REQUIESCAT IN PACE.
"Mbah SUJUD" (Sujud Sutrisno/Sujud Kendang).
Klaten, 22/9/1953 - Yogyakarta, 15/1/2017
(Usia 64 Tahun /Tumbuk Ageng)
Senin, 15 Januari 2018, 12.30 WIB.
@ RS.Wirosaban. Yogyakarta.
In Memoriam:
"PPRT" - "Pemungut Pajak Rumah Tangga".
Mata indah bola pingpong
Ana bocah kecemplung genthong
Ngejak mulih numpak andhong
Tekan ngomah ketiban dhondhong
Doa Pemberkatan Jenasah
Selasa, 16 Januari 2018, 10.00 WIB - selesai
@ Rumah Duka Badran JT 1/ 533
RT 51 RW Xl Yogyakarta.
Rencananya akan dimakamkan pada hari Selasa, 16 Januari 2018, 11.00an. WIB
@ Makam Utara Laya Tompeyan,
Tegalrejo Yogyakarta.
===
Salah satu Icon "hidup" Jogja yang langka
Sang Legenda: Seniman Jalanan Jogja
"PADA MULANYA ADALAH "SENI (N)"
Di usianya yang 60an tahun, pasca operasi retina mata, ia tetap bekerja dengan gembira "memungut pajak rumah tangga" alias ngamen.
Pandangan mata yang sudah kabur tidak memupuskan semangatnya untuk tetap berkarya dalam segala keterbatasannya.
Demi bertahan hidup.
Demi meneruskan pengobatan matanya.
Demi cinta nya pada seni.
Nama aslinya Sujud Sutrisno yang dilahirkan dari keluarga seniman/ musikus jawa/ karawitan di Klaten pada tanggal 20 september 1953.
Seperti biasa, "coklat" alias "cowok klaten" memiliki jiwa pantang menyerah yang tinggi. Mereka adalah tipologi orang yang ulet, punya banyak ide dan iguh, juga tak mudah putus asa. Kemiskinan adalah cambuk sejati untuk berkarya dalam rangka bertahan hidup dan berkemajuan.
Mbah Sujud yang belajar ngendang dari ayahnya sendiri yakni Wiro Suwito, merupakan sosok yang sangat sederhana. Kemana-mana bawa kendang dan ngamen sambil jalan kaki. atributnya selalu ajeg, pake blankon dan surjan.
Perawakannya yang kecil dan murah senyum, menjadikan dirinya mudah diakrabi oleh siapa pun, terutama anak-anak. Tak jarang saat Mbah Sujud ini ngendang, sosok pengrumunnya lebih banyak didominasi oleh anak-anak.
Selain low profile, lirik-lirik yang dibawakannya penuh humor yang ringan sehingga mudah ditangkap misi liriknya oleh para pendengar.
Mbah Sujud Kendang juga pernah menjadi ilustrator musik di layar lebar. Mbah Sujud kendang juga biasa diundang untuk mengisi acara atau resepsi:
1. diundang oleh dosen untuk penelitian
2. diundang oleh mahasiswa saat perpisahan KKN
3. diundang oleh orang untuk mengisi hajat/ resepsi pernikahan
4. diundang oleh panitia 17-an di kampung
5. diundang oleh Panitia Festival Kesenian Yogyakarta
6. diundang oleh mahasiswa Luar Negeri untuk penelitian
7. diundang oleh orang kaya, ya sekedar untuk hiburan keluarga saja
8. masih banyak lainnya ....
Pastinya:
Sujud Sutrisno atau yang akrab dipanggil Sujud Kendang yang konon pernah menjalani operasi tumor dan operasi cangkok kornea mata di RS YAP ini adalah seorang musisi jalanan atau pengamen dari Yogyakarta dan menyebut dirinya sendiri sebagai "Kendang Tunggal". Musik yang ia mainkan berdasarkan irama kendang yang ia mainkan dengan tangan dan dilengkapi lagu-lagu yang ia nyanyikan. Ars longa, vita brevis.
OBITUARI:
Pernah aku melihat musik di Taman Ria
Iramanya melayu duhai sedap sekali2x
Sulingnya dari bambu, gendangnya kulit lembu
Dangdut suara gendang ingin serta berlenggang2x
Terajana…terajana…
Judul lagu dangdut ini kerap dijadikan satu mata acara TV “dut” kita dengan lagu pembukaannya ya Terajana itu tadi. Bait lagu tadi oleh penyanyi dangdut cewek kita yang pakaiannya yang menutup tubuh adalah sepatu lars panjang dan menggunakan selendang bulu, maka refrain Terajana agak disengau-dan celat-kan menjadi Telazhauna…telazhauna.
Lagu karangan Oma Irama sebelum dia jadi beneran seperti Oma-Oma yang crigis” seperti sekarang saya dengar pertama kali di Yogya sekitar 1974 oleh “satria berkendang” dia adalah Sujud Sutrisno di Nyutran-Yogyakarta. Saya masih ingat dia menyanyi dengan suaranya yang serak karena terlalu banyak tarik urat. Kadang matanya merem melek, yang seringkali mengingatkan saya akan penyanyi tuna-netra.
Itulah guru dangdut saya secara sekelebatan. Lagu pertama Terajana yang langsung terekam dalam ingatan saya, menyusul lagu kedua yang ia nyanyikan adalah lagu Yoan Tanamal : Hatiku Sepi Ditinggal Pergi dst… Sebelum akhirnya Yoan mencari keramaian dengan jarum suntik.
Usai dengan kedua lagunya, biasanya ia memutar radio transistor sebagai bonus lagu (atau malahan siaran pedesaan klompencapir) sebelum ia pamit setelah menerima saweran ala kadarnya. Ia konon tidak pernah mematok besar sawerannya. Tak dibayarpun tak mengapa. Kemana Sujud pergi, anak-anak di Nyutran mengikuti kemana langkahnya sampai ia menghilang dibalik gang yang lain.
Hari itu juga langsung hati saya tertambat dengan kejenakaannya memlesetkan lagu. Anak dari Wirosuwito, memang menuruni bakat seni dari sang ayah yang ahli cokekan. Kendati sudah pernah muncul dipanggung skala nasional, dipanggil mbarang di hotel mewah, namun sujud tetap tidak bermaksud meninggalkan pekerjaannya sebagai pengamen solo keluar masuk kampung mendatangi pelanggannya.
Jam kerjanya 09:00 sampai 14:00 maklum dia juga sudah beranjak tua, dan tinggal sendirian di rumah petak 2×7 meter. Isterinya meninggalkannya setahun lalu.
Tak berlebihan jika pengamen kelahiran 22 September 1953 dan tercatat sebagai penduduk Notoyudan GT II/1175 dianggap pengamen legendaris walaupun secara financial dia tidak kaya (miskin malah), tapi dia berbahagia dengan profesinya.
Sepertinya Sujud mengingatkan saya yang seringkali mengapa harus menganggap profesi orang lain lebih baik daripada profesi yang saya geluti. Ah Sujud Sutrisno bin Wirosuwito, anda layak jadi guru Spiritual saya hanya dengan 5 menit menyaksikan anda menyanyi. Ruarrr Biasa.
Ini baru pendakwah yang konsisten dan tidak terlalu crigis.
==
Waktu itu (th 84/85), hampir setiap hari Minggu (kadang absent, mungkin route-nya ke kampung lain) beliau ini ngamen dengan gendangnya ke kost saya. Saya masih ingat gendangnya berdiameter kira kira 20 cm dengan panjang 40 cm, diikatkan ke pinggang. Kalau sedang bergaya selalu kaki kanan lurus ke belakang dengan kaki kiri ditekuk ke depan menginjak pondasi rumah. Kedatangannya selalu ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak.
===
Sketsa Profil.
Sujud sendiri terlahir pada tanggal 22 September 1953, dalam keluarga seniman. Ayahnya, Wiro Suwito, yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah, adalah seorang seniman cokekan dan pakar dalam Karawitan.
Karena kondisi keuangan yang lemah pada saat itu memaksa Wiro Suwito untuk menjadi musisi jalanan alias pengamen. Jenis musik yang dimainkan oleh Wiro Suwito selama mengamen adalah uyon-uyon, salah satu jenis musik tradisional Jawa dengan tempo pelan dan diselingi "senggakan".
Sujud-pun belajar karawitan dari ayahnya, Wiro Suwito. Sujud menyadari bahwa alat musik yang menjadi favoritnya adalah kendang maka kemudian ia memutuskan untuk mengkhususkan diri bermain kendang.
Sujud menjadi seorang pengamen jalanan untuk membiayai sekolahnya. Meskipun dia tidak menyelesaikan pendidikannya di tingkat SLTP namun Sujud tetap bersemangat untuk belajar. Dia telah mampu mencari uang dengan bernyanyi dan bermain kendang sejak tahun 1964.
Sujud tidak menganggap dirinya sebagai pengamen. Sujud cenderung lebih suka menganggap dirinya sebagai "PPRT" atau "Pemungut Pajak Rumah Tangga". Hal ini karena biasanya dia akan mendatangi satu rumah ke rumah lain untuk bernyanyi dan berharap kebaikan dari penghuni rumah.
Bagi penghuni rumah yang ia datangi, bakat besar yang dimiliki Sujud adalah sebuah pertunjukan yang menghibur daripada sesuatu yang mengganggu. Oleh karenanya penghuni rumah yang ia datangi pun menanggapi dengan baik permainan musiknya.
Saat Sujud mengamen dari pintu ke pintu, anak-anak dari lingkungan di sekitarnya senantiasa mengikuti dan melihat permainan musiknya.
Sujud sangat dihormati oleh pengamen jalanan dan seniman lainnya. Sujud berkata bahwa kendala utama dalam karier bermusiknya (mengamen) ialah hujan. Setiap kali hujan turun maka itu akan menghambat dirinya dalam "bekerja dari pintu ke pintu" karena bermain kendang sambil memegang payung adalah hal yang sulit.
Mantan anggota Teater Alam ini terbilang sebagai seniman yang cukup kondang. Ia pernah tampil sepanggung dengan musisi kelas dunia
Sebagaimana orang Jawa sejati, Sujud percaya akan salah satu Falsafah Jawa yaitu "nrimo ing pandum" yang berarti menerima suratan takdir dengan kesabaran dan kerendahan hati. Menurut Sujud, takdir atas dirinya berada di tangan Tuhan. Setiap kali mengakhiri permainan musiknya, dia tidak pernah berharap bayaran, namun menerima apa yang orang lain berikan secara ikhlas.
Saat usia beranjak dewasa, Sujud menambahkan nama "Sutrisno" di belakang nama "Sujud" sebagaimana kelaziman pada masyarakat Jawa.
Saat ini sampai akhir hayatnya, Sujud tinggal seorang diri di sebuah rumah kontrakan di Kampung Notoyudan GT II/1175 RW.23, Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta. Sejak kematian istrinya, Suwakidah, dia melakukan sendiri semua pekerjaan rumah tapi untuk makan ia membelinya di warung makan di sekitar tempat tinggalnya.
Sujud mengatur jadwal kerja. Dia mulai berangkat kerja, setelah tugas rumah rampung. Jam kerjanya dimulai pukul 09.00 sampai 14.00, dengan hanya seputar wilayah Kota Yogyakarta saja yang dijelajahinya.
Dalam sebulan, dia hanya mengamen selama 20 hari dan selebihnya dia gunakan untuk istirahat. Tapi itu bukan harga mati, tergantung kondisi fisik dan job yang masuk.
Sebagai pengamen kendang yang punya ciri khas, Sujud sering diundang mengisi berbagai acara. Seperti acara kampus, launching sebuah produk atau acara komersial lain. Ia pernah tampil di The First Indonesia International Drum Festival. Sempat pula nongol di acara Tembang Kenangan Indosiar. Sujud punya alasan kenapa harus pulang siang hari. Menurutnya, ia takut mengecewakan tamu-tamu yang banyak berdatangan ke rumahnya.
Sujud yang selalu mengenakan blangkon, surjan dan kumis palsu ala Asmuni Srimulat ini mengaku akan berhenti ngamen jika kondisinya tidak memungkinkan lagi. Tapi selama masih kuat, akan terus dijalaninya sampai akhirnya hari ini, ia kembali kepada Sang Khalik.
GOING HOME - BERPULANG - SOWAN GUSTI"
Berpulang, aku berpulang
Tenang dan damai, aku berpulang
Tidaklah jauh, lewati pintu terbuka
Tugas telah usai, tiada cemas tersisa
Bunda menanti, ayah pun menunggu
Banyaklah wajah yang kukenal,
dari masa lalu
Ketakutan lenyap, kesakitan hilang
Rintangan musnah, perjalanan usai
Bintang fajar terangi jalanku
Mimpi buruk hilang sudah
Bayang-bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Di hidup abadilah aku
Tiada jeda, tiada akhir
Hanya ada kehidupan
Tersadar penuh, dengan senyuman
Untuk selamanya
Berpulang, aku berpulang
Bayang bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Hidup abadi kumulai
Aku kini berpulang
---------
Going home,
I am going home
Quiet like some still day
I am going home
It's not far, just close by
Through an open door
Work all done, care laid by
Never fear no more
Mother's there expecting me
Father's waiting too
Lots of faces gathered there
All the friends I knew
No more fear, no more pain
No more stumbling by the way
No more longing for the day
Going to run no more
Morning star lights the way
Restless dreams all gone
Shadows gone, break of day
Real life has begun
There's no break, there's no end
Just a living on
Wide awake with a smile
Going on and on
Going home,
I am going home
Shadows gone, break of day
Real life has begun
I'm just going home
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar