal beragama dibaptis segala macam, pakai
atribut ini itu segala macam. Namun, praktiknya sehari-hari menyeleweng dari
nilai-nilai susila. Lha, yang demikian, apa ya, berhak masuk surga?”
Pernyataan pertama ini mungkin tak lepas dari konteks waktu
Darmojuwono menjadi Kardinal. Adanya fakta bahwa Peristiwa G30S
baru saja terlewati dan adanya ketentuan pemerintah RI bahwa semua
orang harus memeluk salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah.
Juga gencar-gencarnya pembangunan dijalankan. Di sinilah Justinus
Kardinal Darmojuwono memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap
kemanusiaan. Kepedulian tersebut ia ungkapkan dengan melarang orang
Katolik untuk terprovokasi atau ikut bertindak dalam pembunuhan massal
yang kemudian terjadi. Beliau juga meminta Presiden (saat itu Soeharto)
untuk memperlakukan para keluarga orang yang disebut komunis dengan
adil. Selain itu, ia juga disibukkan dengan gelombang perpindahan
masuk agama menyusul ketentuan yang dibuat pemerintah. Justinus
Kardinal Darmojuwono ingin umatnya memeluk agama Katolik dengan
sesungguhnya, dan ini menjadi bagian penting dari programnya terlebih lagi
karena generasi itu adalah generasi Katolik Indonesia pertama yang akan
menentukan generasi Katolik di Jawa ke depannya.
Pernyataan yang kedua, “Sering saya katakan, dalam berbagai
kesempatan, jangan sampai ada kejadian seperti zaman dulu, sewaktu sebuah
gereja dibangun oleh para imam sendiri, bahkan oleh para imam asing. Jangan
sampai ada “gereja tiban”: tanpa berbuat apa-apa jadi gereja besar. Akibatnya,
nanti kalau ada atapnya yang bocor, kalian tidak bisa naik membetulkannya.
Buatlah gereja dari usahamu sendiri. Gereja berbentuk rumah biasa, itu juga
baik. Supaya nanti kalau rusak, kalian bisa memperbaiki sendiri. Ini lebih
bermanfaat karena keluar dari keringat sendiri, bukan?”
Pernyataan yang ketiga, “Masalah kawin campur bisa terjadi asal dengan
cara yang baik. Artinya, kelak bisa menjadi keluarga yang baik. Jangan
sampai nanti cerai, dan sebagainya. Toh, dalam kehidupan, masyarakat itu
campur. Jadi, kawin campur itu sangat mungkin terjadi. Sangat bisa terjadi,
orang Katolik kawin dengan orang Islam, tapi hanya satu untuk selamanya.
Tidak boleh berpoligami. Tidak boleh ada istri kedua, ketiga, apalagi cerai.
Bagaimanapun, perceraian itu tidak akan membahagiakan. Ini sungguhsungguh
sangat perlu dipertimbangkan dan diteliti dahulu, supaya nantinya
tidak terjadi perceraian. Saya bisa memberi dispensasi kawin campur sehingga
kawin campur bisa dilaksanakan di Gereja. Tidak ada kewajiban membaca
“syahadat” Katolik, apalagi masuk agama Katolik, bagi calon istri atau suami
yang bukan Katolik itu. Kalau dia mau masuk Katolik, ya harus belajar dulu.
Setahun dua tahun, itu baru bisa. Kalau hanya datang, terus masuk, itu tidak
ada artinya. Agama harus sungguh-sungguh dihayati. Meskipun tidak punya
agama, kalau memang hatinya baik, mati, masuk surga. Kerajaan Allah lebih
luas daripada agama.”
Pernyataan yang keempat, “Saya pernah mensinyalir adanya dua kelompok
manusia yang berbeda mencolok dari latar belakang sosial ekonominya, tetapi
bisa sama-sama melupakan Tuhan. Golongan pertama: orang-orang yang
kaya, mereka sibuk memikirkan harta sehingga kerap melupakan Tuhannya
dan lupa kepada sesama manusia. Golongan kedua: orang-orang yang miskin,
mereka sibuk memikirkan perut sehingga lupa berdoa, lupa kepada Tuhan dan
sesamanya.”
Ssst, bagaimana dengan kita?
Semoga berguna!
Peristiwa-peristiwa dalam hidupny a :
Penanggalan Usia Peristiwa
2 Nov 1914 0 lahir di Godean, Yogyakarta
25 May 1947 32.6 Ditahbiskan sebagai Imam Keuskupan
Agung Semarang
10 Dec 1963 49.1 Ditetapkan sebagai Uskup Agung
Semarang
6 Apr 1964 49.4 Ditahbiskan sebagai Uskup Agung
Semarang
8 Jul 1964 49.7 Ditetapkan sebagai Uskup Militer di
Indonesia
26 Jun 1967 52.6 Diangkat menjadi Kardinal
26 Jun 1967 52.6 Ditetapkan sebagai Kardinal-Imam dari
SS. Nome di Gesu e Maria in Via Lata
3 Jul 1981 66.7 Pensiun sebagai Uskup Agung Semarang
1982 67.2 Pensiun sebagai Uskup Militer
3 Feb 1994 79.3 Wafat

NOVENA SANTA CLARA



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
NASKAH NOVENA ST CLARA DAN SKETSA KISAH HIDUPNYA.
Pergilah dalam damai; engkau telah mengikuti jalan yang benar; pergilah dengan penuh keyakinan, sebab Pencipta-mu telah menguduskanmu, telah memeliharamu terus-menerus, dan telah mengasihimu dengan segala kelembutan bagaikan seorang ibu terhadap anaknya. Oh Tuhan, terberkatilah Engkau karena telah menciptakan aku.
St. Klara Assisi
Go in peace; you have followed the good way; go in confidence, because your Creator has sanctified you, has cared for you constantly, and has loved you with all the tenderness of a mother for her child. O God, blessed be You for having created me. — St. Clare of Assisi
-----------------------
DOA IBU KLARA YANG SUCI
PADA SAKRAMEN YANG MAHAKUDUS
Tuhan, jangan sampai jiwa-jiwa orang beriman yang menyerahkan diri pada-Mu, terlempar pada kemarahan setan-setan. Berilah perlindungan bagi para perawan hamba-Mu, yang telah engkau tebus dengan darah-Mu yang maha kasih.
Santa Clara yang wafat pada 11 Agustus 1253, diketahui memiliki karunia “vision” (penglihatan) misalnya saat St. Fransiskus wafat – Clara bisa menyaksikan sahabat yang dikasihinya itu wafat padahal terpisah dengan jarak kira-kira 400 km. Dan karena itulah ia dinobatkan sebagai santa pelindung bagi mereka yang memiliki penyakit/gangguan pada mata.
Di bawah ini dilampirkan naskah DOA NOVENA ST CLARA. Dapat dipergunakan untuk mempersiapkan diri merayakan Hari Raya Santa Klara tgl 3 – 11 Agustus atau pada kesempatan-kesempatan yang lain.
Pada mulanya naskah ini diterbitkan bagi para religius anggota Ordo Santa Klara, atas permintaan salah seorang puteri mereka sebagai ungkapan syukur atas rahmat yang mereka terima berkat novena ini.
Karena bahannya diambil berdasarkan pada kaul-kaul meriah, pastilah hal itu sesuai dengan para religius yang bersifat pingitan kepausan.
Kendati dimaksudkan sebagai persiapan bagi pesta St. Klara dari tgl 3 hingga 11 Agustus, novena ini dapat dipergunakan juga pada kesempatan lain selama sembilan hari berturut-turut.
Novena ini bisa diadakan di gereja atau kapel atau ruang doa atau di hadapan patung St. Klara, dan setiap renungan dan sapaan ditutup dengan 5 x Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaan, disertai dengan antifona dan doa dari St. Klara.
1.
HARI PERTAMA
St. Klara menghinakan semua keduniawian; dia membiarkan rambut kepalanyanya dicukur dan mempersembahkan diri sebagai Pengantin Ilahi di depan altar Santa Perawan Maria.
St. Fransiskus memberikan jubah Ordo kepadanya
Renungan
Juga dalam hidup rohani, suatu permulaan yang baik sangatlah penting; untuk sebagian, hal itu mempermudah dan meneguhkan tugas-tugas kehidupan kita. Mereka yang memperoleh keistimewaan telah mendapatkan pendidikan dalam hal takut akan Tuhan pada masa mudanya, biasanya senantiasa dipenuhi dengan ketakutan yang penuh rahmat ini sampai pada hari kematiannya.
Bagi kita hal itu diperkuat oleh Kitab Suci: orang tidak akan menyimpang dari jalan yang telah dilaluinya sejak masa mudanya. Si penabur menentukan sendiri apa yang dia panen.
Semenjak masa kanak-kanaknya, Klara telah bertekun dalam pengabdiannya kepada Tuhan. Dan sejalan dengan bertambahnya tahun-tahun umurnya, di dalam dirinya pun bertumbuh kesalehannya. Ketika selanjutnya dia berkenalan dengan Fransiskus, dia lalu
mengambilnya sebagai bapa pembimbingnya.
Berkat dorongan semangat dari Fransiskus, Klara pun meninggalkan segala sesuatu demi mengikuti Kristus dalam Jalan Salib-Nya. Dan hal itu dilakukannya dengan radikal. Dia meninggalkan rumah orang tuanya. Dia tanggalkan rambutnya yang lembut terurai itu dan pada malam Hari Minggu Palma dengan sepenuh hati dia mempersembahkan di depan altar, yang diberkati bagi Ratu Para Malaikat, cinta keperawanannya kepada Yesus, sang Pengantinnya. Dan setelah pakaian indahnya digantinya dengan pakaian yang miskin, dia pun menarik diri dari dunia untuk hidup dalam ketersembunyian sebuah biara.
Para pengantin Yesus adalah sekaligus perawan dan ibu. Mereka adalah perawan berkat kemandulan badani yang mereka lakukan dengan bebas; mereka adalah ibu berkat kesuburan rohani, yang memberikan kepada hidup mereka anak-anak rohani.
Generat virgo filias, Perawan telah melahirkan banyak anak perempuan.– Sekarang ini, puteri-puteri rohani St. Klara menjadi sedemikian tak terhitung lagi, sehingga dia, setelah Bunda Tuhan, menjadi yang paling subur dan paling penuh kemuliaan di antara semua ibu rohani yang ada.
Sapaan kepada Ibu Klara:
Betapa patut diteladani, bagaimana engkau telah meninggalkan dunia, demi menjadi putri pertama dari bapa orang-orang miskin. Betapa menariknya langkah-langkahmu yang pertama pada jalan kemiskinan dan matiraga. Quam pulchri sunt gressus tui, betapa indahnya langkah-langkahmu itu! Dan dengan langkah yang tegap engkau maju terus pada jalan itu sampai pada pengosongan diri sepenuhnya.
Maka, pada persimpangan jalan hidupmu, penyangkalan radikalmu terhadap dunia itu tidak lain merupakan langkah selanjutnya yang konsisten dari penyangkalan batinmu terhadap hal-hal duniawi dan fana, sehingga dalam pergaulanmu dengan Tuhan, dalam sikap kanak-kanak dan perawan, lambat laun hal-hal duniawi dan fana itu kehilangan daya tariknya.
Secara batiniah engkau telah melepaskan diri dari hal-hal yang menyenangkan manusia di dunia: dari rambut kepalamu yang indah terurai dan dari pesona indahnya pakaian para bangsawan. Ketika Tuhan memanggilmu untuk melepaskan diri dari keduanya, makahal itu pun merupakan kebahagiaan bagimu. Dengan jalan itu engkau boleh mempersembahkan keperawananmu kepada Pengantin Ilahimu. Selanjutnya, dalam pakaianmu yang miskin sederhana itu, kecantikan batinmu pun akan berkenan pada-Nya.
Juga berlaku bagi panggilan kami dalam Ordo yang telah engkau dirikan ini, apa yang pernah dikatakan Kristus kepada para murid-Nya: “Bukan kamu yang telah memilih Aku, melainkan Akulah yang telah memilih kamu”.(Yoh 15:16)
Betapa sering, mungkin kami telah berpikir-pikir perihal suara suci dari Tuhan, yang telah membuat kami meninggalkan semua hal demi untuk mengikuti-Nya. Yang seorang sudah mendengar suara itu dalam doa-doa yang saleh dari ayah dan ibunya untuk dapat mempersembahkan salah seorang anaknya kepada Tuhan. Bagi yang lain, suara itu merupakan sebuah pengingkaran atas kesenangan-kesenangan duniawi. Yang lain lagi pada mulanya telah membuatnya berjuang seperti Yakob yang telah bergumul melawan malaikat. Tetapi bagi semuanya, mengikuti suara tersebut sungguh merupakan hal yang manis memukau. Pastilah, kenang-kenangan yang manis dari masa-masa bayi kehidupan membiara kami, telah berkembang bersama-sama dengan pertumbuhan jiwa kami.
Dalam anggaran dasarmu, engkau telah dengan cermat menggariskan apa yang telah diminta oleh Tuhan dari mereka yang mau mengikuti-Nya tanpa syarat dalam kemiskinan, ketaatan dan kemurnian. Bagi kami, anggaran dasarmu itu merupakan suara dari Yesus sendiri. Karena itu, mintalah bagi kami rahmat, supaya kami, seturut contoh keibuanmu, dapat senantiasa mendengarkan suara Yesus dengan semakin sempurna, sebagaimana telah kami janjikan dalam profesi kami.
Doa
Selanjutnya didoakan
5 kali Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaan,
demi mengikuti contoh St. Klara dalam hormatnya kepada sengsara Tuhan dan Sakramen Yang Mahakudus.
Sesudah itu Antifon:
Salve Sponsa Dei, Virgo Sacra, planta Minorum:
Tu vas munditiae, tu praevia forma Sororum:Clara, tuis precibus duc nos ad regna polorum.
V. Ora pro nobis beata Mater Clara
R. Ut digni afficiamur promissionibus Christi
Oremus:
Famulos tuos qauesumus Domine, beatae Virginis tuae Clarae, votivam commemorationem recensentes coe-lestium gaudiorum sua facias interventione participes et tui Unigeniti cohaeredes. Qui tecum vivit et regnat in saecula saeculorum. Amen.
Salam Pengantin Tuhan, Perawan Suci, tanaman Saudara-saudara Dina: Engkau, tempayan kesucian, engkau contoh hidup bagi Saudari-saudarimu:
Klara, dengan doa-doamu hantarkan kami pada kerajaan orang-orang kudus.
V. Doakanlah kami ya Bunda Klara nan suci
R. Supaya kami layak menikmati janji-janji Kristus.
Marilah berdoa:
Kami mohon kepada-Mu ya Tuhan, buatlah hamba-hamba-Mu ini, yang merayakan peringatan Klara, Perawan Suci-Mu, dapat ambil bagian dalam menikmati kebahagiaan surgawi dan tetap bersatu pada Yang Terlahir dari-Mu, Yesus Kristus, yang hidup dan bertakhta bersama-Mu sepanjang segala masa. Amin.
Di sini ditambahkan seruan:
Terpujilah Yesus Kristus dan Ibu-Nya yang Mahasuci.
(Doa-doa tersebut didoakan juga selama hari-hari berikutnya).
2.
HARI KE DUA
St. Klara mendorong para putrinya
untuk tetap setia pada kemiskinan yang telah mereka janjikan sebagai putri-putri rohani dari seorang ibu yang miskin.
Kemiskinan St. Klara
Renungan
“Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai apa-apa untuk meletakkan kepalanya.” (Mat 8:20). Bagi-Nya kemiskinan merupakan mata uang yang paling jitu untuk memperoleh Kerajaan Surga. Bila orang mengosongkan diri demi memperoleh Kehidupan kekal, maka dia pun akan memperoleh harta dalam Surga.
Anak muda yang dinasehati oleh Yesus mengenai hal ini, telah mengundurkan diri (lih. Mrk 10:17-22).
Tidak ada yang lebih mudah mempesona orang dari pada uang. Kendati demikian, Yesus tidak kekurangan jiwa-jiwa yang mulia dan murah hati, yang, seperti Petrus, telah meninggalkansegala-galanya demi Dia, untuk mengikuti-Nya dalam kemiskinan-Nya. Pada masa perdana Gereja, orang-orang Kristen memandang harta benda mereka sebagai milik bersama.
Namun, bila terjadi pertobatan masal yang melibatkan segenap anggota kelompok masyarakat, maka ketersediaan dan keterbukaan batin bagi Kekristenan tidak jarang juga absen. Bila demikian, maka cita-cita kemiskinan Injili sudah mulai kehilangan daya tariknya dan kesederhanaan Kristen terus menerus didesak oleh kemewahan dan kelimpahan.
Namun, pada saat-saat kehidupan batin Gereja merosot, muncullah – seringkali bahkan dengan campur tangan Tuhan yang nyata – suatu usaha meningkatkannya dengan penghayatan cita-cita yang lebih tinggi. Demikianlah Tuhan telah membuat Fransiskus menghayati kembali kecintaan akan kemiskinan Injili dan membimbing pelaksanaannya dalam Gereja sampai terbentuknya pembaruan kesederhanaan Kristiani. Demikian juga Klara, disemangati oleh Fransiskus, menjalani kemiskinan dan matiraga yang radikal dan dengan jalan itu dia pun menjadi ibu dari para putri rohani yang jumlahnya terus menerus bertambah.
Klara sama sekali tidak pernah malu akan kehidupannya yang miskin. Kemiskinan adalah kekayaan dalam mata Tuhan dan hal itu memberikan sosok nilai yang sama sekali istimewa pada hidupnya. Ketika dia mulai menghuni San Damiano sebagai biaranya yang pertama, dia pun memperdalam fondasinya pada suatu kemiskinan yang radikal: kehidupan dirinya dan semua putri-putrinya hanyalah ditopang pada derma dari para orang beriman. Sri Paus memandang kehidupan yang keras sedemikian itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan menghendaki untuk membatasi kaulnya perihal masalah ini.
Namun dengan penuh kebebasan dan terus terang Klara menjawab bahwa, bila Sri Paus berkehendak memberikan kepadanya suatu keistimewaan, maka hendaknya dia mengijinkan kehidupan yang semacam ini, sambil mohon pengampunan atas segala dosa-dosanya.
Betapa kita, pada gilirannya, menjadi pasti dalam kesucian kita, bila kita dengan kekuatan rahmat Allah, selalu lebih bertarak demi cinta kita kepada Tuhan. Namun betapa kita akan bertambah takut, bila kita menjadi tidak taat pada apa yang telah kita janjikan kepada Tuhan.
Sapaan kepada Ibu Klara:
Beribu-ribu kali terberkatilah, Ibu yang manis, yang dengan penuh kebijak¬sanaan telah memberikan tempat pertama kepada kemiskinan injili di dalam Anggaran Dasar Ordomu. Dengan jalan itu engkau telah memperkenalkannya kepada kami sebagai suatu harta karun yang tak ternilai, yang dapat dipergunakan untuk membeli harta Surgawi.
Mengenai hal ini, saya telah mengambil keputusan menanggalkan diri dari semua hal-hal yang berlebihan. Saya juga mau menekan setiap kerinduan akan hal-hal yang sedemikian itu di dalam diriku sendiri. Karena, sebagaimana dikatakan oleh St. Theresia, memiliki hal-hal semacam itu tidaklah dapat dipersatukan dengan kemiskinan, yang harus menjadi tanda pengenal kehidupan kita.
Demi cinta kepada Tuhan, saya pun mau menanggung segala ketidak-nyamanan yang ditimbulkan oleh kemiskinan itu. Juga dalam segala sesuatu yang sangat diperlukan, saya akan memilih apa yang kurang menarik hati dan yang tidak akan merangsang kecenderungan untuk mencari diri sendiri.
Semakin seorang religius dapat berkekurangan dalam hidupnya, menjadi semakin kayalah baginya dalam kehidupan kekal. Sudah dalam hidupnya di dunia ini dia telah memiliki seratus kali lipat di dalam kasih pada Dia yang bagi-Nyalah religius itu telah meninggalkan segala sesuatu.Dan tanpa Dia, hati insaninya akan tetap dingin dan kosong, kendati berada di dalam kelimpahan hal-hal duniawi.
Doa
Seperti pada hari pertama.
3.
HARI KETIGA
Bila kepada Klara diberitakan kata-kata kehidupan kekal sebagai suatu anugerah, maka dia pun membiarkan diri seutuhnya dipimpin oleh Kebijaksanaan Ilahi.
Kerendahan hati St. Klara
Renungan
Dalam pelajaran sekolah milik Yesus, kerendahan hati merupakan pelajaran yang pertama. “Belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati” (Mat 11:29).
Suatu perbuatan kerendahan hati, yang dilakukan dalam rangka mengikuti Dia, memiliki nilai yang jauh lebih tinggi secara tak terhingga, daripada pengetahuan dan ilmu yang dapat diberikan oleh dunia kepada kita.
Dari semua kebajikan, kerendahan hati merupakan kebajikan yang pertama dan yang paling penting. Dia adalah dasar dan padanyalah bangunan dari kesempurnaan kita harus dibangun. Karena tanpa kerendahan hati, kita membangunnya di atas pasir, yang akan hancur menghadapi badai pencobaan.
Klara yakin sepenuhnya akan hal ini. Kata-kata Yesus ini selalu terbayang di depan jiwanya: “Yang merendahkan diri, akan ditinggikan” (Mat 23:12). Dan berkat ajaran Fransiskus dalam melaksanakan kerendahan hati itu, dia, dalam kesempatan-kesempatan yang dialaminya, menunjukkan bahwa dia secara sempurna memiliki kebajikan yang memikat hati ini.
Selama tiga tahun, dengan teguh hati dia menolak menerima kedudukan sebagai Abdis. Dia hanya menjadi Abdiskarena desakan ketaatannya dan kewibawaan yang ditimbulkannya, hanya dia pakai untuk merendahkan dirinya sendiri. Bila sesama suster-susternya duduk, dia pun tetap berdiri, layaknya seorang hamba yang tetap siap melayani tuan-tuan puterinya. Dia menawarkan diri untuk membersihkan kaki-kaki para putrinya dan dengan kerendahan hati yang dalam, dia mencuci dan mencium kaki-kaki itu.
Semerbak kesuciannya merembes masuk ke dalam istana Kepausan, namun setiap pujian dari kewibawaan yang tinggi itu tidaklah mengakibatkan sesuatu di dalam dirinya, selain kesadaran yang lebih mendalam bahwa hanya Tuhan sajalah yang sedang berkarya di dalam dirinya.
Dalam keyakinan batinnya, kesombongan merupakan induk dari setiap dosa, sebagaimana kebajikan hanya dapat berakar dalam sikap kerendahan hati. Sikapnya yang tetap menempatkan Tuhan pada tempat yang tinggi dalam rahmat-rahmat yang sempat dia terima, hanya dapat dijelaskan dalam rangka kerendahan hatinya yang mendalam.
Sapaan kepada Ibu Klara:
Ibuku yang manis. Di surga engkau telah memperoleh kecantikanmu berkat kerendahan hatimu. Karena hal ini telah menghiasimu dengan mahkota yang tak ternilai dan takkan layu, yang telah engkau raih di dunia ini berkat kerendahan-hatimu. Selama hidupmu di dunia ini, engkau telah memahami sepenuhnya kata-kata sang Guru. “Yang merendahkan diri, akan ditinggikan”(Mat 23:12). Karena itu engkau selalu mengusahakan untuk lebih merendahkan diri dan, di dalam kegiatan-kegitan kehidupan membiara, engkau selalu memilih apa yang paling tidak menarik dan dengan demikian engkau menempatkan diri di latar belakang saja.
Karena itu, saya mohon kepadamu, supaya contohmu yang cemerlang itu mencerahkan jiwaku, sehingga saya pun dapat mendalami kebajikan yang berharga ini. – Padamkanlah percikan api pengagungan diri dalam hatiku, supaya dapat tetap selamanya setia pada semboyan keibuanmu. Matikanlah manusia lama dalam diriku, yang telah terbalut dengan jubahmu yang baru dan karena itu menjadi manusia yang baru.
Karena itu, berkat kasih bagi Yesus Kristus dan mengikuti contohmu, saya mau merendahkan diri sedalam-dalamnya, karenasampai wafat di Salib, Yesus Kristus telah merendahkan diri-Nya bagiku, orang yang tak berguna dan berdosa ini. Demi mencapai tujuan itu, saya mau menerima setiap penghinaan, dan setiap kritik dalam hidupku. Karena kerendahan hati itu terungkap terutama dalam menyerahkan diri pada pandangan, pendapat dan kemauan atasan, maka saya berjanji untuk taat secara buta dengan jalan melaksanakan dengan penuh cinta kasih perintah-perintahnya. Dengan demikian saya mengharapkan dapat mengambil bagian dalam kemuliaan, yang telah ditentukan oleh Tuhan bagi orang yang rendah hati.
Doa
Seperti pada hari pertama.
4.
HARI KE EMPAT
Tanaman kecil dan lemah dari St. Fransiskus telah bercabang-cabang ke seluruh dunia dan menghasilkan buah-buah yang mengherankan. Itu terjadi berkat kemurnian keperawanan yang telah dijanjikan Klara atas dukungan Fransiskus. Dia telah mengembang-biakkan diri dengan keturunan rohani dan tak kan pernah kehilangan kesuburannya.
Kemurnian keperawanan St. Klara
Renungan
Untuk pertumbuhannya, sebatang tanaman selalu membutuhkan pemeliha¬raan dari seorang tukang kebun yang cakap. Supaya benih bertarak keperawanan yang telah bersemi di dalam hatinya dapat tumbuh dan berkembang, maka dia pun dipindahkan ke dalam biara San Damiano oleh tangan Fransiskus yang penuh kasih.
Dan dalam lingkup biara inilah dia memperoleh pertumbuhan dan buah-buah yang sedemikian menakjubkan, sehingga kemudian putri-putri rohaninya menjadi berlipat ganda tak terhitung jumlahnya. Dan tanaman itu pun tak kenal layu, akan tetap tumbuh berkembang dalam hati ibunya dalam penyerahan diri pada Tuhan dengan iman yang kokoh tak terpatahkan.
Dalam nyala semangat anak-anaknya, orang pun masih selalu menemukan kembali pelajaran-pelajaran yang penuh keselamatan dari hati ibu Klara. Kemurnian keperawanan membuat ciptaan lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
Karena itu para perawan yang dipersembahkan kepada Tuhan dapat dibandingkan dengan para malaikat di surga: bahkan hal ini dapat membuat para malaikat itu iri hati pada perawan itu. Juga malaikat-malaikat itu adalah perawan, namun, sebagaimana dikatakan oleh St. Bernardus, mereka itu perawan secara alami; mereka tidak mempunyai tubuh yang menghalang-halanginya. Tetapi mereka yang memiliki tubuh dan telah mempersembahkan keperawanannya, harus terus menerus berjuang melawan kodrat dirinya.
Dalam hal ini para malaikat itu lebih layak, sedangkan para perawan itu telah menimbulkan ketakjuban. Karena itu, seperti dikatakan oleh St. Ambrosius, bila keadaan keperawanan dihormati sebagai kemartiran tanpa darah, hal itu bukanlah karena kemurnian itu sendiri mendapatkan siksaan, tetapi karena hal itu telah membuat orang menjadi martir di dalam perjuangan yang harus dia perjuangkan demi keperawanan itu.
Tetapi, demikian janji Klara pada putri-putrinya, haruslah sedemikian besar upah yang telah dijanjikan Tuhan bagi hati yang perawan dan betapa upah ini mendorong dan memperkuat kita dalam berjuang memperoleh kebajikan yang teguh dan mantap.
Sapaan kepada Ibu Klara:
Kami memberikan salam kepadamu, ya Ibu Klara yang kudus, pengantin dan perawan nan setia dari Kristus, tanaman istimewa dalam kebun Serafin, bejana rohani kemurnian hati, yang menjadi subur berbuah dalam begitu tak terbilang banyak orang dan yang boleh berkembang bagaikan bunga leli tanpa noda, sebagaimana engkau sendiri.
Dalam ajaran-ajaranmu yang suci, engkau telah mengingatkan kami akan upah yang dinantikan oleh para perawan yang bijaksana dalam bangsal pernikahan.
Namun dengan penuh ketakutan aku pun berpikir akan perawan-perawan yang bodoh, yang karena ketidak-setiaan mereka pada Pengantin Pria yang perawan itu, harus dihukum di dalam sebuah neraka kekal karena kelekatan mereka pada dosa.
Karena itu aku pun mohon kepadamu, hendaklah berkat pemeliharaan keibuanmu, saya selalu dijauhkan dari apa saja yang akan memikat panca inderaku. Palingkanlah mataku dari apa saja yang dapat merangsang kesia-siaanku.
Averte oculos meos ne videant vanitatem.Pada pihakku sendiri, saya kerap terlena dalam kesenangan indrawi, tenggelam dalam hal-hal yang merangsang perasaanku. Saya berniat untuk tidak berbicara perihal hal-hal yang berbahaya. Sudah menjadi keputusanku untuk, dengan bantuan Tuhan, tetap berjaga, dan berjuang supaya, melalui kemartiran tanpa darah, dapat diperbolehkan memperoleh mahkota keperawanan.
Doa
Seperti pada hari pertama.
5.
HARI KE LIMA
St. Klara melakukan pertobatan yang bagi dirinya sendiri meluruskan jalan ke arah Tuhan dan bagi dunia merupakan contoh cemerlang akan kesederhanaan dan keugaharian.
Sikap Pertobatan St. Klara
Renungan
Sikap pertobatan merupakan tindak penolakan akan dosa dan tindak matiraga demi hukuman-hukuman denda yang sudah selayaknya dia tanggung.
Kendati dosanya sudah diampuni oleh Tuhan, namun bagi manusia masih tetap ada kenyataan bahwa dia telah tersesat. Dia masih tetap harus menyesali hal itu dan bila Tuhan telah melepaskan tangan-Nya yang menghukum, manusia masih harus menghukum dirinya sendiri.
Sikap pertobatan akan membuat orang menghindarkan diri dari dosa. Hal itu berarti bahwa di dalam diri kita harus terdapat ketakutan yang hidup dan dihayati seperti anak-anak, untuk tidak menghina Tuhan dan mengekang kecenderungan alami pada dosa, dengan jalan matiraga secara suka rela, sebagaimana dikatakan oleh Paulus: castigo corpus meum et in servitutem redigo: ‘Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya’ (1 Kor 9:27).
Karena itu, kehidupannya yang murni dan tak bernoda – yang kita kagumi ada dalam diri Klara – merupakan sebab yang terdalam bagi pertobatannya. Dalam ketakutannya akan dosa yang sekecil apa pun, dia tidak berhenti mendera dan menyiksa tubuhnya yang lemah itu. Demikianlah dia menyalibkan kodratnya yang penuh dosa, demi menyerupai Dia, yang telah menebus dosa-dosa kita dengan menyalibkan tubuh-Nya yang tak bercela itu.
Selama masih hidup di dunia, di bawah pakaiannya yang mewah itu, Klara mengenakan pakaian kasar. Dan untuk mematikan cita rasa akan hal-hal yang enak-enak, dia berpantang diri akan bumbu-bumbu rempah-rempah yang lezat-lezat. Secara diam-diam dia memberikannya kepada orang-orang miskin dan khususnya kepada makhluk-makhluk yang renta.
Selama hidup membiaranya, dia mengenakan jubah yang dibuat dari bahan yang kasar, dan berikat pinggang dengan seutas tali dengan tiga belas simpul. Dia berjalan dengan kaki telanjang dan dia tidur berkasurkan setumpuk carang-carang batang anggur. Setengah tubuhnya ditutupi dengan pakaian tapa terbuat dari bulu onta dan ikat pinggang pertobatan. Pakaian pertobatan semacam itu dia kenakan selama empat puluh tahun. Bahkan seorang yang sehat dan kokoh tidak akan tahan mengenakan itu semua kendati hanya selama beberapa hari.
Dia menjalani masa Adven dan masa Puasa dengan hanya makan roti dan air, serta berpantang dari rempah dan bumbu mana pun pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Di samping itu, selama dua puluh delapan tahun dia menanggung segala macam ketidak-nyamanan dengan wajah yang selalu penuh kegembiraan, karena baginya tidak ada hari yang lebih indah, dari pada hari-hari saatTuhan mengunjungi manusia.
Sapaan kepada Ibu Klara:
Ibuku yang suci, betapa malunya aku, bila aku merenungkan cara hidupmu yang keras itu. Surga telah menganugerahimu dengan berbagai macam berkat dan jiwamu menjadi murni tak bercela. Kendati demikian engkau tidak henti-hentinya menyakiti dan menyalibkan ragamu bagaikan pendosa yang terbesar. Kelelahan karena berjaga malam, tidak tidur, telah membuat tubuhmu tidak mampu lagi untuk bangkit.Kendati demikian engkau tetap bermati raga secara badaniah dengan berpuasa, mengenakan pakaian pertobatan dan ulah tobat yang berat.
Engkau pun memohon kepada Tuhan, supaya Tuhan berkenan mengijin¬kanmu ambil bagian dalam Salib-Nya yang berat itu, tetapi ijinkanlah saya merindukan, agar Tuhan, untuk beberapa saat saja, membuat keajaiban bagiku: yakni membebaskan daku dari penderitaan badaniah yang tak seberapa. Betapa besar tanggung-jawab yang akan kutanggung pada saat kematianku, bila saja saya tidak mampu menghargai hal itu.
Karena itu saya memutuskan, dengan rahmat Tuhan, untuk memikul salib pertobatan dengan penuh ketabahan. Saya mau menguasai kecenderunganku untuk mencari yang mudah-mudah saja dan dengan jalan mati raga memberikan silih pada apa yang telah saya lakukan secara keliru selama hidupku.
Pertobatan menutup pintu neraka dan membuka pintu surga.
Hai neraka, betapa mengerikan engkau! Hai Surga, betapa engkau mempesona!
Ibuku yang suci, hindarkanlah aku dari neraka dan,demi Belaskasihan Tuhan, perolehlah bagiku surga.
Doa
Seperti pada hari pertama.
6.
HARI KE ENAM
Dalam cintanya pada Salib, St. Klara mengajari putri-putri rohaninya untuk bersama dia meratapi Yesus yang tersalib.
Devosi St. Klara terhadap Sengsara Suci
Renungan
Klara mendengarkan suara Tuhan dan menyucikan dirinya pada siraman rahmat-Nya. Demikianlah Tuhan menuntunnya untuk memberikan bimbingan, terutama melalui contohnya.
Demi menyucikan dirinya sendiri, dia mencari kekuatan dalam cintanya kepada Yesus yang tersalib. Dalam hal ini pun dia membimbing khususnya putri-putri rohaninya.
Karena kecintaannya pada Salib, maka dalam saat-saat ekstase rohaninya dia lebih suka tinggal di Golgota.
Didorong oleh cucuran air mata dan berkat kekuatannya yang menguduskan, Klara mendorong putri-putri rohaninya untuk mencari perlindungan dalam luka-luka Yesus. Dalam cintanya pada Salib terletak juga penolakannya atas manusia lama yang berdosa dan dalam matiraganya yang terus menerus diperbarui, dia lambat laun mengubah orang-orang lain menjadi orang-orang yang diperbarui dalam Yesus Kristus.
Sering kali dia juga tinggal di taman Getsemani. Sambil mencari apa yang baginya pahit bagaikan mur, dicampurnyalah – demi untuk mengurangi penderitaan Yesus – air mata kepedihannya sendiri dengan keringat kematian Tuhan Yesus Kristus.
Di ruang pengadilan Pontius Pilatus, tampaklah di depan Klara anggota-anggota tubuh Yesus, kendati tidak bersalah, terkoyak-koyak oleh hantaman cambuk. Kepala yang dimahkotai duri telah menyobek hatinya. Demikian juga segala macam penderitaan-Nya sangat menyakiti hati Klara. Salib menjadi bahan pembicaraannya sehari-hari. Dia mengetahui hal itu dari kitab Wahyu Santo Yohanes sebagai sebuah buku yang dimeteraikan dengan tujuh meterai, yang di dalamnya ada tertulis nama-nama jiwa-jiwa terpilih dan yang ditebus dengan Darah-Nya.
Sebagaimana Paulus di antara orang-orang Korintus hanya mengenal Kristus yang tersalib, demikian pula Salib merupakan pengetahuan Klara yang tertinggi dan satu-satunya. Non enim judicavi me scire aliquid inter nos, nisi Jesum Christum et hunc crucifixum: “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1 Kor 2:2)
Sapaan kepada Ibu Klara:
Air mata manis dari Klara mengajar saya untuk meratapi sengsara Tuhanku Yesus Kristus. Dan pengajaran yang menyelamatkan ini tertera dalam di hatiku, bahwa siapa yang ingin mengambil bagian dalam Kerajaan Surga, harus juga mengambil bagian dalam perjalanann-Nya yang penuh penderitaan menuju ke Kalvari.
Hanya melalui jalan inilah orang dapat merayakan kemenangan atas segala kesulitan hidup. Dan bila orang menyimpang dari jalan ini, akan terjerumus ke dalam jurang.
Mengikuti contohmu, ya Ibu yang suci, saya hanya akan melalui jalan yang penuh dengan mur yang pahit dan bersama denganmu di depan, saya pun akan menemukan bahwa kami pertama-tama harus berubah rupa bersama dengan Yesus di gunung Tabor, bila kamidalam sebuah permenungan yang sungguh-sungguh akan penderitaan Yesus, menyerupakan diri pada-Nya dalam penderitaan-Nya.
Mohonkanlah bagiku pada Yesus yang begitu engkau cintai, supaya Yesus sudi datang tinggal dalam hatiku dan berkat luka-luka-Nya yang kudus, saya dapat menangkal apa pun jua yang akan memisahkanku dari Yesus.
Semoga paku-paku yang telah menembusi tangan dan kaki-Nya, memakukan saya juga pada salib-Nya untuk selamanya, sehingga Sang Penyelamatku yang tersalib itu akan tetap hidup di dalam diriku. Semoga duri-duri, yang telah melukai kepala-Nya itu, juga menancap pada hatiku, supaya hatiku dapat sepenuhnya menyatu dengan Yesus karena sudah meninggalkan setan. Semoga anggur asam yg telah membasahi bibir Yesus, menetesi bahkan kesenangan dan hiburanku yang paling wajar sekalipun.
Ibuku yang baik hati, mohonkanlah bagiku kebahagiaan itu, sehingga saya layak untuk disebut putrimu yang sejati.
Doa
Seperti pada hari pertama.
7.
HARI KE TUJUH
Ketika kota Asisi dikepung oleh tentara-tentara Sarasin dan biara St. Klara terancam oleh orang-orang yang bengis itu, maka, berkat doa-doa dan air matanya, Klara memperoleh anugerah: berhasil mempertahankan biaranya dan membebaskan kota Asisi itu sendiri.
Devosi Kepada Sakramen yang Mahakudus
Renungan
Yesus yang secara nyata dan sesungguhnya hadir dalam Sakramen Yang Mahakudus merupakansumber kehidupan dan kesucian. Dia hadir di sana bagaikan sebuah tungku cinta yang menyala-nyala. Dari sanalah semua orang kudus Gereja Tuhan telah menimba nyala dan kehangatan cinta mereka.
Dalam kebajikan-Nya yang dalamnya tak terduga itu, Yesus adalah sekolah kehidupan bagi semua orang kudus. Dia adalah kebahagiaan mereka yang tertinggi dan tak terbagikan. Mereka telah Dia penuhi dengan rasa muak terhadap kenikmatan duniawi yang penuh dosa. Dia adalah keselamatan mereka dalam perjuangan mereka melawan kekuatan-kekuatan neraka. Dia sepenuhnya memiliki segala sesuatu yang dapat dimohon dan diterima oleh semua orang kudus itu.
Sejak saat masa mudanya Klara telah diresapi dengan devosi yang besar pada Sakramen yang Mahakudus. Sudah sebagai anak-anak dia merasa diri tertarik pada Yesus dan dengan bertambahnya tahun-tahun umurnya, semakin besarlah kebahagiaan yang dialaminya bila berada bersama dengan Yesus.
Begitu dia tinggal di San Damiano, maka gereja biara itu pun menjadi tempat kediamannya yang paling indah. Selama berjam-jam, sampai jauh malam, berlututlah dia di depan tabernakel, untuk menunjukkan cintanya kepada-Nya yang hadir dalam rupa Sakramen.
Kendati dia sendiri miskin, namun Yesus dalam gereja-Nya tidak boleh kekuarangan sesuatu pun. Bahkan pada tempattidur semasa sakitnya pun dia tetap memintal, menjahit dan membordir untuk Yesus.
Maka, ketika kota Asisi dikepung oleh orang-orang Sarasin, demikian juga biara Klara terancam oleh mereka itu, bergegaslah dia bersama dengan para putrinya ke gereja untuk mohon pertolongan pada Raja segala raja.
Dan ketika dia mendengar dari Tabernakel kata-kata “Aku akan menolongmu”, maka dibukanyalah tabernakel itu dengan penyerahan diri yang tinggi, diambilnya Sibori Kudus dalam tangannya dan diulurkannya tangan yang memegang Sibori itu untuk mengusir orang-orang Sarasin itu. Dan Yesus pun berbuat sesuatu baginya, karena seketika itu juga orang-orang yang ganas itu merosot tanpa daya dari tembok kota yang sedang mereka panjat.
Perayaan Misa Kudus juga setiap hari memberikan suatu semangat yang baru. Beberapa kali dia diperkenankan menyaksikan Yesus dalam Hosti Kudus.
Dalam kesadaran akan kedinaan dan ketidak-layakannya, dia pun berkeberatan menerima Raja Besar itu dalam hatinya, tetapi bukankah Raja itu adalah Pengantin Prianya.
Karena itu pun Klara meraih-Nya dengan cintanya yang menyala-nyala, yang nampak dalam sinar matanya, dalam pancaran rohani seluruh keberadaannya. Sedemikian dalam dan kuatnya kerendahan hati dan cintanya akan devosi pada Sakramen Mahakudus, sehingga seluruh hidupnya, sepenuhnya berada di antara para Kudus Tuhan.
Sapaan kepada Ibu Klara:
Ibu yang kudus, betapa saya harus malu, bila saya menyadari persiapanku untuk menyambut Sakramen Yang Mahakudus. Kendati saya tidak usah terpana sampai meneteskan air mata seperti engkau, namun saya haruslah merindukan Yesus dengan cinta dan kegembiraan kudus. Kendati demikian, betapa hatiku, yang dijadikan tempat tinggal oleh Yesus, sering kali dingin dan bebal.
Tetapi, mengapa dalam diriku hanya menyala begitu sedikit cinta kasih yang telah menyerap engkau itu. Dalam diriku tidak terdapat kerendahan hati yang nyata. Saya begitu sedikit memikirkan kekurangan rohani saya, ketidak-sempurnaan hidupku, yang karenanya saya tidak pantas menerima Dia, yang begitu kudus tanpa batas.
Betapa terdapat pertentangan antara Yesus dan diriku: sejauh dalam Tubuh-Nya terdapat luka-luka-Nya yang mulia, sedangkan saya selalu enggan dan takut menyalibkan kodrat tubuhku yang penuh dosa.
Padahal Yesus bahkan telah menghadirkan diri dalam Sakramen yang Mahakudus sebagai peringatan akan sengsara dan kematian-Nya. Sedangkan saya begitu sedikit menyadari adanya cinta kasih yang telah menyerahkan sengsara dan kematian-Nya itu. Yang lebih menjadikan saya malu ialah: di mana Yesus masih melangkah lebih jauh dengan mentakhtakan diri dalam Sakramen yang Mahakudus karena cinta-Nya dan Dia pun terus mencintaiku sampai akhir, cintaku pada-Nya masih tetap tidak sempurna, sama sekali tidak sepenuh hati, begitu sedikitnya saya ikut prihatin terhadap penolakan yang Dia alami pada begitu banyak orang.
Ibu yang suci, bila dalam hal itu saya sudah tidak pantas menamakan diri sebagai putri rohanimu, betapa kurang pantasnya lagi aku menerima Yesus dalam hatiku. Hanya kerinduan-Nya yang begitu nyata saja yang dapat memenangkan saya mengatasi ketakutan itu. Karena Dia datang kepadaku bukan karena saya ini suci, melainkan karena Dia mau membuat saya menjadi suci. Karena itu saya sampai pada keputusan yang serius untuk setiap hari semakin lebih menghargai rahmat yang besar ini. Di dalamnya saya akan meresapi bahwa makanan para malaikat itu harus memperdalam dan memperteguh hidupku dan terlebih lagi harus memperbanyak cinta kasihku.
Sebagai ibu rohaniku, engkau telah memimpinku dalam hal ini. Dengan semangat keibuan akan mendukung saya supaya bersamamu saya boleh sempat mengagungkan cinta kasih Yesus yang terungkap sepenuh-penuhnya.
Doa
Seperti pada hari pertama.
8.
HARI KE DELAPAN
Hamba Allah, bentara cinta, Serafin dari Asisi (Fransiskus) telah mendorong Klara untuk mencintai Tuhan, yang karena cinta-Nya kepada manusia Dia sendiri telah menjadi manusia.
Cinta Kasih St. Klara
Renungan
Cinta mengidentifikasikan diri dengan apa yang dicintainya. Bila cinta itu mengarah pada yang di bawahnya, maka dia pun menjadi satu dengan orang-orang berdosa; bila cinta itu mencari yang berada di atasnya, maka dia menjadi satu dengan Tuhan. Karena itu berbahagialah jiwa, yang dengan mengikuti jejak Ibunya yang suci, telah mempersembahkan jiwanya seutuhnya kepada Tuhan.
Tatapan Tuhan di surga bertujuan cinta kasih. Tidak adanya hal itu mengakibatkan kebencian kekal di neraka. Sekilas saja pancaran sinar Kemuliaan, di mana nampak Kesucian Tuhan, akan membangkitkan cinta di neraka, sedemikian besar sehingga neraka akan berubah menjadi surga. Betapa membangun dan penuh pengajaran, bila orang merenungkan cinta kasih Klara dalam hidupnya.
Perjuangannya demi kesempurnaan sama sekali tidak menutup kebajikan mana pun. Sebaliknya, saling keterikatan dan jiwa keduanya, itulah cinta baginya.
Seluruh hidupnya nampak dihayati dalam pertobatan, namun apa yang mendorongnya ke arah itu, adalah cinta, sebagaimana cinta itu telah menguasai segenap tindak perbuatannya. Karena itulah seluruhnya patut mendapatkan martabat yang begitu tinggi.
Orang merasakan cinta itu bila dia mendengarkan Sabda Tuhan, dan dalam kerinduannya untuk menjadi martir. Bila dia berbicara perihal Tuhan, atau bila mendengar saja orang lain berbicara tentang Tuhan, maka hati Klara terpukau dan sering kali lalu berubah menjadi ekstase.
Dalam membimbing putri-putri rohaninya, usahanya sama sekali diarahkan untuk menjiwai mereka dengan cinta murni kepada Tuhan. Namun cinta semacam itu haruslah didahului dengan memutuskan diri dari cinta diri dan pamrih diri.
Hal itu menuntut pelepasan diri dari segala ciptaan, menjauhkan diri dari apa saja yang mempersulit pelepasan diri ini. Jadi hal itu tidaklah mungkin tanpa matiraga rohani dan jasmani, tanpa menekan kodrat-kodrat kita yang rendah.
Kita harus meninggalkan baik diri kita sendiri maupun apa yang ada di luar kita demi untuk belajar dari Yesus: pertama-tama kita harus sepenuhnya menemukan Yesus dan Yesus datang untuk hidup di dalam diri kita dan kita boleh hidup di dalam Yesus. “Qui manet in caritate, in Deo manet et Deus in eo” = Barang siapa tinggal dalam kasih, dia tinggal dalam Tuhan dan Tuhan dalam dia.
Sapaan kepada Ibu Klara:
Kendati saya tidak layak mencintai sebagaimana engkau mencintai, namun saya mohon kepadamu, supaya berkat perantaraanmu, juga dalam hatiku dapat menyala sesuatu dari cinta yang lembut, teguh dan mulia, yang telah menjiwaimu demi hormat dan kemuliaan Tuhan. Satu percikan saja dari cintamu itu sudahlah cukup untuk memurnikan hatiku dari kedosaanku, dapat bertahan diri dalam perjuangan yang berkobar-kobar melawan setan dan untuk dapat mempersembahkan hidupku demi kemuliaan Tuhan.
Permohonanku kepadamu,ialah supaya cintaku ini dapat berkembang, terutama supaya dapat menjawab cinta Tuhan dalam memanggilku untuk menghayati hidup membiara. Sama sekali tidak patutlah saya sampai kehilangan Tuhan. Dia memanggilku supaya rahmat-rahmat-Nya yang istimewa itu dapat dipermuliakan dalam diriku dengan jalan membuat diriku sebesar mungkin serupa dengan-Nya.
Karena ada kemiripan dengan Tuhan, maka saya pun mengambil keputusan untuk menaati peraturan-peraturan hidup membiara, di mana diuraikan keempat kaulku. Selanjutnya peraturan itu memuat kewajiban-kewajiban yang telah saya terima bersama dengan profesiku pada Ordo dan pada sesama suster. Akhirnya dari diriku dimintanya untuk hidup bersma dengan mereka, yang selama hidupnya tidak memperoleh keistimewaan itu dan bahkan tersesat sama sekali dari Tuhan.
Keserupaan dengan Tuhan ini juga dimungkinkan bagiku terjadi setiap hari. Pertama-tama dengan merayakan Ekaristi dan menyambut Komuni Kudus. Saya menemukan bayanan keserupaan itu juga dalam suara-suara teguran dari atasan, dalam contoh dukungan dari para sesama suster.
Setiap meditasi, setiap pelajaran rohani, setiap retret mengingatkan saya pada hal itu. Akhirnya saya memiliki Sakramen Pengakuan Dosa untuk memurnikan diriku dari segala kekuranganku.
Karena itu, betapa bagiku, dalam keadaanku sekarang ini, perjuangan untuk menyerupakan diri dengan Tuhan menjadi dipermudah, tetapi dengan bertambahnya tahun kehidupan religiusku muncullah pertanyaan padaku, yang harus diberikan jawaban pada waktu pengadilan Tuhan: saya menjawab dengan menunjukkan bahwa Tuhan telah memilih aku ke dalam Ordo Santa Klara. Bila dalam hal ini saya dapat menjawab hanya dengan keragu-raguan dan ketidak-pastian, hal itu terjadi, sayangnya, karena cintaku masih begitu tidak sempurna.
Karena itu, ya Ibu yang suci, doakanlah saya, perolehlah bagiku, supaya saya boleh belajar mencintai Yesus, sebagaimana engkau telah mencintai-Nya.
Doa
Seperti pada hari pertama.
9.
HARI KE SEMBILAN
Klara telah menyalibkan dirinya pada salib Yesus. Karena itu dia boleh meninggal dunia sambil mendekap salib supaya dapat ambil bagian dalam iring-iringan para perawan dari Anak Domba dalam kemuliaan-Nya.
Kematian St. Klara
Renungan
Betapa kita salah mengenal saudara maut, bila kita menggambarkannya sebagai sesuatu yang menakutkan. Kematian tidaklah bengis. Dia itu baik dan manis, karena dia menutup kehidupan duniawi kita dan menyingkapkan kehidupan kekal sebagai ganjaran yang besarnya melampaui batas, yang telah dipersiapkan oleh Tuhan bagi para hamba-Nya.
Dalam hal ini Klara mengabdikan hidupnya selama 42 tahun dengan disertai penyerahan diri yang kudus pada Tuhan untuk menyambut saat kematiannya.
Sewaktu ikatan duniawi dari tubuhnya mulai terurai, dia mendorong perpisahan itu berjalan sepenuhnya dalam pengharapan memperleh kebahagiaan yang telah dipersiapkan baginya oleh Sang Pengantin Ilahinya. Tuhan, demikian dia berusaha untuk menyemangati dirinyasendiri, Tuhan, yang telah mencipatakan, membimbing dan menguduskan engkau, akan membimbing engkau juga sampai pada akhir jalan hidupmu.
Si anak terutama merasa aman dalam pelukan tangan ibunya. Karena itu dalam saat kematiannya, nampaklah kepadanya Sang Ibu Tuhan, sebagai Ratu para perawan dan Dia pun dengan pelukannya yang lembut membawa jiwa Klara ke tempat penghunian orang-orang yang terberkati.
Demikianlah orang-orang benar milik Tuhan meninggal dunia dan kematian itu bagi mereka merupakan suatu keuntungan: kehidupan duniawinya meluluhkan diri dalam kehidupan kekal yang penuh kebahagiaan. Tentulah Tuhan memberikan rahmat yang cukup pada saat kematian setiap orang yang berdosa, tetapi cinta ini tidaklah mengecualikan cinta utamanya bagi orang-orang benar: bagi-Nya mereka itu kaya dan mahal dan karena itu Dia mengutus para kudus dan para malaikat-Nya untuk menyambut jiwa orang benar dan mengantarnya ke surga, di mana dia boleh untuk selamanya berdiam di pangkuan Abraham.
Demikianlah yang terjadi pada Klara, ketika dia meninggal sebagai orang yang benar. Mereka yang mengikuti Klara dalam jalan kebenarannya, akan boleh juga mengikutinya di Surga.
Sapaan kepada Ibu Klara:
Bila saya merenungkan perpindahan yang penuh berkat dari tempat pembuangan ini ke Rumah Tuhan, Sang Bapa, maka hatiku pun penuh dengan kebahagiaan perihal perubahan sosok yang mengagumkan, yang telah terjadi padamu. Pakaian yang lusuh yang telah harus melindungi tubuhmu yang kurus terhadap udara dingin dan beku, menjadi dimuliakan dan berubah menjadi mantol murni bercahaya dari orang-orang benar.
Kerendahan hatimu telah mengangkatmu sampai pada Surga yang tinggi, di mana engkau, berkat kemiskinan dan tirakatmu, boleh ambil bagian dalam kerajaan Allah. Berkat keperawananmu yang murni, engkau pun boleh mengikuti Sang Anak Domba dari dekat, dalam pakaian putihmu dan ranting palma, yang telah bertunas pada duri-duri matiragamu.
Bersama dengan Yesus engkau telah meminum pialah penderitaan dan dengan jalan itu engkau telah mempersiapkan tempat dalam Kerajaan-Nya. Yesus berada dalam Sakramen Yang Mahakudus, Roti yang hidup, yang telah turun dari Surga. Karena itu selanjutnya engkau boleh hidup untuk selamanya, supaya dengan cinta serafinmu, engkau dapat mengulang-ulang kidung para Serafin: Kudus, kudus, kudus Tuhan segala kuasa.
Bila saya merenungkan kemuliaanmu seperti ini, saya pun menyadari, bahwa kemuliaan tersebut merupakan mahkota bagi hati keibuanmu, bahwa putri-putrimu yang telah engkau terima dan lahirkan secara rohani, boleh ambil bagian dalam kemuliaanmu itu. Juga di surga, seorang anak tidaklah dipisahkan dari ibunya.
Karena itu saya mau hidup dan mati sebagai anakmu dengan berpegangan pada Anggaran Dasar yang telah engkau tinggalkan bagiku dan yang menyerap rohmu secara sepenuhnya. Saya pun memperbarui kesetiaanku pada hal-hal yang berkat jasamu telah saya profesikan dalam keempat kaul, sehinggaengkau dapat secara sempurna tetap hidup dalam diriku sampai pada saat kematianku.
Namun, dalam kelemahanku, tidak dapatlah saya melepaskan diri dari pengantaraan-keibuanmu. Perolehlah bagiku rahmat yang diperlukan untuk menjadikan jalan hidupmu semakin lebih murni terukir dalam hidupku, sehingga dapat semakin menjadi mirip denganmu, karena engkau boleh dimuliakan dalam diriku, sebagaimana Tuhan telah dimuliakan dalam dirimu.
Saya mohon hal ini kepadamu tidak hanya untuk diriku sendiri, tetapi bagi semua sesama susterku, karena mereka semua telah dipersatukan dalam Tuhan bersama dengan engkau. Semoga juga merupakan buah hasil yang utama dari novena ini.
Karena itu kami mau hidup dan mati sebagaimana engkau, dengan luka Yesus dalam jiwa kami dan di dalam pelukan tangan Ibu Yang Berduka-cita.
Doa
Seperti pada hari pertama.
========