Ads 468x60px

SERI DOMINIKAN 4

HARAPAN IMAN KASIH
SERI DOMINIKAN 4

Empati dan Belas Kasih dalam Ajaran St. Thomas Aquinas


Tahun Kerahiman yang baru dibuka oleh Paus Fransiskus tahun lalu merupakan momen berharga untuk memperdalam pemahaman kita mengenai kerahiman atau belas kasih. Jika tidak, maka kita akan memiliki pemahaman yang cacat dan parsial tentangnya, yang kemudian berdampak pada penggunaan kata belas kasih secara murahan.

St. Thomas Aquinas dapat membantu kita memahami makna belas kasih. Perlulah saya tekankan bahwa tulisan ini merupakan refleksi pribadi saya. 

Di sini saya berusaha menggunakan insight dari ilmu psikologi dan memadukannya dengan teologi. Saya bukanlah seorang Thomist, dan bisa jadi saya salah memahami maksud Aquinas, namun saya berharap permenungan ini dapat membantu kita memahami unsur hakiki dalam belas kasih.

Aquinas mendefinisikan belas kasih (mercy) sebagai berikut:

I answer that, As Augustine says (De Civ. Dei ix, 5), mercy is heartfelt sympathy for another’s distress, impelling us to succor him if we can. For mercy takes its name “misericordia” from denoting a man’s compassionate heart [miserum cor] for another’s unhappiness. (ST, II-II, Q. 30, Art. 1)

Kalimat pertama kutipan tersebut menunjukkan sisi afektif dan efektif dari belas kasih. Afektif, karena belas kasih merupakan rasa simpati yang tulus terhadap kesulitan orang lain. Efektif, karena belas kasih mendorong seseorang untuk menolongnya, meringankan kesusahannya, bila memungkinkan. 

Aquinas menganalisa kata mercy dengan mengacu pada kata misericordia, yang menekankan tentang hati manusia yang berbela rasa terhadap ketidakbahagiaan orang lain.

Menarik untuk dicermati bahwa definisi St. Thomas Aquinas menunjukkan sisi yang sangat manusiawi dari belas kasih, yang mana hal ini tampak bertentangan dengan gambaran—yang keliru—tentang St. Thomas Aquinas sebagai intelektual yang dingin, kering, dan sulit dipahami. 

Kutipan Aquinas di atas justru menunjukkan dirinya memiliki sisi yang hangat, dan ia memahami psikologi dengan baik.

Dalam kalimat ini muncul kata simpati, yang perlu dibedakan dari empati, belas kasihan (pity), bela rasa (compassion). 

Burton (2015) berkata bahwa simpati merupakan rasa peduli terhadap orang lain, dan tidak melibatkan upaya berbagi emosi dan perspektif. Belas kasihan (pity) merupakan rasa tidak nyaman atas kesusahan orang lain. Belas kasihan ini juga mencakup bahwa objeknya tidak layak untuk menanggung kesusahan. Bela rasa melibatkan lebih dari empati, ia juga mencakup keinginan aktif untuk meringankan kesusahan seseorang.

Dapat kita simpulkan bahwa secara implisit, hati yang mampu berbela rasa diperlukan dalam melaksanakan belas kasih. Dalam hati yang berbela rasa inilah kita dapat melihat keterkaitan antara empati dan belas kasih.

Sisi Afektif Belas Kasih
Perlu ditekankan bahwa Aquinas tidak menggunakan kata empati ketika membahas tentang belas kasih. 

Meskipun demikian, uraian Aquinas memperlihatkan adanya “jejak-jejak” yang dapat menuntun kita kepada aspek empati, yang dapat membuat kita yakin bahwa Aquinas pun memasukkan unsur empati dalam pemahaman tentang belas kasih. Ia berkata:

I answer that, Since pity is grief for another’s distress, as stated above (Article 1), from the very fact that a person takes pity on anyone, it follows that another’s distress grieves him. And since sorrow or grief is about one’s own ills, one grieves or sorrows for another’s distress, in so far as one looks upon another’s distress as one’s own.

Mari kita arahkan perhatian kita kepada paragraf pertama. Menurut Thomas, belas kasihan (pity) merupakan kesedihan atas kesulitan orang lain. Kesedihan atau kesusahan seseorang itulah yang menyedihkan hati manusia yang berbela rasa. Kita baru bisa bersedih atas kesusahan orang lain, sejauh kita memandang kesusahan tersebut sebagai milik kita.

Ungkapan yang dicetak miring di atas tampak seperti paradoks: bukankah pada umumnya manusia cenderung menghindari dari kesusahan, berusaha menjauh dari pikiran dan perasaan negatif? 

Namun, apa yang dikatakan Aquinas, menurut saya, merupakan langkah awal untuk berempati terhadap sesama teman kita. 

Menurut Psychology Today:
Empathy is the experience of understanding another person’s condition from their perspective. You place yourself in their shoes and feel what they are feeling. Empathy is known to increase prosocial (helping) behaviors.

Empati itu merupakan sesuatu yang perlu kita usahakan: kita berusaha memahami kondisi seseorang dari sudut pandang mereka. Kita berusaha menempatkan diri sebagai mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan.

Nah, dalam empati, penting sekali bagi kita untuk melihat dari sudut pandang orang yang kesusahan. Ini berarti kita mengakui pemikiran dan perasaan mereka, dan tidak dengan cepat memberikan penilaian kita terhadapnya.

Lalu, empati juga membutuhkan kepekaan terhadap berbagai emosi, terutama emosi-emosi seperti kesedihan, rasa takut, dst. Kita perlu merasakan emosi-emosi tersebut, menerimanya sebagai bagian dari pengalaman hidup kita, tanpa perlu tenggelam dan hanyut di dalamnya. 

Ya, kita perlu merasakan emosi negatif ini sembari mempertahankan kontrol akal budi kita terhadap emosi tersebut. Kalau kita sendiri berusaha menghindari rasa sedih, kalau kita tidak berani menghadapi dan merasakan kesedihan kita, kalau kita berusaha memisahkan kesedihan dari pikiran atau hal yang menimbulkan kesedihan, tidak mau menerima dan mengakuinya dalam hati kita, bagaimana mungkin kita dapat berempati terhadap orang lain? 

Kita perlu ada bersama dengan emosi-emosi tersebut, barulah kita dapat “turun” ke dalam lembah air mata, dan hadir bersama dengan orang yang kesusahan. Hanya dengan cara inilah, maka kita dapat memandang kesusahan orang lain sebagai kesusahan kita, sebagai milik kita.

Penjelasan di atas merupakan penjelasan dari sudut pandang psikologi. Nah, Thomas Aquinas sendiri menjelaskan bagaimana caranya untuk menjadikan kesusahan seseorang sebagai milik kita.

Now this happens in two ways: 

First, through union of the affections, which is the effect of love. For, since he who loves another looks upon his friend as another self, he counts his friend’s hurt as his own, so that he grieves for his friend’s hurt as though he were hurt himself. Hence the Philosopher (Ethic. ix, 4) reckons “grieving with one’s friend” as being one of the signs of friendship, and the Apostle says (Romans 12:15): “Rejoice with them that rejoice, weep with them that weep.” (ST, II-II, Q. 30, Art. 2)

Aquinas menggunakan istilah union of the affections (persatuan afeksi), yang merupakan efek atau akibat kasih. Seseorang yang mengasihi orang lain melihat temannya sebagai dirinya yang lain, demikian penjelasannya.

Union of the affections: 
Istilah ini tampak bagi saya sebagai petunjuk akan adanya aspek keterhubungan: dengan memandang kesusahan orang lain sebagai milik kita, maka kita berusaha untuk terhubung dengan suasana batin orang tersebut. Kita melihat dari sudut pandangnya, merasakan dari perspektifnya, dan dengan demikian kita memberikan diri kita, kita berbagi suasana hati dengan mereka yang kesusahan. 

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila Thomas mengutip Roma 12:15 “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!”

Hal mendasar yang memungkinkan terjadinya union of the affections adalah kasih. Union of the affections adalah akibat, bukan penyebab, dengan kata lain, kasih memiliki tempat penting dalam memahami belas kasih. Kasih menggerakkan seseorang untuk turut merasakan apa yang mereka rasakan. Kasih jugalah yang mendorong kita untuk keluar dan turut berbagi kesusahan dengan mereka yang menderita.

Cara kedua dalam menjadikan kesusahan seseorang sebagai milik kita ialah sebagai berikut:

Secondly, it happens through real union, for instance when another’s evil comes near to us, so as to pass to us from him. Hence the Philosopher says (Rhet. ii, 8) that men pity such as are akin to them, and the like, because it makes them realize that the same may happen to themselves. This also explains why the old and the wise who consider that they may fall upon evil times, as also feeble and timorous persons, are more inclined to pity: whereas those who deem themselves happy, and so far powerful as to think themselves in no danger of suffering any hurt, are not so inclined to pity. (ibid.)

Di sini Aquinas berkata bahwa melalui persatuan nyata (real union), contohnya ketika kejahatan mendekati kita, dan menimpa kita melalui orang lain. Manusia berbelas kasih kepada mereka yang mirip dengannya, karena mereka menyadari hal yang sama dapat terjadi pada diri mereka sendiri.

Aquinas juga memberitahu kita siapa saja yang “lebih mudah” dalam berbelas kasih: mereka yang tua dan bijaksana, orang-orang lemah dan penakut. 

Namun, yang menarik bagi saya ialah ketika Aquinas berkata tentang orang-orang yang tidak begitu condong kepada belas kasih: yakni mereka yang menganggap diri mereka bahagia dan begitu berkuasa sehingga mereka tidak berada dalam bahaya menanggung luka, rasa sakit ataupun kesusahan apapun (whereas those who deem themselves happy, and so far powerful as to think themselves in no danger of suffering any hurt, are not so inclined to pity).

Saya jadi terkenang akan pengalaman-pengalaman saya: beberapa sahabat terbaik saya, dapat dikatakan berasal dari keluarga yang sederhana atau biasa-biasa saja, bahkan ada beberapa yang status ekonominya ada di bawah, sehingga bagi mereka hidup sungguh merupakan sebuah perjuangan yang menguras keringat demi sesuap nasi, namun toh harus tetap dijalani. 

Pengalaman saya bersama mereka, terutama ketika saya berinteraksi, datang ke rumah mereka yang tidak terlalu bagus, duduk semeja dan makan bersama mereka dengan makanan yang seadanya, semuanya ini adalah pengalaman yang menimbulkan kesedihan, kekhawatiran, dan rasa syukur: sedih karena mereka tidak dapat merasakan dan menikmati apa yang berlebih pada saya; khawatir, karena suatu saat nanti saya pun bisa terjatuh dan berada di posisi mereka; rasa syukur, karena Tuhan memberikan berbagai hal secara berlebih.

Saya yakin, kesadaran akan kerapuhan diri manusia, kesadaran bahwa apa yang saya miliki, yang saya nikmati, suatu hari nanti dapat hilang—dengan cara apapun, seturut kehendak Allah—dan karenanya dapat membuat kita merasa sakit, kesusahan dan menderita, merupakan pemahaman penting untuk dapat berempati terhadap mereka yang kesusahan 
(Namun, janganlah kita berpikir bahwa kesusahan yang dimaksud hanyalah bersifat jasmani, kesusahan yang diderita manusia juga memiliki aspek rohani: dosa adalah hal yang membuat manusia sungguh menderita dan kesusahan). 

Kesadaran ini jugalah yang tidak membuat kita “lupa diri” ketika kita merasa bahagia: kebahagiaan kita pun juga perlu dibagikan kepada mereka yang kesusahan. Apa yang kita miliki, keberlimpahan kita, juga dapat kita gunakan untuk meringankan kesusahan orang lain.

Jadi, dapat dirangkum demikian: 
kita menjadikan kesusahan orang lain sebagai milik kita dalam dua cara:

“Satu rasa” karena kasih (union of the affections), lalu “satu rasa” karena menyadari kemungkinan kejahatan atau kesusahan yang dapat menimpa kita (real union). 

Dua cara ini adalah jembatan yang diberikan Aquinas, yang dapat membantu kita untuk terhubung dengan kondisi batin mereka yang kesusahan.

Sisi Efektif Belas Kasih
I answer that, As Augustine says (De Civ. Dei ix, 5), mercy is heartfelt sympathy for another’s distress, impelling us to succor him if we can. (ST, II-II, Q. 30, Art. 1)

Menurut Aquinas, belas kasih juga mencakup aspek perilaku: belas kasih juga mendorong kita untuk menolong mereka yang kesusahan, bila kita bisa melakukannya. Perasaan saja tidak cukup, melainkan perasaan harus berbuah dalam perbuatan nyata, sejauh kita bisa menolong.

Mungkin kita bertanya: apa hubungan antara empati dan kemampuan kita untuk meringankan kesusahan? Empati terjadi dalam konteks percakapan antar dua orang, yang mana salah seorang menceritakan kesusahan yang dialami, dan yang lain menjadi pendengar.

Pada umumnya, kita cenderung untuk memberikan nasihat kepada orang yang menceritakan masalahnya, seakan-akan kita memiliki sebuah solusi atau ide yang sungguh dapat menyelesaikan persoalan mereka. 

Padahal, bisa jadi solusi yang kita katakan terbukti sudah dicoba namun gagal. Menasihati para pendosa dan mereka yang bimbang memang merupakan karya belas kasih rohani, namun pemberian nasihat ini pun juga mensyaratkan disposisi yang tepat bagi mereka yang kesusahan. Jika tidak, maka nasihat akan cenderung ditolak.

Empati membuka pintu bagi nasihat yang akan diberikan: kita tentu lebih mudah menerima masukan atau nasihat dari seseorang yang sungguh mengerti apa yang kita pikirkan dan rasakan.

Oleh karena itulah, perkataan Aquinas menjadi penting. Perkataannya mengajak kita untuk merenung sebelum memberikan solusi atau nasihat: benarkah solusi atau gagasan kita dapat menolong mereka? Bisakah apa yang saya katakan, nasihat saya, mengatasi kesusahan mereka? Perkataan Aquinas, bila direnungkan, menjadi pengingat bagi kita untuk bersikap rendah hati: terkadang kita perlu mengakui bahwa mungkin kita tidak bisa melakukan apa-apa bagi permasalahn mereka. 

Terkadang, mungkin kita hanya perlu berkata: aku tidak tahu harus berkata apa terhadap masalahmu, aku pun merasa sedih karena tidak sungguh bisa merasakan apa yang kamu rasakan, merasa tidak berdaya karena tidak dapat membantumu, namun aku berterima kasih karena kamu mau menceritakan kesusahanmu padaku.

Kerendahan hati yang benar dapat mengarahkan kita untuk memiliki pemahaman diri yang benar, yang membantu kita menyadari kelebihan dan kekurangan kita, dan dengan demikian, kita pun dapat mengetahui apa yang dapat kita lakukan untuk meringankan orang yang kesusahan. Dengan pemahaman diri yang benar, kita pun dapat melihat, dari semua karya belas kasih jasmani dan rohani, mana yang paling mungkin untuk kita lakukan.

Penutup
Tulisan ini tentu tidaklah sempurna dan komprehensif. Ada hal-hal yang bisa kita bahas, misalnya mengenai kejahatan, apa arti kesusahan (distress) yang sering disebut dalam tulisan tersebut, karya belas kasih jasmani dan rohani, dst. 

Namun saya berharap tulisan ini—yang dikerjakan dengan bantuan Thomas Aquinas— dapat menjadi sebuah ajakan untuk merenung tentang pentingnya empati dalam berbelas kasih kepada sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar