“Ubi dubium, ibi
libertas - Di mana ada keraguan, di sana ada kebebasan” -. Kita menjadi Katolik
sejak dibaptis, tapi lugas bahwa menjadi kritis juga merupakan bagian utama
dari pilihan bebas menjadi Katolik, bukan?" Banyak orang Katolik sendiri
menjadi kritis, karena ingin membela kemanusiaan (pasar) yang kadang dilupakan
oleh agama (altar). Padahal jelaslah bahwa kristianitas tak secuilpun beroposisi dengan kemanusiaan, bukan?
Membaca Teks: Globalisasi Pasar
Ingat Matius 5-7, soal Kotbah di Bukit? Tapi di masa kini, hic et nunc, lihatlah Jakarta dan sekitarnya! Bukit menjadi hilang. Pasar teknologi, terutama, telah meratakannya. Di masa kini, suara suara disiarkan melalui corong-corong dan titik-titik lubang pada kotak ajaib multi media, dari TOA di menara sampai telepon seluler dengan aneka merk. Alat komunikasi pasar itu, (yang kerap juga masuk ke dalam ruang altar yang privat: ketika misa, ketika di sakristi, bahkan ketika di puncak Gunung Lawu pun), kerap membuat bukit semakin rata dan kotbah kerap jadi banal bukan? Bahkan kadang, orang-orang yang ke gereja tidak datang untuk mendengar apa yang dikotbahkan dari mimbar. Mereka pertama-tama datang untuk hal-hal lain selain mendengarkan kotbah. Kalaupun ada yang ke gereja demi mendengarkan kotbah, jangan-jangan adalah mereka yang bercita-cita menjadi pengkotbah juga. Mungkin inilah imbas globalisasi pasar.
Globalisasi sendiri ”not just internet, not merely
“economic”, tapi globalisasi itu sebuah INTERCONNECTIVITY (keterhubungan). Atau
bahasanya Nokia, ”...connecting people...” Globalisasi juga adalah fakta
sejarah, bukan hanya barang seperti teve plasma Sony atau tas Gucci yang begitu
saja bisa diterima atau ditolak. Justru, karena ia kondisi sejarah, perdebatan
pro dan kontra adalah mandul. Globalisasi juga bukan gejala alami, seperti
musim semi atau gempa bumi. Ia gejala yang muncul dari praktek dan pemikiran manusia.
Seperti halnya gejala lain dalam hidup manusia, globalisasi juga mengandung
ambivalensi. Sebagai contoh analogi, Hand Phone bisa dipakai seorang pastor
untuk karya pastor(al)nya, tetapi bisa juga dipakai untuk ”jatuh”: bermesraan
entah dengan siapa. Dan jelas, bahwa ambivalensi globalisasi itu tidak akan
lenyap. Sejarah ke depan akan ditandai semakin banyak ambivalensi. Dalam bahasa
Paulo Coelho, penulis novel The Alchemist yang lucu itu, "that is our
human condition".Membaca Teks: Globalisasi Pasar
Ingat Matius 5-7, soal Kotbah di Bukit? Tapi di masa kini, hic et nunc, lihatlah Jakarta dan sekitarnya! Bukit menjadi hilang. Pasar teknologi, terutama, telah meratakannya. Di masa kini, suara suara disiarkan melalui corong-corong dan titik-titik lubang pada kotak ajaib multi media, dari TOA di menara sampai telepon seluler dengan aneka merk. Alat komunikasi pasar itu, (yang kerap juga masuk ke dalam ruang altar yang privat: ketika misa, ketika di sakristi, bahkan ketika di puncak Gunung Lawu pun), kerap membuat bukit semakin rata dan kotbah kerap jadi banal bukan? Bahkan kadang, orang-orang yang ke gereja tidak datang untuk mendengar apa yang dikotbahkan dari mimbar. Mereka pertama-tama datang untuk hal-hal lain selain mendengarkan kotbah. Kalaupun ada yang ke gereja demi mendengarkan kotbah, jangan-jangan adalah mereka yang bercita-cita menjadi pengkotbah juga. Mungkin inilah imbas globalisasi pasar.
Mengartikan Konteks: Pasar vs Altar?
Seperti kata Ayu Utami, bisa jadi bahwasannya yesus-yesus kecil yang hidup sekarang di jaman globalisasi ini, diajak meninggalkan bukitnya yang telah datar dan beranjak ke pasar yang riuh. Bayangkanlah, kira-kira seperti sejerumput tenda biru yang terbentuk di sekitar mesjid Atta’awun di puncak, tenda-tenda yang merusak hijau hening kebun the. Atau bedeng-bedeng yang mengerumuni Borobudur. Atau kios pedagang teh botol yang kerap mangkal di Monas atau Senayan, atau yang kini masih meyesaki lahan menuju Kebun Raya Bogor atau Cibodas Gunung Gede , tumpah ke jalan bersama sampah-sampahnya. Di pasar seperti inilah, dulu dalam Injil, burung-burung pernah diperdagangkan. Burung itu bakal persembahan. Juga kambing, domba dan bandot. Bakal kurban. Mata uang dipertukarkan dengan pelbagai muslihat. Orang-orang yang takut akan Allah dibujuk justru karena ketakutannya akan Allah. “Belilah burungku, burung surgawi, dari burung merpati samapi burung tekukur ” Pojok lain berteriak, “semakin berat kambing yang anda korbankan, semakin ringan dosa yang anda tanggung.” Di sudut lain, “kambing kami bisa dikredit, bunga ringan.”
Bukan sebuah kebetulan, di tahun pertama imamat, saya berkarya di sebuah paroki tertua di Kawasan Tangerang yang terkenal dengan Pasar Lama’ nya (setelah itu, saya juga bertugas di kawasan Gereja Cilincing Priok yang terkenal dengan “Paul”- Pasar Ularnya, kawasan hitam bekas lokalisasi “Kramat Tunggak” beserta jubelan truk trontonnya, lalu berkarya di Gereja Pasar Minggu yang terkenal dengan lokasinya yang sangat dekat dengan jalan besar, terminal, stasiun, pasar buah dan seabreg kerumitan khas metropolitan). Persis di depan gereja tertua di kawasan Tangerang inilah, terdapat KFC, di sampingnya terdempet area mall Robinson dengan Mc Donald-nya, di seberangnya terdapat Pizza Hut dengan aneka pasar tradisional beserta rentetan aneka barang dagangan, dari yang sakral juga kadang yang liar-vulgar. Juga ada stasiun kereta api, pangkalan mikrolet dan becak. Apakah fenomen ini menegaskan, sungguh altar itu dekat dengan pasar?
Memang, tidak semua orang setuju begitu saja, apabila dikatakan bahwa altar dan pasar boleh disejajarkan, apalagi disamakan. Alasannya, keduanya merupakan dua bidang kehidupan yang berbeda dan memiliki kaidah yang berlainan malah bertentangan. Namun bagi saya, altar mesti masuk ke dunia pasar, dan pasar harus diperluas ke wilayah kudus, karena iman tak cukup lagi dibatasi dalam lingkup terbatas. Karena kalau tidak demikian, ke gereja menjadi ritual yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Para koruptor dan pemeras buruh merasa tidak bermasalah dengan imannya, asalkan masih sempat memaksa diri ke gereja pada hari Minggu kendati harus mengumpat mendengarkan kotbah yang tak menyentuh. Dengan ini, pasar sebenarnya menolong penghayatan keimanan secara lengkap, karena iman mesti juga dialami sebagai pendorong untuk upaya menyejahterakan masyarakat, sebagai inspirasi untuk memperjuangkan pengembangan diri manusia dan sebagai motor untuk mengusahakan pelestarian alam.
Di lain matra, saya jelas tegas menolak identifikasi mimbar, altar dan pasar; Iman tidak sama dengan pasar dan pasar tidak identik dengan iman. Iman dan pasar tetap harus dibedakan, karena walaupun pasar memiliki nilai positif, akan menjadi persoalan apabila pasar mendominasi seluruh bidang kehidupan. Terlebih di jaman ini, pasar jelas lebih cerdik daripada ular, dan suka berlagak tulus seperti merpati. Lihatlah, televisi, salah satu pasar yang sekarang nge-trend, masuk ke ruang ruang privat, dimana bujuk membujuk terjadi, transaksi terjadi, tapi pertemuan yang sesungguhnya tidak terjadi lagi.
Sebuah Praktek: Interupsi!
Di tengah situasi global seperti ini, yang diperlukan adalah mencari apa yang oleh Habermas disebut sebagai ”Zwischenraum”. Habermas membicarakan ruang antara ini ketika dia menunjukkan bahaya yang ada dalam dunia modern, yakni kolonialisasi (penjajahan) bidang-bidang kehidupan oleh sistem berpikir tertentu. Memperjuangkan Zwischenraum merupakan satu tugas penting bagi agama-agama. Johann Baptist Metz, pencetus konsep teologi politik baru, sering terlibat dalam diskusi yang menyegarkan dengan Habermas. Dia memberikan sebuah definisi tentang agama yang sangat khas. Menurut dia, definisi tersingkat dari agama adalah interupsi (Unterbrechung).
Ya, pada dasarnya agama berangkat dari interupsi Allah ke tengah dunia yang sedang disalahurus oleh manusia. Agama hadir sebagai satu bentuk interupsi di tengah dunia yang terpusat hanya pada dirinya; Yang dapat dilakukan agama-agama dalam dunia ini hanyalah membuat interupsi, karena derasnya arus berpikir, bertindak dan menilai lainnya. Namun interupsi ini harus terus-menerus dilakukan. Agama-agama mengkhianati panggilannya, apabila mereka berhenti membuat interupsi bukan?
Bukan mustahil, kepekaan terhadap dunia pasar, dapat membukakan mata para fungsionaris agama (yang asyik-masyuk di dunia altar), terhadap orientasi dasar yang tengah mengalir dalam nadi-nadi hidup dan karya mereka. Persaingan pasar yang meminggirkan banyak orang miskin, cacat dan tua ke tepian perhatian masyarakat, mestinya menggugat para agawaman/ti perihal kontribusi teologis, reksa liturgis dan sikap pastoral mereka sendiri terhadap kondisi ini; Gereja, teologi, pendidikan calon pastor dan praktik hidup para pastor juga pelbagai reksa pastoral dan sakramental memang mesti semakin sering diinterupsi.
Karena berbicara dalam konteks agama kristiani, baiklah kita melihat beberapa contoh interupsi tersebut. Warta Yesus tentang Kerajaan Allah menginterupsi kondisi yang diciptakan manusia, yang menempatkan dirinya sebagai raja yang sewenang-wenang atas manusia dan ciptaan. Ekaristi sebagai pusat dan sumber hidup orang Kristen adalah perjamuan bersama pada meja yang satu. Dalam pengertian seperti ini, ekaristi pada intinya merupakan satu interupsi di tengah tendensi manusia yang mau makan sendiri dari dan pada satu meja, yang melakukan korupsi di bawah meja, atau yang malahan tak segan-segan membawa pergi mejanya sekalian.
Gereja jelas perlu melakukan interupsi, baik terhadap dunia pasar, maupun terhadap diri mereka sendiri (dunia altar). Liturgi Gereja Katolik sebagai ’sumber dan puncak (fons et culmen), terlebih lewat Sakramen Krismanya bisa mempunyai daya untuk mengajak umat berani belajar menunjukkan perannya sebagai seorang saksi: pencerita dan pemikir yang membuat interupsi, baik ke dalam dunia ”altar” (Gereja sendiri), tetapi juga ke dalam dunia ”pasar”, dunia yang bersifat publik, ke tengah dunia para pemikir sosial dan politik, kepada para ahli ekonomi dan pencinta budaya. Hemat saya, peran seperti inilah yang perlu terus dimainkan seorang Katolik. Seorang Katolik, perlu melakukan interupsi ke dalam kehidupan! (yang kadang hanya mengikuti logika kalah-menang, yang melupakan mereka yang kalah bersaing atau yang sama sekali tidak ikut dalam persaingan karena memang tak punya sesuatu)
Di sebuah Negara Islam terbesar di dunia ini, (dimana Gereja Katolik yang minoritas, senantiasa berusaha merumuskan peran dan keberadaannya dalam masyarakat yang beragam dan berbeda, yang mengandung unsur tradisional maupun modern sekaligus), Gereja seharusnya semakin berani menyatakan keunikan imannya, sekaligus terbuka pada pelbagai kebenaran nilai di luar dirinya, dan prakteknya , ini bukan pekerjaan mudah. Disinilah anggota Gereja tak boleh dan tak bisa menutup diri dari khazanah di luar Gereja. Sebab, Gereja senantiasa dalam dialog dengan yang lain- dengan nilai-nilai yang berbeda kadar, dan dengan orang yang berbeda iman.
Dkl: Bisakah Gereja dengan sakramen dan liturginya mengajak semakin banyak umat untuk menghidupi imannya sebagai interupsi: ”berakar sekaligus bersayap”. Artinya: semakin mau memperdalam keberakaran dalam iman pada Yesus, sekaligus diajak berani memperluas sayap-sayapnya pada pelbagai perjumpaan dan gulat geliat iman yang kerap tidak sibuk di altar-mimbar melulu. Inilah sebuah keutamaan yang patut dirayakan, bahwa agama dan teologi kita tidak melulu berjalan di atas awan, tapi suatu komunikasi iman yang hidup. Karena, bukankah ia akan hadir secara nyata kalau membaharui diri terus menerus ( in permanent genesis)? Bukankah juga sungguh sebuah niat baik dan patut dirayakan, jika kita berusaha mengembalikan lagi bahasa liturgy dan refleksi iman kita ke wilayah publik, tidak melulu sibuk di altar perjamuan, tapi juga sungguh hidup di tengah pasar kehidupan? Tulisan ini saya tutup dengan kutipan dari Kejadian 1:3, Fiat Lux!!! (Jadilah Terang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar