Ads 468x60px

APAKAH INTl DARI HIDUP CISTERCIENSIS?



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK.
SHARING ABDIS:
Sr. Martha E. Driscoll, OCSO.
APAKAH INTl DARI HIDUP CISTERCIENSIS?
Seluruh anggota Ordo bertanya diri: “Apa sih karisma Cisterciensis itu?” Carta Caritatis mengatakan bahwa kita buat semua yang sama dengan Biara Baru di Citeaux, satu peraturan, satu cinta kasih, dan kebiasaan-kebiasaan yang sama. Setiap nas harus ditafsirkan sama dengan para Bapa pendiri. Satu peraturan - ya, PSB tapi ditafsirkan secara berbeda di mana-mana. Satu cinta kasih - memang kita harap, meskipun masalah dan konflik dalam Ordo tidak berkurang juga. Kebiasaan-kebiasaan sudah tidak semua sama.
Pada tahun ‘60-‘70, banyak orang meninggalkan imamat, hidup religius. Ada gerakan menuju kepada hidup monastik Iebih sederhana di pingiran Gereja institusional. Kadang-kadang Gereja dilihat terlalu sempit maka keterbukaan kepada agama-agama lain, filsafat dan tradisi monastik lain berkembang dalam semacam relativisme yang mengancam identitas Katolik sendiri. Adalah mungkin menjadi terlalu terbuka, terlalu menekankan kesamaan hidup monastik pada umumnya - pencarian akan yang mutlak - sampai identitas sendiri yang khas hilang.
Sejak Vatikan II, kita berada di dalam periode pembaharuan. Kembali kepada akar-akar. Tetapi musim semi yang dinantikan segera akan terjadi masih dinantikan. Sudah waktunya untuk Gereja dan Ordo mengamati dan mempertimbangkan usaha pembaharuan dengan berani dan terus terang. Biasa bagi manusia maju dengan Iancar dari salah satu ekstrim kepada yang lain. Saat ini adalah saat rahmat, saat kita rnenyadari bahwa kita perlu mencari jalan tengah, jalan benar. Sampai mana kita reaktif saja daripada memperbaharui?
Sesudah Vatikan II, Gereja dan Ordo membuka pintu kepada dunia - yang sedang mencari keenakan dan kebebasan. Apakah Ordo telah pergi terlalu jauh dalam arah keenakan itu sehingga menghilangkan cara hidup yang alternatif yang melawan konsumerisme? Apakah kita telah menyesuaikan diri terlalu banyak kepada humanisme sekulir? Apakah kita masih menawarkan suatu anjuran hidup monastik injili yang radikal kepada yang mencari kebenaran Kristus sesudah dikecewakan oleh semua tawaran keenakan yang tak berarti dan tak bertujuan? Tantangan apa yang kita sediakan bagi orang yang ingin memberi hidupnya demi membangun dunia yang Iebih baik, bagi keselamatan kekal semua manusia yang menderita dan meninggal dalam zaman ini yang tidak adil dan penuh kekerasan?
Karisma ditrarismisikan dari satu generasi kepada yang lain. Apakah yang kita terima yang kita sedang transmisikan? Mungkin rahmat dari Kapitel Umum 2002 adalah pengakuan bahwa sesuatu tidak beres, ada sesuatu yang berkurang. “Kita harus menemukan kembali dan mewujudkan komplementaritas antara observansi, nilai-nilai dan komunio sehingga dapat dikomunikaskan kepada anggota-anggota baru.”
Kemudian Penyelenggaraan Ilahi memberi Program Studi dan Ordo tentang “Observansi”. Kami sudah membuat kapitel/renungan tentang itu dan tentang kata “obervansi” dalam PSB. ltu membantu kita untuk mengerti arti dan maksud pemahaman yang diinginkan oleh para Bapa Pendiri Citeaux yang punya niat untuk kembali kepada penghayatan PS8. Juga kita telah merenungkan pengajaran St. Bemardus tentang observansi (6 tempayan di Kana): perlu air observansi untuk sampai kepada anggur kontemplasi.
Pernah saya dengar bahwa kekurangan pembentukan yang baik disebabkan oleh kehilangan ingatan bersama, amnesi institusional. Kehilangan ingatan menyebabkan kehilangan arti dan tujuan. Kalau kita kurang kontak dengan apa yang kita terima, kita tidak punya apa-apa untuk diberi. Kalau kita tidak mengenal dan tidak percaya kepada karisma kita sendiri, segalanya menjadi kabur. Masing--masing mengarahkan hidupnya sendiri tanpa tujuan jelas.
Dalam sejarah Ordo, biasanya gerakan pembaharuan mulai dengan kembali kepada PSB. Tetapi sesudah Vatikan II, lebih-lebih Ordo mau kembali kepada Bapa-bapa Cisterciensi dan Bapa-bapa padang gurun. Tekanannya adalah menjadi lebih Cisterciensi dan mengurangi pengaruh Trappist. Sering PSB ditinggalkan, dilalaikan, dicurigai, ditafsirkan sebagai sisa-sisa dari zaman patriarkal yang tidak punya sangkut paut dengan pengalaman zaman kini dan mungkin PSB-lah yang menyebabkan hidup yang tertalu keras pada masa sebelum Vatikan II. Orang merasa alergi dengan semua “harus”, jangan”, “tidak boleh”, harus dijatuhkan hukuman. Kalau PSB disingkirkan, tak ada alasan pun untuk pergi ke ruang kapitel tiap hari. Kalau bacaan pribadi berkembang, tak perlu kapitel oleh abas/abdis. Kedewasaan berarti baca dan pikir sendiri - tak perlu pengajaran dari orang lain. Kedewasaan berarti mempertimbangkan sendiri kehendak Allah melalui dialog - bukan lagi menerima keputusan dari orang lain.
Juga nilai leisure - “waktu luang” diberi kepentingan besar.... perlu banyak waktu bebas, perlu kamar pribadi, lalu menjadi hidup agak mapan. Kerja sedikit untuk mampu bebas berkontemplasi. Nilai-¬nilai seperti kerja berat, pemberian diri, korban demi komunitas, hidup bersama kurang dihargai dan dihayati. Demi kontemplasi, hidup menjadi individualistis. Demi menjadi lebih Cisterciensi, yang dianggap sangat humanistis, hidup menjadi enak. Demi “inkulturasi” apa saja yang tidak sama dengan hidup masyarakat di keliling biara dihilangkan seperti hal yang kuno dan asing. “lnkulturasi” salah arah dan mau menyesuaikan diri dengan mentalitas dunia daripada menjadi “Cahaya Kristus’ yang menerangi budaya dengan kriteri hidup berdasarkan kebenaran dan kasih.
Mungkin sudah waktunya untuk kembali kepada PSB dan observansi sebagai cara khas kita untuk mengikuti Yesus secara radikal - dan syukurlah kita berjuang untuk tak pernah meninggalkannya. Ordo pergi dari penafsiran yang terlalu ketat dan keras - tapi tanpa arti yang mendalam - kepada penafsiran yang terlalu longgar - juga mungkin tanpa menemukan arti yang benar.
Tugas kita sekarang adalah menyadari bahwa kita perlu observansi untuk menghayati nilai-nilai monastik yang menuju kepada transformasi. Dalam proses transformasi ke dalam keserupaan dengan Yesus, Putera Allah, kita belajar untuk hidup dalam komunio sejati dan dalam kesunyian yang mendalam - bukan seperti dua hal yang berlawanan melainkan sebagai dua dimensi dari satu kenyataan.
Dari identitas ketat sebagai Trappist, terjadi usaha untuk mengkhaskan identitas Cisterciensis yang beda dengan Trappist dan beda dengan OSB (dan sudah sebelumnya jelas beda dengan OSC). Mencari perbedaan seperti itu memperkecilkan, menyempit, menutup - meskipun demi tujuan cakrawala yang lebih luas. Kita menemukan ciri khas kita bukan dengan menyatakan bagaimana kita berbeda dengan orang lain melainkan dengan mengarahkan diri pada tujuan dalam karisma kita. Yang penting bukan menyatakan yang berbeda melainkan memakai sarana karisma untuk maju kepada Allah.
Merenungkan perjalanan ini, perjalanan kita dalam usaha untuk menghayati observansi sebagai sarana untuk pertobatan dan membangun komunio, dua kata jelas bergema di dalam hati saya:
Ideals and Reality, Ideal dan Kenyataan. Judul dari buku sejarah Cisterciensi oleh Louis Lekai. Ada ideal yang tinggi - mungkin lebih tinggi daripada tradisi monastik kontemplatif lain karena bukan hanya mencari kesatuan dengan Allah dalam doa pribadi. Ideal Cisterciensi adalah kesatuan dengan Allah yang dialami bersama dalam hidup komunitas dalam komunio. Menciptakan suasana surgawi di dunia ini. Yang paling dijunjung tinggi adalah satu cinta kasih dalam Gereja Monastik dan sernua observansi dan sarana dipakai untuk membangun hidup bersama dalam kasih dan pengampunan dan belaskasihan yang dapat dialami bersama. Kenyataan: ldealnya sendiri mengajak kita menghadapi kenyataan hidup manusia secara langsung dan telanjang. Kita mengalami kesulitan hidup bersama, kebutuhan kita masing-masing yang sering berlawanan, egoisme, ketakutan dan kesombongan yang menghalangi komunio. Semua observansi punya tujuan untuk mempertobatkan kita dari egoisme dan hidup dalam kasih dan pengampunan. Dulu observansi dibuat demi perfektionisnie pribadi, bukan tujuan kasih. Lalu observansi disingkirkan demi nilai kontemplatif atau suasana bebas dan akrab. Tetapi sekarang observansi perlu dipakai sebagai sarana penyangkalan diri yang mutlak perlu untuk hidup dalam Komunio kasih Kristus. Ideal dan Reality harus dipegang sekaligus: mengutamakan jalan Kristus sekonkret-konkretnya dalam kemiskinan kita yang makin memperlihatkan kebutuhan kita akan keselamatan-Nya dan makin menyatukan kita dalam anugerah belaskasihan.
Ideal tinggi merupakan visi akan tujuan itu, yang dalam dan kuat, yang dipegang dengan semangat dan pantang mundur. Akan tetapi harus dihayati dalam semangat belaskasihan yang besar dan mendalam atau akan jatuh lagi dalam usaha perfeksionis. Tata hidup mengungkapkan ideal hidup dan dihayati sebagai pertobatan dalam kesadaran bahwa kita tidak mampu menghayatinya. ltulah bedanya dengan dulu. Penghayatan sempuma tidak dituntut dengan keras sambil saling mengadili melainkan ditujukan bersama sarnbil saling menyemangati dan mendukung dalam kesadaran akan kerapuhan yang penuh belaskasihan setiap kali kita jatuh.
Padahal “Humanae Vitae” diterbitkan - melarang kontrasepsi -, Fr. Louis Bouyer, OP mengatakan: Ya, betul dan benar tetapi Gereja akan harus menjadi Gereja yang berbelaskasih. Sambil mewartakan kebenaran moral menurut iman kita akan wahyu - martabat manusia sejak dikandung dan keluhuran anugerah prokreasi, Gereja harus sadar bahwa seringkali orang tak mampu menghayati nilai yang tinggi itu. Harus rela mengampuni terus. ltu tidak meninggalkan kebenaran yang tinggi karena kelemahan manusia melainkan memahami kelemahan manusia yang belum mengerti atau belum cukup kuat imannya untuk membatinkan dan menghayatinya. Ideal dan Reality. Gereja Kudus mewartakan keluhuran manusia tetapi menerima manusia berdosa.
Sama bagi kita. Kita berpegang kepada Ideal komunio melalui observansi demi pertobatan sambil mengalami ketidakmampuan kita - tanpa lari, tanpa putus asa, tanpa Ioyo, tanpa meniadakan atau meremehkan tata hidup karena ‘tidak realistis’.
Saya bahagia dengan semangat yang diungkapkan Sabtu sore dengan saling memberi peringatan pada pertemuan “Tata Hidup”. ltulah semangat Cisterciensi untuk memperhatikan hal-hal kecil dalam hidup sebagai panggilan Tuhan untuk lebih peka akan kehadiran orang lain dan kehadiran Dia dalam perhatian kepada sesama dan barang.
Ordo sedang menyadari diri. Saya bahagia karena saya menemukan dalam buku Michael Casey “Seni Bacaan Rohani” (yang merupakan petunjuk-petunjuk untuk Iectio pribadi sebagal jalan metode kontemplasi/mistik dari Gereja Barat) kalimat berikut: “Kita harus memindahkan spiritualitas dan misticisme dari ruang individual dan menempatkannya kembali dalam konteks Gerejawi.” Dari spiritualitas yang terlalu individual, vertikal, subyektif. rahasia, perfektionisitis kepada mistik gerejawi, terbuka dalam komunio kasih persaudaraan yang adalah pengalaman akan Allah yang hidup yang kita cari. Pengalaman akan Allah yang hidup tidak terbatas kepada saat doa di gereja atau di kamar, di sudut sendiri di mana kehadiran orang lain mengganggu melainkan merupakan pengalaman komunio dalam komunitas sepanjang hari.
Mengapa kita berdoa bagi kesatuan, mempersembahkan diri dalam ketaatan demi kesatuan? Karena itulah Kasih yang membahagiakan. (Dalam mentalitas toleransi kesatuan tidak diperlukan lagi karena semua diterima - tapi juga tidak ada kegembiraan Kristus.)
Kesaksian kita akan iman akan Yesus Kristus, Putera Allah dalam hidup Cisterciensis adalah kegembiraan dalam kesatuan yang memang belum sempurna tetapi terus dibangun dalam belaskasihan dan pengampunan. Kesaksian terjadi kalau orang melihat komunitas bahagia, bebas, tekun, tak tertekan, tidak takut - atau dalam proses menghadapi ketakutan dasar secara dewasa dengan iman dan kasih yang mengalahkannya. Kesaksian itu berbicara jauh Iebih daripada semua kata-kata.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar