Ads 468x60px

AD MULTOS ANNOS Pater Franz von Magnis Suseno SJ.


AD MULTOS ANNOS
Pater Franz von Magnis Suseno SJ.
Hari ini, 26 Mei 2017 (26 Mei 1936), Pater Franz von Magnis Suseno SJ genap berusia 81 tahun. Kita doakan Indonesia-nis ini. Semoga jiwa dan semangat kenegarawanannya menjadi teladan dan inspirasi bagi kita yang orang-orang asli Indonesia.
Romo Franz Magnis-Suseno, lahir di daerah Silesia, sekarang bagian dari Polandia, 26 Mei 1936. Warga Jerman sebagai filsuf dan teolog dari Ordo Serikat Yesus ini kemudian memilih Indonesia sebagai negara dan tanah airnya.
Nama Romo Magnis sudah dikenal luas di Indonesia, bukan sebagai teolog, namun sebagai salah seorang peneliti, cendekiawan dan narasumber kelompok dan organisasi lintas agama.
Lahir sebagai Franz Graf von Magnis di distrik Jerman Eckersdorf Glatz di Silesia (sekarang Bożków/Polandia), dia kemudian memilih tinggal di Indonesia sejak tahun 1961. Ketika itu, dia datang pada usia 25 tahun untuk belajar filsafat dan teologi di Yogyakarta. Tahun 1977 Romo Magins menjadi warga negara Indonesia (WNI) dengan nama Suseno.
Romo Magnis sudah menulis lebih dari 30 buku dan ratusan artikel di berbagai media, terutama tentang etika, filsafat, politik dan budaya Jawa. Dia juga ikut mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta, yang dikelola Yesuit bersama dengan Tarekat OFM dan Keuskupan Agung Jakarta .
Dalam banyak tulisan dan penampilan di televisi, radio maupun berbagai acara diskusi, Romo Magnis selalu mempromosikan dan menekankan pentingnya etika politik dan keadilan sosial.
Tahun 2015, seperti dilansir Dw.com, Romo Magnis dianugerahi Bintang Mahaputra Utama oleh Pemerintah RI atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan dan filsafat. Dari pemerintah Jerman, dia sudah lebih dulu dianugerahi Bintang Jasa Kehormatan ‘Das Große Verdienstkreuz des Verdienstordens’ tahun 2001.
Tahun 2007, Romo Magnis menolak penghargaan Bakrie Awards yang diberikan untuk jasa-jasanya dalam bidang sosial. Dia menolak dengan alasan, kelompok Bakrie tidak bertanggung jawab kepada warga setempat dalam Lumpur Lapindo.
“Jika menerima, saya akan selalu merasa bersalah menerima penghargaan dari orang yang perusahaannya mengakibatkan rakyat Porong, Jawa Timur menderita,” kata dia kepada media.
Tahun 1945, keluarga Romo Magnis terpaksa pindah ke Jerman Barat setelah terusir dari Silesia dalam kekalutan perang dunia. Dia kemudian mengambil jurusan filsafat dan minta ditugaskan ke Indonesia, setelah bergabung dengan Ordo Serikat Yesus (Jesuit).
Tahun 1973, Romo Magnis menerima gelar doktor dengan tesis tentang pemikiran Karl Marx muda di kota München.
Di Indonesia, Romo Magnis juga dikenal baik di kalangan aktivis politik. Pemikiran-pemikirannya mengilhami banyak aktivis muda untuk bergerak menentang kekuasaan otoriter Suharto dan rezim Orde Baru.
Makan bihun di pinggir sumur - Slmt ulang tahun semoga panjang umur.
A M D G ...
NB:
IDEOLOGI
(Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno)
"Ideologi" merupakan salah satu kata kunci dalam alam politik sejak dua ratus tahun terakhir. Akan tetapi apakah ideologi adalah sesuatu yang perlu dan positif, atau malah merupakan sesuatu yang harus "dikritik" dan "dibongkar" masih tetap dipertentangkan. Marxisme-Leninisme pernah dengan bangga menamakan diri "ideologi proletariat" dan di Indonesia anggapan bahwa "Indonesia memerlukan sebuah ideologi" masih sering disuarakan. Padahal dalam filsafat politik kata ideologi umumnya dianggap bernada negatif. Kata ideologi lalu dilihat bersamaan dengan sikap "ideologis". Kata "ideologis" dalam segala konteks selalu bernada negatif. Menamakan pikiran ideologis adalah sama dengan menuduhnya tidak benar atau tidak jujur. Sebuah argumentasi disebut "ideologis" apabila mendasarkan diri pada suatu pikiran atau teori yang tampak luhur, tetapi sebenarnya menjadi wahana kepentingan kekuasaan tersembunyi. Pemikiran ideologis adalah pemikiran yang secara objektif, bahkan kadang-kadang secara subjektif menyesatkan. "Ideologis" berarti benar hanya karena melegitimasikan kepentingan kekuasaan yang bersangkutan. Kalau sebuah teori atau cita-cita universal dituduh ideologis, yang mau dikatakan adalah bahwa ciri universal cita-cita itu hanyalah kamuflase sebuah maksud tersembunyi yang tidak universal dan tidak luhur.
Kata ideologi
Paham ideologi dalam arti pemikiran ideologis berasal dari Karl Marx. Marx mengajar bahwa selama masyarakat masih dikuasai oleh kelas-kelas atas, jadi selama manusia belum betul-betul sosial, sistem-sistem pemikiran besar yang menyediakan makna dan pengertian menyeluruh kepada masyarakat mesti bersifat ideologis. Jadi bahwa pandangan-pandangan moral, agama, nilai-nilai budaya, cita-cita keadilan dan lain sebagainya sebenarnya menunjang kepentingan kelas-kelas atas untuk mempertahankan kekuasaan. Cita-cita itu di permukaan kelihatan indah dan universal. Artinya, cita-cita itu menjanjikan kebaikan bagi segenap manusia kalau diikuti. Tetapi sebenarnya cita-cita itu berfungsi untuk membuat kelas-kelas bawah mau menerima keadaan mereka sebagai kelas bawah sebagai sesuatu yang baik dan luhur, yang akhirnya, barangkali di surga, akan mendapat ganjarannya. Hal itu berarti, bahwa karena cita-cita moral, ajaran agama dan nilai-nilai budaya kelas-kelas yang terhisap dan terpuruk bersedia melakukan apa yang oleh tatanan masyarakat itu ditetapkan sebagai kewajiban mereka daripada memberontak dan menuntut pembagian hasil kerja masyarakat yang lebih adil. Dalam arti ini agama, moralitas dan nilai-nilai budaya bagi Marx merupakan ideologi, sistem-sistem berpikir yang menyediakan legitimasi kepada struktur-struktur kekuasaan yang tidak adil, tidak manusiawi dan tidak bermoral.
Maka kalau bahasa sehari-hari bicara tentang pelbagai pandangan dunia sosial-politis sebagai ideologi, selalu terbawa juga nada kecurigaan jangan-jangan teori-teori bagus itu sebenarnya memainkan fungsi yang tersembunyi sebagai sarana untuk memperkokoh kekuasaan golongan-golongan atas dalam penghayatan masyarakat itu. Dalam filsafat, "ideologi" dilawankan dengan "pengetahuan sungguh-sungguh." Jadi, ideologi dipahami sebagai "pengetahuan yang terdistorsi", sebagai keseluruhan cita-cita, nilai-nilai dan pikiran-pikiran yang tidak pertama-tama mau memenangkan kebenaran, melainkan mengamankan kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa. Pendek kata, pikiran-pikiran itu sebenarnya bukannya "benar", melainkan mau melegitimasikan hubungan kekuasaan tertentu. Ada juga paham ideologi yang lebih luas, namun tetap dengan nada negatif. Dalam sosiologi pengetahuan, dan sebagai akibat positivisme dan empirisme, kata "ideologi" dipakai untuk segala pandangan, keyakinan, kepercayaan, sistem normatif dan lain sebagainya yang tidak dapat dikembalikan pada pengamatan empiris atau pernyataan-pernyataan deskriptif. Dalam model pandangan ini, “ideologi” lalu dimengerti sebagai segala macam pemikiran yang tidak ilmiah, yang tidak berdasarkan suatu kenyataan objektif, yang bersifat subjektif belaka. Segala cita-cita, harapan, ajaran moral, pandangan tentang baik dan buruk menurut gaya bahasa ini termasuk "ideologi". Di sini bukan tempatnya untuk menguji pandangan positivistik itu. Cukup dicatat bahwa positivisme sekarang umumnya ditolak dalam filsafat. Sebagian filsuf sekarang berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat didukung dengan argumentasi yang sah. Di sini hanya mau diperlihatkan bahwa ideologi dalam filsafat dan sering juga dalam politik dikaitan dengan pengetahuan yang kurang objektif, subjektif, tak ilmiah, yang terdistorsi oleh kepentingan dan lain sebagainya.
Namun, berlawanan dengan pengertian di atas, dalam pengertian umum, kata ideologi dipakai justru dalam arti yang netral, sebagai teori sosial dan politik menyeluruh yang memuat program perubahan dan penataan kembali masyarakat, jadi yang memberikan arah dan tujuan pada suatu perjuangan politik. Dalam arti ini ideologi oleh mereka yang mengikutinya dianggap sebagai sesuatu yang positif, sebagai sesuatu yang dibanggakan. Gerakan-gerakan radikal suka menyebut teori perjuangan mereka "ideologi". Contoh utama tentu adalah Marxisme-Leninisme, ajaran teoretis komunisme yang oleh kaum komunis resmi disebut "ideologi" atau pandangan dunia ilmiah proletariat. Dalam arti netral ini kata "ideologi" lalu dipakai bagi paham-paham besar modernitas seperti liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan nasionalisme.
Ideologi dan modernitas
Persis dalam arti netral terakhir inilah buku ini memakai kata ideologi. Tujuan buku ini adalah memperkenalkan pembaca dengan teori-teori dan aliran-aliran sosial-politik besar yang secara mendalam mewujudkan dunia dan alam pikiran politik sekarang.
Ada beberapa hal yang pantas diperhatikan. Yang pertama: Semua ideologi, tanpa kecuali, baru muncul selama tiga ratus tahun terakhir. Rupa-rupanya munculnya ideologi-ideologi berhubungan erat dengan sekularisasi dan keruntuhan struktur-struktur kekuasaan serta kepercayaan-kepercayaan tradisional. Dalam semua masyarakat tradisional di dunia, seluruh kehidupan masyarakat – pola cocok tanam dan bertukang, perekonomian pada umumnya, pemerintahan yang biasanya di bawah seorang raja, keagamaan dengan pelbagai struktur kependetaan dan keulamaan, dan cara berperang – berlangsung dalam kerangka pandangan dunia, kepercayaan-kepercayaan, dunia nilai dan pandangan normatif yang sama, yang bagi masyarakat bersangkutan berfungsi sebagai latar belakang pengertian diri dalam dunia dan oleh karena itu tidak pernah dipersoalkan. Yang dipersoalkan adalah apakah kelakuan individual atau suatu penataan sosial sesuai dengan kerangka itu. Pandangan-pandangan religius, nilai-nilai, pandangan tentang struktur alam tertentu itu menjadi latar belakang mengapa orang-orang dalam masyarakat-masyarakat itu merasakan tata hidup, cara berkomunikasi dan bekerja mereka sebagai bermakna. Jürgen Habermas menyebut latar belakang segala makna itu sebagai "dunia kehidupan" ("Lebenswelt"). Dalam dunia di mana semua warga masyarakat dengan sendirinya memahami diri pada latar belakang makna yang sama tidak ada ruang spiritual untuk sebuah ideologi. Mengapa? Karena ideologi selalu menawarkan makna, memuat cita-cita, tujuan-tujuan dan tuntutan-tuntutan yang berdasarkan suatu makna yang khusus. Tetapi dunia makna dalam masyarakat tradisional masih mantap diduduki oleh "dunia kehidupan" tradisional itu.
Nilai utama liberalisme misalnya adalah kebebasan. Liberalisme menuntut kebebasan dan karena itu menolak segala ketaatan, baik terhadap raja maupun terhadap lembaga agama, yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional. Kebebasan sampai hari ini menjadi salah satu nilai paling penting yang dapat menggerakkan bangsa-bangsa. Di Indonesia hari raya nasional terbesar adalah hari raya Kemerdekaaan Republik Indonesia. Tetapi dalam masyarakat tradisional kebebasan atau kemerdekaan tidak pernah merupakan nilai istimewa. Bebas barangkali bisa berarti pembebasan dari status perbudakan, bebas dari hama tikus, dan sebagainya. Tetapi, misalnya di Jawa, nilai-nilai yang lebih mendalam adalah tata tentrem adil makmur kerta raharja (tertata [baik], tenteram, adil, sejahtera, kaya, bahagia). Baru sesudah alam makna tradisional itu runtuh pertanyaan tentang suatu makna baru bisa muncul.
Individualisme
Salah satu latar belakang kunci munculnya ideologi-ideologi adalah individualisme. Individualisme memang merupakan salah satu ciri paham diri manusia pasca tradisional paling mencolok. Individualisme baik suatu kesadaran maupun sebuah kenyataan sosial-sosiologis. Individualisme adalah kesadaran diri manusia bahwa ia seorang diri yang bebas untuk menentukan sikap dan tindakannya, serta untuk bertanggungjawab atasnya, pun pula apabila tidak sesuai dengan kehendak atau adat-istiadat kelompok. Secara tradisional seseorang selalu menghayati diri sebagai anggota kelompok sosial dalam pelbagai lingkaran intensitasnya: Ia anggota suatu keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga lebih luas (marga), ia warga desa, anggota umat beragama tertentu dan barangkali anggota sebuah profesi (misalnya pande besi). Ia menganggap baik yang dianggap baik oleh kelompoknya dan buruk apa yang dicela oleh kelompoknya. Tak mungkin bahwa ia menolak nilai-nilai dan norma-norma kelompoknya. Ia bisa saja melanggar sebuah norma kelompok, misalnya dengan berzinah, tetapi ia tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu pelanggaran dan tidak baik. Tetapi di modernitas bisa terjadi bahwa seseorang bukan hanya berzinah, melainkan juga menyatakan bahwa berzinah itu haknya dan bukan sesuatu yang buruk. Ia tidak hanya melanggar norma yang berlaku, ia menyangkal bahwa norma itu sendiri berlaku. Individu modern – sebagaimana dirumuskan dengan paling jernih oleh Immanuel Kant - merasa berhak untuk mengetahui sendiri apa yang benar dan baik dan apa yang salah, dan ia akan merasa wajib bertindak sesuai dengan kesadarannya itu, juga apabila kesadarannya bertentangan dengan norma-norma kelompoknya. Immanuel Kant menarik kesimpulan bahwa moralitas yang benar adalah moralitas otonom, otonom dalam arti bahwa sikap moral yang benar bukanlah asal mengikuti aturan kelompok, melainkan bertindak sesuai dengan apa yang diyakini oleh orang yang bersangkutan sendiri sebagai benar.
Pendekatan individualistik itu merupakan suatu perubahan luar biasa terhadap seluruh tradisi. Namun perlu diperhatikan bahwa sebenarnya individualisme sudah merupakan implikasi keagamaan Abrahamistik. Menurut kepercayaan tiga agama keturunan Abraham : Yahudi, Kristen dan Islam, setiap orang di saat kematiannya akan menghadap Tuhan Penciptanya secara individual dan akan dinilai secara individual juga apakah masuk surga atau tidak. Diyakini bahwa Tuhan tidak akan menerima kalau ia mengatakan bahwa ia ikut-ikutan berbuat jahat bersama orang-orang sekelompok, melainkan Tuhan akan bertanya: "Mengapa engkau ikut melakukan apa yang kauketahui tidak benar?" Keluhuran individu dalam pandangan dunia agama-agama Abrahamistik kelihatan dari fakta kepercayaan bahwa kematian manusia individual tidak – seperti halnya di beberapa agama Asia Selatan dan Timur - dimengerti sebagai kembalinya setetes air ke dalam samudra alam raya, apalagi sebagai padamnya lilin kehidupan sebagaimana halnya kematian binatang. Melainkan individu masing-masing, secara personal, diciptakan untuk bereksistensi untuk selama-lamanya. Jadi setiap orang bernilai dalam kekhasan individualnya dalam pandangan Tuhan.
Keyakinan akan arti mutlak eksistensi individual ini sebenarnya berimplikasi bahwa setiap orang harus bertindak menurut suara hatinya sendiri dan bukan sekedar mengikuti kelompoknya. Akan tetapi, meskipun misalnya filsuf dan teolog besar dari Abad Pertengahan bernama Thomas Aquinas (1225-1274) sudah mengajarkan bahwa setiap orang wajib untuk selalu mengikuti suara hatinya, toh kesadaran itu tadi sebenarnya baru mulai dihayati lebih luas sejak zaman Pencerahan, sejak saat fajar budaya modernitas menyingsing. Perubahan kesadaran manusia ini – sebuah perubahan paradigma sungguh-sungguh – tidak lepas dari keambrukan struktur-struktur sosial-politik tradisional. Pada abad ke-17, kapitalisme purba – kapitalisme yang belum dimotori oleh revolusi industri – sudah mendobrak tatanan sosial tradisional kaku abad pertengahan. Kapitalisme menuntut agar petani dibebaskan dari kewajiban untuk tetap di desanya, agar pembatasan-pembatasan untuk berusaha, untuk bertukang, untuk mencari pekerjaan dihapus. Kapitalisme menutut kebebasan orang untuk bekerja di mana ia mau, berproduksi sesuai dengan kemauannnya, bebas berdagang. Dengan demikian individu menjadi lebih bebas bergerak, dengan akibat bahwa struktur-struktur sosial tradisional yang juga menjamin kehidupan dan keamanan individu kehilangan artinya. Manusia harus berjuang secara individual untuk survive, segala kemungkinan jadi terbuka baginya (kita kenal ceritera-ceritera tentang orang yang mulai dengan cuci piring di New York, dan akhirnya bisa menjadi jutawan), tetapi begitu pula segala risiko (itulah salah satu latar belakang sosial munculnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia). Mudah dilihat bahwa individualisasi itu sudah ke mana-mana. Di Indonesia hanya sedikit orang yang masih bisa hidup dari gotong-royong di desa, sebagian besar warga masyarakat harus mencari pekerjaan secara individual kalau ia dan keluarganya mau makan. Dalam pendidikan di sekolah, orang dinilai menurut ranking individualnya, menurut prestasi individualnya, dan bukan menurut asal-usul sosialnya. Individualisasi paling jelas kelihatan dalam fakta bahwa taraf kehidupan seseorang tidak lagi tergantung dari kelompoknya, melainkan semata-mata dari apakah ia secara individual memiliki uang. Begitu pula orang perlu KTP, SIM, dan lain-lain yang sifatnya individual kalau ia mau hidup.
Individualisasi sosial dan kesadaran individualistik mempunyai akibat bahwa wawasan intelektual dan emosional seseorang tidak lagi secara otomatis mesti tertampung dalam dunia kehidupan keluarganya, kampungnya, umatnya. Oleh karena itu seseorang mungkin merasa kehidupannya tidak lagi bermakna, maka ia mencarinya. Nah, ideologi-ideologi menawarkan makna itu. Ideologi-ideologi mengisi ruang yang sudah ditinggalkan oleh tradisi dan yang sudah tersekularisasi dalam arti bahwa makna-makna keagamaan yang dulu melekat pada segenap unsur kehidupan dari pagi sampai malam, sudah menguap. Ideologi-ideologi mengisi ruang kosong nir-makna cakrawala manusia pasca-tradisional.
Intensitas ideologis berbeda
Akan tetapi, kalau kita bicara tentang ideologi kita harus memperhatikan bahwa corak dan intensitas ideologi-ideologi itu sangat berbeda. Ada ideologi-ideologi yang keras, dengan ajaran lengkap mengenai hampir semua segi kehidupan politik, sosial dan ekonomi, di mana ideologi dirumuskan dalam buku-buku resmi, diajarkan kepada para pengikutnya, atau, di mana ideologi itu berkuasa, kepada masyarakat, dan orang yang mengritik ideologi ditindak. Ideologi-ideologi keras itu selalu diperjuangkan oleh suatu gerakan politik yang mempunyai program perebutan kekuasaan dan mencoba membentuk masyarakat sesuai dengan ideologinya itu. Tiga contoh paling jelas ideologi keras itu adalah (1) Marxisme-Leninisme, ideologi gerakan komunis sedunia, (2) Fasisme, yang dengan paling ekstrem terwujud dalam Nasionalsosialisme (Nazi), dan (3) Islamisme Imam Khomeini di Iran. Tiga ideologi itu tentu sangat berbeda satu sama lain. Tetapi masing-masing menjadi dasar perjuangan untuk merebut kekuasaan, dan sesudah gerakan ideologis itu merebut kekuasaan mereka mendirikan sistem kekuasaan keras berdasarkan ideologi mereka. Mereka semua menolak demokrasi atas dasar pertimbangan, bahwa kebenaran tidak tergantung dari pandangan mayoritas, dan karena itu pemerintahan justru harus dipegang atau, seperti di Iran, dikontrol oleh para penjaga kemurnian ideologis (dalam komunisme itu adalah Komite Sentral Partai Komunis, dalam Nazisme itu pemimpin sendiri dan jajaran partai Nazi, di Iran itu adalah Majlis Para Penjaga Islam di bawah Kepala Spiritual Imam Ali Khameini), pendidikan dikontrol ketat secara ekslusif sesuai dengan ideologi negara, ada aparat yang mengontrol masyarakat dan menindak segala cara hidup, usaha, pekerjaan profesional dan pola rekreasi yang tidak sesuai dengan ideologi itu. Perlawanan tidak diizinkan dan penjara-penjara penuh dengan orang-orang yang ditemukan menyeleweng dari kemurnian ideologi.
Liberalisme, tetapi juga kapitalisme sangat berbeda dari ideologi-ideologi keras itu. Dua ideologi itu hanya memperjuangkan kebebasan terhadap kuasa-kuasa feodal dan diktatoris, yaitu kebebasan politik-sosial-kultural dan (kapitalisme) kebebasan untuk berusaha. Dua ideologi itu tidak memiliki ajaran tertentu. Mereka hanya memperjuangkan sebuah nilai, yaitu kebebasan itu. Liberalisme – nama ideologi ini baru dipakai di abad ke-19 – adalah paham yang pertama memperjuangkan nilai kebebasan. Tokoh liberalisme adalah filosof Inggris John Locke yang hidup di abad ke-17 dan menjadi konseptor negara monarki konstitusional pertama, kerajaan Inggris, sesudah "Revolusi Mulia" 1689. Secara sampingan dapat dicatat bahwa liberalisme kemudian juga mengembangkan anggapan-anggapan lebih keras daripada hanya kebebasan, terutama dalam bentuk sekularisme, yaitu penolakan terhadap pengaruh Gereja (sekarang: agama) atas kehidupan publik. Maka, secara historis liberalisme memperlihatkan juga sikap-sikap yang sebenarnya justru tidak liberal, seperti melarang sekolah-sekolah beragama, membubarkan biara-biara, melarang tarekat-tarekat religius tertentu (seperti Ordo Yesuit di Perancis dan Jerman pada akhir abad ke-19). Akan tetapi ideologi-ideologi "lunak" tidak mengenal paksaan ideologis, mereka justru mendukung demokrasi di mana segala sikap diizinkan kecuali yang mau membongkar demokrasi sendiri.
Nasionalisme adalah sebuah ideologi khusus. Di satu pihak nasionalisme barangkali merupakan kekuatan ideologis paling besar selama abad ke-19 dan sebagian abad ke-20. Nasionalisme bisa betul-betul menggerakkan hati orang. Orang bersedia untuk berjuang dan bahkan mati atas nama kebangsaan. Tetapi kalau kita bertanya apa ajaran nasionalisme, langsung kelihatan bahwa nasionalisme itu bukan sebuah ajaran sama sekali. Nasionalisme adalah suatu keterlibatan hati, suatu perasaan, tetapi tidak mempunyai paham-paham teoretis sama sekali. Karena itu Nasionalisme adalah khas bagi masing-masing bangsa, sedangkan Liberalisme, Marxisme-Leninsime, Sosialisme, Islamisme dan Feminisme di seluruh dunia dan di semua masyarakat pada hakekatnya sama dan karena itu bisa memakai buku ajaran atau doktrin, dan sebagainya, yang sama. Tetapi nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme Malaysia dan bukan nasionalisme Amerika Serikat.
Kita dapat juga membedakan antara ideologi-ideologi universalistik dan ideologi kelompok, umat, bangsa tertentu. Ideologi-ideologi universalistik mengklaim keberlakuan bagi segenap manusia, jadi segenap bangsa, masyarakat dan negara. Di antara ideologi-ideologi universalistik termasuk liberalisme, kapitalisme, sosialisme, Marxisme-komunisme, dan juga keyakinan demokratis. Nasionalisme, meski ditemukan di semua negara dan karena itu merupakan gejala universal, tidak termasuk ideologi universalistik. Orang dari semua bangsa dan negara bisa berjuang di bawah bendera sosialisme, tetapi tidak di bawah bendera satu nasionalisme. Fasisme dan Nasionalsosialisme (NAZI), meskipun mempunyai kemiripan, justru mengunggulkan bangsa tertentu dan tanpa ragu-ragu akan menyingkirkan bangsa-bangsa penghalang. Islamisme dan Feminisme, meskipun mempunyai tujuan-tujuan spesifik, bersifat universal karena berpendapat bahwa apa yang mereka perjuangkan berlaku bagi seluruh umat manusia. Sebaliknya gerakan-gerakan dengan ideologi regional mau memenangkan atau membebaskan kelompok, daerah, suku atau etnik tertentu, biasanya atas dasar pengandaian bahwa kelompok atau golongan itu tertindas dan harus dibebaskan, dan karena itu tidak mengangkat klaim keberlakuan universal (tetapi mereka memperjuangkan sasaran-sasaran mereka atas nama keberlakuan universal hak-hak asasi manusia).
Yang mencolok adalah bahwa pada akhir abad ke-20 ideologi-ideologi sekuler besar kehilangan daya juangnya. Liberalisme (politik) semakin tidak relevan, justru karena tujuan-tujuan politik yang diperjuangkannya semua sudah tercapai: Negara hukum demokratis, negara berdasarkan undang-undang dasar yang membatasi kesewenang-wenangan pemerintah, pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) dan pemastian konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia. Pokok-pokok ini semua sekarang sudah secara universal diyakini sebagai tonggak-tonggak etika politik struktural. Fasisme dan Nasionalsosialisme, meskipun sebagai tendensi tetap masih ada, rupa-rupanya mati sebagai gerakan massal karena secara amat kentara membawa bangsa-bangsa yang menganutnya ke dalam kehancuran (terbukti dalam perang dunia kedua). Komunisme dan pelbagai bentuk sosialisme terdiskreditasi pada akhir abad ke-20, tidak hanya karena brutalitas kekuasaannya, melainkan terutama karena gagal menciptakan kesejahteraan umum dan kalah jauh terhadap negara-negara dengan sistem perekonomian pasar. Di Cina komunisme hanya mempertahankan kekuasaan, karena menggantikan sosialisme dengan kapitalisme. Sebaliknya, ideologi-ideologi yang bersifat agamis maupun regionalis (Tamil Elam dan lain sebagainya), jadi yang justru tidak universal, kelihatan semakin menyatakan diri dan menyaingi nasionalisme.
Penutup
Lalu bagaimana kita harus bersikap terhadap ideologi-ideologi? Uraian di atas kiranya membuat jelas bahwa pertanyaan ini tidak bisa dijawab. Sekurang-kurangnya tidak sebelum orang menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan ideologi. Kalau orang mengikuti cara bicara positivisme dan menyebutkan segala sistem nilai sebagai "ideologi", tentu setiap orang mempunyai ideologi. Tetapi menurut saya cara bicara positivistik – yang mengandaikan bahwa cita-cita dan nilai-nilai merupakan sesuatu yang irasional belaka – tidak tepat. Lebih baik bicara tentang nilai-nilai, cita-cita, makna-makna berdasar. Seperti misalnya kalau kita bicara Pancasila. Pancasila jelas bukan sebuah ajaran eksplisit, melainkan sejumlah nilai yang amat mendasar. Menyebutkan Pancasila ideologi tidak memberi manfaat apa-apa. Tetapi memang betul. Kita tidak dapat menjalankan kehidupan politik-sosial kecuali mempunyai nilai-nilai, cita-cita, keyakinan-keyakinan tertentu, misalnya tentang solidaritas bangsa.
Tetapi kalau ideologi dimengerti sebagai sebuah sistem pemikiran politik yang lengkap, sesuatu yang bisa ditulis dalam buku panjang dan diajarkan dalam kursus-kursus indoktrinasi, menurut saya kita justru tidak memerlukan ideologi. Ideologi semacam itu selalu cenderung menjadi ideologis, cenderung membelenggu keterbukaan berpikir dan menyingkirkan integritas orang yang mempertanggungjawabkan kelakuannya tidak terhadap sebuah ajaran pikiran para ideologi, melainkan terhadap suara hati, cerminan suara Tuhan dalam hatinya. Ideologi-ideologi itu hampir semua memiliki segi penindas dan pembungkam. Yang kita perlukan adalah kritik terhadap segala macam ideologi dan keberakaran dalam nilai-nilai dan keyakinan dasar yang positif, terbuka, sosial dan jujur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar