Ads 468x60px

Renungan Mini Menjelang Proklamasi

Rasanya baru kemarin, 
padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka..
Rasanya baru kemarin...
Hari ini ingin rasanya aku bertanya kepada mereka, 
bagaimana rasanya merdeka?”


Prolog: 
Waktu saya masih pakai baju merah putih alias SD, Yesus saya bayangkan sama - malahan lebih jost dibanding tokoh-tokoh di komik Robinhood, cerita rakyat si Pitung, Jampang, lakon wayang Gatotkaca ataupun kartun lakon Batman dan Superman. Kebetulan juga, waktu kecil, bapak-ibu saya guru, dan om saya adalah guru agama, jadi saya punya banyak buku dan kenal tokoh-tokoh PL dan PB, dari Abraham-Bapak segala bangsa, Yakub-penakluk malaikat, Yusuf sang pemimpi, Daud si kecil-kecil cabe rawit sampai Paulus yg bertobat. 

Tapi-secara pribadi - saya jatuh cinta/terlanjur sayang pada satu tokoh karismatis, Yesus Kristus, anak tukang kayu dari Nasaret. Kisah kelahiran si Imanuel di kandang hewan, sudah begitu dramatis pun menggugah perasaan saya. Lagi, ketika Tabib Agung ini sudah mulai “go-public”. Fantastis! Ia membuat banyak pembebasan yang belum pernah ada: Menyembuhkan orang buta-cacat-ayan, membangkitkan orang mati, hibur orang berduka, nentang kemapanan yg tidak adil, punya murid banyak, jago menggandakan roti, meredakan angin taufan, puasa 40 hari, lawan setan dan makan bersama para pendosa dan orang yang tersingkir atau disingkirkan.


Tapi, keasyikan membaca kisah ini, kemudian terputus oleh nasib tragis yang menimpa Sang Pembebas ini. Ia mati mengenaskan, mati konyol di kayu salib. Ia, yang katanya mau menyelamatkan manusia, malahan berteriak-teriak merasa ditinggalkan Bapanya: “Eloi, Eloi-Lama Sabakhtani”. Sang Rabbi Ilahi yang sebelumnya, tampak gagah perkasa kini menjadi loyo, tak berdaya. Katanya Yesus-kok ia tak diselamatkan Allah? Katanya Imanuel-kok Ia malah ditinggalkan Allah? Ini kekecewaan saya. Mengapa Ia mesti mati lewat salib? 

Apalagi, setelah saya masuk seminari, saya tahu: kematian disalib adalah skandal besar bagi hidup keagamaan Yahudi (kutukan). Lagi tampak jelas di Markus dan Matius, bahwa kematian Yesus adalah episode mengerikan dari Getsemani ke Golgota. Mengapa pembebasan mesti ditunjukkan dengan salib? Apakah Allah yang disalib adalah Allah yang langsung melawan penderitaan? Allah yang melawan penderitaan dengan mengambil cara manusia? 

II. Konteks Semesta:
Luk 4:18-20: “Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada semua orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada semua tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Yes 61:1-2). 

Kebebasan dan keterbelengguan selalu datang bersama-sama. Kita tidak dapat memisahkannya satu sama lain. Namun, acap kali dalam hidup kita, tampak bahwa keterbelengguan mencekam jauh lebih kuat dibandingkan Kebebasan. 

Sebuah kisah:
Jessica adalah seorang gadis muda belia. Ketika berumur 14 tahun-sedang centil-centilnya dandan, ia sudah mesti kehilangan kedua kakinya, tak bisa mendengar lagi dan matanya tak dapat melihat jelas lagi. Padahal, mulanya ia hendak misa kudus di gereja dekat rumahnya. Namun, malang tak dapat ditolak, ia terkena bom yang meledak di gereja St.Anna di kawasan Jakarta Timur beberapa tahun yang lalu. Kini, ia hidup dengan kaki palsu. Kini, Jessica muda yang cacat, hidup tak tentu cita. Senyumnya mungkin agak hambar. Pun yang terjadi dengan seorang ibu yang sedang mengandung-yang terpaksa diamputasi kedua kakinya, karena bom juga. Adakah kemerdekaan bagi mereka? 
Belum lagi para korban Medio Mei 98 lalu; korban perkosaan dan penjarahan, para pengungsi, anak-anak cacat , dsbnya. 

Amat sukar memahami kisah nyata ini, bahkan lebih sulit lagi-untuk mencoba menjelaskan mengapa mereka yang malahan mesti menderita. Tak ada seorangpun yang bisa menjawabnya. Kita ‘ngga punya jawaban manusiawi terhadap soal ini. Namun, sbg umat Kristiani, kita bisa mencari jawabnya dengan mengacu pada pribadi Yesus. 

LewatNya, kita bisa mencari jawabnya dengan mengacu pada pribadi Yesus. LewatNya, kita bisa belajar bagaimana Allah menjawab penderitaan manusia ini, yakni dari sikap dan tindakan Allah dihadapan derita manusia. Cakrawala ini dapat membantu kita untuk bertahan manakala kita mampu melihat solidaritas Allah dengan kita. 

Ada sebuah kisah dari kamp-kamp pengungsi di Atambua. Saya masih ingat-betapa melelahkan ada di tengah-tengah pepatnya derita. Kamp-kamp itu dibatasi kawat berduri, tidur didalam tenda-tenda yang bocor - dan banyak nyamuk-tanpa makanan 4 sehat 5 sempurna, baju pas-pasan, belum lagi sumbangan-sumbangan yang ada disunat oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Adakah kemerdekaan anak-anak Allah bagi mereka? Dimanakah Engkau, Allahku ditengah-tengah derita ini? Mengapa rakyat yang tak berdosa ini jauh dari perdamaian? Mengapa mereka ini menjadi korban keganasan BOM? Mengapa anak-anak tak dapat belajar di sekolah lagi? Mengapa begitu banyak rakyat menjadi cacat, miskin dan lapar? Mengapa bencana ini begitu menyesakkan? Siapa yg menghendakinya? Dimanakah Engkau Allahku? 

Saya tak bisa melupakan sebuah peristiwa kala saya berjumpa dengan Wawan di Rumah Sakit Carolus. Pria yang masih lajang dan baru akan menikah ini - kehilangan kakinya karena BOM, dan tentunya ia sangat tertekan-ia tak bisa bermain volley lagi. Lagi, ketika saya berjumpa dengan Martinus, seorang remaja dari Timor, berusia 13 tahun, keluarganya tewas dan ia tak bisa sekolah lagi. Kakinya juga mesti diamputasi karena kebrutalan senjata api para milisi. Dimanakah Engkau, Allahku? Dan, lagi; Adakah kemerdekaan bagi mereka? 

Kita tahu Allah tidak menghendaki penderitaan ini. Kita tahu dari kecil oleh guru-guru agama kita-bahwa cinta Allah jauh lebih dalam dan lebih kuat daripada semua derita ini. Tapi, dimanakah Engkau, Allahku-ketika semua ini terjadi? 

Jawabannya hinggap pada hati dan pemahaman kita bahwa Allah itu penuh kasih dan sabar. Allah ada di tengah-tengah penderitaan dengan caraNya yang paling dalam dan dengan memberikan kehidupan. Ia menderita dan merintih bersama kita. Kita diambilnya dan ditaruh di telapak tanganNya hingga kita tak perlu takut jatuh. Kita tak boleh lupa bahwa ketika kita merintih karena derita ini, Kristuspun merintih karena Ia ada bersama kita dalam derita. Ketika air mata kita bercampur dengan tetes air mata Yesus, kita mendapatkan hidup dan kekuatan Allah. Air mata ini berasal dari keprihatinan, belaskasih, dan cinta Allah karena demikianlah Allah solider dengan kita. Solidaritasnya ada tanpa batas. Solidaritasnya selalu sampai tuntas. Dari atas kayu salib-Ia mematahkan pelbagai belenggu iri hati, egois, penakut dan tamak. Ia menghapus penderitaan menjadi kemerdekaan karena cintaNya lebih besar dari sgala. 

3. Konteks biblis
Gal 5:1,13: “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Maka, teguhlah dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan. Memang, kamu telah dipanggil untuk merdeka, tapi janganlah kamu menggunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa “ 

Allah selalu memberikan kebebasan bagi umatNya, bahkan dari jaman Adam-Hawa, sampai kini, zaman kapitalis. Tapi, acap lupa akan rahmat ini. Dalam Injil, kita dapat lihat bahwa Yesus yang manusiawi berjalan dan terus berjalan: dari desa ke desa untuk membebaskan. Dunia sekeliling Yesus buruk; banyak ketidakmerdekaan: elit yang munafik dan pelbagai praktek ketidakadilan, diskriminasi dan kemiskinan. Dalam perjalanan itu, Dia bertemu dengan peminta-minta, Bartimeus-si buta, pemuda yg sakit ayan, orang yang berduka, dan yang putus asa. Teriknya matahari dan dinginnya angin malam, terus Dia rasakan. Dia mendengarkan penuh perhatian. Dia keras, tapi sangat lembut hati. Dia tidak pandang bulu, tapi sangat hangat, Ia mudah menuntut tapi sangat mudah mengampuni, bertanya tapi amat sopan. Dia memangkas sampai ke akar-akarnya, tapi dengan tanganNya pula - Ia menyembuhkan pun membebaskan; Marilah kepadaku, semua yang letih lesu dan berbeban berat Aku akan memberikan kelegaan kepadamu (Mat 11:20) 

Sebelum Yesus memasuki sengsaranya, Ia menuangkan air kedalam sebuah baki-dan membasuh kaki murid-muridNya, lalu menyekanya dg kain yg terikat pd pinggangnya (Yoh 13:5). Yah, Ia telah membasuh kaki kita yang kelelahan. Dia berlutut dan meraih kaki kita ke telapak tangannya-lalu membasuhnya, kemudian Dia menengadah dan menatap kita. Dan, ketika mata ketemu mata, Dia berkata: “Jadi, jikalau Aku membasuh kakimu, maka kamupun wajib tuk saling membasuh kaki.’ (Yoh 13:14): Kala kita menelusuri perjalanan yg jauh, kita mesti berhenti sejenak untuk basuh kaki sesama kita. Kala kita berlutut dan membasuh kaki mereka pun menatap mata mereka, kita dapatkan bahwa mereka yang berjalan bersama kita inilah-yang menguatkan kita. 

Sesungguhnya jikalau biji gandum ini tidak mati, ia tetap satu biji saja, tapi jika ia mati, ia akan hasilkan banyak buah (Yoh 12:24). Ia mati bagi kita. Ia mati supaya kita bebas. Saat kita ingat sakratul maut Yesus, kita lihat dunia yang sekarat. Yesus yg bergantung di kayu salib demi kita. Ia wafat atas nama berjuta-juta kematian. Ia menyingkap pelbagai situasi dan sekat-sekat pembatas. (Luk 4:16-20, Yes 61:1-2) 

4. Perutusan: 
Seorang satrawan Prancis, A. Camus pernah bilang bahwa zaman ini adalah ketakutan. Juga, dengan hidup bangsa kita yang akan berusia 68 tahun, keterbelengguan ada dimana-mana: kemerosotan moral dan krisis trus menerpa, naiknya BBM, telpon, listrik, pajak, melempennya rupiah, hutang negara yang makin meninggi. Diantara enaknya para elit mengobok-obok, ada banyak elit (ekonomi sulit) juga yg ngga bisa makan lagi, ngga punya rumah lagi, nggga punya kerjaan, ngga bisa sekolah lagi, ngga punya baju lagi, dan ngga punya kaki lagi. 

Di masa transisi demokrasi yang terus terjadi, Indonesia kini memang bukan Indonesia Baru, tapi Indonesia bau: bau kabinet, bau reshuffle, bau dekrit, bau utang, bau sweeping, bau laskar jihad, bau kursi, bau demonstrasi, dan bau bom. Belum lagi luka-luka batin sejumlah peristiwa negeri: pembantaian jemaat hina-jelata dari Aceh sampain Papua, pemerkosaan warga minor sahaya, pembunuhan legal kaum papa, penjarahan terestui komplotan berkonstitusi, permainan kotor elit politik, penculikan dan pelbagai tragedi kemanusiaan lainnya. 

Dkl: Di tengah maraknya demokrasi dan HAM di dunia, jalan hidup bangsa kita kini penuh luka dan bisul. Dalam sikon bangsa yg kian kacau ini, mungkinkah masih byk org yang percaya pd agama? Mudah-mudahan-yang masih ada disinipun masih percaya pada Tuhan. Masalahnya: apakah agama dapat selesaikan krisis? Acap kita liat bgt byk dusta, yg benar jd salah, yg salah jadi benar, yang suka sholat tp suka mengumpat, yang suka ke grj tp males kerja, yang suka kebaktian tapi malahan suka kebatilan, dsbnya. Ada semacam dialektika tanpa rumusan!

Inilah anakKu yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan (Luk 3:22). Suara inilah yang dapat selalu menguatkan kita-dan memerdekakan kita dari kebingungan. Di tgh kebingungan, masing-masing dr kita, yg msh ngaku beragama dan berTuhan ini hendaknya sadar tuk saling membebaskan. Diantara banyaknya yg mendamba suatu kemerdekaan, diantara banyaknya tetes airmata yang terbelenggu, scr konkret, kita semua dipanggil untuk mjd pembebas yg menembus batas. Kita sbg kawanan kecil di tengah kepingan konflik, tetap mesti optimis merajut Indonesia kembali. 

Jelasnya dgn menjadi sumbu-sumbu kedamaian dalam pelbagai lingkungan basis dimana kita setiap hari tinggal; dengan tetangga, dengan rekan kerja, terlebih dengan keluarga (bukan ala Pilatus yg cuci tangan, atau Petrus yang menyangkal alias takut!) Kita telah dibebaskan oleh Tuhan, kini kitapun diutus sbg srikandi-arjuna pembebasan, bukan pion-pion catur/wayang yg digerakkan dalang- dalang milenium alias: harta, tahta, gengsi, tp subyek-subyek perubahan: menawarkan nilai universal kristiani tanpa pandang bulu. Kita mesti akui, sikon bangsa kita belum juga berujung, msh terbentang pelbagai problema. Khususnya bagi kaum hawa, kini hawa tidak lagi cuma kerja di dapur, sumur dan kasur, tapi juga dituntut tuk jd pembebas yang “pathos” (terlibat, bukan “apatis”). 

Ada sebuah cerita dari bumi Lorosae: 
Di tengah pelbagai tragedi, banyak anak yang kehilangan orangtua, tak punya rumah, tak punya pakaian+makanan yang cukup, ada dua orang anak gadis manis, berusia 9 tahun sedang menangis. Lalu, kami dekati, kami ajak bicara. Namanya: Jessica dan Josephine. Mereka ternyata tidak bersekolah lagi. Kami merasa bahwa kedua anak ini adalah saudara, lalu kami tanya: apakah kalian bersaudara. Ternyata mereka tidak bersaudara. Jessica yang rupanya lebih besar, bilang bahwa mereka dulu memang tidak bersaudara, tapi semenjak mereka berada berdua di kapal untuk mengungsi dan semenjak si Josephine memberikan separuh rotinya untuk Jesica, mereka menjadi saudara. 

Lalu? Mereka juga bilang bahwa mereka takut pada orang. Mereka ngga mau bertemu orang-orang. Tapi, kami bertanya kepada mereka; Mengapa kalian tidak takut pada kami? Jawabnya’; Sebab ada salib di dadamu. Yah, kebetulan waktu itu kami memakai salib dan mereka masih menganggap bahwa orang yang memakai salib itu orang baik. Dan, saya yakin salib itu ada juga di hati kita sendiri, sebuah salib yg membawa pembebasan. 

Di hadapan salib Yesus inilah, kita boleh belajar dari seorang santo pendiri Yesuit yang kita pestakan akhir bulan Juli lalu: Apa yang telah kulakukan untuk Dia? Apa yang sedang kuperbuat untuk Dia? Apa yang semestinya kubuat untuk Dia yang tersalib dan mereka yang tersalib sebagai korban? 

Dalam bahasa dan konteks zaman kini, rumusan diatas diartikulasikan secara meyakinkan oleh Sandyawan Soemardi -dalam pembelaannya di depan pengadilan Bekasi beberapa tahun yang lalu: “Saya rindu untuk terus melibatkan diri dalam gerakan solidaritas kemanusiaan ytg dilancarkan Allah: membuka komunikasi iman seluas mungkin, sehingga setiap orang, terutama yang miskin dan menderita, dapat kita perlakukan sebagai mitra kerjasama dalam proyek keselamatan yang dibawa oleh Allah sang Pembebas.” 

Apakah kita merasa:
Tergugah? 
Tergugat? 
Atau anda mau menggugat? 
Mari kita berkaca sama-sama : apa yg sudah kita buat bagi bangsa berusia 6oan tahun lebih ini, yang sdg bergulat geliat ini? Sebab kata Socrates; hidup yang tdk direfleksikan adalah hidup yg tak pantas tuk dihidupi!! Untuk itu ada baiknya, kita mohon rahmat perubahan: tuk mengubah apa yg dapat diubah. Mencintai apa yg tak dpt diubah. Dan bijaksana tuk membedakannya. Semoga cah’ya lilin-lilin kecil mungil kita dapat bersatu dg cah’ya lilin lainnya jadi sorot cah’ya ilahi nan suci bagi Indonesia Baru yang murni tanpa ilusi dan imajinasi mini !! 

Akhir kata, saya ucapka: selamat menjadi sekutu pembebas dalam pasukan Allah. Selamat menjadi pembebas bagi semua yang ada disekitar anda. Tuhan berkati dan Bunda merestui!!

MERDEKA!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar