Ads 468x60px

Diam : “Dalam Iman, Aku Menang”


Siti Musdah Mulia, seorang pakar Islam sekaligus aktivis perempuan ini, pernah mengenalkan konsep tentang ‘puasa bicara.’ "Puasa bicara jauh lebih sulit ketimbang puasa biasa. Menahan diri dari berbicara ternyata jauh lebih berat daripada menahan makan dan minum." 


Lewat puasa bicara, sebetulnya kita dikondisikan untuk melakukan refleksi, melakukan permenungan, duc in altum (bertolak lebih dalam). Bicara soal puasa bicara ini, saya teringat istilah khas seminari, yakni: silentium magnum (Bhs Latin: silentio, diam). Laku ini selalu dilakukan para biarawan dan biarawati di lingkungan Gereja Katolik, biasanya setiap jam 22.00 sampai jam 08.00. Silentium itu bahasa Indonesianya, ya, ‘puasa bicara’. Orang Hindu mungkin menyebutnya sebagai ‘Nyepi’.

Selama silentium, kita dilarang bicara. Kalaupun bicara, ya, hanya perlu-perlu saja. Radio, televisi, ponsel, harus dimatikan. Kita diajak melakukan refleksi, semacam introspeksi diri. Berusaha mendengarkan suara hati, membaca kitab suci dan melakukan permenungan batin (baca: pengendapan: internalisasi).

Setiap saya memberi retret, (tak peduli anak-anak SD, SMP, SMA, Mahasiswa atau keluarga), namanya juga tidak biasa diam, kerap banyak peserta retret/khalwat ini yang kerap keceplosan bicara. Atau senyam-senyum, lirak-lirik, senggal-senggol, menggoda temannya. Tapi, mengingat manfaatnya besar, naga-naganya kita perlu belajar ‘puasa bicara’ alias diam. Meneladani Bunda Maria yang terbiasa melakukan latihan rohani ini, perlulah kita mengingat tulisan Lukas Penginjil: “Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:19). 

Seorang pemikir klasik Denmark, Soren Kiekegard, dalam The Seven Different Types of Prayer, mengatakan, “jika aku seorang ahli kejiwaan dan jika aku diijinkan untuk membuatkan resep bagi semua orang yang sakit di dunia, maka aku akan memberi resep mereka supaya mengusahakan keheningan dalam hidup mereka.” Michelangelo, seniman Italia menyatakan bahwa buah karya seni besar tak lepas dari kesepian (hening). Kesepian itu memungkinkan kita berdialog dengan diri kita sendiri dan tidak ikuti begitu saja apa yang menjadi model umum. Hening membuat kita jadi asyik berpikir dan peka merasa. Walau kadang, hening itu mengganggu, karena akan kelihatan mengambil jarak terhadap dunianya. Tapi yang pasti berjarak bukan berarti tercabut seluruhnya dari dunianya bukan? RA.Kartini dari Jepara, juga mengutip kata-kata seorang perempuan tua yang menyuruhnya berdiam dan berpuasa: 'Melalui menahan diri dan tafakur, kita pergi menuju terang'. Baginya, 'berpuasa adalah cara mengatasi yang jasmani oleh yang rohani; kesendirian adalah sekolah untuk tafakur”.

Tuhan sendiri, kata Bunda Teresa, sebetulnya bersahabat dengan diam....Kembang tumbuh tanpa kata - bulan tanpa gaduh. Goenawan Muhammad mengatakan, Tuhan sebenarnya tak juga selalu perlu pengeras suara. Biarawan/wati trapist di Rawaseneng dan Gedono Salatiga, menjalani hidup tanpa banyak bicara. Orang Jawa menyebut, mereka ‘berkata dalam hati’ (mbatin). Orang Hindu menyebut sunyata (kosong/suwung). “Karena bukan berlimpahnya pengetahuan yang memenuhi dan memuaskan hati, tetapi merasakan dan mencicipi perkaranya” [LR. No.2]. 

Maka dari itu, arti “diam” : Dalam Iman aku Menang. 
Sudahkah kita berdiam diri sejenak hari ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar