Ads 468x60px

Kita Bhinneka, Kita Indonesia 3



SENSUS HISTORICUS:
Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
LEONARDUS BENNY MOERDANI.
Mulai awal tahun ini, seluruh Gereja Katolik di KAJ konon memulai pastoral evangelisasi 2018 yang bertajuk "TAHUN PERSATUAN".
Fokus tema yang akan dihayati dan disuarakan terinspirasi dari Sila Ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Seluruh nilai-nilainya akan diamalkan sepanjang 2018 ini dengan tema "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
Dari sinilah, ditampil-kenangkan beberapa tokoh kebangsaan yang saya repost dari grup "dialog katolik islam", yang tentunya bersemangat dasar "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia" dengan mengingat sebuah pesan Founding Father, Bung Karno yang kembali terbaca ketika saya berkunjung ke rumah pembuangannya yang kini disebut "Taman Pancasila" di kota Ende: "Bersatu karena kuat. Kuat karena bersatu."
Ya. Semangat persatuan dalam keberagaman Inilah juga yang saya rasakan ketika "napak tilas": berkunjung ke rumah pembuangan Bung Karno dan sekaligus "Taman Pancasila", tempat dia dulu menemukan inspirasi soal Pancasila di bawah pohon sukun, di dekat biara para pastor SVD di Ende.
Kita sendiri jelas diajak menjadi orang yang bercahaya karena hidupnya penuh dengan pelbagai keutamaan. Ia tidak menjadi "batu sandungan" tapi terus berjuang menjadi "batu loncatan" bagi bangsa dan rakyatnya dengan cucuran airmata-darah dan keringat, menjadi orang yang benar-benar bercahaya dengan "pancasila" keutamaan iman setiap harinya, antara lain:
1."Ketuhanan":
Kita diajak menjadi orang yang selalu menekankan dimensi keberimanan secara utuh-penuh dan menyeluruh.
2."Kemanusiaan":
Kita diajak sadar bahwa kita hidup di dunia real jadi tetap menjadi orang beriman yang sesuai konteksnya, karena bukankah menjadi suci juga berarti menjadi manusiawi? Beriman lewat dan bersama hal-hal insani setiap hari.
3."Persatuan":
Kita diajak untuk hidup rukun dan bersatu dengan semua orang yang berkehendak baik, demi suatu kosmos/keteraturan yang lebih bermutu, tidak mudah terpecah oleh gosipan/"adu domba".
4."Keterbukaan":
Inilah sebuah semangat demokrasi, berani menuntut hak juga berani untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai orang beriman sekaligus warga bangsa.
5."Keadilan":
Kita diajak untuk hidup "jurdil-jujurd dan adil", mentaati pelbagai aturan hukum yang berlaku dan tidak menjadi "parasit" bagi gereja dan bangsa, sesama dan dunia.
"Cari arang di Gunung Kelimutu - Jadilah orang yang benar-benar bermutu."
Merah darahku
Putih tulangku
Katolik imanku
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
====
LEONARDUS BENNY MOERDANI.
Benny Moerdani dan Pembajakan Pesawat Woyla Garuda Indonesia.
Benny Moerdani:
"Saya diinstruksikan oleh Menhankam untuk memberitahukan bahwa hari ini, tanggal 28 Maret 1981, pukul 10.10 WIB telah terjadi pembajakan pesawat DC-9 Garuda dalam penerbangan antara Palembang dan Medan. Pesawat itu pada saat ini berada di Pelabuhan Udara Internasional Penang, Malaysia. Captain Pilotnya bernama Herman Rante. Soal ini sekarang diambil alih oleh Departemen Hankam"
Itulah potongan pengumuman singkat yang dibacakan oleh Benny Moerdani kepada wartawan disaksikan Menhankam M. Jusuf & Menhub Rusmin Nurjadin. Malamnya, selesai rapat di Tebet, Benny & Teddy menuju kantor Laksanana Sudomo sementara Kabakin Yoga Sugama sudah lebih dulu berangkat ke Bangkok setelah mengetahui posisi pesawat yang dibajak diarahkan ke Bangkok. Pesan Menhankam apa pun yang terjadi ABRI tidak akan menyerah.
Ketiganya lalu menghadap Presiden Soeharto yang ditemui malam itu hanya mengenakan sarung di rumahnya di Cendana. Dikatakan bahwa Benny sempat kecewa karena pesawat yang sudah dikuasai pembajak ternyata diijinkan terbang dari Penang oleh pemerintah Malaysia.
Mengutip arsip Harian Kompas tanggal 29 Maret 1981, pesawat itu dibajak di udara antara Palembang -Medan sekitar pukul 10.10 WIB.
Saat itu pesawat yang transit di bandara Talangbetutu, Palembang baru saja lepas landas menuju Bandara Polinia, Medan. Pesawat kemudian dibelokkan menuju bandara internasional Penang, Malaysia.
Awalnya, belum diketahui siapa pelaku pembajakan pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu. Departemen Pertahanan dan Keamanan yang menangani pembajakan itu hanya mengatakan pembajak dapat berbahasa Indonesia.
"Pesawat dibajak oleh enam orang yang dapat berbahasa Indonesia. Mereka bersenjatakan pistol dan beberapa buah granat," tulis Harian Kompas, berdasarkan keterangan Menteri Hankam Muhammad Jusuf.
Beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa pembajak berjumlah lima orang. Mereka menuntut pembebasan 80 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981. Para pembajak juga menuntut tebusan uang tunai sebesar 1,5 juta dollar AS.
Pembajakan ini tercatat sebagai peristiwa terorisme pertama dan hingga saat ini menjadi satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia. Ada 48 penumpang di dalam pesawat. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang. Pesawat itu dibawa oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.
Sekitar pukul 11.20 WIB, pesawat itu tiba di Penang. Ketika itu, pesawat minta bahan bakar, tanpa memberitahu tujuan berikutnya. Pembajak juga menurunkan seorang penumpang, Hulda Panjaitan yang berusia 76 tahun.
Karena pesawat itu dimanfaatkan untuk rute dalam negeri, maka tidak dilengkapi peta untuk rute penerbangan internasional. Pesawat itu kemudian diterbangkan ke Bangkok, setelah pembajak dipenuhi permintaannya.
Puncaknya terjadi pada 31 Maret 1981, di Bandara Mueang, Bangkok, Thailand. Saat itu, pasukan Grup 1 Para Komando dari Komando Pasukan Sandi Yudha (Koppasandha, sekarang bernama Kopassus) yang dipimpin Letkol Infanteri Sintong Panjaitan melakukan operasi pembebasan.
Empat orang teroris ditembak mati dalam peristiwa pembebasan yang berlangsung selama tiga menit itu. Sedangkan satu orang teroris, Imran bin Muhammad Zein, ditangkap lalu dihukum mati.
Pilot Kapten Herman Rante dan anggota Koppasandha bernama Achmad Kirang menjadi korban tewas dalam operasi pembebasan. Keduanya menderita luka tembak, dan gagal diselamatkan meski sudah dibawa ke rumah sakit.
NB:
Operasi Woyla 1981.
Ini adalah operasi kontra terorisme pertama di Indonesia yang dilaksanakan oleh Grup-1 Para-Komando (KOPASSUS) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan yang kemudian beserta tim-nya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat.
Adaoun Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi tersebut yang dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta. Kapten penerbang Herman Rante, yang juga ditembak salah satu teroris dalam serangan tersebut akhirnya meninggal di Rumah Sakit di Bangkok beberapa hari setelah insiden tersebut. Kedua korban peristiwa terorisme jihad ini kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla oleh lima (5) mujahidin Komando Jihad ini terjadi selama empat hari dan menjadi peristiwa terorisme bermotif “jihad” pertama yang menimpa Indonesia dan menjadi satu-satunya kisah teror dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia selama ini.
Garuda DC-9 milik maskapai Garuda Indonesia bernama “Woyla” dengan nomer penerbangan 206, berkode ekor PK-GNJ, rute jurusan Jakarta – Medan, harus transit dahulu di pelabuhan udara sipil Talangbetutu, Palembang dan selanjutnya akan ke Bandara Polonia Medan. Penerbangan DC-9 Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan waktu ketibaan pada pukul 10.55. Naas, pesawat itu mengalami insiden pembajakan sesaat lepas landas dari Palembang.
Baru saja setelah Kapten Pilot Herman Rante yang menerbangkan DC-9 Woyla lepas landas dari Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang seusai transit untuk menuju Bandara Polonia, Medan. Tiba-tiba dua penumpang bangkit dari tempat duduk mereka, satu menuju ke kokpit dan menodongkan senjata. Sedangkan satunya lagi berdiri di gang antara tempat-duduk pesawat.
Dari dalam kokpit, tiba-tiba co-pilot Hedhy Juwantoro mendengar suara ribut dari arah belakang. Baru saja akan berpaling, seorang menyerbu masuk ke dalam kokpit sambil berteriak, “Jangan bergerak, pesawat kami bajak…”
Lima orang teroris pembajak Komando Jihad ini menyamar sebagai penumpang. Total ada 48 penumpang di dalam pesawat yang dibajak ditambah 5 kru, termasuk 3 orang pramugari.
A.
Kronologi Peristiwa.
Insiden ini terjadi pada Sabtu, 28 Maret 1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, yang mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok ekstrim “Komando Jihad”, suatu kelompok yang sudah ada sejak tahun 1968, sampai kemudian dibubarkan melalui aksi pembersihan oleh anggota intelijen sampai pada pertengahan tahun 1980-an.
Sabtu pagi 28 Maret 1981, pukul 10.10, pesawat tersebut berhasil dikuasai oleh lima mujahid, semuanya bersenjata api. Pembajak meminta pesawat terbang ke Kolombo, Sri Lanka. Permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, sebab bahan bakar terbatas. Pembajak lantas mengatakan: “Pokoknya terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia” teriak Mahrizal, salah seorang pembajak.
Pilot kemudian mengalihkan jalur penerbangan ke Penang, Malaysia. Setelah mendarat sementara untuk mengisi bahan bakar di Bandara Penang, pesawat melanjutkan penerbangan dan mengalami drama puncaknya di Bandara Don Muang Bangkok, Muangthai (Thailand) pada tanggal 31 Maret 1981.
Ketika masih di bandara Penang Malaysia untuk mengisi bahan bakar, seorang penumpang wanita lanjut usia bernama Hulda Panjaitan yang berumur 76 tahun diperbolehkan turun di Malaysia oleh para teroris dari pesawat GA Woyla karena tak henti-hentinya menangis sepanjang penerbangan di dalam pesawat yang tengah dibajak.
Kemudian pesawat itu terbang lagi ke Thailand atas paksaan teroris dan oleh adanya penerimaan pemerintah Thailand yang mengizinkan pesawat tersebut mendarat di wilayahnya.
Saat komunikasi dengan pembajak berhasil dilakukan, Imran bin Muhammad Zein, komandan ‘sel’ laskar Komando Jihad membacakan tuntutannya, yakni:
- 80 anggota Komando Jihad yang menjadi tahanan politik dibebaskan,
- Uang tunai senilai $1,5 juta (USD),
- Warga negara Israel dikeluarkan dari Indonesia,
- Adam Malik dicopot sebagai wakil presiden.
- Membebaskan rekan-rekan mujahid-nya yang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat.
Selain itu, teroris juga menuntut agar pesawat DC-9 Woyla dapat melanjutkan penerbangan ke Timur Tengah (Libya) untuk mengantarkan mereka beserta para rekan mujahidnya yang ditahan oleh sebab Peristiwa Cicendo di Bandung.
Mereka mengaku telah memasang bom dan akan meledakan diri bersama dengan pesawat berserta penumpang, jika tuntutannya tidak dikabulkan
Sebelum pembajakan terjadi, dalam Peristiwa Cicendo di Bandung, 14 anggota Komando Jihad membunuh empat (4) anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981 dini hari sekitar pukul 00.30 WIB.
Adapun Kosekta 65 Bandung diserbu oleh 14 anggota Jamaah Imran. Sertu Suhendrik, Bhatatu Zul Iskandar, Bharada Andi, dan komandan jaga Serka Suryana, di mana empat anggota POLRI yang sedang bertugas di kantor tersebut terbunuh dalam peristiwa tersebut.
Para penyerbu dari Jemaah Imran tersebut datang dengan sebuah truk yang dipimpin Salman Hafidz dengan tujuan membebaskan anggota Jamaah Imran yang ditangkap polisi sektor tersebut. Dua senjata pistol POLRI kaliber 38 dicuri dari kantor polisi tersebut dan kemudian dipergunakan dalam peristiwa pembajakan Garuda Indonesia Penerbangan 206 atau Peristiwa Woyla tanggal 28 Maret 1981 ini.
Kelak, sejarah mencatat bahwa Imran bin Muhammad Zein satu-satunya pembajak yang memilih untuk memberikan dirinya ditangkap daripada mati syahid sebagai syuhada seusai baku tembak dan ditangkap oleh Satuan Para Komando Kopassandha (KOPASSUS) serta menjadi otak peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini.
Ia kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1981 bersama dengan tokoh-tokoh Peristiwa Cicendo lainnya: Maman Kusmayadi, Salman Hafidz. Imran sendiri memang sebelumnya merupakan salah seorang yang terlibat dalam Peristiwa Cicendo, beserta 11 orang lainnya.
B.
Operasi Pembebasan.
Berita pertama pembajakan tersebar pukul 10.18, saat Captain Pilot A. Sapari dengan pesawat Fokker-28 Garuda Indonesia nomer penerbangan 145, jurusan Pekanbaru – Jakarta, yang baru tinggal landas dari Bandara Simpang Tiga, Pekan Baru mendengar panggilan radio dari GA 206 yang berbunyi: “..being hijacked, being hijacked”.
Berita tersebut langsung diteruskan ke Jakarta, berita yang mengejutkan petugas keamanan karena pada saat bersamaan juga diadakan latihan gabungan yang melibatkan semua unsur pasukan tempur di Timor-Timur hingga Halmahera. Berita tersebut juga diterima oleh Wakil Panglima ABRI pada kala itu, yaitu Laksamana Sudomo yang masih berada di Jakarta.
Kelompok khusus militer Indonesia yang baru dibentuk saat itu adalah Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha – nama satuan Kopassus saat itu), meminjam sebuah pesawat DC-9 untuk mempelajari situasi.
Sudomo langsung meneruskan berita tersebut kepada Kepala Pusat Intelijen Strategis Benny Moerdani yang langsung menghubungi Asrama Kopasandha (Sekarang Kopassus) di Cijantung yang diterima oleh Asisten Operasi Kopasandha LetKol. Sintong Panjaitan.
Benny memberitahu tentang dibajaknya pesawat Garuda, berapa jumlah pembajak, apa motivasinya, kemana tujuan dan apa tuntutannya masih belum diketahui: “..yang pasti, saya langsung diperintahkan menyiapkan pasukan”, kenang Sintong, yang pada saat itu kakinya masih dibalut gips sehingga ia tidak bisa berangkat untuk latihan gabungan.
Latihan dan Persiapan Pasukan Anti Teror.
Sabtu malam 28 Maret 1981, pukul 19.25, di Jakarta, Kepala Bakin (sekarang BIN) Jenderal Yoga Sugomo berangkat ke Bangkok. Menurut berita yang dia peroleh, para pembajak lima lelaki berbicara bahasa Indonesia. bersenjatakan pistol, granat dan kemungkinan dinamit.
Para pembajak menuntut Indonesia membebaskan tahanan Peristiwa Cicendo, komplotan Warman serta Komando Jihad. Para tahanan diminta diterbangkan disuatu tempat diluar Indonesia dan meminta uang sebesar 1.5 juta dollar AS. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, mereka mengancam akan meledakkan Woyla beserta penumpangnya.
Sabtu malam 28 Maret 1981, pukul sepuluh lebih, Kol Teddy Rusdi, Benny Moerdani dan Sudomo diterima Presiden Suharto di Cendana. Hasil akhir pembicaraan menyimpulkan bahwa opsi militer akan dilakukan untuk membebaskan pesawat tersebut. Pada saat terjadinya peristiwa ini, pasukan komando Indonesia belum memiliki pengalaman dalam menangani peristiwa terorisme pembajakan pesawat.
Minggu 29 Maret 1981, pukul 21.00, sejumlah 35 anggota Kopassandha meninggalkan Indonesia dalam sebuah DC-10, mengenakan pakaian sipil. Pemimpin CIA di Thailand menawarkan pinjaman jaket anti peluru, namun ditolak karena pasukan Kopassandha Indonesia telah membawa perlengkapan mereka sendiri dari Jakarta.
Minggu pagi telepon di meja Benny berdering. Dubes Amerika Serikat Edward Masters mengkhawatirkan akan keselamatan warganya yang berada di GA 206, apabila opsi militer dilakukan. “I am sorry sir, but this is entirely an Indonesian problem. It is an Indonesian aircraft” jawab Benny. Ditegaskan Indonesia berhak mengambil segala langkah dalam meringkus pembajak dan tidak perlu izin dari negara lain. We don’t guarantee anything..”
Minggu 29 Maret 1981, pukul 21.00 lebih, setelah mendapat clearance dari pemerintah Thailand bahwa pasukan anti teror boleh mendarat, Indonesia diizinkan mengirim pesawat terbang untuk menjemput sandera. Benny memutuskan menggunakan Garuda DC-10 Sumatera, pesawat ini lebih cepat dan lebih lama terbang dari DC 9: “..karena antisipasi pesawat yang dibajak kemungkinan akan dipakai terbang sampai ke Libya,” kenang Subagyo HS yang saat itu berpangkat Mayor di Grup IV Kopasandha.
Latihan 2 hari di hanggar Garuda dengan pesawat DC 9, telah memantapkan tekad pasukan khusus anti teror untuk secepatnya meringkus pembajak. Sudah dua tahun pasukan khusus anti teror terbentuk, mereka terus berlatih tapi belum pernah punya kesempatan muncul.
Baru kali ini, mereka akan melakukan operasi dan yang lebih membanggakan, bertempur di wilayah negara asing. Pasukan belum berangkat menunggu perintah Benny, penanggung jawab operasi.
Begitu Benny datang bukan perintah berangkat yang didengar, tetapi “Bagaimana latihan kalian?” “Siap pak” jawab Sintong mantap. Dalam kesempatan itu, Benny juga membagikan kotak amunisi.
Sintong langsung ingat sewaktu Operasi Dwikora. Perlengkapan baru sering malah bisa menyulitkan. Sering terjadi peluru tidak meledak, akibat belum dibiasakan penggunaannya. Trauma tersebut masih membekas, karena itu dia merasa yakin, sebuah peralatan yang belum pernah dicoba serta dibiasakan penggunaannya, bisa membahayakan.
Dengan mengumpulkan segala keberanian, Sintong kemudian berkata,
“Jangan Pak, jangan bagikan peluru tersebut. Kami belum terbiasa.”
“Lho, ini peluru bagus, yang terbaru. Gunakan saja..” Tegas Benny.
“..Kami harus mencobanya dulu.” jawab Sintong menolak.
Terlihat nada kesal dalam jawaban Benny, “..ya sudah, cobalah”
Pasukan segera mencari tempat untuk uji coba. peluru dibagikan dan ditembakkan. Yang terdengar justru bunyi, “Pakh, pakh,pakh..pakh”. Ternyata tidak satupun peluru meletus.
Benny terkejut menyaksikan kejadian itu. Meski bukan kesalahannya, tetapi perasaannya lebih galau, melebihi semuanya. Dalam hati, Sintong bergumam, “Untung belum berangkat..”
Benny langsung menyuruh anak buahnya ke Tebet untuk mengambil amunisi baru. Pasukan khusus anti teror memang sengaja dibekali dengan jenis peluru yang mematikan tapi tidak akan menembus dinding pesawat. Sehingga, kalau berlangsung pertempuran dalam kabin, dinding pesawat tidak bakal rusak.
Mengingat sifatnya, jenis peluru termaksud hanya bisa tahan enam bulan sudah harus diganti baru. Masalah tersebut agaknya terlalaikan petugas perlengkapan. Sesudah kiriman peluru pengganti tiba dan diuji-coba, Benny memberi isyarat untuk berangkat. Sintong melirik jamnya, penerbangan mereka sudah tertunda lebih dari satu jam.
C.
Pasukan Anti Teror Tiba di Bangkok, Thailand.
Senin 30 Maret 1981, dini hari, pukul 00.30, pesawat DC-10 tiba di Don Muang dengan berkamuflase menjadi pesawat Garuda yang baru terbang dari Eropa. Pesawat diparkir dilokasi yang agak jauh dari Woyla.
Kendaraan pasukan Angkatan Udara Thailand tiba, dan seorang perwira penghubung membawa Benny menemui Menlu Thailand Siddi Savitsila. Perundingan yang deadlock menyebabkan clearance untuk menyerbu pesawat tidak bisa diberikan, maka menlu Thailand mempertemukan Benny dengan PM Thailand Prem Tinsulanonda esok paginya.
Dalam pertemuan tersebut, pada awalnya pemerintah Thailand tidak bersedia memberi izin operasi militer, sementara pemerintah Indonesia tetap meminta izin Thailand, untuk menyelesaikan sendiri pembajakan tersebut.
Akhir perundingan, PM Prem menyatakan akan memberi keputusan pada pukul 11 hari itu juga.
“Saya selalu menganggap nasi goreng Bangkok terenak di dunia”, ujar Benny. Maka Benny ditemani Kolonel Rosadi, atase pertahanan makan pagi dengan menu nasgor, sementara lainnya pulang ke hotel. Ditempat itu, Benny bertemu dengan Chief Station CIA untuk Thailand.
Dalam pembicaraan yang berkembang, Benny kemudian meminjam flak jacket, (jaket/rompi anti-peluru) karena lupa membawa dari Jakarta. Tapi ternyata di dalam pesawat DC-10 sudah tersedia, maka flak jacket itu tidak jadi dipakai. Meski nantinya memunculkan wacana, seolah-olah AS memberi bantuan peralatan tempur kepada pasukan Indonesia.
Selepas tengah hari clearance untuk menyerbu sudah diberikan oleh PM Prem, Benny menetapkan, serbuan akan dilakukan sebelum fajar. Tak lupa pula dia meminta petugas Garuda di Don Muang menyiapkan 17 peti mati.
Sementara itu suasana tegang semakin ganas dengan menetapkan deadline atas tuntutan mereka, Yoga dengan sabar melayani segala macam tuntutan tersebut sambil mengulur waktu.
Ketegangan yang sama juga terasa di kabin DC-10, menunggu adalah pekerjaan yang paling menjengkelkan. Tanpa ada pemecahan maka anak buahnya akan tegang tanpa guna, maka Sintong memerintahkan anak buahnya untuk tidur: “Hampir semuanya langsung tertidur, merasa lepas dari beban. Mereka saling mendengkur, adu keras..”
Senin 30 Maret 1981, malam hari, pasukan anti teror satu demi satu turun dari pesawat DC-10. Sekali lagi mereka melakukan latihan ulangan menggunakan DC-9 Digul. Pada kesempatan tersebut, Sintong mengajak pilot Garuda untuk ikut menonton.
Sebelum Sintong turun dari pesawat, Sintong sudah memutuskan untuk membuang tongkat penyangga kakinya. “.. masa, perwira komando, memimpin operasi dengan tongkat.”
Latihan ulangan berlangsung dengan baik, semua anggota tahu apa yang harus dilakukan, Sintong memperkirakan dalam lima menit pasukannya sudah dapat menguasai pesawat.
Begitu latihan selesai, seorang pilot Garuda mendekati Sintong, “Pak.. maaf Pak”. ” Ya ada apa?” tanya Sintong ingin tahu.
”Tadi waktu bapak latihan, memang semuanya bisa demikian, kalau pintu samping dibuka dari luar, dengan mudah anak buah bapak bisa menyerbu masuk. Tetapi kalau pintu darurat yang dibuka, yang langsung keluar karet peluncur untuk pendaratan darurat..”
“Yailah..” teriak Sintong. “Terimakasih, .. terimakasih” Bisa dia bayangkan, tanpa ada pemberitahuan tersebut, dalam penyerbuan masuk ke kabin, anak buahnya pasti berhamburan terlempar ke bawah dari pintu darurat, dihantam tangga peluncur emergency.
Sekali lagi latihan diulang. Faktor munculnya tangga penyelamat dari pintu darurat, diperhitungkan. Dengan masukan tambahan tersebut, Sintong justru menemukan langkah penangkal. Begitu pintu darurat dibuka dari luar, seorang anggota wajib menahan munculnya tangga pendaratan darurat. Pada saat bersamaan, anggota lain sudah harus menyerbu masuk kabin.
Benny memutuskan serangan dilakukan pada pukul 03.00. Jarum jam menunjukkan pukul 02.00, pasukan sudah siap dengan perlengkapan tempur, pakaian loreng dan baret merah. Briefing terakhir sudah selesai. “Tunggu apa lagi? Saya segera perintahkan, berangkat…” kenang Sintong.
Sementara di dalam pesawat yang dibajak, para teroris sudah mulai lelah. Menurut para penumpang yang akhirnya menjadi saksi-mata, para pembajak mulai menceritakan keluh-kesah mereka, tentang anaknya, istrinya atau keluarganya.
Hal ini membuat para pembajak mulai lengah. Pada saat itu seorang penumpang warga negara Inggris bernama Robert Wainwright, berusia 27 tahun, memanfaatkan situasi itu.
Ia berhasil melarikan diri dengan cara membuka pintu darurat, loncat keluar dari pesawat, dan berhasil selamat.
Enam jam kemudian, seorang warga negara Amerika bernama Schneider, berusaha melarikan diri, namun tertembak dan tersungkur di aspal disaksikan istrinya, Carol Schneider.
Setelah peristiwa itu, para pembajak marah besar. Mereka pengumpulkan semua penumpang dibagian depan pesawat dan tidak ada yang boleh berbicara.
D.
Penyerbuan ke Pesawat Woyla.
Selasa 31 Maret 1981, dini hari, pukul 02.30, prajurit bersenjata mendekati pesawat secara diam-diam. Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Semua jendela pesawat telah ditutup. Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang. Semua tim akan masuk ketika kode diberikan.
Mereka dijemput mobil. Untuk menjaga kerahasiaan, seluruh pasukan diminta berbaring dilantai kendaraan. “Saya duduk di atas anak-anak, injek-injekan” kata Benny. Sintong sangat terkejut, ketika pasukan sudah meninggalkan mobil dan berjalan menuju Woyla, tiba-tiba saja Benny menyusup masuk ke dalam barisan. Ini diluar skenario.
Tubuh Benny terlihat jelas, ditengah deretan pasukan berseragam. Dia memakai jaket hitam, tangan kanannya memegang sepucuk pistol mitraliur. Perwira tinggi tersebut nampak menonjol karena satu-satunya yang tidak berseragam dan tidak juga memakai baret merah.
Sambil berbisik, Sintong memerintahkan anak buahnya yang jalan paling dekat. “So, Roso, keluarkan dia. Jangan biarkan Pak Benny ikut..”. “Pak, saya nggak berani”, jawab Letnan Suroso, juga dengan berbisik.
Sementara itu dalam pikiran Benny, “Tempat terbaik bagi saya, harus bersama mereka..”
Tentu saja dia mengabaikan kenyataan, bahwa dirinya seorang jenderal dengan tiga bintang.
Benny juga bukan komandan lapangan, yang memang harus selalu ikut menanggung resiko menghadang maut digaris depan. Dia juga tidak mempedulikan, kemungkinan peluru nyasar, justru akan bisa menyeret akibat fatal.
Tetapi Benny tetap dalam doktrin pribadinya. Seorang pemimpin harus bersama anak buah. Sesuatu yang memang sudah dia buktikan selama terjun dalam berbagai palagan.
“Saya beranggapan, nilai politik psikologinya besar sekali. kalau pun saya ikut mati tertembak, tetap bisa membuktikan, pemerintah Indonesia tidak pernah menyerah dalam menghadapi tuntutan pembajak.”
Selasa 31 Maret 1981, dini hari, pukul 02.43, Tim Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos. Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk, dengan Tim Hijau terlebih dahulu, mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga di pintu belakang.
Selasa 31 Maret 1981, dini hari, tepat pukul 02.45, serbuan dimulai. Menurut kesaksian penumpang, dalam kegelapan malam, semua pintu kabin pesawat segera terdengar didobrak dari luar. Sekejap kemudian bunyi tembakan riuh membangunkan seluruh isi pesawat.
Dalam skenario awal, pasukan anti teror akan mendobrak pintu depan kiri. Disusul pendobrakan bersama, pintu darurat dan belakang. Setelah tahap ini selesai, seluruh pasukan serentak menyerbu ke kabin. Skenario tersebut tidak sepenuhnya terlaksana berurutan.
Pembantu Letnan Achmad Kirang dari arah pintu belakang sudah terlanjur masuk sebelum pintu depan didobrak. Pembajak yang berjaga di bagian belakang sempat terjaga dan langsung menembak. Akibatnya, Kirang tidak sempat menunduk ketika sebuah peluru menembus tubuhnya. Tepat kena perut, bagian yang tidak tertutup flak jacket.
Teroris tersebut menembak dan mengenai Achmad Kirang, salah seorang anggota Tim Hijau di bagian bawah perut yang tidak terlindungi. Teroris tersebut kemudian ditembak dan tewas di tempat.
Tim Biru dan Tim Merah masuk, menembak dua teroris lain, sementara penumpang menunduk. Para penumpang kemudian disuruh keluar. Seorang teroris dengan granat tangan tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak. Lalu anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar.
Teroris terakhir dinetralisir di luar pesawat. Imran bin Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut dan ditangkap oleh Satuan Para Komando Kopassandha.
Dalam pertempuran singkat di dalam pesawat tidak semua pembajak langsung tertembak mati. Sementara itu Achmad Kirang dan Captain Herman Rante justru luka parah terkena peluru.
Tim medis kemudian datang untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang ditembak salah satu teroris dalam serangan tersebut.
Hendrik Seisen, seorang penumpang berkewarganegaraan Belanda melukiskan:
“I woke up when I heard a lot of noise and what certainly looked like shooting. It seemed like in the time of two seconds the whole plane filled up with commandos..”
Seisen menambahkan:
“When the shooting started we ducked below the seats. I didn’t want to look. I was terrified”
Drama pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla tersebut berlangsung empat hari di Bandara Don Mueang Bangkok dan berakhir pada tanggal 31 Maret setelah serbuan kilat Grup-1 Para-Komando yang dipimpin Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan.
Dengan cepat semua sandera dibebaskan. Pesawat Woyla sepenuhnya sudah dikuasai Kopasandha.
Mimpi buruk yang dialami semua awak pesawat dan penumpang sejak Sabtu pagi, berakhir Selasa dini hari. Begitu Woyla sudah berhasil dikuasai, Benny menyambar mic kokpit.
“This is two zero six, could I speak to Yoga please?”
“Yes, Yoga here”
“Pak Yoga, Benny ini..” teriak Benny.
“Diancuk. Neng endi kowe..?” tanya Yoga sambil mengumpat.
“Dalam pesawat Pak”
“Jangan main-main kamu..”
“Saya memang di pesawat. Sudah selesai semua, beres..”
Kecuali anggota pasukan yang dia pimpin, Benny memang tidak menceritakan rincian rencana penyerangan pembajak yang dia rancang. Juga tidak kepada Yoga.
Kala itu, tiga pembajak tewas seketika ditangan pasukan penyerbu. Dua pembajak lain menderita luka parah. Tetapi yang paling melegakan seluruh penumpang tidak ada satu pun mengalami cedera berarti.
Sementara Achmad Kirang meninggal tanggal 1 April dalam perawatan di RS Bhumibhol, Bangkok, begitu pula Captain Herman Rante, meninggal di Bangkok, enam hari setelah operasi penyergapan berlangsung.
Pilot pesawat Garuda, Kapten Herman Rante dan Achmad Kirang, salah satu anggota satuan Para-Komando Kopassandha, meninggal dalam baku tembak yang berlangsung selama operasi kilat pembebasan pesawat tersebut. Kedua korban peristiwa terorisme ini kemudian dimakamkan di TMP Kalibata.
Operasi kontra terorisme ini dilakukan oleh Grup-1 Para-Komando dibawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan. Hasil dari baktinya, ia beserta timnya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi tersebut, dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.
E.
Pasca Pembajakan.
Selasa 31 Maret 1981, setelah subuh, pukul 05.00, pesawat DC-10 Sumatera meninggalkan Don Muang, membawa pulang pasukan khusus anti teror. Dua pembajak yang luka parah tidak sempat diselamatkan nyawanya oleh tim kesehatan Kopasandha. Sehingga kelima mayat pembajak, Machrizal, Zulfikar, Wendy M Zein, Abu Sofyan dan Imronsayah, langsung diterbangkan ke Jakarta pagi itu pula.
Dari udara, pemandangan kota Jakarta siang itu terasa elok. Sejak pagi masyarakat sudah dibangunkan dengan berita radio sekitar keberhasilan pasukan khusus anti teror menyergap pembajak Woyla.
Semua bangga, drama mencekam selama tiga hari akibat pembajakan telah berakhir, Pemerintah Indonesia terbukti tidak mau menyerah kepada pembajak. Kabar tersebut menjadikan warga Jakarta berbondong – bondong ke Bandara Halim Perdanakusuma.
Selasa 31 Maret 1981, pagi hari, pukul 08.00, lebih beberapa menit, roda-roda pesawat DC-10 Sumatera menyentuh landasan Halim Perdanakusuma. Benny dengan wajah serius tanpa senyum, menyelinap keluar dari pintu di ekor pesawat, tanpa memperhatikan sambutan ratusan penjemput.
Baju safari warna gelap yang dia pakai, sangat kontras dengan seragam loreng berbaret merah pasukan khusus antiteror yang keluar dari pintu depan.
Pagi harinya, koran The Asian Wall Street Journal menulis:
“It isn’t that Indonesians don’t deserve the same credit and honor that Israel and the West German commandos earned for similiar gallantry at Entebbe and Mogadishu. it is a pity because there is abroader point to be made”.
Tajuk rencana koran The Asian Wall Street Journal tersebut segera menambahkan, negara-negara dunia ketiga selalu dianggap tidak pernah memiliki disiplin dan tidak bisa bekerja dengan efisien. Demikian juga umumnya komentar terhadap penampilan tentara Indonesia.
“well it took a high order of soldiering to rescue a plane load of hostages without taking one innocent life”.
Lebih lanjut koran tersebut menunjukkan,
“From hijack to the last gun shot, the entire operation lasted about 60 hours. It required a high degree of organisation and planning. It also required courage, efficiency and discipline”.
Seorang anggota pasukan anti teror, TJP Purba ketika diwawancara koran The Bangkok Post mengatakan,
“Our principle is simple, silent, decisive and aggressive.”
Imran bin Muhammad Zein selaku otak peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1981.
Imran merupakan salah seorang yang terlibat dalam Peristiwa Cicendo bersama Maman Kusmayadi, Salman Hafidz, serta 11 orang lainnya.
Begitu pula dengan Maman dan Salman, yang bernasib sama dengan Imran, dan dieksekusi hukuman mati.
Sebagai tambahan informasi, di masa depan, pasukan Kopasandha yang melakukan penyerbuan pesawat Woyla menjadi embrio terbentuknya unit anti-teror di Kopassus yang kita kenal saat ini sebagai SAT-81 Gultor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar