Pengkhotbah 1:2; 2:21-23, Kol 3:1-5.9-11, Luk 12:13-21
“Emo ergo sum – Aku berbelanja maka aku ada”. Berbelanja (shopping) agaknya telah menjadi ciri kebanyakan manusia yang hidup di zaman kontemporer dewasa ini –hingga ahirnya menciptakan konsumerisme dan materialisme padahal hari ini Yesus memperingatkan: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan (“pleonexia”), sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari kekayaannya itu.”
Banyak dari kita ingin berjuang untuk menjadi kaya, entah kaya secara finansial, intelektual ataupun social. Bagi saya sendiri, Yesus mengajak kita menjadi kaya bukan melulu kaya d hadapan dunia, tapi terlebih kaya di hadapan Allah. Bersama dengan St Yohanes Maria Vianney (pelindung para imam) yang kita kenangkan hari ini, adapun kaya di hadapan Allah itu memiliki dua syarat, yakni: "KAsihi Tuhan dan YAkini iman."
Menjadi sebuah kecenderungan umum bahwa semua orang kaya diidentikkan dengan memiliki harta benda, tapi hari ini “harta benda” itu memilik arti imani, al:
1. HARapan:
Ciri orang “kaya” adalah hidupnya punyai harapan karena yakin bahwa Allah selalu menjadi “Immanuel”: menyertai kita di tengah ruwet renteng pergulat-geliatan dunia ini. Kita diajak untuk terus berharap, jangan melulu berputus asa dan bermurung durja jika melihat diri lemah, tetapi sebaliknya kita justru berbangga dan tetap bersukacita karena pastilah Allah yang akan terus berkarya
2. cinTA:
Bisa saja kita memberi tanpa mencintai, tapi mustahil mencintai tanpa memberi bukan? Orang yang benar benar “kaya” biasanya mudah untuk berbagi cinta kasih. Di tengah dunia yang berpola “UUD – Ujung Ujungnya Duit”, Yesus mengajak kita untuk mau berbagi, karena semua ini adalah rahmatNya (gratia, grace: gratis), yang akan semakin bertambah jika kita bagikan dengan tulus kepada sesama. Yakinlah bahwa tak seorang pun sia-sia di dunia ini, ketika ia meringankan beban kehidupan bagi orang lain. Bukankah sebuah lilin tak kehilangan apa pun dengan menyalakan lilin lain? Dengan memberi, bukan dengan menerima, kita bisa menjadi kaya! Sebaliknya, sikap yang terpusat pada diri sendiri dan tak butuh berbuat apa-apa lagi kecuali memiliki, memiliki dan terus memiliki. Entah harta, entah pangkat, entah keahlian, malahan akan membuat kita tak berarti apa-apa.
3. keBENaran:
Salah satu universitas teratas sedunia adalah Harvard yang berlogo “Veritas”. Artinya adalah “Kebenaran”. Veritas ini secara utuh bisa ditemukan dalam diri Yesus (Yoh 14:6). Dkl: orang yang “kaya” pasti memiliki veritas yang didapat dengan hidup beriman yang mendalam. Dalam kacamata iman kristiani, kita diajak untuk tidak menggantungkan diri pada harta duniawi, tetapi menggunakan harta duniawi sebagai sarana persembahan kepada Tuhan sang kebenaran. Dalan mata iman lebih lanjut, harta ialah berkat ilahi yang mesti dikembangkan seperti talenta dan tidak dipendam sendirian.
4. keDAmaian:
Orang yang benar benar “kaya” mudah memiliki kedamaian, karena hidupnya penuh dengan rasa yang positif dan hidup yang afektif. Ia menyadari bahwa hidup hanyalah sementara dan ia menggunakan waktunya sebaik mungkin dengan kata dan sikap yang penuh kedamaian karena baginya, masalahnya bukan apakah kita akan mati, tetapi bagaimana cara kita hidup. Kedamaian membantu kita menemukan yang tak bakal bisa lenyap: harta di hadapan Allah karena harta benda dunia tak membuat seseorang otomatis menjadi kaya raya, bisa jadi itu hanya membuatnya lebih sibuk. Orang miskin kekurangan banyak tapi orang tamak kekurangan segalanya bukan?
“Mpok Alya suka cari galah - jadilah kaya di hadapan Allah!”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar