Ads 468x60px

Dwitunggal: Sebuah Surat untuk "Pastor - gembala"


Sebuah Surat dari "PASTOR - GEMBALA"

A. Letter for Priest 
Sahabatku X,
KUBUKA JENDELA kamarku minggu pagi pukul tujuh. Tirai coklat kusibak. Desir angin pagi nan segar merangsek masuk. Menerpa wajahku yang masih manyun lantaran aku memilih membaca dua buku ketimbang tidur dan merajut mimpi lebih awal. Angin yang sama mengusap pelan istriku. Membuatnya terjaga sejenak, menggeliat, dan tertidur lagi. Di luar, sinar matahari mengusap pucuk-pucuk pohon milik tetangga. Terdengar riuh suara perempuan yang berpapasan di jalan depan rumah. Itulah pagi pertama yang kulihat hari itu. Tentu, pagimu di Inggris sana pasti jauh lebih indah. Aku bayangkan, saat kau membuka jendela, pemandangan jauh lebih indah. Mungkin saja salju atau gerimis kecil, lampu-lampu kota yang belum lama padam, suara lonceng dari sebuah gereja, derap langkah kolegamu, kidung gregorian dari sebuah ibadat pagi atau gaduhnya suara merpati berebut makanan. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku berharap pagimu sungguh indah di sana.
Sahabat, aku sengaja tidak memanggil dirimu dengan kata 'romo' seperti biasanya. Aku lebih senang memanggilmu sebagai sahabat, sahabat yang memunyai namanya sendiri. Toh, aku juga tidak begitu suka dengan kata itu. Bukannya aku tidak mau menghormatimu yang notabene adalah seorang pastor muda. Pasti kita sepakat, seseorang dihormati bukan lantaran gelarnya atau jubahnya, entah itu profesor atau romo sekalipun. Toh bukan gelar atau jubah yang menyucikan pastor, tapi sebaliknya. Apalagi, kata itu, menurutku, sering membuat orang berperilaku munafik. Tidak jujur. Baik bagi yang menyandangnya maupun orang-orang di sekitarnya. Gelar itu yang lebih sering mengatur perilaku dan hidupnya di depan orang-orang, ketimbang nuraninya. Kata itu pula yang sering memicu orang untuk tidak otentik dan bertopeng. Kata itu juga suka membuat orang oportunis, menjadi para penjilat di depannya. Dan mereka bertebaran di lingkungan gereja kita. Jangan marah karena aku memanggilmu tanpa gelar itu. Aku hanya ikut-ikutan Yesus sendiri yang memanggil para muridNya sebagai sahabat. Tidak ada lagi tuan. Tidak ada lagi budak. Kita sejajar sebagai sahabat.

Sahabat, aku menyapamu dalam surat ini dengan kata 'jendela.' Yah, ini terkait dengan dua surat kita. Kamu malah mempertanyakan "apakah Gereja memunyai jendela memangnya?". Tidak tahukah kamu bahwa kata 'jendela Gereja' adalah sebuah metafor. Aku yakin, sebagai pastor, kamu juga paham kata-kata itu. Metafor 'jendela' itu sangat populer untuk merujuk pada dibukanya Konsili Vatikan II (1962-19654) oleh Yohanes XXIII yang kemudian diteruskan oleh Paulus VI. "Bukalah jendela lebar-lebar" atau sering disebut aggiornamento merupakan jargon Gereja saat itu untuk melakukan pembaruan. Membiarkan angin segar dunia masuk dan Gereja tidak beku dan sumpek lagi. Semua itu sekadar metafor dari mimpi-mimpi pelaku konsili. Gereja mulai membuka diri dan ramah pada dunia. Dan kita tahu, Konsili Vatikan II telah melahirkan dokumen-dokumen yang cukup progressif, khususnya buat Gereja Katolik sendiri. Gereja mulai bicara soal kebebasan, HAM, demokrasi, peranan awam, keadilan sosial, dan sebagainya. Duh, sebuah titik sejarah yang pantas dikenang. Sampai-sampai, kita lebih senang mengagung-agungkan titik sejarah itu dan melupakan bahwa sebenarnya Gereja sendiri masih setengah hati menjalankan 'proyek' Konsili Vatikan II itu. Aku sendiri menyebutnya dengan "jendela yang setengah terbuka."

Sebagai orang yang menjadi Katolik selama 20 tahunan, aku sendiri memberanikan diri tenggelam dalam kegelisahan iman, kegelisahan intelektual, dan kegelisahan hatiku. Curah hatiku yang sudah aku kirim jauh-jauh hari itu adalah ungkapan jujur diriku. Aku tidak lagi memandang Gereja sebagai yang absolut kudus, absolut satu, tidak tersentuh oleh kritik dan masukan, dan sebagainya. Tapi, geli juga melihat tanggapan berjibun dari para sahabat di milis ini. Sebagian besar menilai negatif atas kejujuranku itu sampai lupa pada pembahasan pokok-pokok persoalan yang aku lontarkan. Aku malah menduga, jangan-jangan ini adalah bukti nyata produk-produk kepatuhan dari mesin religius yang membuat orang cepat-cepat mencap jelek orang yang melontarkan kritik dan membela mati-matian institusi/hal yang dikritik, ketimbang memperhatikan dengan jujur isi dari kritikannya. Duh, fenomena yang sangat memprihatinkan bagiku. Gak tahu juga, apakah ini adalah produk 'pembodohan' yang tidak kita sadari selama ini? Aku juga heran, apakah selama menggereja, mereka tidak menemukan pergulatan-pergulatan sepertiku? Aku setuju dengan opini dari seorang sahabat milis, bahwa pertanyaan-pertanyaan itu juga pernah kita alami semua. Tapi, bisa jadi karena gengsi, takut dianggap tidak kristiani, takut dianggap krisis iman, merasa berdosa, tidak pantas, dan sebagainya, orang-orang itu tidak berani jujur. Aku malah semakin meyakini kalau memang fenomena ini yang terjadi, inilah keberhasilan dari 'mesin kepatuhan' itu sehingga membuat orang tidak berani jujur dengan dirinya sendiri dan membuatnya merasa bersalah jika menilai sistem dari 'mesin' itu tidak sesuai dengan hatinya. Bisa jadi, gereja adalah kumpulan orang-orang munafik, orang-orang takut. Munafik dan takut dengan dirinya sendiri.

Sahabat, kamu dan para sahabat lain, mencoba menyadarkan aku dengan mempertanyakan lagi siapa sebenarnya yang disebut dengan Gereja? Perlu diperjelas, apakah Gereja yang dimaksud adalah hierarki dengan barisan para klerusnya atau semua umat (kita-kita ini). Kalimat terakhir yang kamu tulis "dandani diri sendiri maka kita memperbaruhi Gereja." Kamu juga menyarankan aku untuk bersikap realistis pada Gereja. Duh, sebuah ajakan bijak yang luar biasa bijak. Ajakan memperbarui dari diri sendiri. Bagiku, Gereja memang kita semua, tetapi Gereja juga BUKAN kita semua. Justru, aku menyarankan kamu yang harus realistis dalam memandang Gereja ini. Selama ini, siapa yang masih mempunyai otoritas untuk mengatur, memberi kebijakan, membuat hukum, membuat tata aturan, membuat liturgi, membuat dogma, mengarahkan, mewajibkan, mengajak, mengatur kontrasepsi, dan sebagainya? Kalau kamu benar-benar realistis, yang mengatur Gereja selama ini adalah hierarki dengan barisan para klerus yang laki-laki itu. Gak bisa disangkal, Vatikan masih berperan mengatur hidup dan tata ibadat kita. Gereja adalah kita dan sekaligus juga Gereja BUKAN kita. Kita masih tergantung pada struktur yang punya daya cukup kuat dan pengaruh itu masuk ubun-ubun kita sampai dibuatnya sedemikian patuh. Bahkan, tubuh-tubuh kita pun ikutan patuh.

Perubahan dimulai dari diri sendiri, bagiku adalah dalam taraf pertobatan personal, hidup pribadi yang lebih baik, manusiawi, dan bertanggung jawab. Tetapi, perubahan atas sistem dan struktur tidak bisa dilakukan oleh diri sendiri. Ini menyangkut otoritas yang menjalankan dan membuat sistem atau struktur itu. Namun, aku belajar banyak dari Luther (sosok yang kamu pandang sebelah mata itu). Bagiku, gerakan dia justru berawal dari perubahan diri sendiri. Ia protes, ia mengkritik, dan ia mengubah sendiri sikapnya terhadap Gereja Katolik. Ia menjadi orang yang tidak taat lagi. Kemudian, berkat mesin cetak Guttenberg, ide-ide kritisnya disosialisasikan ke banyak orang. Orang-orang yang sependapat akhirnya bergabung. Muncullah apa yang namanya ketidaktaatan sipil (civil disobedience). Nah, ketidaktaatan sipil inilah yang aku maksud dalam metafor "badai Katrina" yang suatu saat bisa datang dan meruntuhkan struktur Gereja itu sendiri, justru kalau otoritas sekarang yang berwenang tidak mengadakan perubahan.

Menurut opini pribadiku, Gereja jelas-jelas setengah hati dalam melakukan pembaruan diri. Bahkan, dalam level tertentu, Gereja tampak mengalami inkonsistensi. Tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Gereja berkoar-koar soal demokrasi, komunitas basis, keadilan gender, penghormatan HAM dan suara itu begitu indah dan merdu didengarkan di luar. Tapi, aku sendiri menilainya hanya retorika di luar saja. Setengah hati bila ditatapkan dengan realitas di dalam Gereja sendiri. Gereja tidak mengoreksi struktur dan sistemnya: apakah struktur dan sistem selama ini sungguh mengantarkan Gereja sendiri pada cita-cita mulianya itu? Termasuk di sini sistem-sistem yang diberlakukan dalam tata ibadat (liturgi).

Gereja di satu sisi menggencarkan penghormatan pada perempuan, penolakan segala bentuk kekerasan pada perempuan, dan kesetaraan gender. Tapi, apakah Gereja benar-benar menjalankan itu dengan sepenuh hati? Tidak. Gereja belum menghormati perempuan dalam tataran struktural, Gereja masih menghormati perempuan sebatas supporting system saja, Gereja juga belum menghormati perempuan dalam tataran teologis. Bagaimana mungkin perempuan-perempuan Gereja menjalankan ajaran mengenai diri dan ketubuhannya dari ajaran-ajaran yang dirumuskan laki-laki yang mengklaim diri tidak kawin itu? Gereja begitu menghormati Maria Ibu Yesus, tapi Gereja tidak pernah dengan sungguh-sungguh menghormati keperempuanannya dan Maria-Maria lain yang bertebaran di dalam Gereja sendiri. Di benakku, ini sebuah inkonsistensi Gereja Katolik. Aku sendiri senang dan setuju dengan gerakan pastor perempuan tertahbis yang sudah bergulir di beberapa negara ini. Gereja senantiasa berdalih dengan tradisi. Tapi, bagiku tradisi itu bukan membawa masa lampau ke dunia sekarang, tetapi selalu berdialog secara dialektis dengan zaman dan perkembangan kesadaran manusia. Tradisi adalah suatu yang memperbarui diri.

Gereja menjunjung HAM. Tapi, dalam taraf tertentu, ia seperti mesin Fasis yang mencampuri ruang privat manusia di dalamnya. Sampai-sampai mencampuri urusan pemakaian alat kontrasepsi sebagai pembatasan kelahiran dengan dalih moralitas. Tapi, Gereja juga seakan masih buta melihat realitas keluarga-keluarga di dunia ketiga yang masih bergumul dengan persoalan kemiskinan dan kelaparan. Termasuk juga dengan penyakit AIDS yang fenomenal itu. Bagiku, moral yang ditawarkan Gereja bukan moral yang mendengarkan.

Dan masih banyak bentuk-bentuk inkonsistensi dari Gereja Katolik sendiri. Termasuk soal peranan awam dan komunitas basis. Di sana, sistem dan struktur sering membuat peranan awam dan proses pembentukan komunitas basis ini malah berjalan di tempat dan tidak berjalan optimal. Lantaran terlalu birokratis. Termasuk dalam liturgi Gereja yang bagiku sih masih kaku, dingin, dan tidak fleksibel untuk sebuah kreativitas. Lebih parah lagi, seperti yang sering aku sebut, ini menumbuhkan kepatuhan semu (baik hati, pikiran, dan tubuh). Aku hanya mengingatkan saja bahwa kekakuan dan kepatuhan religius ini bisa menumbuhkan kesalahan-kesalahan fatal. Misalnya saja, lahirnya budak-budak ajaran (pokoknya hidup adalah apa yang dikatakan Gereja dan segala aturannya). Kemudian juga bisa melahirkan praktik ibadat yang kekanak-kanakan (infantilisme) . Dalam infantilisme, orang lebih senang merengek-rengek dalam doa, merayu-rayu Tuhan, senang memposisikan diri dibimbing dan enggan bertanggung jawab. Ada juga konformisme yang membuat orang merasa aman dan nyaman dalam keseragaman dan mematikan potensi-potensi diri sendiri sehingga matilah kedirian. Orang lebih senang menjadi nobody ketimbang somebody. Bisa jadi, Gereja dalam praktik ibadatnya justru tidak membuat orang-orang menjadi berdaya (berjiwa merdeka), tetapi sebaliknya memasung dan menjadikan mereka menjadi pribadi-pribadi tak berwajah dan suka mimikri (kayak bunglon).

Sahabatku, X. Kamu memandang sebelah mata sosok Luther dan Leonardo Boff. Sejauh aku tahu, mereka tidak pernah mengklaim diri sebagai pembaharu Gereja. Bahkan, istilah Reformasi Protestantisme sendiri bukan istilah Luther sendiri, tapi istilah dari ahli sejarah Gereja untuk menandai peristiwa penting itu. Kamu menganggap istilah "Protestantisme" sebagai sebuah istilah yang tidak terlalu enak didengar. Bagiku, yang tidak enak didengar itu justru istilah korupsi dalam Gereja, penilapan uang pembangunan Gereja, jual-beli sakramen, skandal, pedofilia dari para pastor Katolik, dan sebagainya.

Aku sendiri menyukai Luther dan sikap kritis dan keberaniannya, meski beberapa ajarannya aku sendiri tidak sependapat. Aku sangat senang dengan isi kritiknya. Justru kita belajar banyak darinya bahwa Gereja Katolik sendiri pernah melakukan hal-hal nista: menjual surat pengampunan dosa untuk membayar utang dalam pembangunan Basilika St. Petrus, menakut-nakuti orang dengan istilah dosa dan hukuman neraka, menyimpan gundik-gundik dan pelacur di kolong-kolong biara, menyatakan Gereja (dan paus) tidak pernah sesat, menghalalkan darah tak berdosa, jadi mesin kekerasan, mesin kemunafikan, dan sebagainya. Keberanian menggumuli pergulatan dan keprihatinannya itulah yang aku sukai dari diri Martin Luther. Dan pintu kapel Wettenberg itu pun menjadi saksi kejeniusan Luther.

Leonardo Boff hampir mirip. Ia ikut melahirkan Teologi Pembebasan bersama Gustavo Gutierrez. Sebuah teologi untuk menjawab teologi Vatikan yang mandul dan ompong. Ia dikenal sebagai pendukung gerakan-gerakan sayap kiri, suka membentuk komunitas-komunitas basis, aktif berjuang soal HAM, ia menjadi pengkritik pada peranan-peranan Gereja Katolik yang ikut mendukung sistem ekonomi yang menindas komunitas, dan sebagainya. Justru, aku sendiri berterimakasih pada Boff karena semakin memelekkan diriku akan sejatinya hidup menggereja. Itulah, kadang aku melihat gerakan yang dimulai Jesus, si gembel dari Nazaret itu justru jauh dipermiskin oleh apa yang namanya Gereja Katolik seperti sekarang ini. Kasihan, Yesus diperosokkan dalam penjara-penjara buatan Gereja...

Kadang, aku merasa heran dengan diri kamu. Kamu seorang pastor yang beruntung bisa menikmati pendidikan tinggi di luar negeri. Kamu belajar filsafat dan teologi. Aku salut dan iri tentang itu. Namun, aku membayangkan kenapa kamu masih memandang hitam putih fenomena Luther dan Boff, belum Hans Kung. Aku sendiri membayangkan, orang yang semakin tinggi pendidikannya justru bisa memandang fenomena tidak hitam putih, tetapi menyeluruh (wholly). Realitas dipandang dari seribu satu mata. Aku heran apakah ketika kamu mempelajari lika-liku dan labirin filsafat dan teologi, kamu benar-benar mengalami pergulatan. Bagiku, filsafat membantuku untuk berani bergulat dan berani memasuki lika-liku hidup yang kompleks ini. Atau kamu sebenarnya memunyai beban sehingga kamu tidak berani masuk dalam pergumulan itu hanya lantaran kamu seorang pastor, seorang anggota ordo yang ditugasi belajar oleh provinsial, dan sebagainya? Apakah kamu juga tidak pernah bergulat tentang hidup dalam Gereja Katolik sendiri? Sama seperti ketika kamu menggumuli keraguan dan pergulatan panggilan imamatmu? Aku berharap kamu menjadi seorang pembelajar sejati yang berani menjadikan ilmu-ilmu yang kamu dapatkan untuk menggumuli hidupmu sendiri. Di sanalah, letak keindahan hidup karena kita berani jujur dengan diri kita sendiri. Aku sendiri senang memegang kata-kata Thomas Aquinas dalam mundo et caelo: "Belajar filsafat itu tidak hanya mengetahui apa yang dipikirkan dan diperkarakan para filsuf, tetapi bagaimana kebenaran-kebenaran perkara itu digulati." Kata-kata Aquinas ini pernah aku pajang di meja belajarku saat aku masih di Kolese Hermanum lalu. Tapi, aku senantiasa dukung kamu dalam proses studimu. Bagiku, belajar adalah kegiatan sangat mulia. Jujur, dalam sepotong kejujuranku, aku iri padamu karena kamu bisa mengenyam pendidikan di sana. Tapi, semangatku untuk mencecap dan memamah buku-buku tidak bakalan sirna.

Sahabat, mungkin kegelisahan ini tidak akan sampai terdengar di jendela Vatikan nun jauh di sana. Mungkin aku laksana seekor semut yang kepanasan di lapangan St. Petrus dan Paus pun tidak mampu memandang diriku dari balik jendela kamarnya. Tapi, aku percaya, kelak akan ada semut-semut yang berduyun-duyun dan menggoyang kemapanan Gereja, tempatnya bertakhta dan memerintah. Tinggal menunggu waktu. Dan dari kesenyapan, suara itu sudah bisa didengar.

Itu dulu ya. Sori banget kalau suratku panjang. Semua yang aku tulis ini adalah ungkapan kejujuranku. Aku hanya mengajakmu untuk menjadi manusia pemberani untuk masuk dalam ketakutan-ketakutan dan pergulatan. Dan bukannya menghindari dengan bersembunyi dalam institusi Gereja yang menjadi sebuah zona kenyamanan tersendiri. Semoga apa yang kamu baca dan dapatkan dari meja kuliah dan dialog dengan profesor-profesor kawakan di sana, semakin menjadikan dirimu otentik. Jadilah manusia merdeka! Itulah pesan Yesus. Olok-olokannya: Christ, Yes! Chruch, No!!!!

Aku minta maaf jika ada kata-kata yang menyinggung. Ini sebuah kejujuranku. Ngomong-omong, bagaimana dengan kabar London? Apa yang kamu lihat ketika kamu membuka jendela kamarmu di pagi hari? Aku bermimpi suatu saat aku akan pergi dan belajar di sana dan melihat seperti yang kamu lihat, hue he he...

Salam dari "Sang Musafir Muda"
Sahabat Yesus Kristus dan sahabatmu

B. Letters from God
Saat kau bangun di pagi hari, Aku memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada-Ku, walau hanya sepatah kata, meminta pendapat-Ku atau bersyukur kepada-Ku atas suatu hal indah yang terjadi dalam hidupmu kemarin. Tetapi, Aku melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk bekerja. Aku kembali menanti. Saat engkau sedang bersiap, Aku tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapa-Ku; tetapi engkau terlalu sibuk. 

Di satu tempat engkau duduk di sebuah kursi selama lima belas menit tanpa melakukan apapun. Kemudian Aku melihat engkau menggerakkan kakimu. Aku pikir engkau ingin berbicara kepada-Ku; tetapi engkau berlari ke telpon dan menelpon seseorang teman untuk mendengarkan gosip atau cerita terbaru.

Aku melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan Aku menanti dengan sabar sepanjang hari. Dengan kegiatanmu, Aku pikir engkau terlalu sibuk untuk mengucapkan sesuatu kepada-Ku. Sebelum makan siang Aku melihatmu memandang ke sekeliling; mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepada-Ku, itulah sebabnya kenapa engkau tidak mengawalinya dengan doa. Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara kepada-Ku dengan lembut sebelum mereka makan, tetapi engkau tidak melakukannya. Tidak apa-apa! 

Masih ada waktu yang tersisa, dan Aku berharap engkau akan berbicara kepada-Ku, meskipun saat engkau pulang ke rumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan. 
Setelah beberapa hal selesai engkau kerjakan, engkau menyalakan televisi, aku tidak tahu apakah kau suka menonton televisi atau tidak, hanya saja engkau selalu ke sana dan menghabiskan banyak waktu setiap hari di depannya, tanpa memikirkan apa pun hanya menikmati acara yang ditampilkan. Kembali aku menanti dengan sabar saat engkau menonton TV dan menikmati makananmu tetapi kembali kau tidak berbicara kepada-Ku. 

Saat tidur Ku-pikir kau merasa terlalu lelah setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu, kau melompat ke tempat tidur dan tertidur tak lama kemudian. Tidak apa-apa, karena mungkin engkau tidak menyadari bahwa Aku selalu hadir untukmu. Aku telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari. Aku bahkan ingin mengajarkanmu bagaimana bersabar terhadap orang lain. Aku sangat mengasihimu, setiap hari Aku menantikan sepatah kata, doa atau pikiran serta syukur dari hatimu. 

Baiklah... engkau akan bangun kembali dan kembali Aku akan menanti dengan penuh kasih bahwa esok pagi kau akan memberiku sedikit waktu. 
Semoga hari-harimu menyenangkan. 

Salam dari “Sang Cahaya"
Pax et Bonum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar