Ads 468x60px

Minggu 22 November 2015

Minggu XXXIV
HR TUHAN YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM

Daniel 7:13-14; Wahyu 1:5-8; Yohanes 18, 33b - 37



"Adveniat regnum Tuum - Datanglah kerajaanMu."
Inilah salah satu harapan iman yang kita kenangkan di perayaan “Cristo Regi – Kristus Raja Semesta Alam. Ia merajai hidup sekaligus menjadi hakim atas hidup kita dan seluruh isinya. Jelasnya, Yesus adalah Tuhan yang bersahaja tapi sekaligus juga mempunyai sifat-sifat seorang raja (Bhs. Inggris: KING). Dalam bahasa Inggris, “raja” kerap diartikan “KING”, dan adapun keempat sifat Yesus sebagai RAJA/KING, antara lain:

1.Kasih: 
Yesus pasti punya kasih, karena Ia banyak bicara soal kasih, dan hidupNya pun penuh kasih bagi setiap orang. "Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi," (2 Petrus 1:4)

2.Iman: 
Setiap mukjijat Yesus, terjadi karena manusia punya iman. Bartimeus di Yerikho, Marta di Betania, Seorang perwira di Kapernaum, dan Bunda Maria di Kana menjadi contohnya. Yang pasti, Yesus pasti penuh iman, terlebih ketika Ia mau mentaati BapaNya sampai rela mati di kayu salib yang hina dina.

3.Nubuat: 
Banyak perumpamaan, dan pernyataan nubuat Yesus yang dicatat dalam Injil, bahkan yang masih bergema sampai sekarang. NubuatNya banyak menginspirasi orang, dari Presiden sekaliber Ronald Reagan, sampai bahkan mungkin seorang ahli psikologi dan motivasi sekelas Andri Wongso dkk.

4.Gaya Hidup: 
Yesus memiliki gaya hidup yang khas. Dalam setiap hidupNya, ternyata Ia selalu memilih kelompok yang KLMTD, Kecil Lemah Miskin Tersingkir dan Difable. Ketika Ia datang ke dunia, saksi pertama bukan Raja Herodes di Yudea, atau Kaisar Agustus di Roma,tapi kawanan gembala sederhana yang sedang tidur di padang rumput. Ketika Yesus memulai karyaNya pada usia 30 tahun, murid pertama yang dia pilih bukan para ahli kitab suci atau mahasiswa cerdik pandai di kota Yerusalem, tapi Yesus memilih Simon Petrus dan Andreas, seorang nelayan, penjala ikan yang miskin dan tidak pintar. Ketika Yesus bangkit dari mati, saksi pertama bukan wartawan Metro TV atau jurnalis KOMPAS atau majalah TEMPO, tapi Maria Magdalena, mantan pelacur yang bertobat.

“….Oh, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya…” [Roma 11:33-36].

Sudahlah kita juga belajar dari sang “KING” ini?

"Dari Tarsus ke Jayakarta - Tuhan Yesus adalah Raja kita."

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Pin HIK: 7EDF44CE/ 54E255C0.





NB: 
SKI - MOM : "Mary Our Mother"
Perbincangan tentang Bunda Maria dan Kerahiman Ilahi.
Minggu, 22 Nov, 10.00 - 14.00
@ Campus St Mary, Jl KH Hasyim Ashari No: 54 Jakarta.
Datanglah dan kamu akan melihatNya!!.




.
Inspirasi A:

BERKUASA ATAS SEMESTA ALAM?
Pada hari raya Kristus Raja Semesta Alam tahun B ini dibacakan Yoh 18:33b-37. Petikan ini memperdengarkan pembicaraan antara Pilatus dan Yesus. Pilatus menanyai Yesus apakah betul ia itu raja orang Yahudi ketika memeriksa kebenaran tuduhan orang terhadap Yesus. Yesus menjelaskan bahwa keraja¬an¬nya bukan dari dunia sini. Ia datang ke dunia untuk bersaksi akan kebenaran.
Injil mengajak kita mengenali Yesus yang sebenarnya, bukan seperti yang dituduhkan orang-orang, bukan pula seperti anggapan Pilatus yang sebenarnya tidak begitu peduli siapa Yesus itu. Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam ini juga merayakan kebesaran manusia di hadapan alam semesta. Itulah kebenaran yang dipersaksikan Yesus dan yang dipertanyakan Pilatus.


RAJA DALAM PERJANJIAN LAMA
Dalam alam pikiran Perjanjian Lama, raja berperan sebagai wakil Tuhan di dunia. Di Kerajaan Selatan, yakni Yudea, peran ini dipegang turun-temurun. Kepercayaan ini terpantul dalam silsilah Yesus dalam Injil Matius yang melacak leluhur Yesus, anak Daud, anak Abraham (Mat 1:1-17). Lukas menggarisbawahinya dan melanjutkannya sampai Adam, anak Allah, yakni “gambar dan rupa” sang Pencipta sendiri di dunia ini (Luk 3:23-38). Tetapi dalam menjalankan peran ini, raja sering diingatkan para nabi agar tetap menyadari bahwa Tuhan sendirilah yang menjadi penguasa umat. Kehancuran politik yang berakibat dalam pembuangan di Babilonia (586-538 s.M.) mengubah sama sekali keadaan ini. Raja ditawan dan dipenjarakan, kota Yerusalem dan Bait Allah dijarah, negeri terlantar dan morat-marit hampir selama setengah abad. Pengaturan kembali baru mulai setelah pembuangan, pada zaman Persia. Bait Allah mulai dibangun kembali (baru selesai 515 s.M.), walau kemegahannya tidak seperti sebelumnya. Tidak ada lagi raja seperti dulu walau ada penguasa setempat yang berperan dengan cukup memiliki otonomi di dalam urusan keagamaan. Pada zaman Yesus, keadaan ini tidak banyak berubah. Memang ada harapan dari sementara kalangan orang-orang Yahudi bahwa kejayaan dulu akan terwujud kembali. Maka itu, ada harapan akan Mesias Raja. Harapan ini mendasari pelbagai gerakan untuk memerdekakan diri. Hal ini sering malah memperburuk keadaan. Penguasa asing menumpas gerakan itu dan memperkecil ruang gerak orang Yahudi sendiri. Maka itu, di kalangan pemimpin Yahudi ada kekhawatiran apakah Yesus ini sedang membuat gerakan yang akan mengakibatkan makin kerasnya pengaturan Romawi. Mereka mendahului menuduh Yesus di hadapan penguasa


PATUTKAH IA?
Menurut Yohanes, memang orang pernah bermaksud mengangkat dia sebagai raja (Yoh 6:15, sehabis memberi makan 5.000 orang). Akan tetapi, tak sedikit dari mereka itu nanti juga meneriakkan agar ia disalibkan. Bukannya mereka tak berpendirian. Mereka itu seperti kebanyakan orang ingin hidup tenteram. Mereka mendapatkan roti dan ingin terus, tetapi mereka juga berusaha menghindari kemungkinan mengetatnya pengawasan dari penguasa Romawi. Di dalam kisah sengsara memang tercermin anggapan yang beredar di kalangan umum bahwa Yesus itu bermaksud menjadi raja orang Yahudi: olok-olok para serdadu (Mat 27:29; Mrk 15:9.18; Luk 23:37; Yoh 19:3), papan di kayu salib menyebut Yesus raja orang Yahudi (Mat 27:37; Mrk 15:26; Luk 23:38; Yoh 19:19-21), olok-olok para pemimpin Yahudi di muka salib (Mat 27:42; Mrk 15:32), kata-kata Pilatus di depan orang Yahudi (Yoh 19:14-15).

Kisah kelahiran Yesus menurut Matius juga menceritaan kedatangan para orang bijak dari Timur mencari raja orang Yahudi yang baru lahir (Mat 2:2). Namun demikian, seluruh kisah itu justru menggambarkan kesederhanaannya. Gambaran yang sejalan muncul dalam kisah Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Mat 21:1-11; Mrk 11:1-10; Luk 19:28-38; dan Yoh 12:12-13). Ia disambut sebagai tokoh yang amat diharap-harapkan dan diterima sebagai raja, terutama dalam Yohanes. Jelas juga bahwa tokoh ini ialah raja yang bisa merasakan kebutuhan orang banyak.

Menurut Markus, Matius, dan Lukas, di hadapan Pilatus Yesus tidak menyangkal tuduhan orang Yahudi bahwa ia menampilkan diri sebagai raja, tetapi tidak juga mengiakan (Mat 27:11; Mrk 15:2; Luk 23:2-3). Dalam Yoh 18:33-39, ia justru menegaskan bahwa ia bukan raja dalam ukuran-ukuran duniawi.

Injil mewartakan Yesus sebagai Mesias dari Tuhan. Dalam arti itu, ia memiliki martabat raja. Namun demikian, wujud martabat itu bukan kecermelangan duniawi, melainkan kelemahlembutan, kemampuan ikut merasakan penderitaan orang, dan mengajarkan kepada orang banyak siapa Tuhan itu sesungguhnya.


RAJA SEMESTA ALAM
Guna mendalami Injil Yohanes mengenai Yesus, sang raja yang bukan dari dunia ini meski dalam dunia ini, marilah kita tengok madah penciptaan Kej 1:1-2:4a. Injil Yohanes, khususnya dalam bagian pembukaannya (Yoh 1:1-18), mengandaikan pembaca tahu bahwa ada rujukan ke madah penciptaan itu.

Ciptaan terjadi dalam enam hari pertama (Kej 1:1-31) dan manusia sendiri baru diciptakan pada hari keenam. Dalam enam hari itu, Tuhan mencipta dengan bersabda. SabdaNya menjadi kenyataan. Diciptakan berturut-turut: waktu siang dan malam (Kej 1:3-5), langit (ay. 6-8), bumi beserta tetumbuhan (ay. 9-12), matahari, bulan, dan bintang-bintang (ay. 14-19), ikan di laut dan burung di udara (ay. 20-23), hewan-hewan di bumi (ay. 24-25), dan akhirnya manusia.

Sesudah menciptakan hewan-hewan pada hari keenam itu, Tuhan bersabda, “Marilah kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa kita!” (Kej 1:26). Ungkapan “kita” memuat ajakan kepada seluruh alam ciptaan yang telah diciptakanNya itu untuk ikut serta dalam pen¬cipta¬an manusia. Seluruh alam semesta yang telah di¬ciptakan kini “menantikan” puncaknya, yakni manusia. Dalam diri manusia terdapat peta kehadiran Tuhan Pencipta yang dapat dikenali oleh alam semesta. Oleh karena itu, manusia juga diserahi kuasa menjalankan pengaturan bumi dan isinya (Kej 1:29).
Manusia diciptakan “laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27). Dalam cara bicara Ibrani, ungkapan dengan dua bagian ini merujuk kepada keseluruhan manusia, jadi seperti kata “kemanusiaan” atau “humankind” dalam bahasa Inggris. Bandingkan dengan ungkapan “benar-salahnya”, maksudnya “kebenarannya”; “jauh-dekatnya” maksudnya “jaraknya”.

Pada hari ketujuh (Kej 2:1-4a) sang Pencipta beristirahat dan memberkati hari itu. Pekerjaan yang telah diawaliNya itu kini dilanjutkan oleh manusia karena manusia memetakan kehadiranNya. Hari ketujuh tak berakhir, inilah zaman alam semesta yang diberkati Tuhan Pencipta.

Gambaran di atas menjadi gambaran ideal manusia sebagai raja yang mewakili Tuhan di hadapan alam semesta. Kebesaran manusia sang “gambar dan rupa” Tuhan dan alam semesta itu diterapkan Yohanes kepada Yesus. Dalam hubungan ini Yohanes merujuk Yesus sebagai “Sabda”, yakni kata-kata “Terjadilah…!” dst. yang diucapkan Tuhan dalam menciptakan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia sendiri.
Dengan latar di atas, makin jelas apa yang dimaksud Yesus ketika berkata kepada Pilatus (Yoh 18:36) bahwa kerajaannya bukan dari dunia ini, bukan dari sini. Yesus itu memang raja dalam arti puncak ciptaan sendiri, kemanusiaan yang sejati seperti dulu dikehendaki sang Pencipta. Dalam ay. 37 Yesus menambahkan bahwa untuk itulah ia lahir, untuk itulah ia datang. Seluruh kehidupannya mempersaksikan kebenaran, yaitu manusia yang dikehendaki Pencipta sebagai puncak ciptaan yang membadankan unsur-unsur ilahi dan ciptaan dalam dirinya.

Dengan demikian, dalam perayaan Kristus Raja Semesta Alam, dirayakan juga kebesaran manusia, yakni manusia seperti dikehendaki Pencipta. Itulah kebesaran martabat manusia sejati. Sesudah perayaan ini, orang Kristen menyongsong Masa Adven untuk menantikan pesta kedatangan Yesus, Raja yang bakal lahir dalam kemanusiaan yang sederhana tapi yang juga mendapat perkenan Yang Maha Kuasa.

Kembali ke dialog antara Pilatus dan Yesus. Dalam Yoh 18:37 disebutkan Yesus datang ke dunia, ke tempat yang dalam alam pikiran Injil Yohanes dipenuhi kekuatan-kekuatan yang melawan Allah Pencipta, untuk mempersaksikan “kebenaran”. Apa kebenaran itu? Pertanyaan ini juga diucapkan oleh Pilatus. Ini juga pertanyaan kita yang dalam banyak hal memeriksa Yesus. Menurut Injil Yohanes, “kebenaran” yang dipersaksikan Yesus itu ialah kehadiran ilahi di kawasan yang dipenuhi kekuatan gelap. Ia menerangi kawasan yang gelap. Inilah yang dibawakan Yesus kepada umat manusia. Inilah yang membuatnya pantas jadi Raja Semesta Alam. Orang yang mengikutinya akan menemukan jalan kembali ke martabat manusia yang asali, yakni sebagai “gambar dan rupa” Allah sendiri. Orang yang mendekat kepadanya dapat berpegang pada kebenaran ini. Masyarakat manusia kini, di negeri kita, butuh cahaya itu juga. Dan kita-kita yang percaya kepada terang itu diajak untuk ikut membawakannya kepada semua orang. Inilah makna perayaan Kristus Raja Semesta Alam yang kita rajakan bersama Injil Yohanes tahun ini.




Inspirasi B

Kepada jemaat di Korintus, Paulus memaparkan bahwa salib adalah hikmat Allah: "Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia." (1Kor 1:22-25) Paulus begitu mengagumi hikmat Allah yang dinyatakan dalam wafat Yesus disalib. Tak terbayangkan baginya bahwa sebagai orang Yahudi dia akan tersandung oleh salib di jalan menuju Damsyik, tetapi kemudian dibangkitkan untuk menjadi pewarta kebangkitan. Di dalam cahaya kebangkitan, maka salib Yesus bagi-Nya mempunyai makna yang begitu dalam. Salib menjadi ungkapan kasih Allah dalam Yesus yang rela mati agar manusia boleh bangkit bersama-Nya. Dia tidak lagi malu untuk mewartakan misteri salib yang menyimpan kekalahan sekaligus kemenangan, yang menyimpan penghinaan sekaligus pemuliaan. Salib yang dulunya menjadi sandungan dan pangkal ketidakpercayaannya pada Yesus, kini menjadi kebanggaannya. Ketika para musuh Paulus menghina dan merendahkan dia di Galatia, Paulus menulis surat yang mengesankan. Dia memang merasa diri rapuh dan lemah sehingga layak dihina oleh para musuhnya, tetapi dia tidak kehilangan alasan untuk bermegah dan bangga atas kerapuhannya berkat misteri kasih Allah dalam salib Yesus : "Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." (Gal 6:14) Paulus tidak membalas penghinaan itu dengan menunjukkan kelebihan-kelebihannya, sebaliknya dia mengakuinya dengan tulus dan jujur karena memang bukan kemegahan dirinya yang dia cari. Justru di dalam kelemahan itu dia merasakan kekuatan Allah. Salib menjadi satu-satunya alasannya untuk bermegah. Selemah dan serapuh apapun umat manusia, dia boleh bermegah kerna Allah mengasihinya dalam Yesus sampai dengan kematian-Nya di kayu salib.

Paulus mensharingkan hal ini dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, ketika pada suatu kali dia meminta tambahan rahmat agar boleh merasa diri kuat menghadapi tantangan hidup. Dalam pengalaman rohaninya dia mendengar sabda Yesus: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." (2Kor 12:9). Paulus ungguh disadarkan berkat pengalaman rohani itu. Menyusul kesaksiannya akan sabda Yesus itu, Paulus mengatakan: "Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (2Kor 12:9b-10)

Bercermin pada kesaksian Paulus ini kita dapat memahami mengapa dalam HR Kristus Raja Semesta Alam dipilih teks penyaliban Yesus. Tak lain karena di dalam salib-Nya, Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Raja Cinta-kasih. Di atas salib, seorang penjahat mengakui Yesus sebagai Raja dan Penyelamat. Yesus yang tersalib baginya adalah harapan untuk keselamatan dalam hidup kekal. Kitapun boleh berbangga bersama Paulus atas salib Cintakasih itu. Jika penjahat yang disalib bersama Yesus dapat sampai pada keyakinan bahwa Dia adalah Raja yang membawa keselamatan abadi, lebih-lebih kita sekalian yang telah dibaptis dalam nama-Nya. Dengan salib suci-Nya Dia telah menebus dunia. Dialah Raja kita, bahkan Dialah Raja semesta alam.


Pengangkatan Daud sebagai raja atas Israel bersatu
Bacaan pertama menggambarkan pengakuan dan pengangkatan suku-suku Utara (Israel) terhadap Daud sebagai raja mereka. Peristiwa ini terjadi setelah suku-suku Utara tidak dapat lagi mempercayakan pemerintahan atas mereka kepada Isyboset dan keturunan Saul lainnya. Peristiwa ini dipandang penting karena dengan pengakuan suku-suku Utara tersebut Daud berhasil menjadi raja atas Israel bersatu (Israel dan Yehuda). Ia menjadi raja dan diakui oleh dua belas suku Israel. Daud adalah figur raja yang nantinya melahirkan idealisme Yahudi tentang Mesias. Bagi mereka, Mesias adalah keturunan Daud dan akan melanjutkan tahta Daud.


Yesus Anak Allah yang meraja
Bacaan kedua merupakan uraian Paulus kepada jemaat di Kolose tentang Yesus sebagai Anak Allah yang meraja, yang mengatasi dan menguasai segala ciptaan serta kuasa di bumi. Segala ciptaan diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Kuasa duniawi dari Yesus disatukan dengan kuasa Ilahi sebagai gambar Allah, pendamai antara bumi dan sorga, penebus dan pengampun atas dosa manusia. Kendati Paulus memberi kesaksian tentang gambaran Kristus yang begitu mulia dan rajawi itu, ia tetap menegaskan bahwa itu semua harus dicapai lewat salib. Antara salib dan kemuliaan terjadi suatu paradoks ilahi yang merupakan misteri bagi umat manusia. Paradoks ini semakin jelas kelihatan dalam kisah Injil Minggu ini.


Seorang Raja sejati yang dhukum salib
Yesus Sang Raja digambarkan sebagai pesakitan yang dibawa menuju bukit Tengkorak (Aram: Gulguta) untuk disalibkan. Ia dibawa ke Golgota bersama dengan dua penjahat yang akan mengalami hukuman yang sama. Ia terhitung di antara para penjahat, disalibkan di antara dua penjahat. Lukas mengisahkan doa Yesus di salib: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat". Yesus memahami benar ketidaktahuan para musuh yang menyalibkan Dia. Untuk itu Ia mohon pengampunan Bapa bagi mereka. Doa Yesus ini dikontraskan dengan cemoohan para pemimpin. Dalam peristiwa penyaliban, Lukas membedakan para audience Yesus: para pemimpin Yahudi, prajurit, orang banyak, para pengikut Yesus (termasuk para perempuan dari Galilea), dan Yusuf dari Arimatea (anggota majelis besar). Pada peristiwa penyaliban, "orang banyak" hanya berdiri menonton, tidak ikut mengejek. Nanti pada ayat 48 dikatakan bahwa: "Dan sesudah seluruh orang banyak, yang datang berkerumun di situ untuk tontonan itu, melihat apa yang terjadi itu, pulanglah mereka sambil memukul-mukul diri". Seolah-olah mereka hadir sebagai saksi netral yang menyaksikan Yesus sebagai orang benar yang dihukum dan para pemimpin Yahudi sebagai penghukum yang tak henti-hentinya mengolok-olok Yesus. Pada akhirnya, orang banyak itu tahu dan yakin bahwa Yesus adalah orang benar. Sikap mereka dinyatakan lewat tokoh "kepala pasukan" yang melihat apa yang terjadi lalu memuliakan Allah dengan berkata: "Sungguh, orang ini adalah orang benar". Mereka yang tidak secara khusus beriman pada Yesus, hanya sampai pada pengakuan bahwa Yesus adalah orang benar yang menderita (Bdk. Mzm 22). Namun, bagi penjahat yang bertobat dan para murid yang beriman pada Yesus, kematian Yesus merupakan ungkapan kasih total dari Dia yang berkuasa atas hidup dan mati.

Para prajurit membuang undi atas pakaianNya (bdk. Mzm 22:19). Tidak ada lagi yang tertinggal pada Yesus ketika Ia disalib. PakaianNya yang sebenarnya sudah berlepotan darah itupun diundi. Para pemimpin mengejek Yesus. Apa yang menjadi ini ejekan mereka? Tak lain adalah soal keselamatan. Rupanya para pemimpin bukan hanya tidak kenal siapa Yesus tetapi juga tidak mengerti makna keselamatan yang diwartakanNya: "Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri, jika Ia adalah Mesias, orang yang dipilih Allah" (bdk. Mzm 22:9). Para prajurit ikut mengolok Dia dan menawarkan anggur asam pada-Nya. Dalam Mzm 69:22 anggur asam merupakan tanda ejekan. Meskipun begitu, anggur asam dalam peristiwa penyaliban Yesus dimaksudkan untuk membuat-Nya mabuk sehingga tidak merasakan sakitNya.


Antara penghinaan dan pemuliaan
Selain tentang "keselamatan", ejekan para pemimpin dan prajurit juga mengarah pada tuduhan yang dikenakan pada Yesus, yaitu sebagai Mesias atau Raja (bdk. frekwensi penggunaan kata-kata tersebut pada ay 35-38). Bahkan salah satu penjahat yang ada disampingNya ikut mencemooh dengan sebutan Mesias (Raja) mengulangi cemoohan para pemimpin pada ayat 35. Akan tetapi penjahat yang lain justru membela Dia. Ia mengakui bahwa dirinya layak dihukum karena memang bersalah. Akan tetapi Yesus tidak layak dihukum, karena Ia tidak bersalah, Ia orang benar. Rupanya penjahat yang membela Yesus itu sudah sampai pada iman akan Yesus sebagai Raja dalam arti sebenarnya, ketika berkata: "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja". Ironi ini begitu tajam. Yesus yang disalib dan sedang dicemooh itu disebut sebagai Raja oleh penjahat yang bertobat. Dalam ayat berikutnya Yesus menanggapi permohonan penuh iman itu dengan sabda keselamatan: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus".Yesus yang dianggap tidak dapat menyelamatkan diri-Nya sendiri itu ternyata justru menawarkan keselamatan di firdaus bagi penjahat yang memohon kepadaNya itu.
Peristiwa salib Yesus memang kaya dengan ironi, antara lain dengan adanya dua pandangan kontras yang dibiarkan hadir bersama-sama. Mereka yang mencemooh Yesus dan menganggapnya sebagai Mesias politik yang telah gagal dikontraskan dengan mereka yang beriman padaNya dan memahamiNya sebagai Mesias sejati (diwakili oleh salah satu penjahat, kepala pasukan, sejumlah orang yang menyaksikan penyaliban, para murid perempuan, dan Yusuf dari Arimatea).


Salib tanda kemuliaan
Mengapa Gereja memilih teks penyaliban Yesus untuk dibaca pada hari raya Kristus Raja semesta alam? Alasannya, justru dalam peristiwa yang begitu menyedihkan dan menyakitkan itu, Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Raja yang sejati. Apa yang terjadi sepertinya sungguh bertentangan dengan logika manusia. Namun, penyaliban Yesus sesungguhNya telah menempatkan diriNya sebagai Raja pengampunan, raja perdamaian, raja belas kasih. Dalam suasana yang penuh kekerasan dan kekejaman itu Yesus justru berdoa: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat". Salib Yesus meruntuhkan batas antara sorga dan dunia. Tabir Bait Suci terbelah menjadi dua, berarti batas antara yang ilahi dan yang duniawi dipertemukan di dalam salib Yesus. Sampai pada saat-saat terakhir hidupNya Yesus menunjukkan diri sebagai Pengampun dan Penyelamat. Dengan cara itulah Allah Bapa menawarkan keselamatan kepada umat manusia. Dalam melaksanakan misi keselamatan inilah Yesus layak kita imani sebagai Raja alam semesta. Refleksi ini sebenarnya masih harus dilengkapi lagi dengan refleksi mengenai kebangkitan.

Menggali pesan bacaan
- Gereja memilih teks penyaliban Yesus sebagai pendukung tema HR Kristus Raja semesta alam. Pada saat Yesus disalib semakin tampaklah martabat-Nya sebagai Raja Belas Kasih dan keselamatan. Kasih-Nya yang tulus dan total kepada umat manusia menjadi kekuatan dalam menanggung segala derita dan olok-olok dari para lawan-Nya.
- Bagaimana kita sekalian yang mengimani Yesus? Bukankah Dia adalah Raja kita? Bukankah salib yang kita kenakan dan kita pasang di rumah menunjukkan keyakinan itu?
- Yesus bukan hanya Raja umat manusia tetapi Raja semesta alam. Gelar yang diberikan pada-Nya itu merupakan gelar yang diperoleh-Nya berkat kebangkitan-Nya dari mati. Kita ingat tulisan Paulus dalam Flp 2:8-11:
"Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!



Inspirasi C
Dialog dalam pertemuan antara Yesus dan Pilatus dapat disebut sebagai sebuah dialog yang macet. Pertanyaan terakhir Pilatus « Apakah kebenaran itu ? », tidak memperoleh jawaban dari Yesus. Namun semua apa yang terjadi setelah Pilatus cuci tangan dan menyerahkan Yesus untuk dihukum salib, tentunya menjawab dengan lebih berlimpah pertanyaannya itu. Sebagai gambaran situasi, saat itu Yesus berhadap-hadapan dengan Pilatus untuk diinterogasi di dalam gedung pengadilan yang disebut litostrotos, sedang di luar ada kerumunan besar orang banyak, yang kali ini berada di pihak sebagai musuh dan pendakwa Yesus. Tentu ada pembesar-pembesar romawi dan pasukan tentaranya sedangkan Yesus, seorang diri. Mari kita meditasikan dan refleksikan Kisah Injil pada hari Raya Kristus Raja Semesta Alam ini.


Dialog dalam tiga tahap :

Tahap pertama (ayat 33-35), interogasi mengenai istilah Raja orang Yahudi. Pertanyaan Pilatus kepada Yesus tampaknya menjadi sesuatu yang obsesif, mewakili gejolak pada dirinya sendiri. Perwakilan Kaisar itu « takut » pada orang Galilea, yang disebut sebagai raja orang Yahudi ini. Suatu kuasa yang cemas pada kuasa-kontra, yang bisa mengancam sewaktu-waktu dominasi Romawi di Palestina. Yesus mencoba menguji Pilatus yang memberikan pertanyaan sindiran « Engkau inikah raja orang Yahudi ?» dengan balik mempertanyakan apakah itu pengetahuan dan motif Pilatus sendiri tentang sebutan Raja orang Yahudi itu. Pilatus sebetulnya mengakui ketidaktahuannya, karena sebetulnya maknanya bisa berbeda antara apa yg dimaksud oleh Yesus dan apa yang dituduhkan oleh orang Yahudi. Kemungkinan besar istilah raja orang Yahudi atau raja Israel itu diambil Pilatus dari teriakan orang banyak saat Yesus masuk ke Yerusalem, ketika mereka bersorak-sorai menyambut Yesus : « Hosana, terpujilah Dia yang datang atas nama Tuhan. Terpujilah dia Raja Israel, Putra Raja Daud » ; walau sekarang orang banyak yang sama itu pulalah yang ikut mengajukan Yesus ke pengadilan Pilatus. Maka di tahap pertama ini, Pilatus tidak mendapatkan jawaban dari Yesus dan juga tidak bisa menjawab pertanyaan Yesus. Dan untuk melanjutkan penyelidikan ia bertanya « Apa yang telah Engkau buat, sehingga bangsa-Mu sendiri dan orang-orang Yahudi menyerahkan Engkau untuk kuadili?

Tahap kedua (ayat 36), Yesus lalu menjelaskan sifat dan kodrat kerajaan-Nya. Kerajaan yang tidak bertentara, yang tidak punya kekuatan militer, tidak berwilayah dan tidak berpemerintahan dan tidak berasal dari dunia ini atau tidak bersifat seperti kerajaan duniawi .
Tahap ketiga (ayat 37, 38), karena Yesus menyebut “kerajaan-Ku”, maka Pilatus menyimpulkan dengan pertanyaan “jadi Engkau adalah Raja?” namun tidak lagi mengatakan Raja orang Yahudi. Dan Yesus menjawab untuk menegaskan bahwa Pilatus sebetulnya telah mengatakan Yesus adalah Raja dari hatinya sendiri: “Engkau mengatakan bahwa Akulah Raja”. Di sini Pilatus mengasumsikan tanggungjawab dari pengadilannya, sebagai penguasa romawi di sana, namun Yesus menjelaskan duduk-perkara alasan dan tujuan atau misi-Nya, mengapa dan untuk apa Ia datang membawa kerajaan-Nya itu. Yakni untuk bersaksi akan kebenaran dan membawa setiap orang dengan kuasa otoritas-Nya kepada kebenaran, hal yang sama sekali tidak mengancam eksistensi romawi. Dan dialog berakhir dengan pertanyaan Pilatus tentang apakah kebenaran itu, yang tak memperoleh jawab dari Yesus.

Kerajaan Politis dan Kerajaan Spiritual
Monolog singkat Yesus di ayat 36 atau di tahap 2 dialog menegaskan transisi antara dua elemen dialog. Pertama, yang berkaitan dengan konsep kerajaan yang lebih bersifat politis (ayat 33-35), di mana Yesus diajukan oleh bangsa Yahudi ke pengadilan dengan tuduhan mau menggalang kekuatan politis melawan penguasa Romawi saat itu dengan ungkapan, “Siapa mengaku dirinya raja, melawan Kaisar (ayat 12) atau “Kami tidak punya raja, selain Kaisar (ayat 15). Hal mana, jika benar berarti menjadi ancaman bagi regim romawi saat itu.

Kedua, yang sudah diberi tafsiran teologis yang lebih luas, yakni bahwa Pilatus, figure dari dunia pagan ini mendapat penjelasan cukup dari Yesus dan siap untuk mengakui pada diri Yesus, suatu kerajaan yang bersifat spiritual, melalui pewahyuan mengenai kebenaran. Dalam Injil Yohanes, kebenaran ini tak lain adalah pewahyuan rencana keselamatan Allah dalam diri Yesus sendiri. Kerajaan-Nya ini tidak memiliki nasionalisme atau ambisi duniawi, karena Ia memang bukan dari dunia ini dan ketika Ia mengumpulkan orang, mereka dipanggil tidak untuk menjadi tentara yang siap berperang mempertahankan kekuasaan atau kedudukan, namun menjadi murid-murid yang penuh perhatian pada suara Gurunya dan yang musti mengaku diri sebagai saksi-saksi kebenaran dan yang nantinya tak kenal lelah bersaksi tentang Dia. Bila kisah diteruskan, kita tahu bahwa setelah itu Pilatus hendak membebaskan Yesus karena memang tidak menemukan kesalahan apapun pada-Nya, dan lebih dari itu Yesus tidak membahayakan dirinya atau kekuasaan romawi.


Rancangan Allah, bukan rancangan manusia.
Kisah Kerajaan ini menjadi makin ironis ketika Pilatus tak mampu menolak keinginan orang banyak. Sebuah rencana akan berdirinya kerajaan yang bersifat universal dan abadi sebagai perwujudan kasih Allah pada bangsa-manusia dengan memberikan Putera-Nya yang tunggal dan terkasih, sepertinya dengan mudah menjadi layu sebelum berkembang, ketika Pilatus akhirnya memilih cuci tangan, dan menyerahkan Yesus untuk disalibkan. Namun cara inilah yang dipilih Allah, karena memang Allahlah yang tahu jalan-jalan terbaik untuk mengasihi manusia. Lewat jalan-jalan yang sulit dimengerti manusia itulah Ia menghadirkan Kerajaan-Nya. Ia mempersiapkan kerajaannya hanya dengan 3 tahun masa bakti-Nya di dunia. Ia memilih dan menempatkan orang-orang di kerajaannya, bukan dari kaum cerdik-pandai, namun dari golongan marginal yang polos dan sederhana. Mahkotanya adalah rangkaian duri dan tahta-Nya adalah kayu salib. Namun kerajaannya itu, yang nota bene berdurasi sejak inkarnasi-Nya sampai parousia, memang tidak dari dunia ini, atau lebih tepatnya mengatasi dunia ini. Ia sendiri, merubuhkan kerajaan maut musuh abadinya,melalui sengsara dan wafat-Nya, membangun Kerajaan Barunya hanya dalam 3 hari lewat misteri kebangkitan-Nya. Dan melihat Dia berani mengaku diri sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup, Akulah Alfa dan Omega, maka kita memahami bahwa kerajaan-Nya itu bersifat dahulu, sekarang dan yang akan datang alias tanpa batas dan tanpa akhir alias mengatasi segala ruang dan waktu alam semesta ini.


Apa yang bisa kita petik dari pemahaman akan Kerajaan Allah seperti ini?
Pertama, ketika Yesus diakui sebagai Raja dengan ciri-ciri tadi, berarti Ia meraja tidak untuk menonjolkan kuasa-Nya, melainkan untuk memberi pada kita kebebasan atau kemerdekaan sebagai anak-anak Allah. Yesus memberi kebebasan kepada setiap orang dengan menawarkan jalan keselamatan dengan memberikan hukum kasih: Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Dan Kasih sebagai jalan keselamatan itu diteladankan Allah dengan menyerahkan anak-Nya yang tunggal. Oleh karena tak seorangpun mampu menjalankan hukum kasih dengan sempurna, maka Allah, si pembuat hukum sendiri, yang menjelma menjadi manusia yang melaksanakan hukum itu secara paripurna untuk memungkinkan penebusan dosa dalam rencana keselamatan itu. Ya, itu karena hanya Allah sajalah yang dapat mengasihi, mengampuni, menghapus dan menebus dosa manusia, secara penuh. Jadi Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk menerima pemberian kasih-Nya itu atau sebaliknya menolaknya.

Kedua, untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya ini, yang diperlukan adalah pertobatan. Karena soal keselamatan adalah soal terbebasnya manusia dari belenggu dosa dan maut. Ketika Yohanes Pembaptis mengawali karyanya, ia berseru-seru, bertobatlah karena Kerajaan Allah sudah dekat. Yesus juga mengundang kepada pertobatan, kepercayaan kepada Injil dan pemberian diri untuk dibaptis karena kerajaan Allah sudah dekat. Jadi untuk menyambut dan masuk ke Kerajaan Allah ini, orang lebih dahulu harus menjadi pantas dan layak, bersih dari dosa.

Ketiga, kita dalam kerajaan ini, tidak perlu mengandalkan apapun selain kasih Allah. Karena ini adalah Kerajaan Allah, maka memang cara Allah yang musti dipakai. Ya, walaupun cara Allah, yang meraja tanpa kuasa seperti ini, dapat menjadi skandal: baik dahulu maupun sekarang. Bagi orang Yahudi ini batu sandungan: sebab mesias haruslah jaya dan pemenang, pengusir penjajah romawi. Jadi mesias yang tak berdaya di kayu salib, jelas-jelas skandal yang naif dan tidak bisa diterima. Lalu bagi orang Yunani ini kebodohan : kebodohan salib. Orang pandai tak mungkin melakukan kegilaan seperti ini. Kerajaan tanpa tentara, tanpa senjata tanpa kuasa-kuasa yang membuat orang bergetar ketakutan, dapat saja dan umumnya diragukan. Namun bagi kita, yang percaya, ini adalah kebijaksanaan dari kehendak Allah. Mulai dari kesederhanaan dalam saat kelahiran-Nya di Betlehem, hidup dalam kemiskinan di Nazareth yang jauh dari gambaran jaya garis keturunan Daud, Bapa leluhurnya ; Raja yang « blusukan » tanpa batas dengan mereka yang lepra, yang kumuh, yang dihindari masyarakat ; Raja yang bergabung dengan para pendosa, yang berkelana dari desa ke desa ; Raja yang dengan tangan kosong berhadapan dengan para penangkapnya di taman zaitun dan sendirian di hadapan penguasa dunia saat itu dan puncak skandal Raja ini adalah ketakberdayaan dalam penyiksaan dan hukuman di kayu salib, lalu mati. Tak ada kuasa, tak ada wibawa, hanyalah kelemahlembutan dan kerendahhatian yang ditunjukkannya pada mereka yang mencerca, menghina dan memusuhinya, tatapan teduh pada setiap pengikutnya, hati yang berbelaskasih pada mereka yang lapar, dan pengampunan bagi para pendosa yang bertobat dan pada para pembunuh-Nya. Ia yang mahatinggi telah mengambil tempat terendah, menjadi hamba dari para hamba, mengambil ras dari bumi, ras insani. Menjadi Anak domba kelu yang digiring ke tempat pembantaian. Lahir dalam kerendahan dan mati dalam kehinaan.


Pembalikan Radikal : Inti Iman Kita
Sekali lagi melihat itu semua mustinya tak ada alasan apapun yang bisa mendukung kerajaannya akan bisa tumbuh dan berkembang. Waktu terlalu singkat, sarana-prasarana tak memadai, dan infrastruktur tidak jelas dan berantakan. Namun akan menjadi salahlah kalau kita hanya berhenti di situ, karena akan ada pembalikan total yang mengubah segala skandal dan batu sandungan itu, yakni kebangkitan-Nya. Pembalikan sempurna ini untuk membentuk keseluruhan ekstrim yang serba gelap dan tanpa nilai positif itu menjadi ekstrim gemilang dan terang-benderang. Lewat cahaya Paska, kebangkitan-Nya, kita dapat melihat bahwa apa yang dilakukan-Nya adalah suatu bentuk konsekuensi dan konsistensi total dengan seluruh sabda-Nya sendiri, karena Ia adalah pelaksana sempurna hukum yang dibuat-Nya sendiri. “Barang siapa ingin menjadi yang terkemuka, hendaklah ia menjadi pelayan bagi semua; yang meninggikan diri akan direndahkan, yang terdepan akan menjadi yang terbelakang, barangsiapa ingin menjadi sempurna, hendaklah ia melepaskan segala miliknya, barangsiapa ingin menjadi pembesar ia harus menjadi seperti anak kecil, barangsiapa kehilangan nyawanya, akan mendapatkannya kembali. »


Raja Semesta Alam
Pembalikan total inilah yang menjadi inti iman kita dan setelahnya kita tahu bahwa Ia yang telah mengasihi tanpa batas dengan kasih agung pergurbanan diri, menjadi sahaya dari para sahaya inilah yang kemudian memiliki Nama, yang melebihi segala nama. Pada Dia yang dahulu menerima segala hojat dan hinaan serta fitnah keji inilah, yang kelak segala lutut akan bertekuk dan bersujud, serta segala lidah akan mengaku bahwa Ia adalah Tuhan dan Juru selamat. Dia yang mengawali kerajaan-Nya tanpa wilayah dan zero-modal ini ternyata adalah pemilik semesta alam, Raja segala raja. Berkuasa penuh atas segala milik-Nya, sehingga bisa berkata dosamu sudah diampuni, bangkitlah dan berjalanlah!, Hai anak muda bangkitlah!, hari ini juga engkau akan bersama-Ku di firdaus.. ; sebab sebagai penguasa semesta alam Ia tahu di mana Dia dahulu berada, kini berada dan akan berada; Ia tahu isi hati setiap manusia.

“Layaklah Anak domba yang disembelih itu, menerima kuasa, kemuliaan, kebijaksanaan, kekuatan dan hormat. Bagi-Nya, yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, bagi Dialah kemuliaan dan kekuasaan sampai selama-lamanya. Amin.” (Wahyu 5, 12 dan 1,6). 



Inspirasi D

Pada hari Minggu ini kita memperingati Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam. Minggu ini merupakan hari minggu terakhir dalam masa liturgi sebelum kita memulai tahun liturgi yang baru dengan Masa Adven. Gereja mau menutup seluruh rangkaian perjalanan tahun liturgi dengan suatu kesimpulan bahwa seluruh sejarah dan waktu adalah milik Tuhan semata: Yesus Kristuslah Raja Semesta Alam.
Bacaan hari Minggu ini pun secara khusus mengajak kita untuk merenungkan perihal raja. Dalam bagian pembukaan dikatakan bahwa Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan-Nya dan Ia akan bersemayam di atas tahta-Nya. Bagi kita orang kristiani, sebutan Anak Manusia dalam Perjanjian Baru mengacu kepada diri Yesus sendiri dan bahkan beberapa kali Yesus menyebut diri-Nya sendiri sebagai “Anak Manusia”. Istilah tahta sendiri tentu tidak bisa dipisahkan dari seorang raja. Jadi Yesuslah yang akan duduk di atas tahta sebagai Raja.

Jika Yesus memang sungguh adalah raja semesta alam berarti Dia juga seharusnya merajai kita. Nah, sudahkan Yesus meraja di hati kita? Bagaimana aku bisa mengetahuinya?
Injil memberikan jawaban bahwa caranya adalah lewat kepedulian dan tindakan kasih kepada sesama yang menderita. Penderitaan orang-orang kecil adalah masalah yang serius di mata Tuhan. Sejak dari Perjanjian Lama, Allah telah bersabda agar orang-orang kecil senantiasa mendapat perhatian. Bahkan dalam Perjanjian Baru, Yesus menyamakan diri dengan orang-orang kecil, malahan justru Yesus hadir secara nyata dalam diri mereka. Orang-orang kecil dan menderita memang perlu mendapat perhatian khusus sebab justru merekalah yang terkadang terlupakan. Padahal penderitaan yang mereka alami kadang begitu berat. Justru Tuhan mau mengajak kita semua untuk memberi perhatian kepada mereka. Kita diajak sedikitnya membantu meringankan penderitaan mereka. Jika sesamanya manusia saja tidak memperhatikan mereka, siapa lagi yang akan mereka harapkan? Kepedulian dan tindakan kasih bagi mereka yang menderita akan menentukan bagaimana keadaan kita kelak. Apakah akan ditempatkan sebagai domba yang akan menikmati Kerajaan atau ditempatkan sebagai Kambing yang akan menerima kecelakaan.

Dalam Injil telah disebutkan 6 contoh tindakan kasih kepada sesama. Tentu saja masih banyak contoh lainnya yang bisa kita lakukan sesuai dengan kemampuan dan kondisi kita masing-masing.
Jadi menerima Yesus sebagai raja berarti mau melayani Yesus yang hadir dalam diri mereka yang miskin dan menderita. Mungkin kita belum bisa melihat Yesus yang sungguh hadir dalam diri mereka namun yakinlah bahwa semua yang kita lakukan untuk mereka kita lakukan juga untuk Tuhan Yesus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar