Ads 468x60px

ILMU PENGETAHUAN ROHANI & DOA MENURUT KASSIANUS.



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK
ILMU PENGETAHUAN ROHANI & DOA MENURUT KASSIANUS.
Suatu konfrontasi ajaran Kassianus tentang “pengetahuan rohani” dengan ajaran Evagrius dan Origenes tentang “gnose” menunjukkan dengan kepastian mana ia menjadi gema dari guru-gurunya. Kita akan menandai beberapa titik pandangan yang lebih menonjol dari ketergantungan itu:
A.
Ilmu Pengetahuan Rohani.
“Pengetahuan itu sendiri” menurut profesi monastik bukanlah “kesarjanaan sekulir”, yang mana Kassianus membuatnya murah.
Pengetahuan itu berbeda dengan “kesarjanaan sekulir” sebagai seni untuk mengubah hidup seluruhnya dari manusia, itu membawanya atas seni untuk memperkaya dan menghias bahasanya (Coll. 14,16).
Dengan membicarakan “pengetahuan tentang cacat-cacat dan keutamaan-keutamaan”, kita telah memperkembangkan apa yang bertalian dengan jenis pertama dari “pengetahuan” itu: pengetahuan praktis (scientia actualis atau praktiké, pengantar yang dibutuhkan kepada theoretiké).
Definisi yang diberikan Kassianus kepada kita tentang theoretika ini: “contemplatio divinarum rerum et sacratissimorum sensuum” (Coll. 14,1) memberitahu kita perihal ciri hakiki religius dari pengetahuan itu dan hubungannya dengan Kitab Suci.
Kita akan melihat bahwa “pengetahuan rohani” berpuncak pada “kontemplasi akan Allah”; kita perlu pertama-tama menekankan atas obyeknya yang permulaan: bacaan dan meditasi teks yang diilhami.
Melalui prinsip-prinsip eksegesenya, Kassianus bertindak lebih sebagai murid kaum Alexandrian daripada murid Krisostomus. Meskipun ia menurut “interpretasi historis” mengakui suatu peranan pengantar yang dibutuhkan, ia memegang pengetahuan itu untuk suatu rumput yang jelek, jika pengetahuan itu tidak disesuaikan dan diassimilir dengan kebutuhan masing-masing orang melalui “intellegensi rohani” yang menjadikan santapan sejati dari “manusia batiu”, yakni kontemplasi rahib (Coll. 8,3).
Memang, Kitab Suci dapat dibandingkan dengan sebuah ladang yang memberikan manfaat sejauh orang mengolahnya semakin seksama.
Bila pengetahuan itu diterapkan pada fakta-fakta atau kebenaran-kebenaran yang dicatat dalam huruf, maka “theoretiké” adalah “pengetahuan historis”, bila diterapkan pada “misteri-misteri” yang disembunyikan dalam Kitab Suci, pengetahuan itu adalah “pengetahuan rohani”.
Kaum Alexandrian membicarakan hal itu juga perihal: gnosis asomation kai sematoin.
Menurut titik pandangan di mana ia diletakkan “pengetahuan rohani” disebut “tropoligi”, bila dikaitkan pada penerapan moral; disebut allegori, bila berusaha membedakan arti tersembunyi di bawah realitas historis; disebut anagogi, jika ia menyeldiki secara profetis misteri-misteri surgawi yang lebih dalam atau yang akan datang (Coll. 14,14).
Lagi pula, klasifikasi itu tidak menahan apapun, pengarang kita lebih diasyikkan untuk menandai ciri eksperimental dan ilahi “pengetahuan” yang membimbing kepada Allah itu.
Memang, tuntutan-tuntutan yang menyertai pengetahuan itu, benar-benar tuntutan-tuntutan yang mengandaikan pandangan Allah yang dijanjikan pada hati nurani yang murni (Coll. 14,9): Kemurnian “theoretis” tidak berjalan tanpa kemurnian moral. Tidak lebih daripada ajaran-ajaran seorang guru, bacaan dan meditasi tidak cukup untuk memperoleh inteliegensi suatu tata tertib yang dicapai dari “de fructu operis” dan “quasi ini praemio”: pengusiran cacat-cacat, kerendahan hati; semacam itu merupakan syarat-syarat yang menjamin terhadap bacaan, kesuburan rohaninya (Coll. 14,9). Pengetahuan itu mengikat hidup rahib seluruhnya.
Tambahan pula, itu merupakan suatu pengenalan yang secara hakiki bersifat ilahi, suatu “kurnia yang tidak dapat dilengkapi oleh usaha manusia, oleh kegiatan dengan bacaan” (ibid.).
Kassianus melukiskan kepada kita hasil-hasil sebagai dari suatu penerangan yang bertindak sekaligus atas inteliegensi dan ingatan.
Ia berkata kadang-kadang bahwa inteliegensi “mengandung makna rohaniah” (Coll. 14,13), kadang-kadang bahwa intellegensi “memasuki urat nadi Kitab Suci dan rahasia-rahasia makna rohaniah” (Coll. 14,16).
Kedua karya kemampuan khas kognitif itu (sensus=intellectus) datang kembali kepada yang sama, sebab keduanya terpenuhi di bawah tindakan Roh Kudus dan oleh suatu kemampuan yang peka entah untuk menjadi lebih “subur” (Coll. 14,16), entah untuk menjadi ”lebih murni dan halus” (Coll. 1,14).
Kassianus lebih menerangkan diri tentang hal itu, campur tangan Roh Kudus itu disebut “illuminasi” (penerangan) (Coll.14,9; cf. Coll. 1, Praef), atau melalui ingatan biblis (Yes 30,23) hujan yang menyuburkan (Coll. 14,16). Kerja cahaya ilahi atas ingatan itu tidak kurang menarik perhatian.
Kassianus membandingkan kemampuan itu dengan “peti perjanjian”; ingatan menjadi murni, jernih, ulet, dengan mengandung “kehalusan atau kelembutan makna-makna rohaniah” sebagai manna berharga dan yang memudahkan suatu karya yang dilanjutkan sampai waktu tidur. Tetapi ada lagi. Sejauh pikiran direndam oleh Kitab Suci dengan suatu bacaan yang diulang-ulangi dan oleh penerapan ingatan yang sama, maka suatu perubahan atau transformasi akan terpenuhi. Katakanlah, Kitab Suci membuat model pikiran rahib “menurut keserupaannya” (Coll. 14,10), sekaligus bahwa teks mengambil suatu keindahan baru, sekian besar lebih sempurna sehingga pikiran baginya, juga lebih sempurna.
Disini kita menemukan kembali prinsip platonis yang ingin bahwa pengenalan dikerjakan dan yang serupa kepada yang serupa: terhadap daging segalanya adalah duniawi, terhadap yang rohani segalanya adalah ilahi (Coll. 14,11).
Kassianus mempertahankan setiap ajarannya ini di bawah perlindungan St. Paulus (2 Kor 6,5-6) yang menempatkan ”pengetahuan” di antara perantara-perantara yang membimbing jiwa dan matiraga lahiriah kepada kesempurnaan kasih.
Setelah mendapat santapan dan dihidupi oleh “pengetahuan praktis”, “pengetahuan rohani” merupakan sumber hidup itu sendiri dan merupakan apa yang memisahkannya secara hakiki dengan setiap ilmu profan (Coll. 14,16).
B.
Kontemplasi dan Doa.
“Kerajaan Allah” ditetapkan di dalam diri kita oleh kemurnian hati dan pengetahuan rohani (Coll. 1,14). Kassianus masih setia terhadap guru-gurunya bila ia mengikat kontemplasi yang dituliskannya dalam Collationes I, pada “pengetahuan rohani”.
Menurut Evagnius dan Origenes, gnosis dan theoria terikat, bila keduanya tidak hanya melulu diidentikkan begitu saja.
Evagrius menulis suatu daftar dan lima theoria yang tidak ditemukan yang seperti itu pada Kassianus, tetapi fasal 15 dan Coll. 1 menunjukkan kepada kita bahwa ia mengenal dengan baik obyek-obyek berbeda yang ditentukan oleh para pendahulunya tentang kontemplasi: kontemplasi akan Allah itu sendiri pada hakikatnya tidak dapat dipahami, puncak yang tersembunyi dalam janji yang penuh rahasia; kontemplasi akan Allah yang melintasi ciptaan-ciptaannya, karya-karya keadilannya dan penyelenggaraannya, kejadian-kejadian masa lampau atau yang akan datang; kontemplasi akan Allah dalam kebaikan-kebaikannya yang umum dan khusus; terutama dalam kebaikan-kebaikan penebusan dan penjelmaan (Coll. 1,15).
Prinsip kaidah platonis: semakin hati itu murni, semakin hati itu diberikan kepada rahib untuk memandang dan memiliki Allah, dibimbing semenjak di dunia ini kepada suatu kontemplasi yang mengantisipasikan pandangan surgawi.
Para anakorit yang seluruh usahanya dipusatkan kepada memperoleh “pengetahuan” dan “kemurnian hati” semenjak di dunia ini, mereka itu memandang Allah” (Coll. 1,10).
Di dalam tindakan kontemplasi itu sendiri, penyempurnaannya diperoleh melalui penyederhanaan, sejauh obyek yang dicapai oleh “pandangan” jiwa itu semakin sederhana.
Pertimbangan akan tindakan-tindakan dan pelayanan-pelayanan yang mengagumkan yang dipenuhi oleh para kudus, menghantar masuk kepada “intuitus Dei solius”, yang mana Maria merupakan figurnya dan yang diangkat oleh Tuhan Penyelamat di atas tindakan yang dikerjakan oleh Martha, sebab ia sudah merealisir kesibukan surga yang tak berubah (Coll. 1,8).
Bagi Kassianus seperti Evagrius, tingkat tertinggi kontemplasi bertepatan sama waktu dengan doa yang paling murni. Katakanlah, bahwa doa seperti halnya kontemplasi secara hakiki bersifat progresif.
Jika Kassianus pada permulaan Collationes IX menandai di dalamnya: puncak yang sangat tinggi; ”doa kontinu” (oratio jugis), ia akan datang kembali terutama dalam Collationes X, setelah membicarakan macam-macam doa yang berbeda-beda:
1.
Bentuk Doa yang Lebih Rendah.
Keaslian Kassianus di sini lebih daripada para pendahulunya, yaitu mensistematisir ajaran, sambil mengumpulkan setiap bentuk tradisionil doa pada suatu tahap kemajuan rohani. Khasanah kata tradisionil itu berasal dari 1 Tim 2,1 yang mengilhami Origenes dan Evagrius.
Doa para pemulai ialah “obsecratio” yang menurut Kassianus diarahkan kepada permohonan ampun, dan menurut Evagrius, melulu mohon bantuan dalam pergulatan.
Doa orang-orang yang sudah maju adalah euchè - syukur (St. Paulus: proseukè). Doa itu bagi Kassianus seperti Evagrius adalah “prasetya”, janji untuk mengingkari dunia dan janji untuk mernpraktekkan keutamaan tertentu (Coll. 9,12).
Postulatio (enteusis) adalah doa untuk sesamanya. Seperti yang diajarkan Evagrius, doa itu sudah mengandaikan kesetiaan akan “hal-hal rohani” untuk siapa perhatian yang terus-menerus terhadap sesama tidak lagi merupakan suatu halangan bagi doa.
Terhadap bentuk-bentuk yang disebut oleh pengarang “des Centuries”, Kassianus menambah dengan St. Paulus, ucapan syukur yang diikatnya demi kontemplasi (Coll. 9,14).
Apa yang bersifat artifisill, suatu sistematisasi tertentu itu tidak luput pada pengarang (Coll. 9,9): ia tahu bahwa setiap orang kristen menggunakan secara serentak atau bergantian bentuk-bentuk doa yang berbeda-beda itu; terutama ia tahu bahwa rahmat dapat campurtangan dan memberikan secara tak tersangka-sangka, bahkan kepada para pemula, cara-cara berdoa yang menentukan karena semangat yang bernyala-nyala dan kepenuhan rohani (Coll. 9,5).
Doa berapi itu (oratio ignita, proces ignitae) yang biasanya menyaring suatu jiwa yang murni, bila ia ditemukan pada diri pemula, menyatukan di dalamnya remuk redam dengan sukacita rohani (ibid.).
Tetapi doa-doa yang paling diharapkan ialah doa yang paling membantu kemajuan jiwa: doa yang lahir dari kontemplasi (contemplatio futurorum bonorum) dan dari cintakasih bagi yang paling sempurna, doa yang memurnikan mereka yang masih harus memperoleh keutamaan dan memadamkan cacat-cacat (Coll. 9,16).
2.
Doa Berapi.
Doa berapi adalah suatu bentuk doa yang secara jelas dilukiskan oleh Kassianus sebagai yang cuma-cuma dan tidak dapat diduga sebelumnya, yang lebih tinggi di atas segala usaha manusia. Itulah suatu doa peralihan (Coll. 9,15) dan sementara (Coll. 9,26), suatu gelora yang mendalam, tetapi tidak lama.
Perihal itu, Kassianus mengikuti para gurunya, yang menyebutnya “doa murni”. Ia mendefenisikannya: “Suatu keadaan yang lebih luhur dan lebih tinggi (sublimior et praecelsior), persatuan kontemplasi akan Allah sendiri dan persatuan suatu kasih yang bernyala-nyala” (Coll. 9,18).
Dikatakannya juga bahwa di sini kita menyentuh kesempurnaan pada tingkatnya yang tertinggi. “Contemplatio futurorum bonorum”, yakni salah satu dari bentuk-bentuk kontemplasi kedua menurut Evagrius, kadang-kadang dapat memberikan gairah semangat “doa berapi”. Keadaan doa yang lebih tinggi itu yang kita bicarakan sekarang adalah buah dari “contemplatio Dei solius” yang identik secara praktis dengan doa murni.
Sekali lagi, Kassianus tidak menyampaikan ajaran guru-gurunya kecuali himpunan paduan dari gayanya yang bersifat pidato dan konkret.
“Doa murni” merupakan keadaan suatu jiwa yang secara sempurna ditelanjangi secara polos.
Jadi apatheia merupakan syaratnya yang pertama (Coll. 9,2). Perlulah menjauhkan tidak hanya dari cacat-cacat, tetapi juga segala sesuatu yang dapat mengganggu kontemplasi: pikiran-pikiran yang bersifat materiil/kebendaan, dorongan-dorongan keduniawian. Persiapan jauh, persiapan dekat mengarah kepada pembersihan jiwa dan daya pikat duniawi yang menghalangi jiwa terbang membubung di bawah hembusan ilham ilahi (Coll. 9,4).
Pengingkaran monastik di sini mengambil seluruh nilainya dan para anakorit, dengan mendorong roh penelanjangan itu ke dalam kesederhanaannya yang keras, cukup menunjukkan mana tuntutan-tuntutan doa murni (Coll. 9,5).
Kita akan melihat dalam ukuran mana para senobit dapat menginginkannya, tetapi tidak untuk menerangkan kekerasan suatu ideal tertentu, kecuali untuk mengingatkan betapa murni spiritualitas kodrat ilahi.
Kassianus menerangkan hal itu berlawanan dengan konsep dasar para pengikut aliran anthropomorfistis. Ide tentang keilahian sebenarnya menutup setiap penghadiran imaginatif setiap bentuk, setiap unsur diskursif (Coll. 10,5).
Juga “doa murni” adalah suatu doa hening. Karena doa hening, doa murni mengatasi “doa Bapa kami” menurut kesempurnaannya sendiri (Coll. 9,25) dan secara effektif menjawab nasihat yang diberikan oleh Penyelamat untuk berdoa “dengan pintu terkunci”, yakni dengan bibir tertutup, dengan demikian setan tidak tahu apa yang dipikirkan oleh roh (Coll. 9,35). ”Tidak ada doa sempurna, bila rahib masih sadar akan doanya” (Coll. 9,31).
Sebenarnya orang hanya tahu mengatakan dengan lebih tegas lewat kata St. Antonius itu sampai di mana doa murni mendorong kepada sikap penelanjangannya.
Sebagai model doa tanpa bentuk dan tanpa kata itu, kita mendapat tiga orang saksi Transfigurasi: Musa, Elia dan Kristus sendiri yang berdoa sendirian di atas gunung (Coll. 9,25). “Allah sendirilah” yang benar-benar merupakan obyek dari doa mereka. Tetapi kesunyian yang dituntut oleh suatu keuntungan yang sama, membuat daripadanya keistimewaan yang hampir eksklusif bagi para eremit yang seluruh hidupnya dipusatkan pada kontemplasi yang aktual akan Allah (Coll. 1 Praef).
Memang, sangat jaranglah pada senobit yang oleh kesibukan akan sesama dibiarkan cukup bebas secara batin untuk dimasukkan pada puncak itu (Coll. 19,8).
Namun hidup bersama, kita telah mengatakannya, juga berakhir pada kontemplasi akan Allah. Jadi kita tidak boleh lupa bahwa ada banyak cara untuk berkontemplasi akan Allah (Coll. 1,15).
Kita telah memerinci obyek-obyek yang utama. Melalui obyek-obyek itu, Allah membiarkan diri mencapainya. Dalam Collationes 10, kontras yang diletakkan Kassianus antara “memandang Yesus dalam kemuliaannya” (dalam keilahiannya) dan “melihat Yesus yang rendah hati dan masih dalam dagingnya” menjawab kontemplasi yang berbeda-beda seperti yang dibicarakan Abbas Moses: mengagumi Allah dalam pemenuhan Penjelmaan-Nya, dalam Penyelenggaraan-Nya dan penyebaran keselamatan ke dalam dunia .... (Coll. 1,15).
Bahkan harus dikatakan bahwa hidup bersama menguntungkan kontemplasi karena ketekunan di bawah bentuk-bentuknya merupakan suatu pemurnian yang mempersiapkan “pengetahuan rohani” (Coll. 14,4).
Tetapi lebih-lebih lagi, hidup bersama memiliki keuntungan untuk mengangkat setiap pikiran akan esok hari, apa yang tidak dapat dilakukan anakoritisme (Coll. 19,8).
Tidaklah kurang benar bahwa pelaksanaan cinta kasih, bila ia pergi atas manusia atau atas obyek-obyek duniawi, mencerai-beraikan pikiran. Juga sesuatu yang layak dipuji dan dibutuhkan, seperti adanya, pelaksanaan itu tidak pernah akan berarti, dan bila dibandingkan dengan kontemplasi, seperti perak dengan emas (Coll. 23,3).
Baik pengingkaran yang pertama maupun yang kedua tidak cukup memberikan “doa murni”, sekurang-kurangnya biasanya (Coll. 3,22).
Doa murni menghendaki pengingkaran khas bagi anakorit: usaha mengumpulkan kembali pikiran pada dirinya sendiri, jauh dari semesta yang kelihatan, demi semakin melulu memandang misteri dunia masa yang akan datang dan kenyataan-kenyataan yang tak kelihatan (Coll. 3,6).
Memang, anakorit, ternyata biasanya dilihat sebagai orang yang dikurniai rahmat-rahmat luar biasa yang disebut Kassianus: ”divinae meditationes ac spiritales theoriae” yang menyergap pikiran dan mengakibatkan ekstase (excessus mentis) (Coll. 19,4).
Kassianus masih setia kepada guru-gurunya ketika ia melukiskan ekstase tidak sebagai suatu keluarnya jiwa di luar dirinya sendiri, tetapi sebaliknya sebagai suatu pelarutan batin, suatu pencabutan dalam arti keluar: kata Paphnucius: Tuhan membawa ke dalam “mata hati” (Coll. 3,7).
Memang, kita mengingat bahwa kemurnian sempurna (apatheia) meletakkan jiwa dalam suatu keadaan penenangan yang menjadikan “tempat Allah” (Coll. 12,11). Namun penelanjangan mutlak yang kita bicarakan itu, bukanlah penghapusan dari seluruh daya rasa.
Sebaliknya, doa murni, buah cintakasih, mengganti perasaan kodrati dengan suatu perasaan rohani yang hidup dan bernyala secara lain.
Doa api, doa yang mendalam, doa yang melimpah dan subur, semacam itulah ungkapan-ungkapan yang diambil dari buah pena Kassianus untuk menggolongkan gairah jiwa yang disinari oleh cahaya surgawi (Coll. 9,25).
Beginilah ia melukiskan buah-buah rahmat yang lebih tinggi: ”Jiwaku telah menemukan bimbingannya, pikiran-pikiranku telah mengambil kekuatan: sukacita hati, kegembiraan yang tak terkatakan, keriaan jiwa, semua kebaikan-kebaikan itu datang kepadaku dengan kunjungan Roh Kudus. Dalam aliran yang meluap karena perasaan-perasaan adikodrati, saya dianugerahi ilham-ilham yang lebih luas, pandangan-pandangan terbuka pada saya oleh suatu penerangan yang tiba-tiba dan datang dari Tuhan atas misteri-misteri yang secara mendalam sampai di sana tidak dimengerti” (Coll. 10,10).
Suatu hasil khusus dari perasaan bari itu, ialah air mata, tetapi air mata yang dibedakan oleh Kassianus dengan “air mata manusia lahiriah”.
Oleh air mata manusia lahiriah ini, yang disebabkan oleh usaha biasa manusia melulu, si pemulai akan menarik keuntungan, tetapi air mata semacam itu tidak mempunyai alasan untuk ada pada jiwa-jiwa yang maju, yang mengenal air mata batin, yang spontan dan berlimpah, air mata rohani yang merupakan buah remuk redam dan sekaligus buah sukacita yang mana Allah adalah pembaginya.
3.
Doa Kontinu.
Untuk mencapai ciri “doa murni”, masih perlu menambahkan bahwa doa murni adalah suatu status (keadaan yang tetap).
Evagrius memahami hal itu demikian. Kassianus gemar melukiskan keadaan itu dalam diilharni terutama oleh Origenes.
“Oratio jugis” = doa berkesinambungan, sebenarnya adalah tujuan, arah setiap rahib, kesempurnaan hati yang dicita-citakannya, puncak pembangunan rohani yang mana pengucilan cacat-cacat dan praktek keutamaan (apatheia) merupakan dasarnya.
Doa ini merealisir secara penuh ideal yang diajukan sejak Collationes bab I: persatuan kontinu pikiran dengan hal-hal ilahi dan dengan Allah (Coll. 1,8).
Apa yang dipenuhi oleh oratio jugis, ialah keinginan Penyelamat yang mengajar kita untuk menyebut Allah: ”Bapa kami” (Coll. 9,18); janji kesatuan yang dirumuskannya dengan meminta bahwa kasih yang mana Bapa-Nya mencintai-Nya, hendaknya ada di dalam diri kita dan hendaknya semua orang adalah satu seperti Dia adalah satu, Dia dengan Bapa-Nya (Coll. 10,7). Terutama hal itu merupakan antisipasi surga yang memberikan maknanya tertinggi kepada hidup kerahiban.
Menurut St. Paulus, surga adalah kepenuhan waktu Kristus; rahib bertindak dalam “anggota Kristus yang sangat berharga” agar memiliki petaruh yang dijamin oleh pernyataannya yang definitif di balik sana.
Tetapi pengetahuan itu tidak akan berjalan tanpa suatu pemilikan akan Allah seperti yang kemudian bisa dikatakan oleh Sang Rasul: “Allah adalah segalanya dalam segalanya”, rahib, sejak di dunia ini, hidup oleh “doa kontinu”, dalam persatuan yang tetap dengan Allah: segala pikirannya, segala tindakannya hanya mengarah kepada bersatu dengan Allah sejak di dunia ini (Coll. 7,6).
Sebenarnya semacam itulah persatuan Putera dengan Bapa, yang dikatakan oleh Penyelamat: Bapa mencintai kita dengan kasih yang “tulus, murni dan tak terceraikan”; melalui doa kontinu, kita akan mencintai-Nya dengan cara demikian bahwa segala sesuatu yang kita hirup, kita pahami, atau kita katakan hendaklah Allah” (Coll. 10,7).
Hidup bersama para malaikat dan seperti mereka (Coll. 3,1); mencecapi sebelumnya akan kemuliaan surgawi (Coll. 10,7), memandang Allah (Coll. 1,10), inilah akhir dari seluruh hidup kerahiban, tujuan langsung para pertapa (Coll. 10,7).
Para anakorit meringkas rahasia dari “doa kontinu” ini dalam sebuah rumus yang sangat sederhana, yang dijaganya dengan gairah seperti suatu karya berharga sehingga tidak boleh menajiskan dengan menyerahkannya kepada hal-hal yang tidak layak.
Rumus itu ialah: ”Ya Allah, bergegaslah menolong aku” dari pengarang mazmur 69,2, seperti sebuah perisai, sebagai sebuah senjata yang tidak dapat dikalahkan untuk melawan setan; doa itu membantunya untuk masuk kepada rahmat-rahmat yang paling tinggi, yang paling kokoh, yang paling puncak seperti yang baru saja kita bicarakan (Coll. 10,8-10).
Jadi doa kontinu seperti yang dianjurkan oleh Rasul Paulus adalah puncak yang paling murni yang ingin dicapai manusia, yang dengan mengingkari dunia hanya menginginkan “berbalik kepada Allah” melulu.
Sejak masuknya kepada coenobium (biara), tata tertib monastik memberitahukannya pada pendarasan mazmur kanonik, tetapi pada suatu hari bagi dialah diijinkan mencapai pada “doa tanpa putus” itu seperti yang dianjurkan Rasul (Inst. 2,1).
Benarlah, rahib yang sempurna menemukan santapannya yang hakiki pada pendarasan mazmur. Setelah menjadi miskin akan kekuatan untuk menyesuaikan jiwanya atas ayat “Deus in adjutorium.....”, ia memperhitungkan segalanya melulu atas bantuan ilahi.
Tetapi inilah bahwa kesederhanaan jiwa itu sendiri memancarkan suatu sumber yang berlimpah ruah: “diskresi” yang memberinya hidup dengan suatu kesuburan yang mengagumkan akan “misteri-misteri” yang tersembunyi di dalam Kitab suci.
Hal itu serupa dengan “landak”, menyembunyikan diri dalam ingatan akan penderitaan Tuhan seperti di celah sebuah batu padas, dan serupa dengan “rusa”, sebab “ia merumput di tempat tinggi” yakni bahwa ia menemukan rahasia yang paling luhur dari teks yang diilhami. Ia mendaraskan mazmur, tetapi doa nabi itu menjadi doanya: hal itu merupakan perasaan-perasaannya sendiri yang diungkapkannya dengan kata-kata pengarang mazmur, sampai saat di mana jiwanya menyerahkan diri melulu dengan “keluhan yang tak terkatakan”. Tidak ada gambaran, kata-kata mencampurinya dan itulah “excessus cordis” yang tak terelakkan yang memberikan kesaksian bahwa jiwanya dirangkum oleh doa murni (Coll. 10,11).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar