REQUIESCAT IN PACE.
Wilujeng kondur "Mas To" (Darmanto Jatman)
Penyair dan pendidik
Sastrawan & seniwan
Cendekiawan & budayawan
Sugeng tindak, sowan Gusti Prof.
Berkah Dalem.
Ars longa, vita brevis....
Setelah Allah baru saja memanggil musisi legendaris Yon Koeswoyo (Koes Plus) pada 5 Januari 2018, kini bangsa Indonesia harus kehilangan seorang seniman lagi, salah satu putra terbaiknya yaitu Pak Darmanto Jatman, yang dipanggil Allah pada 13 Januari 2018 di Semarang.
Pak Darmanto adalah generasi sastrawan di atas atau sebelum era Cak Nun. Beliau segenerasi dengan Umbu Landu Paranggi, Ashadi Siregar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Goenawan Mohamad dll, dan sedikit di bawah Pak Umar Kayam.
Beliau penyair yang spesifik dan khas karya-karyanya bahkan beberapa puisinya dibawakan dengan bentuk musik-puisi oleh Cak Nun dan Musik Dinasti yang merupakan kepeloporan bentuk pemanggungan puisi.
Cak Nun pernah ditampung di rumah beliau di daerah Tamansiswa, ketika Cak Nun sakit dan tidak punya tempat tinggal selain menggelandang di Malioboro. Itu terjadi sekitar 1972.
Selama Pak Darmanto sakit di Semarang, beberapa kali Cak Nun mengunjungi beliau, bahkan almarhum beberapa kali hadir di pementasan Cak Nun dan Kiai Kanjeng meskipun dalam keadaan sakit di kursi roda.
Beliau mengalami stroke, sangat susah mengucapkan kata, tetapi tetap berkomunikasi dengan pandangan mata beliau.
Allah menyisakan kenangan-kenangan yang indah-indah dan baik-baik, sehingga beliau dalam kondisi stroke tampak selalu bergembira, banyak tersenyum dengan sesekali menangis haru dan bahagia. "Yatman", sampai akhir haYAT - tetap beriMAN.
OBITUARI: DIA.LO.GUE.
"Mas To", penyair, pembaca puisi yang teramat memikat, profesor, pemikir kabudayan, wong jawa lantip pinunjul (Mas Landung).
1.
Sang Darmanto...
Darmanto Jatman, penyair, psikolog, pemikir, budayawan, hari ini, setelah berjuang dari sakitnya yang panjang berpulang. Selamat jalan Mas Dar. Semoga dilapangkan jalan.
Saat itu, ketika You Tube belum ditemukan, ketika sosial media belum menggila seperti sekarang, ketika orang terkenal hanya berarti mereka yang tinggal di pusat, dan pusat itu hanya berarti Jakarta, kami yang tinggal di Semarang dan sekitarnya sering berkecil hati. Untung saat itu ada Darmanto. Jika ada orang terkenal dari Semarang yang dianggap oleh pusat rasanya itu "hanya" Darmanto.
Saat saya wawancara dengan Umar Kayam, ia bertanya tentang kabar Darmanto. Saat saya mewawancarai Bagong Kussudiardja, ia bertanya tentang Darmanto. Saat saya mewawancarai Romo Mangunwijaya, ia menyebut Darmanto.
Menjadi warga Semarang saat itu, menjadi besar hati karena Darmanto. Tentu di kota ini ada NH Dini, Jaya Suprana, Kelly Puspita dan Narto Sabdo. Tapi Darmanto, dengan gayanya yang flamboyan dan jangan lupa... ia tampan, meletakkan posisinya secara iconic. Ia menjadi salah satu pembobot penting kota ini.
Tetapi di luar sosoknya yang ningrat dan priyayi, di luar gayanya sebagai pemikir yang selebriti, Darmano adalah orang Jawa asli dalam arti: ia pribadi yang ketat pada etik dan arstistik. Ia menghitung dengan rapi "rasaning liyan" (feeling of other). Ia peraga yang baik kredo kejiwaan Jawa versi RM Sosro Kartono dan Ki Ageng Suryo Mentaram.
Kepada Umar Kayam yang dihormatinya sebagai pemikir Darmanto menyebut hubungannya sebagai "asih ajrih", sebagai cinta dan takut. Begitu juga dengan WS Rendra dan kepada Romo Mangun.
Kepada siapa saja yang lebih muda, Darmanto memperagakan apa yang disebut "ina tresna", meledek tetapi sesungguhnya mencintai. Ia terkenal tukang ledek. Tetapi siapa yang sudah diledeknya ia sudah dicintai. Inilah mengapa ledekannya dikangeni.
Kepada kekuasaan dan birokrasi, Darmanto sejauh yang ia bisa terus memelihara apa yang disebut "sepi pamrih tebih ajrih" yakni ketika pamrih menyepi ketakutan akan menepi. Itulah mengapa walau ia berada dalam birokrasi sikapnya relatif merdeka untuk mengatakan apa saja walau tentu dengan gayanya yang sangat Jawa: terbuka tapi tak langsung. Keras tapi lucu, urakan tapi priyayi. Ia "kebat tapi tak kliwat" kencang tapi tak menyalip dan tajam tapi tak melukai. (Prie)
2.
Andaikan ternyata kelak saya lulus masuk sorga, dan mendapat jatah rumah tidak terlalu kecil, dengan halaman depan dan samping yang cukup luas, serta kebun buah di belakang rumah: insyaallah akan saya bangun Paviliun di sisi kanan rumah saya untuk Mas Darmanto Jatman.
Itu bukan karena saya seorang pemurah dan senang bersedekah, melainkan karena selama kost di Bumi, sampai Mas Dar ditimbali oleh Maha Pencipta dan Pengasuhnya: utang saya kepada Mas Dar belum saya lunasi. Di tahun-tahun terakhir kehidupan beliau yang “dimonopoli oleh Allah”, saya nyicil bayar utang dengan hanya memeluk-meluk beliau dan menciumi pipi beliau.
Sebab lain kenapa hutang kepada beliau tak kunjung mampu saya lunasi adalah karena beliau lebih kaya dari saya terutama secara rohaniah. Beliau adalah kakak yang selalu tersenyum wajahnya sepanjang saya mengenal beliau sejak tahun 1969. Andaikan saya bisa melukis, yang saya torehkan di kanvas adalah senyuman itu sendiri: seluruh wajah dan kehidupan Mas Dar adalah senyuman. Tidak akan sanggup saya melukis wajah beliau, apalagi karakter dan kehidupan beliau. Saya hanya bisa menggoreskan senyuman.
Dengan senyuman itu pula beliau menerima saya pada suatu siang tahun 1972, membukakan pintu rumah beliau di kawasan Tamansiswa Yogyakarta. Beliau memapah dan menuntun saya ke tempat tidur dan saya terbaring lunglai. Badan saya sangat panas, demam tinggi, kepala seperti dihimpit dua gunung, lidah tidak bisa menikmati rasa apapun, seluruh hidup saya greges-greges, kehilangan alat-alat untuk menikmati betapa indah dan nyaman sesungguhnya Allah menghamparkan rahmat-Nya.
Tidak mungkin tubuh terbengkalai itu saya baringkan di trotoar Malioboro, tempat tinggal saya selama 1970-1975. Mas Dar menyiapkan ranjang untuk adiknya yang malang itu. Saya tidak mengutuk atau membenci kemiskinan, tetapi saya, juga kebanyakan teman-teman penyair dan sastrawan Yogya, memang sungguh-sungguh miskin. Miskin dalam arti yang sementah-mentahnya maupun sematang-matangnya. Kemiskinan bukan simbol, bukan retorika, bukan konotasi. Juga tidak pakai dramatisasi dan romantisisasi. Miskin dalam arti belum tentu makan ketika hari ditempuh, hari yang kemarin, yang sekarang, atau apalagi yang besok: yang sama sekali tidak pernah ada di dalam ingatan atau kesadaran.
Kami para pembelajar puisi dan sastra di paruh pertama 1970an itu disayang Tuhan dengan bisa mencapai Peradaban Sandang. Kami lalulalang di sepanjang Malioboro dengan berpakaian. Kami pakai celana, berbaju, minimal pakai kaos. Linus Suryadi AG sahabat karib saya dan adik kesayangan Mas Dar, bahkan cèkèran, tak pakai sandal. Saya masih agak lumayan kelas sosialnya dibanding saudara saya asal Kadisobo itu. Tetapi hanya sampai Peradaban Sandang taraf pencapaian kami. Adapun Peradaban Pangan, itu adalah spekulasi, harapan dan doa setiap saat. Sedangkan Peradaban Papan, itu utopia, itu khayalan yang sombong, itu “Waiting for Godot”.
Di kelas terbawah dari strata sosial itu, seperti itu, kalau sakit, tidak bisa romantis “rumahku adalah Bumi, atapku adalah Langit”. Setiap punggung dibaringkan di Malioboro, ternyata lantai trotoar adalah neraka salju. Setiap angin menerpa, ia menjelma pisau, menikam-nikam tubuhku, memperhinakan eksistensiku. Maka ketika itu malaikat yang nyata ada tiga: Mas Darmanto Jatman, Mas Bambang Soebendo, wartawan senior “Sinar Harapan”, serta Soewarno Pragolapati, senior kami di “Persada Studi Klub” Malioboro. Mereka bertiga bergiliran menampung pengungsi asal Jombang yang terbengkalai nasibnya di Malioboro.
Lho kemana Presidennya? Di mana Umbu Landu Paranggi? Kenapa bukan Presiden Malioboro itu yang menampung para pengungsi? Wahai, kalau angin menyapu wajahmu tapi tanpa kelihatan wujudnya: Umbu lebih tak kelihatan dibanding angin. Kalau setiap makhluk meng-ada dengan memerlukan ruang dan waktu: Umbu sudah lama dicari-cari oleh ruang dan waktu dan belum pernah ketemu. Kenapa Umbu tidak menampung anak-anaknya yang miskin, yang tak berumah, tak pasti makan, yang profesinya adalah kelaparan dan ideologinya adalah kesepian? Hahahaha, Umbu lebih lapar dan lebih sepi dibanding kelaparan dan kesepian itu sendiri.
Dan Mas Darmanto tidak pernah turut menjelaskan siapa dan bagaimana Umbu itu sebenarnya–kecuali dengan senyumannya. Mas Dar selalu mengamati kami sudah makan atau belum, kemudian beliau menyeret kami ke warung. Umbu melatihkan puisi-puisi kami dalam tirakat “Kehidupan Puisi”, Mas Dar diam-diam menyumbang pematangan proses kreatif puisi kami dengan mengundang kami ke UNDIP. Di suatu bangunan entah bagian mana dari UNDIP. Kami dikumpulkan berempat: dari Yogya Linus dan saya, dari Jakarta Yudhistira Adhi Nugraha dan Adri Darmaji. Kami digembleng oleh Begawan Puisi sahabatnya Mas Dar, yakni penyair kelas utama Indonésia: Sapardi Djoko Damono.
Di antara para senior penyair ketika itu, Mas Dar termasuk di antara sangat sedikit yang “terpelajar”. Mas Dar adalah ilmuwan sosial, yang ilmunya lebih hidup dan “berdarah” karena pengalaman sastra dan seninya, serta yang lebih tegas tekstur dan perwajahan puisinya karena dimensi keilmuan beliau. Di Keraton Ilmu UNDIP, beliau Senior, Sesepuh, Begawan, Panembahan, Jimat. Maka UNDIP yang nyengkuyung pemakaman beliau, bukan masyarakat sastra atau apalagi gèng penyair. Sebab menurut Rendra salah satu penyair terbesar Indonesia, penyair “berumah di angin”. Dan jangan sekali-sekali punya gagasan untuk memadamkan mas Dar di angin.
Selamat jalan duluan Mas Dar. Kami semua sedang antre, meskipun tidak tahu urutannya. Mas Darmanto Jatman sudah memasuki Semester berikut, kami uthak-uthek gludag-gludeg, keserimpat-keserimpet di Semester awal yang semakin keruh dan kumuh.
Mohon sampaikan salam kami semua ke Pak Umar Kayam, mas Willy Rendra, semua, juga Mbah Chairil Anwar. “Sekali berarti, sesudah itu mati”. Kami di sini semakin tidak berarti, padahal senja makin meremang, Malaikat Izroil berkelebat-kelebat keluar masuk semak-semak. Pendekar Bayangan mengendap-endap di antara tidur dan jaga. (Cak Nun)
3.
Penyair Darmanto Jatman tutup usia dengan berbagai karya dan kenangannya. Guru Besar Emeritus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini sangat berkesan bagi putra keduanya, Ariyaning Arya Kesra.
"Bapak itu kalau berpesan tidak pernah eksplisit, selalu pakai sanepo, perumpamaan. Bapak di satu sisi sangat religius, di satu sisi sangat liberal," kata Arya saat ditemui di rumah duka, Jalan Menoreh Raya 73 Semarang, Minggu (14/1/2018).
Arya mengenang, ayahandanya mengajar 5 anaknya tanpa paksaan dan sering mengajak berbincang soal psikologi Jawa. Menurutnya sang ayah punya cara sendiri mempelajari kehidupan dengan kearifan lokalnya.
"Bapak mengajar dengan sangat Jawa. Kalau diajari dengan metode pendidikan, ada teach and learn," katanya.
Selain dihormati keluarga, lanjut Arya, banyak juga orang yang datang berkunjung hanya untuk sekedar berbincang atau mampir. Bukan sembarang orang, tamunya bisa orang-orang penting yang kebetulan ada di Semarang.
"Bapak itu juga sering mengkritik. Kritiknya nylekit, tapi itu yang ngangenin," kenang Arya.
Maka tidak heran tamu terus berdatangan bergantian ke rumah duka. Menurut Arya, sejumlah budayawan sudah sempat datang seperti Prie GS, Trianto Tiwikromo, Handy TM, dan lainnya.
Karangan bunga pun berjajar mengelilingi rumah duka antara lain dari Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, putri (alm) Gus Dur, Yenny Wachid dan lain-lain.
"Bapak dekat sama Gus Dur karena bareng di Interfidei. Kalau Pak Tjahjo itu muridnya bapak," kata Arya.
Terkait kondisi terakhir Darmanto sebelum meninggal, Arya mengungkapkan pada tahun 2007 almarhum terserang stroke. Kemudian tahun 2016 diketahui juga mengidap kanker kandung kemih. Usaha sudah dilakukan namun kanker sudan masuk stadium 4.
Produktifitas Darmanto dalam berkarya menurun drastis sejak tahun 2007. Padahal menurut Arya, ayahnya sangat ingin sekali menulis dan menghasilkan karya seni.
"Setelah stroke, (kondisinya) mundur sekali. Recovery berat, bapak tidak bisa berkarya lagi," ungkap dia.
Natal 25 Desember 2017 lalu merupakan kenangan hari keagamaan terakhir Arya bersama ayahnya. Menurutnya kala itu Darmanto kondisinya baik dan menebar senyum.
"Bapak waktu itu kondisi masih baik. Masih senyum dan bahagia dan menyanyi. Setelah tahun baru, memburuk," katanya.
Darmanto Jatman masuk ke RSUP dr. Kariadi Semarang sejak 3 Januari 2018 lalu. Penyair itu meninggal dalam usia 75 tahun hari Sabtu (13/1) kemarin pukul 16.45 WIB.
Rencananya jenazah akan disemayamkan di Auditorium Undip Pleburan hari Senin (15/1) besok. Pukul 11.00 WIB. Almarhum akan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Undip di Tembalang.
Bagi Undip, Darmanto sangat dihormati karena menjadi Guru Besar Emeritus Undip. Ia juga tokoh yang merintis Prodi Psikologi Undip dan menjadi kepala prodi pertama. (Arya)
4.
Waktu itu Minggu pagi, 26 Oktober 2008. Saya dan kawan-kawan dari kelompok Quartet on the Street sudah mempersiapkan diri di Warung Wedangan, Jalan Brotojoyo, Semarang.
Hari itu, saya dan kawan-kawan dari Quartet yang terdiri Irul (biola), Ichan (gitar), Tutut (biola) dan Arief (cello) memang berencana hendak menghibur Darmanto Jatman, psikolog, budayawan, dosen, penyair, yang saat itu sedang menjalani perawatan karena strooke yang menderanya sudah sekitar setahun lebih. Menghibur kawan-kawan yang sedang sakit memang jadi salah satu program musik kami, selain tampil di panggung-panggung konvensional.
Sebetulnya, rencana untuk menghibur Mas To, begitu dulu saya memanggil Darmanto Jatman, telah lama. Sekira setahun lalu saya pernah mengutarakannya kepada penulis Semarang Handry TM, tapi naga-naganya kawan Handry sedang repot dengan "bisnis-bisnisnya".
Akhirnya, saya harus berterimakasih kepada Ilik Sasongko, pengusaha muda yang mengaku sempat menonton saya konser di tahun 80-an di Semarang. "Waktu itu saya masih SMA, mas," kata Ilik mengenang konser saya menyanyikan puisi di Gedung Pemuda. Ilik inilah yang kemudian memfasilitasi saya dan rekan-rekan untuk menjalankan ibadah kami lewat musik.
Ilik pula yang kemudian menjemput saya dari Salatiga seusai kami konser untuk Festival Mata Air pada Sabtu (25/10) untuk dibawa ke Semarang agar esok harinya kami tak kerepotan.
Setelah kami melakukan check sound, dialog antar anggota jaringan rumah usaha (JRU) yang dipimpin oleh Ilik Sasongko pun dimulai. Saya mendengar, Mas To sudah meluncur bersama Mba Mur (istri mas To), seorang cucu, dan juga seorang pengantar dari kediamannya di Sampangan menuju Brotojoyo.
Saya pun mulai mereka-reka, seperti apa Mas To kini, setelah saya tak pernah melihatnya lagi sepanjang 10 tahun. Terakhir saya jumpa beliau pada 1998 di cafenya Ratih Sanggar.
Mengenangkan Darmanto Jatman adalah mengingat seorang penyair dan budayawan yang flamboyan. Aroma tubuh Darmanto adalah aroma keraton, begitu kata kartunis dan budayawan asal Semarang, Prie GS. Anggun dan berkelas, baik sebagai pribadi maupun sebagai seorang penyair.
Jika Rendra dijuluki si "burung merak" maka Darmanto beroleh julukan "burung perkutut" lantaran ia memiliki koong, terminologi dari sebuah kematangan vokal dan interpretasi saat membacakan puisi-puisinya. Darmanto adalah juga pesona seorang seniman yang ngotani, antitesa dari pengertian seniman yang kucel dan dekil. Itulah sebabnya, kemanapun Darmanto pergi, pancaran kekaguman selalu tertuju kepadanya, termasuk para wanita yang dengan rela siap menjadi kekasih penyair berambut kribo ini.
Tepat pukul 11.10, rombongan Darmanto datang. Sang penyair besar itu datang dengan kursi roda yang didorong oleh Mba Mur. Tangan kanannya digendong dengan sebuah kain di dadanya, sementara uban sudah hampir merata di kepalanya.
Saya dan kawan-kawan tak langsung nyanyi. Ilik Sasongko memberikan kesempatan kepada teman-teman seniman untuk memberi sambutan. Cerpenis Triyanto Triwikromo diberi kesempatan, pun penggiat teater Jawahir Muhammad serta yang lainnya.
Akhirnya, tepat pukul 11.30 WIB, saya dipersilakan menuju sudut warung yang telah disulap menjadi panggung kecil. Setelah menyapa kepada pengunjung, khususnya Mas To dan Mba Mur, saya pun membuka pementasan dengan mendeklamasikan sepotong puisi Darmanto berjudul "Marto Klungsu dari Leiden", salah satu puisi yang saya hafal di luar kepala.
"Marto Klungsu dari Leiden...
Semula ia diparabi Marto Legi, karena ia lahir pada hari Legi, Pahing, Pon, Wage Kliwon
kemudian ia diparabi Marto Klungsu, sebab, setelah lulus sekolah ongko loro, dia sudah seperti Raden Panji Raras, membawa ijazahnya pergi ke kota, ingin cari tahu siapa bapaknya yang ada di bilangan keraton Solo
Nah sudah pasti, den mas Gung tak mau bersedia menerima si kemproh bercelana kolor, procotan dari lembu petengnya di desa Karanglo, Plumbon, Dlanggu. Pulang-pulang, sebuah benjolan menclok di kepala Marto, jadilah ia Marto Klungsu".
Saya lihat Mas To menitikkan air mata. Entahlah apa yang dirasakan olehnya. Barangkali, ia sedang mengenangkan kejayaannya di masa muda dulu, atau...
Ah, sebelum Mas To kelewat dalam dengan kenangannya, saya pun langsung memtik gitar, membawakan dua puisi Mas To berjudul "Perahu Layar" dan "Sepasang Daun-daunan" yang saya gubah semalaman.
Waktu pun terus bergerak, setelah dua puisi Darmanto, saya pun menyanyikan puisi karya Timur Sinar Suprabana dan puisi karya penyair cilik Zeva, sebelum akhirnya saya memanggil kawan-kawan Quartet on the Street untuk menemani saya menyanyikan lagu-lagu karya saya yang bertema lingkungan dan kemanusiaan.
Sekira 10 lagu kami bawakan siang itu. Para pengunjung Forum Wedangan siang itu tampak bersemangat memberi support kepada Mas To dan Mba Mur dengan ngeploki saya riuh rendah tiap saya selesai membawakan lagu.
Saya pun segera turun panggung, langsung mendekati Mas To seraya mendoakan beliau agar lekas sembuh dan berkiprah lagi dalam dunia kesenian. Mas To, dengan mata berkaca terdengar mengeluarkan kata-kata, tapi tak jelas apa maknanya. Mba Mur lah yangkemudian menerjemahkannya, "Termakasih Mas," kata Mba Mur kepada saya.
Itu perjumpaan saya dengan Darmanto setelah puluhan tahun tak bertemu. Perjumpaan berikutnya terjadi tahun 2015. Diantar oleh penulis Triyanto Tiwikromo dan Donny Danardono, kami bertandang ke rumah beliau di daerah Sampangan, Semarang. Mas To dan mbak Mur nampak senang. Beberapa kali wajah saya diuyel-uyel oleh Mas To sebagai isyarat beliau senang. Kami pun bersuka cita siang itu dengan nyanyi dan puisi.
Perjumpaan berikutnya berlangsung tahun lalu saat kawan-kawan seniman Semarang membuat acara penghargaan untuk Mas To di Taman Raden Saleh Semarang. Sebelum Mas To pulang lebih awal, lantaran kesehatannya yang kian menurun, saya diminta untuk naik panggung dan bernyanyi buat beliau. Usai bernyanyi, darim kursdi roda Mas To melambaikan tangan kepada saya. Turun panggung, saya langsung memeluknya.
Esoknya, saya diminta Mba Mur untuk datang ke rumah beliau. "Makan siang di sini, Mas," kata Mba Mur melalui telepon.
Kondisi Mas To jauh lebih memprihatinkan dibanding semalam. Mba Mur mempersilakan saya berdua di kamar dengan Mas To, Beliau tampak lemah dan hanya bisa tidur miring. Saya genggam tangannya seraya menguatkan beliau.
Sehabis makan siang, Mba Mur baru bercerita tentang kondisi terakhir kesehatan suaminya yang kian memburuk. "Kami sudah pasrah, Mas," kata Mba Mur lirih.
Itulah pertemuan saya terakhir dengan Mas To. Beberapa kali saya masih sempat bertemu dan ngobrol dengan putera-puterinya, Mba Abigael dan Arto, melalui telepon maupun jumpa langsung.
Sabtu 13 Januari 2017, Mas Darmanto Jatman berpulang setelah menjalani perawatan di RS Karyadi Semarang. Ah... saya percaya dengan kesemestian, tapi saya tetap merasa kehilangan yang sangat. Saat beliau sakit, saya senantiasa menanti keajaiban dan ingin melihat beliau bergas waras, lalu menulis puisi lagi, membacanya kembali.
Kehilangan Darmanto adalah kehilangan seniman yang paripurna. Dalam berpuisi, beliau tak cuma berurusan dengan diksi, majas atau rima--yang telah selesai di saat Darmanto remaja--, sebab Darmanto telah membangun dunia dalam puisi-puisinya. Dunia yang dibangun dengan estetika, ilmu sosial, utamanya filsafat dan psikologi sosial. Ya, itu karena Darmanto adalah penyair yang juga ilmuwan. Kecerdasan, kepekaan, dan keindahan berpadu dalam karya-karyanya.
Darmanto lahir di Jakarta 16 Agustus 1942 dengan nama kecil Soedarmanto. Ia mulai terkenal dengan sajaknya sejak 1968. Beberapa puisinya yang terkenal berjudul "Isteri", "Ana;", "Karto Iya Bilang Mboten", dan "Ki Blakasuta Bla Bla".
Berkat karya-karyanya, Darmanto mendapat sejumlah penghargaan, antara lain The SEA Write Award pada 2002, Anugerah Satyalencana Karya Satya pada 2002, dan Anugerah Satyalencana Kebudayaan dari pemerintah RI pada 2010. Sugeng kondur Mas, kelak kita berpuisi dan bernyanyi kembali. (Jodhi Yuwono).
5.
Sketsa Profil.
Penyair nyentrik berambut kribo yang juga budayawan Semarang, Darmanto Jatman, meninggal dunia di RSUP dr Kariadi Semarang. Selain dikenal sebagai penyair dan budayawan, Darmanto juga menjadi Guru Besar Emeritus di Universitas Diponegoro, Semarang.
Kepala Humas Universitas Diponegoro, Nuswantoro Dwiwarno menyebutkan bahwa Darmanto meninggal hari Sabtu, 13 Januari 2018, pukul 17.00 WIB. Sebelum meninggal dunia, Darmanto mengalami stroke dan beberapa kali dirawat di Rumah Sakit: "Sudah dirawat di rumah sakit sejak 3 Januari 2018. Strokenya sudah membaik, tapi penyebab turunnya kondisi beliau adalah infeksi kandung kemih," kata Nuswantoro.
Penyair Darmanto Jatman dilahirkan di Jakarta, 16 Agustus 1942. Di Undip, dia merintis dan mendirikan Jurusan Psikologi. Jabatan terakhir Darmanto adalah kepala program studi dan dikukuhkan sebagai guru besar pada usia 65 tahun.
Menurut Nuswantoro, Darmanto juga ikut mengajar di fakultas lain, seperti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip. Hal ini tak lepas dari kehebatannya sebagai seorang penyair, budayawan, dan pakar filsafat.
Semarang - Penyair nyentrik berambut kribo yang juga budayawan Semarang, Darmanto Jatman, meninggal dunia di RSUP dr Kariadi Semarang. Selain dikenal sebagai penyair dan budayawan, Darmanto juga menjadi Guru Besar Emeritus di Universitas Diponegoro, Semarang.
Kepala Humas Universitas Diponegoro, Nuswantoro Dwiwarno menyebutkan bahwa Darmanto meninggal hari Sabtu, 13 Januari 2018, pukul 17.00 WIB. Sebelum meninggal dunia, Darmanto mengalami stroke dan beberapa kali dirawat di Rumah Sakit.
"Sudah dirawat di rumah sakit sejak 3 Januari 2018. Strokenya sudah membaik, tapi penyebab turunnya kondisi beliau adalah infeksi kandung kemih," kata Nuswantoro.
Penyair Darmanto Jatman dilahirkan di Jakarta, 16 Agustus 1942. Di Undip, dia merintis dan mendirikan Jurusan Psikologi. Jabatan terakhir Darmanto adalah kepala program studi dan dikukuhkan sebagai guru besar pada usia 65 tahun.
Menurut Nuswantoro, Darmanto juga ikut mengajar di fakultas lain, seperti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip. Hal ini tak lepas dari kehebatannya sebagai seorang penyair, budayawan, dan pakar filsafat.
"Psikologi Keluarga menjadi salah satu ciri khas Fakultas Psikologi Undip dibanding perguruan tinggi lain. Ini adalah berkat jasa beliau yang menempatkan tentang pentingnya peran keluarga dalam perkembangan kejiwaan," kata Nuswantoro.
Darmanto Jatman sendiri adalah alumnus Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia pernah mendirikan Teater Kristiani Yogya dan Studi Klub Sastra Kristiani Yogya.
Saat ini, jenazah Darmanto disemayamkan di rumah duka Jalan Menoreh Raya Nomor 75, Semarang dan rencananya akan dimakamkan di Pemakaman Undip, tetapi waktunya masih dibahas keluarga. Rumah Darmanto dipenuhi para pelayat seniman, budayawan, rohaniwan, dan para penyair Semarang dan kota-kota lain.
Dalam dunia sastra, berbagai puisi sudah dibukukan. Sejak tahun 1965, jalan sepi kepenyairannya sudah didokumentasikan, mulai dari Sajak-Sajak Putih (1965) bersama Jajak MD dan Dharmadi Sosropuro, Sajak Ungu (1966) bersama A. Makmur Makka, dan pernah menyutradarai beberapa pementasan teater.
Darmanto juga sering diundang membacakan puisinya di forum-forum internasional. Festival Puisi Adelaide, Austria (1980), International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda (1983) yang kemudian dibukukan. Itu hanya sedikit acara bergengsi yang pernah dia hadiri.
Selain diterbitkan bersama penyair lain, puisi-puisi Darmanto juga dibukukan dalam antologi Sajak-Sajak Manifes (1968), Bangsat (1975), Ki Blaka Suta Bla Bla (1980), Karto Iyo Bilang mBoten (1981), Sang Damanto (1982), dan Golf Untuk Rakyat (1995).
Darmanto di mata murid dan teman-teman seprofesi tetap dianggap sebagai guru. Dosen FISIP Undip Amirudin Ma'ruf menilai bahwa sosok Darmanto adalah penulis yang sukses meramu tiga tradisi yang berkembang. Sastra, ilmu pengetahuan, dan media massa dengan ramuan pas sehingga menghasilkan karya indah.
"Karyanya yang multilingualis-populis sukses menggabungkan perspektif kejawaan dengan ilmu modern dan semesta dunia wayang," kata Amirudin.
Pemikiran Darmanto dalam bidang psikologi, dibukukan dalam Psikologi Jawa (1997). Dalam buku itu, Darmanto sukses mentransformasikan "Ilmu Jiwa Kramadangsa" dari sebuah ngelmu (ilmu perilaku) menjadi sebuah teori baru sebagaimana teori kepribadian Sigmund Freud.
Darmanto juga dikenal sangat gigih melawan ketidakadilan dan perilaku tak seharusnya para penyelenggara negara. Kumpulan puisi Golf untuk Rakyat adalah salah satu bentuk sikap Darmanto atas berbagai penggusuran. Puisi ini diciptakan ketika ramai ada penggusuran hunian warga untuk pembangunan lapangan golf.
Sajak Golf Untuk Rakyat ini pernah dilarang untuk dibaca. Saat itu, Darmanto Jatman diundang oleh Linus Suryadi dkk untuk acara pembacaan puisi di Purna Budaya, Bulak Sumur, Yogyakarta. Tiba-tiba beberapa polisi datang dan mereka menyatakan bahwa sajak itu dilarang untuk dibaca karena suasana di Yogyakarta saat itu sedang kritis. Adanya pembangunan lapangan golf memicu protes masyarakat dengan unjuk rasa. Pasalnya, pembangunan lapangan golf itu sendiri menyebabkan banyak orang termarjinalisasi dan sengsara akibat penggusuran.
GOING HOME - BERPULANG - SOWAN GUSTI"
Berpulang, aku berpulang
Tenang dan damai, aku berpulang
Tidaklah jauh, lewati pintu terbuka
Tugas telah usai, tiada cemas tersisa
Bunda menanti, ayah pun menunggu
Banyaklah wajah yang kukenal,
dari masa lalu
Ketakutan lenyap, kesakitan hilang
Rintangan musnah, perjalanan usai
Bintang fajar terangi jalanku
Mimpi buruk hilang sudah
Bayang-bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Di hidup abadilah aku
Tiada jeda, tiada akhir
Hanya ada kehidupan
Tersadar penuh, dengan senyuman
Untuk selamanya
Berpulang, aku berpulang
Bayang bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Hidup abadi kumulai
Aku kini berpulang
---------
Going home,
I am going home
Quiet like some still day
I am going home
It's not far, just close by
Through an open door
Work all done, care laid by
Never fear no more
Mother's there expecting me
Father's waiting too
Lots of faces gathered there
All the friends I knew
No more fear, no more pain
No more stumbling by the way
No more longing for the day
Going to run no more
Morning star lights the way
Restless dreams all gone
Shadows gone, break of day
Real life has begun
There's no break, there's no end
Just a living on
Wide awake with a smile
Going on and on
Going home,
I am going home
Shadows gone, break of day
Real life has begun
I'm just going home
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar