Ads 468x60px

Mission Of Mercy

Kegiatan tertinggi yang manusia bisa mencapai adalah belajar untuk memaklumi, karena dengan saling pengertian akan memberikan kelegaan.



“MISSION OF MERCY”

“If you judge people, you have no time to love them - Jika Anda menghakimi seseorang maka Anda tak akan mempunyai waktu untuk mencintai mereka.”

Inilah salah satu kalimat dan sebuah foto Ibu Teresa yang di-caption oleh seorang walikota Bandung, Ridwan Kamil (Kang Emil), dan mendapat likes sekitar 67 ribu (Inside the Divine Pattern: Spiritual Wisdom Mother Teresa).

Lebih lanjut, Walikota Bandung yang akrab disapa Kang Emil ini mengatakan, “Penuhi hidupmu dengan cinta bukan dengan nyinyir.”

Ibu Teresa: Santa Terbaru
Adalah peristiwa sukacita bahwa di Tahun Kerahiman 2016, Bapa Fransiskus meng-kanonisasi Ibu Teresa pada 4 September 2016, yang adalah seorang pemenang hadiah Nobel Perdamaian tahun 1979 dan sahabat Paus Yohanes Paulus II serta Lady Diana sekaligus seorang beriman yang sangat kita kenal dari pelayanan sosialnya, lewat karya yang murah hati, ucapan yang memberkati dan doanya yang sepenuh hati.

Tahun-tahun terakhir ini adalah kesempatan berharga bagi kita untuk sekali lagi mengenangkan belas kasih Allah lewat teladan Ibu Teresa sebagai contoh “pembawa belas kasih”-Nya. Walaupun, hampir semua orang suci dari pelbagai agama dan budaya dapat kita sebut juga sebagai “pembawa belas kasih”, tetapi bisa jadi adalah kehendak Allah bahwa Ibu Teresa-lah yang dikukuhkan sebagai orang kudus persis di tahun yang disebut dalam Gereja Katolik sedunia sebagai “Tahun Kerahiman”.

Pesan yang dibawa khusus oleh Ibu Teresa kepada gereja dan dunia adalah memiliki “option – passion – action” untuk sesama, terlebih yang kecil lemah miskin tersingkir dan disable. Ia menaruh perhatian dan cinta yang istimewa kepada orang lain: orang-orang miskin di dunia, orang- orang yang tidak diinginkan, yang tidak dicintai, yang ditolak, yang terlupakan. Pastinya, lewat kelembutan dan belas kasihan yang ditunjukkan oleh Ibu Teresa dan mereka yang terinspirasi olehnya, kita menjadi lebih percaya akan betapa berharganya mereka di mata Tuhan.

Kelemahlembutan dan belas kasihan ini adalah “core values”, semacam dua nilai dasar yang Ibu Teresa amini sebagai “calling”/”tugas panggilan” Tuhan kepadanya, untuk diperkenalkan dan dialami oleh mereka “yang termiskin di antara orang miskin.”
Dengan tujuan inilah, ia mendorong kita untuk: “pergilah kepada orang-orang miskin dengan kelembutan dan tunjukkanlah belas kasihan.” Ini, menurutnya, adalah bagaikan “membawakan” kasih Tuhan sendiri, yang sungguh mencintai setiap diri kita dengan belas kasih yang mendalam.”

Sejatinya, hal ini juga selaras, “sehati sejiwa-cor unum et anima una”, dengan undangan para tokoh agama untuk meng-“horisontal”-kan Kerajaan Allah atau menciptakan surga di bumi: menemukan dan melakukan aneka ria perbuatan belas kasih, baik karya belas kasih jasmani maupun rohani.

Kelaparan Multi Dimensi
Sejelas warta kata dan karya nyatanya, kepekaan Ibu Teresa terhadap orang-orang yang lapar adalah bukti dari kedekatannya dengan orang-orang tersebut: “Saya melihat anak-anak, dan mata mereka menyorotkan kelaparan. Saya tidak tahu apakah anda pernah melihat kelaparan, tapi saya sudah sering sekali melihatnya.”

Ya, Ibu Teresa bisa merasakan secara mendalam penderitaan orang yang kelaparan secara fisik dikarenakan juga pengalamannya sendiri di masa kecil, kala ibunya mendorong ia dan saudara-saudaranya untuk menolong orang-orang yang ada di jalanan. Reaksi langsungnya setelah melihat orang-orang itu adalah “kita harus melakukan sesuatu untuk menolong”, yang pada masa itu, (untuk membawakan makanan kepada orang yang kelaparan), adalah sangat sulit.

“Kelaparan” adalah sesuatu yang jauh dari pengalaman kita atau yang bisa kita temui di sekeliling. Mungkin “pertemuan” kita dengan kelaparan hanyalah dengan mendengar berita-berita dari tempat yang jauh, yang tertimpa bencana, yang seakan tidak nyata di tempat kita sendiri berada. Namun, bila kita mau membuka mata kita, seperti yang Ibu Teresa menantang untuk kita lakukan, kita akan menjumpai orang-orang yang kekurangan akan kebutuhan dasar, orang-orang yang “kelaparan”.

Ibu Teresa sendiri tidak membuat program besar untuk mengentaskan kelaparan di seluruh dunia (walau ini diperlukan), tetapi ia “memberi makan kepada yang lapar” seorang demi seorang, satu per-satu setiap kali. Walau hanya dengan demikian saja, ia telah membuat suatu perubahan besar, pertama terhadap hidup dari tiap-tiap orang tersebut, dan terutama terhadap dunia.

Ada juga jenis kelaparan lain yang Ibu Teresa katakan, terutama saat ia membuka rumah karya yang baru. Ia sering mengatakan bahwa manusia seringkali bukan lapar akan makanan namun “lapar akan vitamin c”, yakni cinta.

Walau jenis kelaparan ini tidak tergolong ke dalam bentuk kemiskinan, ia menyadari bahwa jenis kelaparan ini malah lebih sulit untuk dipulihkan. 

Inilah juga yang menjadi tugas pelayanan yang ia tekankan kepada kita dan terlebih para suster-susternya: “Kamu dimaksudkan untuk menjadi kasih yang hidup, yang memberi kasih kepada orang-orang ini. Ketika saya mengangkat seseorang lapar dari jalanan, dan saya berikan dia sepotong roti, saya telah menghilangkan rasa laparnya. Tetapi kenyataan bahwa orang tersebut dikucilkan, terbuang, tak diinginkan, tak dicintai, ketakutan, terlempar keluar dari masyarakat, penderitaan ini sangat menyakitkan dan saya merasakan itu sangat sulit dihilangkan.”

Ibu Teresa juga menemukan kelaparan jenis lain, baik di negara-negara yang makmur maupun miskin, di antara orang-orang dari segala lapisan dan latar belakang kepercayaan, bahwa “orang-orang lapar akan Tuhan”. Inilah rasa “lapar spiritual” yang ia alami juga secara mendalam dan ditemui di mana-mana, yang membuatnya ingin menunjukkan dan menjadi “misericordiae vultus” – “wajah kerahiman Allah”, yang menghadirkan kasih Allah, kebaikan Allah dimana pun ia berada, agar orang-orang yang bertemu dengannya dapat bertemu dengan Tuhan yang ia coba pancarkan dengan penuh belas kasihan.
“Berikan Hati untuk Mencintai dan Ulurkan Tangan untuk Melayani.”

Lebih dari lainnya, Ibu Teresa meyakini bahwa orang-orang ingin melihat kasih dalam tindakan-tindakan sederhana kita. Betapa pentingnya kita mengasihi Tuhan, untuk memberi-Nya “makan” dalam diri orang yang lapar dan kesepian. Jelasnya; betapa mata dan hati kita harus murni, yang melihat-Nya dalam diri orang-orang miskin; betapa tangan kita harus bersih, untuk menyentuh-Nya dengan lembut dalam diri orang- orang papa; betapa kata-kata kita harus memproklamasikan Kabar Baik dari-Nya kepada semua orang-orang.

Ada sebuah kisah: 
Pernah seorang wanita datang dengan anak dalam gendongannya dan berkata, ”Ibu, aku telah mendatangi satu, dua, tiga tempat, memohon makanan, karena kami sudah tiga hari belum makan, tetapi mereka mengatakan bahwa aku masih muda dan aku harus bekerja untuk bisa makan. Tidak ada seorangpun yang mau memberiku apapun.”

Ibu Teresa mengatakan bahwa ia langsung pergi mengambilkan makanan, dan ketika ia kembali mendapatkannya, bayi dalam pelukannya telah meninggal karena kelaparan.
Ibu Teresa berbicara banyak tentang kelaparan di dunia. Apa yang telah dilihatnya di Ethiopia, apa yang telah dilihatnya di tempat-tempat lain, orang dalam jumlah ribuan menghadapi kematian hanya karena kekurangan sepotong roti, meninggal karena kekurangan segelas air minum.

Orang-orang meninggal dalam genggaman tangan kita. Dan Ibu Teresa heran, mengapa banyak orang masih terus lupa, dan sibuk bertanya: mengapa terjadi pada mereka dan bukan pada kita ?

Ajakannya jelas dan bernas: Marilah kita mencintai lebih lagi, marilah kita berbagi lebih lagi, marilah kita berdoa lebih lagi agar penderitaan berat ini terangkat dari dunia.
Ya, derita kelaparan adalah sangat buruk dan inilah “momentum kerahiman”, di mana kita diajak untuk harus dan terus memberi. Baginya, memberi itu adalah bagai mencintai Tuhan dalam perbuatan.

Sebuah kisah lain yang diceritakannya:
“Suatu waktu saya mengambil seorang anak dari jalanan di Kalkuta, dari matanya saya tahu dia lapar. Saya beri dia sepotong roti dan dia memakannya sedikit demi sedikit. Saya katakan padanya, “makanlah rotinya, kamu-kan lapar, mengapa memakannya sedikit-sedikit?” Ia menjawab, “aku kuatir jika aku makan dengan cepat, aku akan segera menjadi kelaparan lagi.” Saya katakan kepadanya, “makanlah lebih cepat dan akan kuberikan lagi.” Lihat! Bahkan anak sekecil itu pun telah tahu rasanya penderitaan kelaparan: “aku takut”.

Masih menurut penuturannya:
“Kau lihat, kita ini tidak tahu. Kita tidak tahu apa rasanya lapar. Saya telah melihat seorang anak yang menjadi meninggal karena kekurangan segelas susu saja. Saya telah melihat kepedihan luar biasa para ibu yang anak-anaknya meninggal dalam pelukannya karena kelaparan. Jangan lupa, saya bukan disini untuk meminta uang. Yang saya minta, pengorbanan anda. Saya ingin anda mengorbankan sedikit dari apa yang anda sukai, apa yang anda inginkan untuk diri anda sendiri.

Suatu hari, seorang wanita yang sangat miskin datang ke rumah karya kami, katanya, “Ibu, saya ingin menolong tapi saya sendiri sangat miskin. Saya akan datang dari rumah ke rumah untuk membantu orang-orang dan mencuci pakaian mereka. Saya perlu memberi makan anak-anak saya, tapi saya juga ingin dapat melakukan sesuatu. Biarkan saya datang kemari setengah jam setiap hari Sabtu untuk mencucikan pakaian kalian.” Bagi saya, wanita ini memberi jauh lebih banyak daripada uang karena ia telah memberikan hatinya.

Akhirnya, baiklah kita kenang kata kata Paus Yohanes Paulus II, ketika beatifikasi Ibu Teresa di Vatikan: “Jangan pernah kita lupa akan teladan mengagumkan yang diwariskan oleh Ibu Teresa, dan marilah kita mengingatnya bukan hanya dalam kata-kata belaka! Melainkan, dengan senantiasa memiliki keberanian untuk memberikan prioritas pada kemanusiaan.

Mari, jadilah cahaya bagi-KU.”

Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
@Romo Jost Kokoh Prihatanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar