Ads 468x60px

Tradisi dan Inkluturasi - Makna Tradisi Leluhur Malam Imlek


(Chuxi)
TAHUN AYAM API
Imlek 2568 (Sabtu Pon 28 Januari 2017)
Tanggal 28 Januari 2017 pada penanggalan Masehi dirayakan sebagai Hari Raya Nasional Tahun Baru Imlek. Komunitas Tionghoa biasanya menjelang Imlek mulai membersihkan rumah dan memasang lampion dan hiasan bernuansa merah.

Pada hari hari terakhir menjelang imlek, baju yang sobek dan lauk-pauk yang belum habis dimakan akan dibuang menjelang datangnya hari Tahun Baru dengan maksud agar kemiskinan tidak datang. Yang Unik dalam Perayaan Imlek yaitu : Acara makan besar bersama keluarga di malam Tahun Baru Cina.

Malam Tahun Baru sendiri disebut "chuxi", artinya menghapus yang lama dan hal-hal jelek. Juga berdoa malam terakhir sebelum imlek untuk menyongsong kedatangan tahun baru disebut juga dengan "Da Nian Ye" (dapat diterjemahkan secara harafiah menjadi 'new year's eve). Orang Hokkian menyebut dengan 'Sa cap me', Mandarinnya 'shanshi ye', artinya "malam tanggal 30 ".


In Memoriam: Mendoakan Arwah 
Pada hari ini juga, biasanya diadakan upacara sembahyang yang dikenal sebagai upacara Sembahyang Tutup Tahun ( tanggal 30 bulan 12 Imlek ). Bagi keluarga Tionghoa yang masih memelihara abu leluhur, selalu mengadakan upacara Sembahyang Tutup Tahun, untuk menghormati para leluhur, sebagai ungkapan rasa Bhakti (Hauw) anak terhadap Orang Tua / Leluhur.

Upacara ini juga merupakan wujud dari pelaksanaan ajaran moral Confusianis yang bersifat humanis, religius dan yang berakar kuat pada penekanan konsep bakti atau disebut "xiao", dalam bahasa Inggris disebut juga "filial piety".

Feast: Perjamuan - Makan bersama
Setelah itu dalam perayaan Sa Cap Meh (malam tahun baru Imlek) tradisional tanggal 30 Cap Dji Gwee (bulan 12), biasanya seluruh anggota keluarga yang bekerja dan memiliki kesibukan di daerah lain, akan pulang ke rumahnya untuk berkumpul makan bersama dan saling bercerita atau mengobral santai menyambut datangnya Tahun Baru Imlek yang penuh harapan ini. Biasanya dimana orang tuanya tinggal merupakan tempat berkumpul untuk makan bersama sebagai ungkapan kebersamaan dan keutuhan keluarga dalam menyambut tahun baru Imlek bersama sama mensyukuri kehidupan.

Makan bersama ini memiliki makna sebagai ungkapan kebersamaan dan keutuhan keluarga dalam menyambut tahun baru Imlek. Makan adalah sumbu hidup. Makan bersama adalah untuk bersama sama mensyukuri kehidupan. Apapun agamanya, pada malam tahun baru Imlek ini seluruh anggota keluarga akan berkumpul bersama untuk mensyukuri sumbu kehidupan yang masih menyala, yang dilakukan dalam bentuk makan bersama.

Makanan yang tersaji pun terkesan lain dari biasanya, sebab mempunyai harapan yang besar di malam tahun baru agar keluarga selalu terjaga keharmonisan dan kebaikan.
Makanan yang disiapkannya, berisikan "Doa Ibu" yang memasaknya agar keluarganya dilimpahkan berbagai berkat sepanjang tahun. Bahan makanan yang dipilih adalah bahan makanan yang memiliki artinya sendiri-sendiri;

Beberapa makanan tersebut adalah:
1. Rebung = Harapan dan Keberuntungan.
2. Rumput Laut Hitam (Fucai) = Kemakmuran.
3. Mie = Panjang umur.
4. Ayam dan Ikan = Kebahagiaan dan Keberuntungan.
5. Bebek = Kesetiaan dan Ketaatan.
6. Haisom/Teripang laut = Kesehatan.
7. Jeruk Mandarin = Kekayaan, Keberuntungan dan keutuhan (meskipun terpisah-pisah tetap bersatu dalam satu keluarga).
8. Kue Keranjang = Tekstur yang lengket melambangkan keluarga selalu Rukun.

Di Tiongkok utara ada kebiasaan makan jiaozi (penganan berbentuk pempek kapal selam mini, terbuat dari tepung khusus berisi daging dan sayur). Alasannya, ada pepatah berbunyi nian nian you yu "setiap tahun ada sisa". Kata yu yang berarti "sisa" berbunyi sama dengan kata yu yang berarti "ikan".

Kesamaan bunyi itulah yang menyebabkan mengapa ikan menjadi hidangan wajib di malam tahun baru. Dengan makan ikan, berarti dalam segala hal ada sisa. Tentu saja yang dimaksud adalah kelebihan rezeki.

Makanan wajib lainnya, kue keranjang yang disebut nian gao. Kata gao "kue" berbunyi sama dengan gao yang bermakna "tinggi". Dengan makan kue keranjang, diharapkan rezeki seseorang setiap tahun bertambah tinggi.

Buah jeruk menjadi lambang keberuntungan karena lafal kata jeruk dalam bahasa Mandarin-juzi-mirip ji yang berarti "keberuntungan".

Kini ada tradisi baru dengan menambahkan yee sang atau yusheng, berupa salad ikan segar, irisan sayur wortel dan lobak. Irisan daging tuna atau ikan salem yang sudah direndam minyak wijen. Juga disiapkan minyak goreng yang mengandung saus campuran buah prem, gula pasir dan bubuk kayu manis. Bahan-bahan disiapkan dalam sebuah piring besar, lalu minyak dituangkan, dan seluruh anggota keluarga mengaduk bersama-sama dengan sumpit. Makanan ini dihidangkan sebagai makanan pembuka.

"Senjata" Petasan: Mengusir Roh Jahat
Sejak zaman Dinasti Tang, malam tahun baru Imlek dirayakan dengan pesta kembang api atau mercon, sehingga kebanyakan keluarga melek semalam suntuk sampai pagi untuk menyambut tahun baru, menyalakan petasan dan kembang api untuk mengusir 'nian' mahluk jahat yang menurut legenda hobi makan manusia. Suara keras petasan dipercaya menakuti si "nian" tadi.

Bagi anggota keluarga yang masih sehat, lazimnya tidak tidur pada malam menjelang hari Tahun Baru Imlek (“Shoushui”). Anak-anak paling senang karena pagi harinya sudah mandi dan mengenakan baju baru (bersih) lalu berkeliling rumah keluarga guna mendapatkan amplop merah (angpao).

Oh ya, bila menghidupkan petasan tidak diizinkan dapat digantikan dengan menyalakan pelita serta mendoakan semua keluarga memiliki kesehatan, kesejahteraan dan keharmonisan, juga untuk bangsa dan negara. Anak atau anggota keluarga yang lebih muda akan ungkapan rasa terima kasih dan permohonan maaf atas kesalahan kepada orang tua dengan bersujud sebagai bentuk bakti.

Pastinya, Tahun baru imlek sebagai wujud rasa bakti dan memiliki makna tersendiri. Sembayang tutup tahun dengan bertobat, dan menyalakan pelita serta mendoakan semua keluarga memiliki kesehatan, kesejahteraan dan keharmonisan, demikian dengan bangsa dan negara ini. Setelah itu yg terpenting adalah ungkapan terima kasih dan permohonan maaf atas aemua kesalahan kepada orang tua dengan bersujud sebagai bentuk bakti.
Mengutip puisi dari Dinasti Tang (618- 907) yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia: “Lautan cinta membawa angin kasih, terhampar di daratan amal bikin hati bersih.”

Selamat Tahun Baru Imlek 2568. 
Sin Cun Kiong Hie, semoga semua mahluk berbahagia.
Daun waru daun kucai - met taun baru gong xi fa cai”. 

"Ada rayap ada bakpau- mhn maaf ga ada angpau ..."

Salam HIKers,
Tuhan berkati & Bunda merestui.
Fiat Lux - Be the Light!


NB: 
1.
Sharing dari Jendela Sebelah: Ramalan di Awal Tahun
Pagi baru merekah. Seperti biasa setelah semua anggota keluarga bangun, berdoa pagi dan mandi, kami berkumpul di meja makan untuk sarapan. Kakakku muncul dari kamarnya sambil berseru,”Yuk kita baca apa ramalan shio kita tahun ini”.

Kemudian ia membacakan isi dari ramalan kehidupan sepanjang tahun 2017 ini, sesuai dengan tahun kelahiran (shio) kami masing-masing. Memang di awal tahun seperti ini, media massa umumnya berlomba menyajikan ramalan hidup manusia untuk tahun yang baru, sesuai bulan kelahiran (zodiak) atau tahun kelahiran menurut penanggalan Cina (shio).

Tanpa sadar, kami membiarkan kakak membacakannya. Prediksi dari berbagai aspek hidup mulai dari kesehatan, asmara, keuangan hingga karir dibahas. Ada rasa asyik campur tegang saat mendengar “nasib” kami dibacakan. Pada saat ramalannya baik, senyum mengembang dan harapan merekah, tetapi saat ramalannya kurang mengenakkan, rasanya hati menjadi kecil dan tidak ingin mempercayainya bahkan ingin mengabaikannya saja.

Salah satu dari kami lantas nyeletuk,”Tapi herannya kok ramalan semacam itu sering benar ya, sesuai dengan kejadian hidup yang kemudian kita alami”. Dahi kami jadi berkerut. Apakah yang kami lakukan ini baik?
Kebanyakan orang menikmati membaca ramalan nasib /kehidupannya di masa depan, walau hanya sekilas. Namun di balik keasyikan yang ditimbulkannya, dan komentar semacam, “ah itu hanya sekedar untuk main-main saja kok”, sesungguhnya kita tidak selalu sadar bagaimana hal itu mempengaruhi iman kita kepada Tuhan dan mempengaruhi bagaimana kita menyikapi hidup ini. Ramalan yang tidak baik menggantikan semangat dan kegembiraan kita dengan rasa was-was, seperti kalah sebelum bertanding saja. Sementara ramalan yang baik memberi harapan semu, seolah kita telah meraih apa yang kita inginkan sebelum benar-benar memperjuangkannya. Apa yang sebenarnya Tuhan katakan di dalam Kitab Suci?

Ulangan 18: 10: 
“Di antaramu janganlah didapati seorangpun yang mempersembahkan anaknya laki-laki atau anaknya perempuan sebagai korban dalam api, atau pun seorang yang menjadi petenung, seorang peramal, seorang penelaah, seorang penyihir, seorang pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang mati. Sebab setiap orang yang melakukan hal-hal ini adalah kekejian bagi Tuhan, dan oleh karena kekejian-kekejian inilah Tuhan, Allahmu, menghalau mereka dari hadapanmu. “

KGK 2116: 
Segala macam ramalan harus ditolak: mempergunakan setan dan roh jahat, pemanggilan arwah atau tindakan-tindakan lain, yang tentangnya orang berpendapat tanpa alasan, seakan-akan mereka dapat “membuka tabir” masa depan (Bdk. Ul 18:10; Yer 29:8..). Di balik horoskop, astrologi, membaca tangan, penafsiran pratanda dan orakel (petunjuk gaib), paranormal dan menanyai medium, terselubung kehendak supaya berkuasa atas waktu, sejarah dan akhirnya atas manusia; demikian pula keinginan menarik perhatian kekuatan-kekuatan gaib. Ini bertentangan dengan penghormatan dalam rasa takwa yang penuh kasih, yang hanya kita berikan kepada Allah.

Tuhan mengerti bahwa kita sering merasa khawatir terhadap hari esok, terhadap hal-hal yang belum kita ketahui. Tetapi Ia tidak mengatakan supaya kita mempelajari cara mengetahui hari esok agar kita tenang. Melainkan Ia mengajarkan kita untuk percaya sepenuhnya kepadaNya, untuk tidak takut, karena Ia adalah Tuhan atas hari esok, dan agar kita mengisi hari ini dengan sebaik-baiknya sambil menikmatinya dengan syukur, oleh karena itu Ia berkata, “kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6: 34b).
Betapa indahnya menikmati hari ini, demikian kita katakan itu dan jalani setiap hari. Maka sikap itulah yang akan selalu membawa kita ke hadiratNya setiap hari dalam hidup kita, penuh keceriaan dan harapan. Jelaslah bahwa rasa was-was dan khawatir terhadap hari depan bukan berasal dari Tuhan. Patah semangat dan takut apalagi. Ini suasana yang disukai si Jahat untuk makin leluasa mengambil alih damai sejahtera kita dalam Tuhan.
Bagaimana cara terbaik mengantisipasi berbagai kemungkinan hidup termasuk yang tak terduga atau yang tidak enak? Jalanilah bersama Perancangnya, yang selalu ingin memberi kan kita yang terbaik. “Dialah yang menyingkapkan hal-hal yang tidak terduga dan yang tersembunyi. Dia tahu apa yang ada dalam gelap, dan terang ada pada-Nya” (Daniel 2:22)
Tuhan adalah Sang Perancang Agung dari kehidupan, yang dikaruniakan-Nya kepada kita atas dasar cinta, bermuara kepada keselamatan abadi bersamaNya. Kejadian yang baik adalah buah dari kerja keras dan doa yang membawa berkat dari Tuhan. Sementara kejadian yang “buruk” atau yang dianggap sebagai tidak berhasil di mata dunia, mungkin justru suatu berkat terselubung, di mana Tuhan melatih kita untuk menjadi lebih tangguh, membentuk kita menjadi lebih beriman, mengasah hati kita lebih peka terhadap penderitaan sesama, atau membekali kita dengan pengalaman berharga untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di kesempatan berikutnya.

Jadi, di dalam Tuhan, semua pengalaman adalah baik, dan semua peristiwa ada baiknya. Penderitaan – sebagaimana Kristus telah memberikan teladan agungNya – juga tidak selalu harus dihindari, apalagi penderitaan seringkali justru mendekatkan kita kepada Tuhan yang adalah tujuan akhir hidup kita. Rasul Paulus menulis bahwa Tuhan mengatakan, “di dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna”. (2Kor 12: 9a). Penderitaan di dunia yang Tuhan ijinkan dapat membawa keselamatan dan memulihkan manusia dari dosa-dosa dunia.

Sebagaimana relasi antara dua orang yang saling mencinta, cinta melahirkan rasa percaya kepada satu sama lain, percaya bahwa pihak yang mencintai akan selalu memberikan yang terbaik pada pihak yang dicintai. Tuhan yang menciptakan kita karena cinta dan mencintai kita sampai kekal, selayaknya dan seharusnya mendapatkan kepercayaan kita sepenuhnya, bahwa bersama Dia dan dalam Dia, kita akan sampai kepada tujuan kita dalam hidup ini dan hingga kelak sampai kesudahannya. Itulah bukti cinta kita kepadaNya. Di dunia ini tidak ada persembahan apapun kepada Tuhan yang Tuhan belum mempunyainya, kecuali cinta kita kepada-Nya.


2.
DIA.LO.GUE:
MISA IMLEK: INKULTRASI DAN TRADISI
“IMLEK” - “Ikuti Maria Lewat Ekaristi Kudus”
Daun waru daun kucai
Met taun baru gong xi fa cai
Sin Cun Kiong Hie
Semoga smua mahluk berbahagia



Menyitir filsuf Prancis, Ernst Cassier, homo est animal symbolicum (manusia adalah makhluk yang penuh tanda), seperti tradisi Katolik yang penuh dengan “tanda” (lilin, warna liturgi, patung, dupa-wiruk, abu, lonceng, gong, goa natal, jalan salib dsbnya), budaya Tionghoa juga mempunyai banyak “tanda”.

Sebagai contohnya, apakah kita tahu bahwa ikan louhan itu simbol murid sang Budha? Apakah kita juga mafhum bahwa dalam tradisi Tionghoa ada 100-an nama yang menandakan para dewa? Ada dewa To Pe Kong-dewa penguasa dapur, Ada juga dewi Kwan Im, sang dewi belas kasih-yang membebaskan kera sakti ‘Sun Go Kong’ dari hukuman terjepit dua gunung, dsbnya.

Mengacu pada bingkai historiografi, sejak tumbangnya Orde Baru, terutama mulai dengan duet Gus Dur-Megawati yang kala itu duduk di kursi kepresidenan, pelbagai hal yang menjadi tanda orang Tionghoa, yang selama sekian waktu (di)hilang(kan), mulai muncul lagi ke permukaan. Pada hari Selasa, 18 Januari 2000 persisnya, pemerintah mengumumkan Keputusan Presiden (Keppres) no. 6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden (Inpres) no. 14/1967. Sejak hari itu, masyarakat Tionghoa di Indonesia dinyatakan bebas kembali menjalankan acara-acara agama, kepercayaan, dan adat-istiadat mereka. Bahkan, Tahun Baru mereka yang biasa disebut dengan istilah Imlek secara resmi dinyatakan sebagai hari libur nasional. Walahualam!

Dan, medio Februari tahun 2014 lalu, saya diminta untuk memberikan retret tahunan bagi para biarawati kontemplatif Claris di Singkawang sekaligus berkesempatan melihat perayaan Imlek dan Cap Go Meh disana. Imlek pastinya semarak dengan banyaknya samsie, hung bao (angpau), pertunjukan liong-barongsai, aneka kue keranjang-kue mangkok, tebaran hio, buah jeruk, kwaci, kembang api, lampion kertas. Ada juga chiongsam merah; thau-cang (kuncir panjang yang seperti sering kita lihat dalam film-film kungfu ala Jet Lee, yang sebenarnya merupakan gaya rambut orang Manchu yang dipaksakan kepada setiap lelaki Cina pada saat Manchu menguasai Cina pada abad 17-18), atau aneka hiasan bermotif burung hong dan liong, serta masih banyak lagi tanda yang lainnya.

Dan, bagi kita sebenarnya, bukan soal peruntungan atau aneka-ria ramalannya, tapi Imlek di tahun “ayam api” yang kita ikut kenangkan bersama segenap umat Tionghoa terlebih yang beriman kristiani ini, juga bisa memiliki arti dasar, yakni: “Ikuti Maria Lewat Ekaristi Kudus.” Mengapa?

Pertama, Maria yang bersyukur (Luk 1:46-47).
“Aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersukacita karena Allah penyelamatku”. Kitapun diajak bersyukur. Bagaimana tidak, dalam satu bulan di tahun yang sama, kita bisa merayakan tahun baru dalam ekaristi. Pertama: Tahun Baru Matahari (1 Januari) dan kedua, Tahun Baru Bulan (28 Januari).

Ya, di hari pertama bulan Januari, kita merayakan “tahun baru matahari” dan di hari terakhir bulan Januari, kita merayakam “tahun baru bulan. Bicara soal rasa syukur, saya juga teringat sebuah sms dari seorang umat setiap kali perayaan Imlek datang: “Ada rayap makan bakpao - mohon maaf ‘nggak ada angpau. Kucing bengek makan bakpia - biar bokek yang penting sincia. Daun waru daun kucai - met taun baru gong xi fa cai”. Bukankah sms sederhana ini juga sebuah undangan untuk bersyukur?

Seperti Maria yang bersyukur dalam kidung Magnificat-nya, bukankah Ekaristi (eucharistia) arti dasarnya juga adalah beryukur? Bukankah Ekaristi juga bisa berarti “Elok KArena kRIStus ada di haTI”. Semper Gaude-Bersyukurlah senantiasa!

Kedua, Maria yang berbagi. Ia bagikan kehadiran dan peneguhannya dengan mengunjungi sanak saudaranya yang sedang “sakit” karena hamil tua, yakni Elisabeth (Luk 1:39), “Berangkatlah Maria dan bergegas menuju sebuah kota di pegunungan Yehuda”.

Mengacu pada kultur Tiongkok, Imlek kadang juga diartikan sebagai tanda hiperbolis untuk menghasut To Pe Kong, sang dewa dapur (seorang dewa sakti yang berasal dari seekor kecoa suci, berpakaian merah, megah dan menawan), supaya memberi laporan yang baik kepada ‘Tuhan’, (Khing Tie Kong-Kaisar langit, Dewa Langit-Thian), dengan cara membagi/mengolesi madu pada bibir dewa To Pe Kong dan membagikan aneka makanan yang lezat-lezat. Ya, pada prakteknya: Imlek yang biasanya berlangsung 15 hari, memungkinkan setiap keluarga untuk berkumpul kembali dan saling berbagi.

Dalam konteks kristiani, terlebih pada ekaristi syukur, bahkan antar keluarga setelah misa bisa lebih saling berbagi. Kalau saya mengamati setelah perayaan ekaristi, kita bisa saja saling berbagi sapaan dan hadiah kue manis, ‘nian gao’, kue keranjang, jeruk, sambil bersama keluarga yang lain melihat aktraksi seni di pelataran gereja. Menjadi jelas bahwa sukacita Imlek itu ada untuk dibagikan. Ini soal berbagi sukacita, berbagi rahmat. Ibarat cermin, tugas setiap dari kita, yakni memantulkan cahaya ilahi yang kita terima ke sudut-sudut yang paling gelap sekalipun. Kita semua diajak untuk mau saling berbagi sinar yang kita terima untuk menerangi juga saat-saat sedih pedih dari pengalaman hidup kita. Donato ergo sum-Aku berbagi maka aku ada!”

Ketiga, Maria yang berpeduli (Yoh 2:3), “Yesus, mereka kehabisan anggur”. Dalam ekaristi, kita bisa belajar untuk lebih berpeduli: mendoakan agar orangtua panjang umur dan keluarga rukun, bisa saling memberi salam, “hung bao/angpau” dsbnya. Bahkan kadang dimunculkan sebuah tradisi, adanya penyalaan petasan untuk mengusir roh jahat dalam keluarga. Bukankah itu sebuah usaha kepedulian terhadap orang lain, terlebih terhadap keluarga kita masing-masing? “Caritas in fraternitas-cintakasih dalam semangat persaudaraan!”

Keempat, Maria yang berharap (Yoh 2:5), “Apa yang dikatakanNya kepadamu, buatlah itu”. Dalam setiap Ekaristi syukur, dalam rangka Tahun Baru Imlek kita sebagai satu keluarga, bersama dengan para leluhur/arwah orang beriman yang sudah meninggal, yang juga kita doakan, kita diundang juga untuk mempunyai niat baru, impian baru, semangat baru, dan aneka resolusi baru.

Intinya: kita diajak terus berharap, bukankah harapan berarti mimpi dan bukankah setiap mimpi berarti pekerjaan? “Dum spiro, spero-Selama masih bernafas, aku tetap berharap!”

Sebagai epilog, dahulu hiduplah seorang bijak, bernama Lao Tze, usianya dua ratusan tahun, ia suka menulis dan membaca, dan ia juga sangat suka naik kerbau. Salah satu karyanya yang termashyur, adalah kitab Tao Te Cing. Dalam Tao Te Cing (Tao: alami, Te: wisdom/kebajikan, Ching: buku), dikatakan: “negara yang baik tersusun atas masyarakat yang baik, masyarakat yang baik tersusun atas keluarga yang baik…”

Jelasnya, bahwa kunci perubahan itu ada dalam setiap keluarga sebagai gereja mini (basic eccelesia). Analog dengan ucapan Bunda Teresa dari Calcutta, jika ingin mengubah dunia-mulailah semuanya dari keluarga kita masing-masing. Disinilah satu pemaknaan yang baik untuk dikenangkan bahwasannya Imlek (Im= bulan, lek: penanggalan) bukan hanya berhenti dimaknai secara lahiriah, yakni pergantian dari musim dingin ke semi, dari musim yang penuh salju ke musim yang penuh bunga yang bersemi (dalam kacamata Konghucu: musim yang serba putih: dingin/"air" menjadi musim yang serba merah: hangat/"anggur").

Tapi, Imlek (Im= bulan, lek: penanggalan) seharusnya juga dimaknai secara batiniah dan bahkan imaniah, bahwasannya: kita tidak cuma wajib memakai baju baru, memakan kue baru, mendapat angpau, rumah dibersihkan, kumpul bersama keluarga, mendapat hoki, chie yang bagus, tapi terlebih seperti Maria, “sang pendoa-perantara dan pembela” (yang selalu menjadi jembatan ulung bagi Tuhan untuk menjumpai manusia, dan bagi manusia untuk lebih mudah menjumpai Tuhan, kita juga diajak untuk mau mengganti hati yang beku, iri, dingin dan kaku menjadi hati yang hangat, penuh cinta yang bersemi dan bersahabat dengan empat sila imannya, “bersyukur, berbagi, berpeduli dan berharap” yang bisa dimulai dari keluarga kita sendiri, karena bukankah benar bahwa Imlek juga bisa berarti “Ikuti Maria Lewat Ekaristi Kudus?”

Gong Xi Fat Chai

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

NB:
1.
Katekese Seputar Imlek dan Kristianitas.
PENGANTAR
Sebelum Konsili Vatikan II, istilah inkulturasi belum dikenal dalam lingkup Gereja. Meskipun demikian, sejak awal kekristenan inkulturasi sudah dijalankan oleh Gereja. Kotbah Santo Paulus kepada orang Yunani di Aeropagus di Atena (Kis 17:22-33) merupakan salah satu usaha inkulturasi. Meskipun akhirnya dia ditertawakan dan ditolak karena mulai masuk ke dalam inti iman: kebangkitan orang mati. Namun usaha inkulturasi tidak berhenti di sini.

Dari lingkungan Yahudi, Gereja lambat laun bergeser masuk ke dalam lingkungan Greco-Romawi dan memakai kebudayaan ini seiring dengan ekspansi Kerajaan Romawi. Melalui usaha St. Sirilus dan Metodius, Gereja abad IX berkenalan dan masuk ke dalam budaya Slavia dengan meninggalkan gaya Greco-Romano.

Sayangnya, sesudah itu gerakan Gereja yang dinamis seakan-akan menjadi agak kaku, teristimewa setelah Konsili Trente (1545-1563), karena pelbagai latar belakang, terutama yang mengancam kesatuan Gereja.

Penemuan daerah baru melalui penjelajahan di Amerika dan Asia membuka kesempatan baru bagi Gereja untuk mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa di Amerika dan Asia. Secara khusus, pewartaan Injil di Asia mengalami pergulatan besar, karena para misionaris (yang berasal dari Eropa dengan kebudayaannya) harus berhadapan dengan bangsa yang sudah memiliki budaya, tradisi dan agamanya sendiri.

Benturan kebudayaan pun terjadi, baik di India (kontroversi ritus Siro-Malabar) pada abad XVIII, maupun di China (kontroversi ritus China) dari abad XVII-XVIII. Dalam ketegangan seperti ini, misi Gereja seakan-akan terhenti. Secara khusus di China, kontroversi ini malahan membuat Gereja ditolak kehadirannya oleh Kaisar Kangxi. Perbedaan persepsi tentang kebudayaan membuat Paus Klemens XI mengambil keputusan yang membuat Kaisar Kangxi sangat tersinggung yang akhirnya menolak kehadiran Gereja.

PERAYAAN MUSIM
Dalam masyarakat Tionghoa, ada perayaan yang dapat digolongkan sebagai pesta rakyat dan perayaan keagamaan. Pesta rakyat biasanya dihubungkan dengan perayaan musim. Kedua perayaan ini kerap kali bersinggungan, atau sering diadakan dalam satu rangkaian kesatuan, sehingga kerap kali sulit dibedakan antara perayaan agama atau pesta musim / rakyat.

Beberapa perayaan yang dapat digolongkan sebagai pesta rakyat adalah:
Chunjie (Tahun Baru Imlek), Yuanxiao Jie (Cap Go Me), Qingming Jie (Mendoakan Arwah), Duanwu Jie (Bacang), Zhongqiu Jie (Pesta Musim Panas), Tongzhi Jie (Pesta Ronde).

Di dalam pesta-pesta ini, selain pesta musim, juga disertai dengan pesta atau peringatan peristiwa penting dalam sejarah. Sementara itu, peringatan-peringatan yang lebih bersifat keagamaan, dan sangat sedikit, seperti Zhongyuan yang biasanya dirayakan pada pertengahan bulan tujuh Imlek untuk memberi makan arwah-arwah kelaparan.

Melihat sifatnya, perayaan Tahun Baru Imlek lebih merupakan pesta rakyat untuk menyambut musim semi baru. Tahun baru Imlek adalah hari raya tradisional orang Tionghoa yang paling utama. Perayaan ini berlangsung selama limabelas hari, mulai dari hari pertama bulan Imlek sampai dengan Festival Lampion yuánxiâojié. Sepanjang dua pekan ini rumah-rumah dihiasi dengan pelbagai pernak pernik, dan orang-orang saling mengucapkan “selamat” satu sama lain, karena mereka dengan selamat telah melewati satu tahun yang baru lampau, saat untuk meninggalkan yang lama dan menyambut yang baru.

Dua ungkapan yang senantiasa muncul untuk menyebutkan masa ini adalah guònián yang menyatakan bahwa tahun yang lama telah berlalu dan bàinián untuk menyambut tahun yang baru.

SIMBOL DAN RAHMAT ALLAH DALAM MISA IMLEK
Tentunya perayaan suatu masyarakat muncul dari penghayatan akan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai perayaan itu kemudian disakralkan dengan upacara keagamaan, agar masyarakat yang merayakannya tidak hanya jatuh pada pesta pora kegembiraan, tetapi mempersiapkan manusia yang merayakannya dalam lingkup yang lebih rohani. Di sinilah rakyat atau masyarakat diikat dalam kesatuan suci yang membentuk mereka menjadi umat kudus.

Hal yang sama terjadi dengan perayaan tahun baru Imlek. Apalagi perayaan ini adalah perayaan tahun baru menurut penanggalan Imlek, maka mereka yang merayakannya merasa perlu memasuki tahun yang baru dalam keadaan penuh berkat.

Suatu Ketegangan:
Boleh tidaknya merayakan Imlek kerap kali menjadi dilema bagi umat Kristiani Tionghoa. Mereka dihadapkan pada pilihan antara tetap merayakan Tahun Baru Imlek ataukah meninggalkannya karena sudah menerima Kristus. Kedua hal ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Orang tidak perlu dipaksa untuk memihak yang satu dan menolak yang lain.

Yang lebih utama adalah apakah tradisi itu bisa semakin memantapkan imannya pada Kristus. Disini, Gereja dapat menjadi jembatan penghubung yang ampuh melalui pemahaman yang tepat akan tradisi ini.

Pertanyaan dari sebagian umat “mana lebih utama, iman atau adat?” akan membawa kita kepada persepsi yang salah, dan “memaksa” kita harus berpihak: iman atau adat. Padahal tidak semua perayaan dalam tradisi itu jelek dan bertentangan dengan iman. Bagaimana mungkin pewartaan Injil akan berjalan dengan baik bila belum apa-apa justru sudah menghakimi suatu tradisi tanpa mempelajari dan mengerti tradisi tersebut.

Yang perlu diperhatikan adalah apakah dengan mengadakan Misa Imlek itu umat semakin dekat pada Kristus sendiri, ataukah sebaliknya.

“Passover” – “Melewati”
Perayaan Tahun Baru Imlek dalam kehidupan menggereja tidak perlu sampai menimbulkan ketegangan baru. Secara sekilas, Tahun Baru Imlek memiliki kemiripan dengan praktek paskah, “passover” Yahudi, meskipun konteks dan teologinya sangat berbeda.

Namun hal itulah yang menggelitik untuk dilihat secara bersamaan, ditambah lagi Buku Misa yang mendapat imprimatur dari Komisi Liturgi Konferensi Uskup Taiwan memakai kutipan perjamuan Paskah bangsa Yahudi sebagai bacaan pertamanya. Di sana ditemukan unsur-unsur yang sama, misalnya ada yang lewat / berlalu, ada makan bersama dalam keluarga, warna merah (darah) di depan rumah, dan lain-lain.

Barangkali di sinilah letak inkulturasi Gereja di Taiwan untuk membawa orang lebih mengimani Kristus. Kebanyakan proses atau upaya inkuluturasi di Indonesia berhenti hanya pada hal-hal lahiriah, dengan penggunaan simbol-simbol tradisional, namun tidak menyentuh esensi dan masuk ke dalam nilai-nilainya sendiri. Lebih menyedihkan lagi kalau inkulturasi dijalankan hanya bertujuan demi inkulturasi itu sendiri.

Maka bila Gereja Indonesia hendak merayakan Imlek, beberapa aspek ini hendaklah menjadi pertimbangan, agar jangan sampai para petugas pastoral jatuh pada semacam eforia perayaan Imlek yang datar dan sekadar di permukaan saja.

Ungkapan yang biasa diucapkan dalam merayakan Imlek adalah guònián yang artinya adalah nián lewat. Nián dalam bahasa Mandarin adalah tahun. Karena itu pada hari pertama Imlek, orang-orang mengatakan bahwa nián telah lewat, tahun yang lama sudah berlalu. Inilah ungkapan kegembiraan bahwa manusia sudah melewati satu tahun perjalanan hidupnya, baik dalam “kegembiraan, kesusahan, keberhasilan maupun kegagalan”, dan saatnyalah memulai hidup yang baru dengan semangat yang baru. Yang sudah berlalu dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk menapak ke masa depan yang lebih baik.

Kita bisa melihat sedikit gambaran pada perayaan Paskah dalam tradisi Yahudi. Pada malam sebelum Paskah mereka semua bersiap-siap menantikan Allah melewati tanah mesir (bdk. Kel 12:12) untuk membebaskan mereka dari perbudakan, dan membebaskan mereka menuju ke Tanah Terjanji, ke masa depan yang lebih baik.

Meskipun keduanya berbeda, tidak disangkal bahwa ada konteks melewati yang memberi harapan kepada manusia. Sambil menunggu dan berjaga-jaga orang diajak untuk mengarahkan diri kepada sesuatu di masa depan.

Makan Bersama
Pada malam hari sebelum Imlek, seluruh keluarga akan berkumpul di rumah orangtua untuk makan bersama. Kiranya pada waktu makan di sana terciptalah suasana yang hangat dan saling berbagi. Dengan menikmati makanan yang sama dari meja yang sama pula, dengan berbagi, seperti perjamuan paskah Yahudi, di mana bila satu keluarga tidak dapat menghabiskan seekor domba, dia dapat mengajak tetangganya (bdk. Kel 12:4), semua perbedaan antar anggota keluarga menjadi lebur. Mereka yang mungkin pernah tidak saling menyapa dan bermusuhan kini membina kembali hubungan keluarga yang indah ini di depan orangtua.

Alangkah indahnya kalau makanan jasmani yang dinikmati di malam sebelum Tahun Baru Imlek diarahkan pada makanan yang tidak dapat binasa dalam Ekaristi pada keesokan harinya. Pada saat di mana saudara-saudara yang belum percaya kepada Kristus, namun pagi-pagi sudah bersembahyang di klenteng-klenteng memohonkan berkat, Gereja juga mengajak putera-puterinya untuk bertemu dengan Kristus dan bersatu dengan-Nya melalui santapan roti para malaikat, yang menguatkan jiwa dan jaminan hidup abadi (bdk. Yoh 6:1-59).

Warna Merah

Bangsa Yahudi memakai darah anak domba untuk memberi tanda di depan rumah mereka sebagai tanda agar Tuhan melewati rumah mereka dan tidak mendatangkan bencana. Demikian juga warna merah menjadi tanda untuk orang Tionghua. Bahkan dapat dikatakan bahwa warna merah menjadi warna kesukaan orang Tionghua, karena menampakkan kegembiraan. Orang menikah, pesta ulang tahun, dan semua yang bersifat pesta kegembiraan selalu didominasi dengan warna merah. Yang paling mencolok adalah pemberian amplop kecil berisi uang yang disebut hóngbâo atau angpao.

Biasanya mereka yang sudah berkeluarga (orangtua) yang memberikan hóngbâo kepada mereka yang belum menikah (anak-anak) sebagai tanda berkat dan bekal kepada orang muda untuk memasuki tahun yang baru. Alangkah indahnya bagi orang Kristen agar tidak hanya memberikan uang dalam hóngbâo kepada anak-anak, melainkan mengisinya dengan ayat-ayat Kitab Suci sebagai bekal bagi mereka memasuki Tahun Baru Imlek.

Hiasan-hiasan dalam Gereja
Dalam konteks Misa Imlek, ide utama dalam Misa adalah bahwa pada hari itu umat Katolik diundang untuk bersatu lebih erat lagi dengan Kristus. Bila saudara-saudaranya yang tidak seiman pergi berdoa di klenteng untuk memohonkan berkat pada tahun yang baru dan mengenyahkan bencana, maka bagi umat Kristiani mereka datang ke gereja untuk bersatu dengan Kristus. Perhatian utama dalam Misa Imlek bukan lagi takut akan “nasib buruk” di tahun yang baru, melainkan adalah bahwa umat dengan mantap “melangkah bersama Kristus” memasuki tahun baru.

Hiasan-hiasan dalam gereja pada hari-hari raya bermaksud memberi warna istimewa, bahwa hari itu adalah hari khusus, di mana orang semakin diajak untuk merenungkan lebih mendalam lagi misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, dan semakin meneguhkan iman kita. Secara khusus pada Misa Imlek, biasanya gereja-gereja didekorasi begitu indah untuk menciptakan suasana oriental. Namun kerap kali yang terjadi malahan dekorasi itu mengacaukan konsentrasi umat, dan mengalihkannya dari Kristus yang menjadi pusat perayaan. Maka hendaknya hiasan-hiasan khas oriental itu tidak dibuat berlebihan. Atau dengan bahasa gamblangnya “tidak memindahkan klenteng ke dalam gereja,” supaya umat dapat dengan mudah mengarahkan perhatiannya Yesus Kristus yang hadir dalam seluruh perayaan Ekaristi.

Pantang dan Puasa
Kalau melihat kalender liturgi, Masa Prapaskah biasanya jatuh pada bulan Februari. Sementara itu Imlek bisa saja jatuh sekitar bulan Februari. Beberapa tahun terakhir yang lalu, Imlek jatuh pada hari-hari di sekitar Rabu Abu, bertepatan dengan Masa Prapaskah.

Menanggapi umat yang merayakan Imlek, demi alasan pastoral dan inkulturasi, beberapa keuskupan merasa perlu memberikan dispensasi dari kewajiban pantang dan puasa di hari Rabu Abu bila Imlek jatuh pada hari Rabu Abu, dan menggesernya ke hari yang lain. Keputusan yang demikian ini amat disayangkan, karena justru lebih mengikuti trend dan salah kaprah, yang menganggap bahwa Tahun Baru Imlek baru mempunyai makna bila disertai dengan pesta dan makan-makan.

Bila dilihat dari persiapan menyambut Tahun Baru Imlek, nyatalah bawa perayaan ini didahului dengan acara membersihkan rumah dan diri. Pakaian baru juga disiapkan untuk dipakai pada tahun yang baru. Semuanya ini memiliki makna simbolik, yakni bahwa pada tahun baru semuanya harus baru. Membersihkan seluruh rumah merupakan tanda lahir dari sikap membersihkan diri. Sebagai kelanjutannya mereka yang beragama Budha justru berpantang daging selama tujuh hari Imlek sebagai tanda askese dan pembersihan diri. Maka menjadi sangat aneh bila Gereja justru “mengalahkan” Rabu Abu yang sungguh bermakna pertobatan hanya demi “menghormati” tradisi Imlek. Bukankah kebiasaan menyambut Tahun Baru Imlek dengan “bersih-bersih” ini menjadi semakin mendalam lagi dalam penghayatan Rabu Abu dan Masa Prapaskah? Barangkali ini tradisi yang demikian dapat menjadi guru katekese yang baik bagi penghayatan hidup rohani umat Kristiani yang merayakan Imlek dan mempersiapkan diri merayakan Paskah Kristus.

PENUTUP
Jalan menuju inkulturasi masih panjang, apalagi menyangkut Misa Tahun Baru Imlek. Lingkungan di sekitar ikut mempengaruhi pemahaman yang tepat akan suatu tradisi. Gereja Indonesia tidak luput dari ketegangan, antara mengakomodasi kebutuhan umat Katolik yang masih merayakan Imlek dengan mereka yang sudah tidak merayakan Imlek di satu sisi, dan akan tradisi lain di bumi Nusantara. Jangan karena upaya ini Gereja dianggap sudah dimonopoli oleh kelompok tertentu.

Apa pun yang dirayakan dalam Misa, hendaknya selalu diingat bahwa Misa adalah perayaan syukur, suatu eucharistia, yang berfokus dan berpuncak pada Yesus Kristus. Pada-Nya-lah seluruh liturgi Gereja berpusat. Apakah namanya Misa Imlek, Misa Karismatik, atau pun Misa-misa lain yang memakai budaya tertentu, Misa tetaplah merupakan kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus Yesus. Dan Gereja menjamin bahwa setiap umat mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk menyambut Tubuh dan Darah Kristus, jaminan keselamatan manusia.


3.
A.
Wawancara dengan Bapa Uskup Surabaya, dimuat di Jawa Pos
‘Monsiyur yang "Larang" Misa Imlek’

“Bukan salah bunda mengandung, tapi salah bapak nggak pakai sarung,” celetuk Uskup Surabaya Monsigneur Vincentius Sutikno Wisaksono tentang ke-Tionghoa-annya. Dia lantas tertawa kencang.

Ya, pemimpin gereja Katolik yang meliputi 15 kota di Jatim plus dua kabupaten di Jateng itu memang berdarah Tionghoa. Tapi, sejak kecil dia tak menerapkan tradisi leluhurnya secara sakelijk (baca: saklek). Bahkan, saat ditemui di kantor Keuskupan Surabaya, Jalan Polisi Istimewa, Monsinyur Tik berterus terang bahwa dia kurang antusias berbincang soal Imlek yang jatuh hari ini.

Kegairahan tahun baru Tionghoa itu memang tak meletup-letup dalam diri Sutikno. Sejak umur lima tahun, dia mengaku tak lagi disentuhkan dengan tradisi Tionghoa. “Masiyo Tionghoa aku blas nggak iso ngomonge. Nggak tahu diuruki. (Meskipun orang Tionghoa, saya tidak bisa berbahasa Tionghoa. Tidak pernah diajari),” katanya. Dia lantas tertawa lagi.

Di samping itu, Sutikno juga menganggap bahwa dia sudah nggak cocok jadi Tionghoa. “Kulitku nggak putih, mripatku yo nggak sipit-sipit banget (kulit saya tidak putih, mata saya juga tidak sipit, Red),” imbuhnya sambil menarik kelopak mata dengan telunjuknya agar terlibat lebih sipit.

Suktikno lalu mengambil secarik kertas. Dia lalu menuliskan: Oei Tik Haw. “Ini nama Tionghoa saya. Sekarang jadi Sutikno Wisaksono,” kata arek Suroboyo asli yang terkenal sangat ceplas-ceplos itu. Sutikno lalu menuliskan nama kedua orang tuanya. Yakni Oei Tik Tjia, ayahnya dan Kwa Siok Nio, ibunya.

Meski benar-benar berasal kalangan Tionghoa, Sutikno mengaku tidak berperan banyak untuk kebudayaan Tionghoa. Bahkan dengan ketegasannya sebagai Uskup, pemangku gereja, Sutikno menegaskan peraturan yang dia sadari bisa memancing cibiran umat dari kalangan Tionghoa. Yakni, membebaskan liturgi (tata perayaan) Katolik dari pernik-pernik Imlek.

Memang, sejak Sutikno ditahbiskan menjadi Uskup Surabaya pada 29 Juni 2007, tidak ada lagi gereja-gereja Katolik di bawah Keuskupan Surabaya yang berani memasang pernik-pernik khas Imlek. Tentu saja sudah tidak ada lagi misa Imlek. “Sudah saya larang keras. Sekarang sudah bersih,” katanya.

Pria 56 tahun itu lalu menceritakan, sebelum dia menjabat Uskup, ada beberapa gereja Katolik yang terang-terangan mengadakan misa Imlek. Perayaannya pun terkesan megah. Misalnya ada tarian-tarian barongsai, kolekte (persembahan, Red) pun dengan barang-barang wah.
Selain itu, bagi-bagi angpau juga dilakukan di dalam gereja. “Masak waktu misa ada tari-tariannya. Sing siao se sa saui,” katanya menirukan logat Tionghoa awur-awuran. Sutikno lalu berdiri, tangannya digerak-gerakkan mencoba menirukan gerakan tarian Barongsai. “Kan nggak ada hubungannya dengan Ekaristi (misa). Nek kecekluk piye,” imbuhya lalu tertawa kencang.

Dia lalu menyempatkan masuk ke ruangannya untuk mengambil buku. Buku hijau itu berjudul Redemtionis Sacramentum yang berarti Sakramen Penebusan. Mengenakan kacamata bacanya, Sutikno meneliti daftar isi. “Mmmm mana ya,” gerutunya sambil memicingkan mata. “Nah ini dia halaman 44,” ucapnya.

Setelah menemukannya dia lalu membacakan isi buku. “Tidak diizinkan mengaitkan misa dengan peristiwa-peristiwa profan atau duniawi atau mengaitkan dengan situasi-situasi yang tidak dengan sepenuhnya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Juga perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut upacara-upacara lain,” tuturnya.

“Nah sudah jelas kan?” imbuhnya. Sutikno menerangkan bahwa pelarangan misa Imlek bukanlah tanpa dasar. Tapi itu sudah diatur dalam peraturan Gereja Katolik. Aturan itu dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen pada Hari Raya Kabar Sukacita kepada Santa Perawan Maria pada 25 Maret 2004.

Sebenarnya, Sutikno bukan anti kebudayan Tionghoa. Dia sangat menghargai dan mendukung perayaan Imlek oleh orang yang merayakan. Tapi itu tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan Gereja Katolik. Dia mempersilakan umatnya untuk merayakan Imlek di luar gereja..

Tak hanya urusan peribadatan saja yang pernah membuat Sutikno menuai cibiran. Berkaitan statusnya yang Tionghoa, Sutikno dicap sebagai Uskup yang pelit dan sangat perhitungan dalam hal keuangan. “Oh pantes lha wong Uskupe Tionghoa,” ucap Sutikno menirukan beberapa pihak yang menggerutu.

Menurutnya, saat kursi Uskup Surabaya kosong beberapa tahun lalu, laporan keuangan gereja-gereja Keuskupan Surabaya sangat amburadul. Bahkan beberapa gereja tidak pernah melaporkan keuangannya ke keuskupan. “Padahal itu kan uang umat yang harus dipertanggungjawabkan,” katanya. “Katanya saya mata duiten lah, mau cari untung lah. Tapi cuek saja. Yang penting saya benar. Ini untuk dipertanggungjawabkan ke umat,” kata Uskup yang ditahbiskan menjadi imam pada 21 Januari 1982 itu. “Mungkin ini untungnya punya uskup Tionghoa. Teliti masalah keuangan,” imbuhnya. Kembali, tawanya meledak.

Sutikno menceritakan sejak kecil, dirinya tidak pernah dicekoki kedua orang tuanya tentang kebudayaan Tionghoa. Sebab, kata Sutikno, meski keturunan Tionghoa asli, latar pendidikan kedua orang tuanya lebih mengarah ke budaya Belanda. Ayahnya yang bernama Indonesia Widiatmo Wisaksono dulu bersekolah di sebuah SMK milik Belanda yang terletak di kawasan Pasar Turi.

Bahkan kedua orang tuanya lebih kuat menanamkan kebudayaan Indonesia kepada Sutikno. “Kita ini orang Indonesia yang hidup dari Indonesia dan harus berbuat banyak untuk negara Indonesia,” tutur Sutikno menirukan wejangan ayahnya.

Menurutnya Tionghoa, Jawa, Betawi dan ras lainnya hanyalah sebuah kebetulan yang sudah ditentukan oleh Tuhan. “Tapi pada hakikatnya kita adalah manusia yang sama di mata Tuhan,” terangnya. “Jadi saya menjadi Tionghoa bukan karena salah bunda mengandung, tapi salah bapak nggak pakai sarung,” selorohnya. Uskup itu lantas cekikikan.

B.
Tanggapan:

1.
Jika Bapa Uskup, Mgr Sutikno telah melarang diadakannya Misa Imlek, maka sebagai umat Katolik (baik imam maupun awam) yang berdomisili di keuskupan Surabaya wajib menaatinya. Mari kita menghargai kebijaksaan Bapa Uskup yang mungkin bermaksud mencegah terjadinya percampuran budaya yang simpang siur, di mana ada barongsai masuk gereja, yang tentu tidak sesuai dengan ajaran Kristiani.

2.
Di lain pihak, kita mengetahui di beberapa negara yang merayakan Imlek, seperti di Singapura, dan China, umum dilakukan Misa untuk merayakan Imlek. Imlek di sini dianggap semata- mata hanya perayaan syukur, apalagi di China sana, Imlek itu juga berkonotasi dengan musim semi. Jadi datangnya musim semi ini dirayakan sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Jika ini motivasinya, maka tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, karena perayaan Ekaristi intinya juga adalah ucapan syukur.

Namun demikian, terjadi pertentangan kalau dimasukkan unsur- unsur budaya seperti barongsai/ tarian naga, dst, yang memang rancu, karena di Kitab Suci, naga menggambarkan Iblis (lih. Why 12). Dan demikian jadi aneh dan tidak pada tempatnya, jika naga menari-nari di dalam gereja.

Namun perayaan Misa Imlek di Singapura, tidak selalu melibatkan tarian barongsai ataupun dekorasi lampion. Misanya sederhana saja, seperti pada hari Minggu biasa, paling-paling ada dekorasi dengan kain merah dan bunga- bunga. Setelah Misa selesai, umat menerima jeruk, sebagai tanda syukur atas berkat Tuhan. Jadi jika di keuskupan lain Uskup memperbolehkan diadakannya Misa Imlek, maka silakan saja bagi yang merayakannya untuk mengikutinya. Hanya saja memang perlu dicermati, agar di dalam Misa tidak dicampuradukkan budaya yang tidak pada tempatnya. Tidak perlu gereja “disulap” dengan lampion seperti klenteng, ataupun ada tari- tarian barongsai di Misa. Jika sampai mau diadakan pembagian jeruk, silakan dilakukan setelah Misa selesai, setelah berkat dan lagu penutup.

Kesimpulannya, mari kita menaati apa yang telah ditetapkan oleh pemimpin Gereja Katolik, di mana kita berada. Kita percaya, para Uskup memutuskan segala sesuatu sesuai dengan keadaan umat di wilayahnya, dan mari kita dengan lapang hati menaatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar