Ads 468x60px

Tanah: “Tempat Aku Nanti Akan Hilang”


La vita e bella! Tiga kata dalam bahasa Latin ini berarti “Hidup itu indah”, adalah sebuah judul sinema romantis, yang dilakonkan Roberto Benigni. Tapi, bukankah hidup kita tak selamanya indah bukan? Hari ini sehat, besok bisa sakit. Hari ini untung, besok bisa rugi, hari ini tertawa, besok bisa menangis. Bahkan hari ini hidup, besok bisa jadi mati bukan?


Bicara soal mati, saya teringat filosofi sederhana seputar tanah. Nama manusia pertama kita, yakni Adam. Adam sendiri artinya, dari tanah. Di Israel, ada sebuah laut dengan nama Laut Merah. Mengapa namanya Laut Merah? Warna airnya tidak merah, ikannya pun tidak merah. Dinamakan begitu ternyata karena di belakang laut itu, terhampar sebuah gunung dengan nama Gunung Edom/Adam, artinya, tanah yang berwarna merah. 
Sebuah penggalan novel cinta Tingkok kuno, mengisahkan, kematian kerap menjadi saat pelepasan, seperti kupu kupu yang terbang dalam lakon Sam Pek Eng Tay. Disana digambarkan, bahwa cinta sejati tak pernah lapuk oleh kekejaman, atau kekerasan, oleh tanah atau kuburan. Cinta itu akan terbang, seperti sepasang kupu-kupu, hilang dan lepas ke langit tinggi, bebas dan abadi. 

Hal di atas sesungguhnya bukanlah sesuatu yang abstrak. Sehari-hari kita mengalaminya secara konkret. Itu terjadi ketika misalnya kita harus berpisah dengan orang yang kita cintai, atau harus melepas milik kita yang paling kita sukai. Atau ketika kita harus mengorbankan diri untuk orang lain. 

Hidup kita pun sebenarnya berangkat dari satu kehilangan ke kehilangan yang lain, sampai nanti kita sendiri pun juga akan hilang (baca: kematian), “dari tanah kembali ke tanah”. Maka dari itu, arti tanah bagi saya yakni, “Tempat Aku Nanti Akan Hilang”. Pada kehilangan besar, yang namanya kematian ini, kita memang tak pernah punya pilihan lain. Paulo Coelho, menyebutkan dengan lugas, apabila bagi kita, hidup adalah pertempuran melawan kematian, maka kita harus sadar bahwa kematian akan selalu menang. 

Nah, lantaran kematian itu sesuatu yang pasti, kita tidak hanya dituntut mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Tetapi juga, kalau bisa, memilih cara kematian itu terjadi. Cara kematian yang terhormat, punya makna bagi kehidupan orang lain. Bukan kematian yang sia-sia dan tidak bermakna, seperti kematian seorang pengecut. 

Ngomong-ngomong, sudah siap mati dan kembali ke tanah belum?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar