Ads 468x60px

Jumat 17 Juli 2015

Pekan Biasa XV
Kel 11:10-12:14; Mzm 116:12-13,15-16bc,17-18 ;Mat 12:1-8

“Audiatur et altera pars -Dengarlah semua sisi”.
Ini adalah sebuah ungkapan yuridis yang konteksktual karena kita kadang mudah menghakimi dan mengadili yang lain, tanpa pernah mencoba memahami konteksnya yang lain secara utuh, penuh dan menyeluruh. Kita mudah asyik “berbicara tentang dia”, tapi belum atau bahkan tidak pernah “berbicara dengan dia”. Ini bisa terjadi di masyarakat tapi juga sangat bisa terjadi di lingkungan gereja kita sendiri.

Mungkinkah ini wajah sebuah masyarakat “farisi” jaman sekarang ketika kita sibuk memperbincangkan belaskasihan tapi sebenarnya tak pernah punya rasa belaskasihan? Kasih yang hanya pada kata-kata tapi tidak menjadi “daging” karena apa yang dikatakan tidak sekaligus dinyatakan.

Kata Farisi sendiri berasal dari bahasa Ibrani פרושים p'rushim, dari perush, yang berarti penjelasan. Jadi kata Farisi berarti "orang yang menjelaskan" (לפרש, "lefareish"). Dari literatur rabinik, mereka adalah perkembangan dari kelompok Hasidim, yang menganggap diri sebagai orang beragama yang saleh dan terpisah dari orang biasa serta tergambarkan sebagai pengamat dan penegak hukum Taurat yang sangat teliti. Mereka mudah memandang hukum sebagai sesuatu yang statis dan mereka seolah merasa berhak menjadi “hakim” untuk sesamanya yang lain. Dalam bahasa Paulo Coelho, “sang Alchemist”: mereka kerap menghakimi dosa orang meski mungkin banyak diantara mereka yang berbuat dosa yang serupa bahkan lebih, mereka kadang mengancam orang dengan api neraka atas pelbagai kesalahan yang sebetulnya juga kerap mereka lakukan.
Nah, di tengah maraknya kebiasaan bergunjing dan menjadi hakim” atas yang lain karena lebih mudah “menjelaskan” daripada “melaksanakan”, lebih mudah “besar mulut” dibanding “lebar telinga”, Yesus mengajak kita kembali menjadi orang yang berhati tulus, yang tidak penuh akal bulus tapi sungguh mau berhati nurani.
Adapun tiga jalannya, al:
1.Via positiva:
Kata-kata dapat membantu ketika penuh pujian tapi dapat pula membatu ketika penuh makian dan gosipan. De iure, kata kata dalam hukum bisa berarti “Hadir Untuk Keselamatan Umat Manusia”, sehingga wajarlah Hukum Gereja berkata “Salus animarum suprema lex – Hukum yang tertinggi adalah keselamatan jiwa jiwa. Inilah sebuah dasar yang bukan hanya dikatakan tapi harus dinyatakan termasuk juga oleh “para ahli hukum” untuk melihat segalanya secara positif. De facto, semua perkataan kita kadang seperti orang farisi yang mudah kritis pada orang lain tapi lupa kritis pada diri sendiri, karena kita mudah juga memberi cap buruk kepada “yang lain”, dan itu biasanya “semper accusat – selalu menuduh. Yang pasti, bukankah orang miskin kekurangan banyak , tetapi orang yang mudah berpikir buruk akan kekurangan segala-galanya?
2.Via purgativa: 
”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.” Inilah teguran Yesus kepada orang Farisi yang mudah menghakimi sesamanya dengan dalih hokum Taurat. Seperti orang Farisi yang punya banyak dalih dan kepentingan, kita kadang juga punya banyak kepentingan terselubung, semacam “hidden agenda” agar orang lain salah dan kita benar/dibenarkan. Disinilah kita perlu jujur memurnikan (purgativa) niat dan tindakan kita, karena kadang hati kita bukan melulu punya “intentio pura” (maksud yang murni) tapi “intentio pura-pura” (maksud yang palsu).
3.Via misericordia: 
"Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan". Persembahan kepada Tuhan dan derma kepada sesama tentu saja baik tapi hal itu tidak bermakna sama sekali jika tidak dilakukan atas dasar belas kasih (misericordia). Bukankah iman adalah tindakan, ya tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia, menjadi lebih punya hati nurani dan bukan basa basi yang sibuk menghakimi. Dkl: Orang yang sungguh-sungguh hidup adalah seseorang yang sudah mengalami banyak "kematian", minimal kematian dari cinta diri dan kesombongan yang berlebihan.
Singkatnya:
Ketika kita menghayati hukum Allah dalam hati kita, kita harus tahu cara bertindak dengan penuh kasih dan belarasa pula. Dalam kasus ini, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai penafsir hukum yang penuh wibawa dan ia melakukan itu dalam perspektif (membela) kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa belas kasih lebih utama dari sekadar ritualisme belaka.
Inilah sebuah "core value", nilai dasar kristiani yang sebenarnya harus dilandasi oleh citarasa yang ber-belaskasihan, "misericordia". Ia melihat esensi/isi-bukan dekorasi/kemasannya, bukan besarnya persembahan tapi kerelaan hati. Bisa jadi, itu sebabnya Gereja Katolik tidak lagi mewajibkan umatnya untuk memberi 10% penghasilan bulanannya seperti praksis umat Perjanjian Lama (Kej 14:17-24; Ul 14:22-23; Neh 10:37-38; Im 27:32-33) karena "Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7). Ia mengajak kita menjadi orang yang memberi dengan hati riang dan ringan, tidak mengharapkan balas jasa tapi dilandasi oleh rasa syukur karena didasari cinta pada yang ilahi, sehingga kita tulus dan tidak munafik karena: "celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang Farisi karena yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan (Mat 23:23).
Jelaslah bahwa semangat dasar yang ditekankan bukanlah kewajiban berdasar hukum/aturan/"legalitas" tapi lebih pada semangat kasih/"karitas" kepada Allah. Tidak ada artinya sebuah persembahan, jika tidak didasari oleh nada dasar C "cinta kasih", yang merupakan hukum utama dan pertama (Mat 22:37-40).
“Siti Hajar naik delman - Mari belajar memiliki semangat kerahiman”
Salam HIKers,
Tuhan berkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Pin HIK: 7EDF44CE/54E255C0.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar