Ads 468x60px

Mama, Aku Bangga Jadi Anak Mama


Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, aku melihat anak muda itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumahku. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali dipakai mengelap keringat di keningnya.

Dadaku berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang nampaknya umurnya tak jauh dengan anak sulungku yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat sikapnya yang gelisah, apakah dia punya maksud buruk dengan keluargaku? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari di saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anakku?

Kenakalan remaja saat ini bukan masalah sepele lagi. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal sia-sia. Aku berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, aku mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Pagi ini, aku hanya sendirian di rumah. Mas Bagus, suamiku, ke kantor. Yudi dan Yuni anakku sekolah, dan Bi Nia sudah seminggu ini tidak masuk. Jadi kalau anak muda itu memaksa masuk dan menodongku, aku bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Apakah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Aku sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang listrik. Aku punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu dengannya. Aku memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi di zaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Aku masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Aku masih was-was karena anak muda itu sesekali melihat ke rumah. Apa maksudnya? 

Terlintas di pikiranku untuk menelepon tetangga. Tapi aku takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk sekompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanyai dulu baik-baik, coba kalau belum apa-apa ada yang langsung memukulnya.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debar jantungku mengencang kembali. Tekadku untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kakiku tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, aku ingat, aku pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Aku masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki masih terasa lemas.

Aku pernah melihat anak muda itu di jembatan penyeberangan kira-kira dua minggu yang lalu. Aku pulang membeli bumbu kue waktu itu. Ketika aku berjalan di jembatan penyeberangan tiba-tiba ada yang menabrakku. Aku hampir jatuh. Aku sangat yakin yang menabrakku ya anak muda yang mondar-mandir di depan rumah itu. Dia meminta maaf dan bergegas mendahuluiku. Aku jengkel, apalagi begitu sampai di rumah aku tahu dompet yang tersimpan di kantong plastik, jadi satu dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, anak muda itu, mengembalikan dompetku melalui celah di atas pintu. Setelah kuperiksa, uang tiga ratus lima puluh ribu lebih dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang. Lama aku memandangi dompet itu. Seperti mimpi rasanya. Anak muda itu mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Aneh!

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu aku menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Aku baca surat yang ternyata isinya seperti ini :

“Ibu yang baik..., maafkan aku telah mengambil dompet Ibu. Tadinya aku mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi aku tidak punya tempat untuk mengadu, maka aku tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.
Sudah tiga bulan aku berhenti sekolah. Bapakku di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang nunggak berbulan-bulan. Karena kemampuan keluarga yang minim itu aku berpikir tidak apa-apa aku sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat aku sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan main judi.

Adikku ada tiga, semuanya juga terpaksa keluar dari sekolah. Ibuku berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adikku membantu mengantarkannya. Aku berjualan koran, untuk membantu beli beras.

Aku sadar, dalam keadaan seperti ini, aku harus berjuang lebih keras. Aku ikhlas melakukannya. Dari pagi sampai malam aku bekerja. Tidak hanya jualan koran, aku juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang ngamen. Tapi dari uang yang pas-pasan itu, masih juga diminta Bapak untuk judi. Dia janji akan mengganti kalau menang. Tetapi selama ini belum pernah menang. 

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada ibu, kadang sambil marah-marah dan memukul, aku tidak kuat untuk diam. Aku mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, aku membalasnya sampai Bapak terjatuh. Ibu memarahi aku dan mengatai sebagai anak laknat. Aku sakit hati. Aku bingung. Mesti bagaimana aku?

Saat ibu sakit dan Bapak semakin menjadi-jadi dengan judinya, sakit hatiku semakin menggumpal, tapi aku tidak tahu mesti berbuat apa. Untuk membawa Ibu ke dokter saja aku tidak sanggup. Bapak semakin jarang pulang. Nampaknya dia tidak peduli. Hampir aku memukulnya lagi.

Di jalan, saat aku jualan koran, aku sering iri dan sakit hati tapi tidak tahu kepada siapa dan karena apa. Ibu tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain dengan mobil mewahnya melenggang begitu saja di depanku, sesekali bermain dengan handphonenya yang nampaknya cukup mahal. Dan di seberang stopan itu, di restoran bertingkat, orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekadku, ibu harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, aku merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari aku mengikuti bus kota, tapi aku tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Aku gagal jadi pencopet.

Ketika aku mengamati orang-orang yang sedang belanja di took itu, aku melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Lalu aku mengikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, aku pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Aku gembira ketika mendapatkan uang 350 ribu lebih.

Aku segera mendatangi ibu aku dan mengajaknya ke dokter. Tapi ... Ibu malah menatap tajam. Dia menanyakan, dari mana aku dapat uang. Aku sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabunganku, atau meminjam dari teman. Tapi aku tidak bisa berbohong. Aku mengatakan sejujurnya, ibu mengalihkan pandangannya begitu aku selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Ibu menangis. Aku tidak pernah merasakan kebingungan seperti ini. Aku ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 350 ribu lebih sebenarnya aku bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa aku jadi pencuri. Tidak peduli dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak peduli kepadaku. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”

Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali aku baca. Berhari-hari aku mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Tidak ada yang mengenal anak muda itu ketika aku menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, aku membaca dan membaca lagi surat dari anak itu. Surat itu membuat aku tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan aku. Aku tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Mas Bagus membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, aku tidak segembira biasanya. Aku malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Mas Bagus dan kedua anakku mungkin merasa aneh melihat sikapku akhir-akhir ini. Tapi ... hatiku tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginanku untuk makan di restoran yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.Aku menolak meski Mas Bagus bilang tidak apa sekali-sekali. 

Saat aku ulang tahun, suami menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi aku ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tanganku sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi kubikin. Diantar suami dan kedua anakku, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan. Di stopan terakhir yang kami kunjungi, aku mengajak suami dan kedua anak aku untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir di mata aku. Yuni menghampiri aku dan bilang, “Mama, aku bangga jadi anak Mama.” Dan aku ingin menjadi ibu bagi ribuan anak-anak lainnya. 

Berkah Dalem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar