Ads 468x60px

SPIRITUALITAS DAN ASKETIKON MENURUT ST. BASILIUS AGUNG (PART I)



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
SPIRITUALITAS DAN ASKETIKON
MENURUT ST. BASILIUS AGUNG (PART I)
A.
LATAR BELAKANG KELUARGA DAN TEMPAT KELAHIRAN.
Basilius lahir sekitar tahun 330 dalam keluarga kaya raya yang memiliki tanah luas di tiga provinsi.
Sebagian besar hidupnya dilewatkan di Pontus dan Kapadokia, yang sekarang merupakan bagian tengah dan utara Turki. Keseluruhan daerah ini disebut juga Anatolia atau Asia Minor, yang merupakan dataran di bagian tengah, dengan pegunungan dan tanah landai sampai laut di sebelah Utaranya dan Selatannya.
Pontus merupakan negara merdeka sampai ditaklukkan Roma dalam abad I sM, dan sejak waktu itu termasuk daerah pemerintahan Yunani di sepanjang laut Hitam.
Dibawah Kaisar Diokletianus (284-305), dimekarkan menjadi tiga provinsi: Helenopontus, Pontus Polemoniakus dengan ibukota Neokaisarea, dan Armenia Minor dengan ibukota Sebaste.
Pontus juga merupakan nama pemerintahan daerah setempat, sehingga kerapkali disamakan dengan Kapadokia.
Mudahnya dapat dikatakan bahwa Kapadokia adalah bagian Timur dari bagian tengah Asia Minor yang merupakan dataran batu karang, sedangkan Pontus merupakan pegunungan berhutan yang menghadap Laut Hitam.
Jika bagian barat Asia Minor merupakan daerah subur dengan kota-kotanya a.l. Efesus, maka bagian timur adalah daerah tandus dengan kota-kotanya yang berjauhan satu sama lain. Iklimnya tidak ramah, dingin membeku di musim dingin dan panas menyengat di musim panas. Kuda dan gandum adalah hasil utama daerah ini, selain ekspor batu mulia dan budak. Kristianitas sudah berkembang sejak abad pertama. Surat pertama S.Petrus dialamatkan kepada jemaat yang terpencar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia, dan Bitinia.
Uskup yang ternama di sini adalah murid Origenes: Gregorius Taumaturgus. Ia berasal dari Pontus dan menjadi uskup Neokaisarea dalam 240.
Melalui neneknya, Macrina yang menjadi Kristen sewaktu terjadi penganiayaan, keluarga besar Basilius berhubungan erat dengan uskup ini dan para muridnya. Darinyalah Basilius belajar ‘ajaran kesucian’ ketika dibesarkan di Neokaisarea. Tema ini yang kelak ditekankannya dalam surat dan kotbah-kotbahnya, yang dengannya ia menampilkan diri sebagai penganut ajaran Origenes.
Orangtua Basilius sudah menganut kristianitas, yaitu ayahnya yang juga bernama Basilius, dan ibunya Emmelia. Mereka dianugerahi sembilan anak, empat laki-laki dan lima perempuan.
Basilius senior yang kaya adalah guru retorika di Neokaisarea. Darinya Basilius mewarisi seluruh tradisi dan pola hidup Yunani.
Tiga anak laki-laki tertua, Basilius, Gregorius, dan Naukratius menerima pendidikan klasik dan menyiapkan diri mengikuti jejak Basilius senior.
Dalam usia enambelas, setelah ayahnya meninggal, Basilius melanjutkan pendidikannya di Kaisarea, Kapadokia.
Kemudian ia ke Konstantinopel, ibukota kekaisaran Romawi Timur, dan menjadi murid Libanius yang bersemangat mempertahankan nilai-nilai tradisional pola hidup Yunani. Dalam 349 atau 350 Basilius pergi ke Atena, yang adalah akar pola pikir dan budaya Yunani. Disinilah ia bersahabat dengan Gregorius Nazianzus.
Dengan latar belakang keluarga besarnya dan jalan hidup asketis yang mereka anut, nyata bahwa keluarganya sangat berpengaruh padanya.
Basilius kemudian mengembangkan pola hidup itu menjadi jalan hidup kristiani. Maka keluarga besar Basilius menjadi semacam pola jalan hidup baru injili di Asia Minor dalam abad IV.
Dalam Riwayat S.Macrina tulisan Gregorius Nisa, adik Basilius, tidak disinggung sama sekali pengaruh Eustasius dari Sebaste terhadap Basilius. Sedangkan Basilius sendiri tidak pernah menyinggung Macrina adiknya. Kemungkinan, ada perselisihan dalam keluarga besar Basilius yang mengakibatkan hilangnya nama Eustatius ini. Tapi, bagaimana dengan Macrina yang tidak muncul dalam tulisan maupun kotbah Basilius? Sampai saat ini belum ada penjelasan yang memuaskan.
Namun, sosok Macrina yang dikisahkan Gregorius dalam RSM begitu mengesankan sehingga akhir-akhir ini Macrina dipandang sebagai sosok keempat disamping tiga sosok Kapadokian: Basilius, Gregorius Nazianzus, dan Gregorius Nisa.
Setelah suaminya, Basilius senior meninggal, antara 341 dan 345, Emelia dan anak perempuan tertuanya, Macrina, pindah dari Neokaisarea ke tanah keluarga di Annisa, tepatnya Pontus, di lembah s.Iris.
Basilius senior mempunyai kedudukan penting di Neokaisarea, sehingga bukan luar biasa bahwa setelah wafatnya, keluarganya pindah ke tanah keluarga di pedalaman.
Anak-anak dalam keluarga besar Basilius dididik dalam iman orangtuanya; tetapi setelah berpindah ke Annisa, tanggung jawab ini beralih ke tangan Macrina, yang telah memutuskan untuk hidup sebagai perawan setelah tunangannya meninggal dalam tahun 340.
Ia memeluk hidup asketis, memerdekakan semua budaknya, dan kerja manual bersama sejumlah sahabatnya [yang sebelumnya adalah budaknya]. Tidak lama kemudian, ibunya menggabungkan diri bersamanya.
Adik Basilius, Naucratius, dalam 352 juga memulai hidup asketis bersama beberapa sahabatnya di hutan dekat s.Iris. Ia menggunakan ketrampilannya berburu untuk “membiayai” hidup asketisnya.
Basilius kembali dari Atena dalam 355 dan mendapati bahwa keluarganya telah menjalani hidup asketis. Antara 355-357 ia dibaptis oleh Uskup Kaisarea Dianius. Semangat radikalitas hidup kristen memang sangat tinggi dalam abad IV, juga berpengaruh pada Basilius.
Setelah dibaptis, ia memeluk hidup asketis di tempat yang berseberangan dengan rumah Macrina, kendati tidak identik dengan yang dihayati Macrina atau Naucratius.
Namun, karakteristik hidup asketis [keluarga] Basilian adalah: menarik diri dari keramaian [duniawi] dalam kebersamaan, kerja manual, meniadakan perbedaan status, dan melayani kaum papa. Mudahnya bisa dikatakan, mereka ini menghayati radikalitas hidup bersahaja, memangkas yang berlebihan.
B.
PERSAHABATAN BASILIUS - GREGORIUS NAZIANZUS.
Gregorius dilahirkan dalam waktu yang sama dengan Basilius, di keluarga Arianzus yang tinggal di dekat Nazianzus, Kapadokia Selatan. Ayahnya, Gregorius senior, ditahbiskan menjadi Uskup Nazianzus dalam 330.
Sebelum memeluk kristianitas karena pengaruh istrinya, Nonna, sosok ibu yang sangat saleh, ia seorang penganut sekte sinkretis Hipsistarian. Gregorius dan Nonna dianugerahi tiga anak: Gorgonia, Gregorius, dan Kaisarius yang menjadi pejabat pemerintahan kekaisaran.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Nazianzus, Gregorius pergi ke Kaisarea di Kapadokia. Di sini ia pertama kali berjumpa dengan Basilius. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Kaisarea (Palestina) dan Aleksandria.
Origenes, yang pernah mengajar di kedua tempat ini dalam abad III, sangat berpengaruh baginya; kendati tempat pendidikan yang paling berpengaruh adalah Atena. Ia berangkat ke Atena sebelum Basilius.
Gregorius dan Basilius ketika bersama-sama di Atena menjadi murid para guru terkenal, seperti Himmerius, dan Prohaeresius yang penganut kristianitas. Mereka mengalami ketegangan sekaligus ikatan antara iman keluarga besar mereka dan ajaran-ajaran Hellenis.
Sikap Gregorius sangat positif terhadap ajaran Hellenis; baginya Atena merupakan sumber segalanya yang menarik. Sedangkan Basilius menunjukkan sikap yang mendua; pada surat-suratnya yang awal, ia menulis ‘aku meninggalkan Atena dan menganggap sampah semua yang ada di sana’. Tetapi ketika kembali ke Pontus dalam 355 ia merasakan manfaat pendidikan yang telah dijalaninya dan sempat mengajar di Kaisarea tempat Gregorius, adiknya, belajar.
Tampaknya, pada waktu kembali dari Atena, Basilius mulai menghargai pendidikan-Atena-nya. Saat yang menentukan muncul ketika ia dibaptis, perjalanannya mencari Eustakius dalam 356/7, keputusannya untuk menjalai hidup asketis di Annisa dalam 357/8, dan terutama kematian Naucratius serta keputusan ibunya untuk menjalani hidup asketis dalam 357.
Secara umum dapat dikatakan, Basilius tidak pernah mengingkari manfaat pendidikan klasiknya. Ia berusaha mengabdikannya dalam pola hidup kristianinya.
Dengan latar belakang dan kemampuannya, Basilius sebenarnya bisa meraih posisi penting dalam pemerintahan seperti halnya Kaisarius, saudaranya. Tetapi, ia memilih jalan hidup filosofis bersama sahabatnya ketika tinggal di Atena.
C.
PONTUS.
Rupanya sejak masih bersama di Atena, kedua sahabat ini telah memutuskan untuk pada suatu saat kelak menjalani hidup filosofis-asketis. Kesepakatan ini bukan sesuatu yang luar biasa mengingat pendidikan filsafat yang mengandaikan hidup asketis.
Dengan memulai hidup asketis di Annisa, Basilius memutuskan untuk meninggalkan cara hidup lama [baca: pola hidup di Atena] dan menjalani hidup yang baru: hidup kristiani dan menunjuk Mat 16.24, tentang memanggul salib dan mengikuti Kristus, dan mempelajari Kitab Suci.
Meski pada awalnya Gregorius menghendaki tinggal di Tiberina dekat Nazianzus, namun akhirnya ia setuju untuk begabung dengan Basilius di Pontus, Annisa.
Disana mereka berdua mengabdikan hidupnya pada doa dan kerja manual, belajar Kitab Suci, dan menyusun Philokalia, suatu bunga rampai yang terdiri dari tulisan-tulisan utama Origenes, khususnya mengenai penafsiran Kitab Suci, dan cara penyampaiannya kepada kaum kafir.
Yang pertama besesuaian dengan pola hidup asketis mereka sedangkan yang kedua menunjukkan bahwa kendati menyendirikan diri mereka tetap memperhatikan karya Gereja keseluruhan. Namun kebersamaan di Pontus ini tidak berlangsung lama. Gregorius dalam 359 kembali ke keluarganya.
Tentang kebersamaannya bersama Basilius di Pontus, Gregorius mengungkapkannya dalam suratnya kepada Basilius sbb:
(…)
Seandainya aku kembali mengalami hari-hari kebersamaan itu, yang dengannya aku bersamamu dilimpahi hidup yang keras; sebab menanggung derita secara sukarela jauh lebih berharga dari pada kesenangan yang dipaksakan.
Seandainya kita bisa mengalami kembali pendarasan mazmur dan ibadat malam yang membubung ke hadapan Allah; katakanlah, hidup yang bukan material.
Seandainya kita bisa mengalami kembali keakraban dan kesatuan spiritual yang bersamamu diilahikan karena dipersembahkan kepada Tuhan; seandainya kita bisa mengalami kembali gairah penghayatan keutamaan-keutamaan yang dihayati dalam kerangka kebiasaan dan aturan;
Seandainya kita bisa mengalami kembali kerja kasih, dan cahaya yang kita alami dengan bimbingan RohKudus.
Dalam acara harian, seandainya kita bisa mengalami kembali kerja manual, mengumpulkan kayu bakar dan membelah batu;
Seandainya kita bisa mengalami kembali duduk bersama di bawah pohon yang jauh lebih berharga dari pada tahta dewa Yunani, bukan sebagai Raja yang mewah, melainkan sebagai rahib yang menghayati hidup keras
(…).
Dengannya bisa diperkirakan pola hidup filosofis asketis yang mereka berdua hayati dalam beberapa bulan di Pontus, yang jelas akan melatar-belakangi hidup mereka selanjutnya.
D.
KARYA APOSTOLIS.
Berkaitan dengan cita-cita yang disusun ketika Basilius dan Gregorius di Atena, periode Pontus merupakan perwujudan ideal.
Basilius memang tampak sebagai sosok yang hatinya terpusat pada hidup ini; sedangkan Gregorius seakan mendua: di satu pihak memang terserap pada hidup asketis Pontus ini, di lain pihak ia tidak mampu mengingkari hubungan dekatnya dengan keluarga atau lingkungan asalnya. Akhirnya, Basiliuspun mesti meninggalkan hidup filosofis-asketisnya demi karya apostolis Gerejawi.
Menjelang akhir 359, setelah keberangkatan Gregorius, Basilius meninggalkan Pontus untuk menghadiri Sinode di Konstantinopel.
Dalam waktu yang sama ia ditahbiskan lebagai lektor. Ia kembali ke Pontus di awal 362, dan Gregorius kembali bergabung dengannya karena enggan menerima tahbisan imamat dari ayahnya.
Tahbisan imamat diterima Basilius pada akhir tahun itu setelah Gregorius akhirnya kembali ke keluarganya. Mengenai hal ini Gregorius menulis:
meski sebaiknya tetap menghayati hidup filosofis-asketis dan meski sebaiknya tahbisan imamat ini tidak terjadi, namun demi keselamatan Gereja yang terancam bidaah dan jemaat yang mempercayakan diri padanya, tidak bisa tidak tahbisan ini mesti diterima.
Basilius memang tinggal dan bekerja di Kaisarea setelah tahbisannya, dan bekerja pada Eusebius, Uskup yang baru; namun karena perselisihan di antara mereka, Basilius kembali ke Pontus dalam 363 dan tinggal di sana sampai 365. Setelah tahun itu ia tidak kembali lagi ke Pontus. Ia menerima tahbisan Uskup lima tahun kemudian.
Tampaklah kedua bersahabat ini mempunyai perbedaan karakter. Gregorius senantiasa mendua antara hidup filosofis-asketis dan hubungan dengan keluarganya. Sedangkan Basilius, mampu menggabungkan hidup filosofis dan imamat dalam komitmen tunggalnya pada Tuhan dan Gereja.
Dalam perbedaan itu kelihatan bahwa Basilius cenderung dominan, bahkan sejak awal persahabatan mereka ketika tinggal bersama di Atena, Yunani.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar