Ads 468x60px

SPIRITUALITAS DAN ASKETIKON MENURUT ST. BASILIUS AGUNG (PART II)



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
SPIRITUALITAS DAN ASKETIKON
MENURUT ST. BASILIUS AGUNG (PART II)
A.
ASAL-USUL MONASTISISME KRISTIANI.
Bilamana dan bagaimana timbulnya monastisisme kristiani masih tetap belum terjawab dengan tuntas. Jawaban tradisional adalah mengikuti Riwayat Antonius dan dari sana menyebar ke seluruh dunia kristiani.
Basilius cocok dengan pola ini: diinspirasikan oleh keluarganya, bersama Gregorius, ia mengunjungi Mesir dan beberapa pusat monastisisme lainnya.
Ketika kembali, terinspirasi oleh Pakomius, pelopor hidup senobit di Mesir, ia mendirikan biara pertamanya di Asia Minor di Annisa.
Para rahib Siria juga mengakui bahwa monastisisme di sana berasal dari Mesir, dalam diri rahib pengembara S.Awgen dan 70 temannya yang datang dari Nitria. Mereka mendirikan biara di G.Izla, dekat Nisibis. Namun pendapat seperti ini masih menimbulkan perdebatan.
Pengaruh monastisisme Mesir bisa dikatakan jelas pada dunia-Latin. Namun, di daerah Timur tengah bagian timur tampaknya monastisisme tumbuh dalam waktu yang lebih kurang sama tanpa tergantung satu sama lain.
Karena itu, tampak berbagai bentuk monastisisme, yang ditentukan oleh lingkungan sosial dan geografis, dan agama asli setempat. Melihat beragamnya bentuk monastisisme ini, para ahli cenderung sepakat untuk mengatakan adanya kesinambungan aliran asketisme di awal abad kristianitas dengan monastisisme dalam abad IV, meski dapat disaksikan unsur-unsur baru juga setelah Kaisar Konstantinus menjadi kristen: hidup monastik yang terorganisasi semakin nyata dalam kristianitas.
Jika hidup asketis pada awal kristianitas biasanya bercirikan kekerasan hidup dan terasing dari masyarakat, maka Athanasius, Basilius, Hironimus, dan Agustinus memperlihatkan bahwa keterasingan itu relatif, sekaligus menunjukkan perananan monastisisme yang menjadi semakin penting dalam hidup menggereja.
Kita sudah menyaksikan pengaruh hidup asketis dalam keluarga besar Basilius pada diri Basilius sendiri.
Akan tetapi hal ini tidak menghapus keagungannya yang berhasil menggabungkan ciri asketisme dengan isu teologis waktu itu yaitu homoousios, yang mengemuka sebagai akibat aliran bidaah Arianisme. Hal ini dirumuskannya dengan istilah eusebia (=hidup saleh), yang juga bisa berarti ajaran atau kepercayaan benar.
B.
AJARAN BASILIUS YANG BERKEMBANG.
Socrates menulis dalam Sejarah Gereja bahwa ada kaitan antara pendirian biara-biara oleh Basilius dengan usahanya untuk melawan Arianisme. Bisa jadi pernyataan ini tidak benar, tapi tetap benar bahwa ia adalah sosok tangguh dalam usaha mempertahankan ajaran homoousios.
Komitmen Basilius pada karya apostolis gerejawi berasal dari konteks hidup asketis. Ketika semakin terlibat dalam usaha memerangi bidaah, ia tetap memperhatikan penghayatan hidup asketisnya. Kegiatan ini mengkibatkannya bertentangan dengan penguasa pemerintahan sipil Modestus dan Kaisar Valens.
Namun, meski terdapat perselisihan dalam bidang iman, Kaisar Valens mendukung usaha Basilius untuk menolong kaum miskin, yang terkenal dengan sebutan Basileiados.
Baginya, pelayanan terhadap kamum miskin bukan hanya perbuatan baik para rahib atau pelayanan kepada masyarakat, melainkan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hidup asketis itu sendiri, dan adalah perintah Kristus sendiri.
Dan, selama menjabat Uskup Basilius secara berkala mengunjungi komunitas-komunitas asketis. Dalam masa inilah ia mengumpulkan sejumlah pertanyaan beserta jawabannya; bisa jadi kumpulan ini yang kemudian dikenal sebagai Asketikon.
Kendati tetap menghayati hidup asketisnya, Basilius tetap waspada terhadap aliran-aliran yang cenderung berlebihan seperti Manikeisme dan Enkratisme.
Perdebatan publik mengenai keilahian Roh Kudus kiranya mempengaruhi hubungan Basilius dengan Eustakhius yang pernah menjadi gurunya dalam hidup asketis. Sementara Eustakhius condong menolak keilahian RohKudus, Basilius justru pembela gigih keilahian RohKudus.
Di Gereja Barat/Latin, PSB (pertengahan abad VI) diawali dan ditutup dengan acuan pada S.Basilius.
Awal Prakata PSB mengacu pada tulisan yang diakukan kepada S.Basilius, yaitu Amanat bagi seorang putra rohani, dan pasal terakhir PSB memuat rekomendasi agar mempelajari lebih lanjut “peraturan Bapa kita yang suci S.Basilius”.
Yang dimaksud peraturan Basilius di sini tentulah Instituta Monachorum terjemahan yang dikerjakan oleh Rufinus dari Aquileia dalam 396/7 bagi Urseius, abas Pinetum dekat Ravenna.
Kini diketahui, bahwa teks yang diterjemahkan Rufinus adalah edisi awal Aturan (Asketikon) pendek, yang kiranya disusun ketika Basilius masih seorang imam. Bisa jadi satu kopi Aturan pendek dikirimkan ke biara di Bukit Zaitun yang dikenal baik oleh Basilius. Karena Rufinus tinggal di Yerusalem dalam antara 380-397, tentulah ia bisa memperoleh kopi dari Aturan pendek tersebut.
Basilius “menyusun” dua Aturan: Aturan pendek, dan Aturan panjang. Kata ‘pendek’ dan ‘panjang’ ditambahkan untuk membedakan bagaimana Basilius menjawab atau mengulas permasalahan yang diutarakan.
Aturan pendek berisi 318 pertanyaan dengan jawaban-jawaban pendek atau singkat, sedangkan Aturan panjang berisi 55 pertanyaan dengan jawaban-jawaban panjang lebar atas permasalahan. Keduanya menunjukkan karakter yang sejalan, sesuai dengan keyakinan Basilius mengenai hidup filosofis-kristiani. Pada prakata Aturan pendek Basilius menjelaskan:
“(...) Sudah semestinya, kami yang dipercaya sebagai pelayan sabda senantiasa memperhatikan jiwa saudara-saudara agar mencapai kesempurnaan. Kadang-kadang kami mesti berbicara di muka jemaat, dan pada waktu yang lain mesti melayani pembicaraan pribadi sesuai dengan permohonan saudara yang datang yang berkehendak secara sehat menghayati imannya sesuai dengan Injil (...) Mengingat Tuhan telah mengumpulkan kita bersama di sini (...) maka janganlah kita mencari-cari kesibukan lain (...) melainkan marilah kita melewatkan waktu malam ini sedemikian sehingga kita dengan hati-hati bersama-sama mengusahakan yang memang diperlukan.”
Petunjuk pertemuan di malam hari, di Kapadokia tidak berarti suatu kegiatan monastik. Surat 223 menyatakan, bahwa [Basilius] kerapkali mengunjungi kelompok para saudara, dan sepanjang malam berdoa serta bertanya-jawab tentang hal-hal rohani. Tampaknya, selama hidupnya Basilius mendampingi kelompok-kelompok para saudara yang menghayati hidup kristiani yang terdapat di wilayahnya.
Bentuk tanya-jawab ini sebenarnya bukan hal yang istimewa dalam literatur monastik perdana. Kita mengenal Apophtegmata Patrum atau Collationes juga menggunakan bentuk yang serupa. Apakah Basilius dipengaruhi oleh tulisan-tulisan seperti itu?. Kiranya tidak, karena selama belajar di Atena ia pasti sudah terbiasa dengan cara itu.
Istilah yang biasa dipergunakan Basilius untuk hidup orang Kristen ialah eusebeia (hidup saleh). Ia mendasarkan hidup kristen ini pada Kitab Suci. Amat jelas dari jawaban-jawaban Basilius yang kerapkali mengutip ayat-ayat Kitab Suci. Sebagai guru yang mahir, ia sering menyebut “para rasul”, khususnya “Sang Rasul”, sebagai ilustrasi atas penjelasan yang diberikannya.
C.
ATURAN PANJANG.
I.
Mengingat sabda Tuhan memperkenankan kami mengajukan pertanyaan, pertama-tama kami bertanya, apakah terdapat urutan dalam perintah-perintah Tuhan, sedemikian sehingga yang satu harus didahulukan terhadap yang lain, atau kesemuanya saling bergantung sehingga urutannya tidak perlu diperhatikan; dan seseorang dapat menentukan sendiri perintah yang akan dijadikan awal, seperti halnya pada suatu lingkaran?
Pertanyaan saudara bukan hal baru dan sudah pernah dikemukakan dalam Injil, ketika seorang ahli Kitab datang kepada Tuhan dan bekata, “Guru, manakah perintah utama dalam Hukum?”, dan Tuhan menjawab, “Hendaklah kamu mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatan dan budimu. Inilah perintah utama dan agung. Dan yang kedua yang setara dengannya, hendaknya kamu mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri” (Mat 22.37-39).
Tuhan sendiri memberikan urutan ini. Dinyatakannya perintah mengasihi Allah adalah yang utama dan agung; dan yang kedua yang setara dengannya, atau melengkapi dan berasal darinya, adalah perintah mengasihi sesama. Maka, dari yang sudah kita lihat, dan dari teks-teks yang sejajar dalam Kitab yang diinspirasikan, mungkinlah kita mengenali urutan dari keseluruhan perintah Tuhan.
Komentar:
Tampaknya pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada Basilius yang tinggal bersama para saudara: semacam dialog. Tentunya bukan dialog antar teman atau sahabat, melainkan antara Guru dan murid.
Sangat menarik, bahwa Asketikon dimulai dengan pertanyaan ini. Mengapa Basilius memulai Aturannya dengan pertanyaan mengenai urutan ‘perintah’’ [Tuhan]? Bukankah lebih masuk akal mengikuti contoh seruan Kristus atau Yohanes Pembaptis yang berisi ajakan untuk bertobat yang merupakan dasar hidup asketis kristen?
Kiranya Basilius berhadapan dengan kelompok yang telah melewati tahapan awal, dan kini berkehendak mengikuti Kristus lebih dekat.
Jelas, Basilius mau mengawali Aturannya dengan kasih, sekaligus juga dengan ‘perintah’. Yang dibahas Basilius dalam Aturannya secara umum adalah hidup yang dihidupi menurut ‘perintah’. Ia menyebut kelompok pendengarnya sebagai ‘atlet-atlet perintah Kristus’. Artinya, perintah yang dibahasnya adalah ‘perintah Kristus’. Sebagaimana Yesus perintah agungnya dari Hukum Musa, demikian pula Basilius tidak memisahkan Perjanjian Lama dari yang Baru. Yang bersabda dalam kedua Perjanjian adalah Tuhan yang sama.
Meskipun dapat terlihat jelas bahwa kasih dan pengajaran Kristus memang penting, pertanyaan mengenai urutan ‘perintah-perintah’ menimbulkan tanda tanya. Sepertinya menempatkan kebebasan injili dibawah disiplin militer.
Dari jawaban yang diberikannya tampak bahwa Basilius memandang penting keinginan untuk mengetahui urutan ‘perintah-perintah’.
Pertanyaan yang diajukan sebenarnya sederhana: dari mana mesti mulai? Urutan atau tatanan [yang] baik memang merupakan satu dari beberapa tema utama ajaran Basilius. Kata yang dipakai adalah eutaxia. Dalam Aturannya ia menyatakan sikap dan tindak dalam hidup bersama kita hendaknya dilaksanakan sepantasnya dan dalam tatanan baik. Tanpa disiplin dan tatanan yang baik hidup kristen dengan mudah merosot, dan Basilius sebagai gembala tentu mempunyai banyak pengalaman dalam hal ini.
PERINTAH GANDA KASIH.
Meski Basilius terdidik dalam filsafat dan pernah belajar di Atena, ajarannya didasarkan sepenuhnya pada Kitab Suci. Berbicara sebagai Guru yang punya otoritas, ia membawa kelompoknya kepada Injil. Ia adalah sungguh-sungguh pelayan Sabda.
Ia mengawali Aturannya bukan dengan suatu diskusi abstrak tentang ‘perintah’, juga tidak membahas pengetahuan tingkat tinggi, malainkan dengan teks-agenda: kedua perintah kasih dalam Mat 22. Dlk. dari Tuhan sendiri, kita menerima urutan ‘perintah’ dan tatanan hidup kita.
Maka Kitab Suci adalah pusat pembahasan Basilius; bukan hanya sebagai proof-text, melainkan sebagai dasar pembahasan-pembahasannya. Tentulah hal ini merupakan hasil lectio divina-nya yang telah dijalankannya selama bertahun-tahun sedemikian sehingga telah menyatu pada pola pikirnya (menurut istilah psikologi: telah mengisi bawah-sadar-nya). Tidak diragukan bahwa lectio divina adalah praktek utama dalam hidup rohani bagi para Bapa Gereja.
Basilius memang memberi komentar pada teks-teks Kitab Suci, tetapi juga tidak takut menyatakan permenungannya. Perintah kasih yang kedua bukan hanya mengikuti yang pertama, melainkan juga menyempurnakannya. “dengan melaksanakan perintah pertama, seorang sekaligus melaksanakan yang kedua; dan melalui yang kedua ia kembali lagi ke yang pertama”. Seorang mengasihi sesamanya dalam Allah, dan Allah dalam sesamanya. Maka pertanyaan pertama ini merupakan pertanyaan utama dalam hidup kristen.
Bagian akhir jawaban Basilius, mungkin terasa agak berlebihan, namun hal ini menunjukkan bahwa ia sungguh yakin akan Kitab Suci sebagai sumber “pengetahuan” bagi orang kristen.
Adiknya, Gregorius Nisa kiranya tidak seoptimis Basilius. Ia menyatakan: “Mengenai keutamaan, yang manakah yang mesti dipandang lebih unggul, atau manakah yang mesti didahulukan, tidak mungkin dikatakan”.
KASIH, YANG PERTAMA ATAU TERAKHIR?
Sangat menarik jika membandingkan Aturan Basilius ini dengan karya Kasianus. Jika Basilius menempatkan perintah ganda ini di tempat pertama, maka Kasianus tidak menggunakannya.
Mengapa? Karena Kasianus mengikuti gurunya, Evagrius, yakin bahwa kasih adalah buah dari suatu perkembangan asketis dan spiritual.
Namun, perlu diketahui, bahwa bagi Evagrius dan Kasianus adalah keutamaan unggul yang menghilangkan ketakutan. Dalam arti ini, kasih adalah yang terakhir dan bukan yang pertama. Bagaimana dengan Benediktus?
II.
Bicaralah kepada kami pertama-tama tentang kasih kepada Allah. Karena kami telah mendengar bahwa seorang mesti mengasihi-Nya, dan kami mau belajar bagaimana agar berhasil melakukannya.
Kasih kepada Allah tidak dapat diajarkan. Sebagaimana kita tidak belajar dari orang lain untuk bersukahati dalam terang dan memeluk kehidupan, begitu juga tidak seorang pun yang mngajari kita untuk orang tua kita yang telah mendidik kita.
Secara sama, atau dengan lebih dalam, kesadaran akan kerinduan kasih ilahi (photos) bukan berasal dari luar, melainkan ketika manusia diciptakan, suatu benih sabda (logos spermatikos) ditanamkan di dalam kita, yang adalah awal terhadap kecondongan untuk mengasihi.
Para murid di sekolah perintah Allah, dengan bantuan rahmat Allah dimampukan untuk melakukannya dengan hati-hati, untuk memupuknya dengan “pengetahuan”, dan untuk mengembangkannya menuju kesempurnaan.
Begitu pula, kami dengan menyambut semangat baik kalian yang diperlukan untuk mengenali tujuan kita, dengan kurnia Allah dan penyertaan doa-doa kalian dalam karya pendampingan ini, akan menyalakan percikan kerinduan akan kasih ilahi yang tersembunyi dalam kalian, sesuai dengan kuasa yang dianugerahkan oleh Roh.
Hendaknya kalian sadari bahwa keutamaan ini, meski tunggal, namun memuat kuasa untuk memenuhi dan merasuki setiap perintah. Karena, ‘seorang yang mengasihi aku’ Tuhan berkata, ‘ akan melakukan perintah-perintahku’ (Yh 14.23), dan lagi, pada kedua perintah ini bergantung semua hukum dan nabi-nabi’ (Mat 22.40).
Dan sekarang kita akan mencoba untuk menelusuri seluruh seluk-beluk dengan teliti (karena kita akan kehilangan arti utuhnya jika memusatkan pada rincian), sejauh kemampuan kita dan sesuai tujuan kita kali ini, yaitu membangkitkan kasih (agape) kita kepada Allah.
Pertama-tama, aku mengatakan: Berkenaan dengan semua perintah yang dianugerahkan Allah, kita telah menerima daya-kekuatan untuk melaksanakannya, sehingga kita tidak mungkin merasa tidak berdaya seakan-akan sesuatu yang asing dituntut dari pada kita, atau tidak merasa sungguh-mampu seakan-akan kita membayar lebih dari yang telah diberikan kepada kita.
Dengan kekuatan ini, jika bekerja secara benar dan tepat, kita menghayati hidup keutamaan. Namun jika gegabah, kita menghayati hidup-cacat. Inilah definisi cacat: suatu penyalahgunaan sedemikian sehingga bertentangan dengan perintah Tuhan, berkenaan dengan yang dianugerahkan kepada kita demi kebaikan. Maka keutamaan adalah penggunaan anugerah Tuhan bersesuaian suara hati yang didasarkan pada perintah Tuhan.
Demikian juga tentang kasih. Setelah menerima perintah kasih, kita mempunyai daya untuk mengasihi yang ditanam dalam kita pada saat kita diciptakan. Tidak bisa dibuktikan dari luar, tetapi siapa pun juga mampu menyadari dan mempelajarinya dari diri sendiri dan dalam diri sendiri.
Secara kodrati kita kita menyukai yang indah, meski kita berbeda pendapat tentang keindahan paling unggul; dan tanpa diajarkan kita tertarik pada yang juga menyayangi kita, dan serta-merta kita menghormati mereka yang membantu kita.
Nah, adakah yang lebih unggul dari pada keindahan ilahi? Apakah yang mengungguli kuat-kuasa Allah? Kerinduan kasih manakah dalam jiwa yang lebih mencekam selain yang dianugerahkan Allah kepada jiwa yang telah dibersihkan dari segala cacat dan berseru dengan kesungguhan: “aku terluka karena kasih”? (Kid 2.5).
Sungguh, yang tak dapat dilukiskan dan dipahami adalah pancaran keindahan ilahi ini: kata-kata tidak mampu menyatakannya, pendengaran tidak mampu menangkapnya. Meski kalian berbicara menggunakan sinar bintang timur, menggunakan terangnya bulan atau sinar matahari, semuanya tanpa arti dibandingkan kemuliaan keindahan ilahi seperti gelapnya malam tanpa bulan terhadap sinar matahari tengah hari.
Keindahan ini tak dapat dilihat oleh mata jasmani, dan terpahami hanya oleh jiwa dan budi orang suci yang telah dicerahkannya, dan meninggalkan cekaman atas kerinduan kasih ilahi.
Orang suci seperti ini, kelelahan dengan hidup dunia ini, akan berseru: “Celakalah aku, karena masa tinggalku di sini diperpanjang!” (Mz 120.5), “Bilakah aku akan datang menghadap wajah Allah?” (Mz 42.2), dan “Pergi [dari sini] dan bersatu dengan Kristus akan lebih baik bagiku” (Flp 1.23), dan “Jiwaku merindukan Allah yang kuat dan hidup” (Mz 42.2), dan “Tuhan, biarkanlah hambamu berpulang” (Lk 2.29).
Menghadapi hidup ini, mereka yang jiwanya disentuh oleh kerinduan akan kasih ilahi, hampir tidak mampu menahan cekaman-cekamannya. Mereka tak henti-hentinya berharap agar mampu memeluk keindahan ilahi dan berdoa agar tatapan atas kemanisan Tuhan akan berlanjut sampai keabadian.
Maka, manusia secara kodrati merindukan keindahan. Tetapi kebaikan adalah yang sesungguhnya indah dan layak dikasihi. Nah, Allah adalah baik, segalanya merindukan kebaikan. Dlk. segalanya merindukan Allah.
Komentar
Pertanyaan kedua ini melanjutkan yang pertama dan membahas yang terunggul dari perintah ganda kasih. Yang berikut membahas perintah yang menempati urutan kedua.
Dalam terjemahan Latin atas Aturan pendek dan dalam penelitian-penelitian mutakhir atas Aturan panjang, keduanya bersama yang ketiga, keempat, kelima, dan keenam bercirikan jawaban yang sangat panjang. Teks panjang yang lebih menyerupai pembahasan atas “perintah” dari pada jawaban langsung Basilius, kiranya memang merupakan bentuk asli Aturan panjang. Ketujuh pertanyaan pertama inilah yang merupakan pertanyaan. Dengan pertanyaan kedelapan dimulai “bagian” baru.
SEKOLAH PERINTAH ALLAH
Ketika membaca uraian pertama seorang bisa terkagum-kagum oleh keindahan dan kekayaan pengajaran dan lukisan-lukisan Basilius.
Ia memang seorang yang dipenuhi Roh Kudus, dan sebagai penatua-terpenuhi-roh, tugasnya adalah menyalakan percikan api kerinduan akan kasih ilahi, yang dimiliki oleh para pendengarnya dalam diri masing-masing.
Bahasa Basilius menunjukkan bahwa ia menyambut baik antusiasme (spoude) para saudara; dan ia mengidentifikasi diri sebagai bagian dari mereka.
Ia bermaksud merangkul para saudara yang sangat bersemangat, dan menyatukannya pada Gereja resmi di Kapadokia. Para saudara adalah pengikut sekolah perintah Allah, yang di sana Allah mengajar mereka baik melalui perintah itu sendiri maupun melalui Basilius yang dipenuhi roh. Baik kita ingat bahwa PSB juga menyebut “sekolah pengabdian Allah” yang dikutipnya dari Regula Magistri, bukan?
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar