Ads 468x60px

IMAN KATOLIK MASUK KE INDONESIA



SENSUS HISTORICUS.
REPOST:
IMAN KATOLIK MASUK INDONESIA DENGAN SUSAH PAYAH TAHUN 1850-AN
Belajar sejarah masuknya iman katolik ke Indonesia membuat saya kagum akan para misionaris perintis. Mereka mengalami banyak sekali rintangan dan kesulitan, namun hasilnya adalah kita sekarang ini dapat merasakannya sebagai orang Katolik di Indonesia yang sudah cukup berkembang.
Kalau mau berandai – andai kita bisa bertanya, mengapa iman kristiani yang sudah lebih dulu lahir di daerah Timur Tengah datang ke Indonesia sangat kemudian daripada orang Islam? Dan datang sama – sama dari Belanda, iman Katolik masuk kemudian setelah Protestan?
Akibatnya, Gereja Katolik adalah minoritas dibandingkan dengan umat Islam dan umat protestan. Dan fakta itu tentu ada latar belakang sejarahnya....
Agama Islam datang langsung dari Timur Tengah ke wilayah kita dan sudah mempunyai pengikutnya sebelum pedagang portugis dan VOC Belanda datang.
Memang sebagai data sejarah, iman Kristiani pernah ada di Barus Sumatra Barat abad ke- 7 dan pembaptisan pertama di Ternate oleh pedagang Portugis bernama Gonsalo Veloso tahun 1534.
Namun semuanya itu tidak ada kesinambungannya, lain dengan kehadiran Agama Islam yang sejak pertama datang terus dipelihara oleh para pengikutnya.
Orang bilang, iman Katolik itu datang ke Indonesia memutar dulu ke Belanda. Yesus lahir di Betlehem tanah Yudea sebagai orang Asia, lalu pergi ke Eropa dan datang ke Indonesia sebagai orang asing.
Saya ingat waktu saya masih kecil, di kampungku di Jawa Tengah, kalau ada orang mau masuk Katolik dikatakan, “kowe arep dadi Londo?” (Kamu mau jadi orang Belanda?). Mereka tahunya agama katolik adalah agama orang Belanda.
Saya membaca buku sejarah, bahwa Pastor Jacobus Nelissen Pr yang datang ke Batavia tahun 1808 dalam usia 50 tahun sebagai Prefek Apostolik hanya 9 tahun berkarya dan meninggal di Batavia karena sakit pada tanggal 6 Desember 1817.
Jabatannya sebagai Prefek Apostolik dipegang oleh Pastor Lambertus Prinsen Pr yang waktu datang pertama di Batavia berusia 29 tahun, sehingga saat menjadi prefek apostolik usianya baru 38 tahun. Dan pada saat itu Pastor Lambertus Prinsen berada di Semarang, sebagai stasi dari Batavia.
Tiga belas tahun kemudian, yaitu tahun 1830 Mgr. Prinsen mengundurkan diri karena sakit, yang kalau dihitung usianya baru 51 tahun.
Sekarang ini imam usia 51 tahun baru ditahbiskan menjadi uskup, sedangkan Mgr. Lambertus Prinsen Pr dalam usia 51 tahun sudah berhenti sebagai uskup (prefek apostolik waktu itu) karena sudah sakit.
Pada awalnya yang bisa datang ke Indonesia hanyalah Pastor Diosesan/Praja Belanda yang mendapatkan surat izin dari Pemerintah Kolonial yang disebut het radicaal.
Mereka adalah pastor praja berwarganegaraan Belanda dan mendapat gaji dari pemerintah dan diutus hanya untuk melayani kebutuhan rohani dari orang katolik Belanda dan Eropa.
Dan pemerintah Belanda berhak menempatkan dan memindahkan para klerus. Jadi penempatan para klerus tidak menjadi wewenang prefektur apostolik, seperti seharusnya. Apalagi pemerintahan kolonial Belanda yang beragama protestan memang tidak senang dengan kegiatan misionaris katolik sehingga dilakukan banyak pembatasan. Pembatasan itu antara lain misionaris katolik tidak boleh mewartakan Injil di daerah yang sudah kristen, seperti di Minahasa.
Pemerintah Belanda berpikiran sama dengan penjajah Jepang bahwa pemerintah merasa berhak untuk mengatur pengangkatan dan penempatan uskup dan pastor dengan motivasi berbeda.
Penjajah Jepang karena tidak mengenal agama Katolik; Pemerintah Belanda sangat mengenal agama Katolik dan membencinya. (Fakta ini bisa menjadi pembelajaran yang baik tentang hubungan antara Pemerintah (negara) dan agama. Pemerintah tidak boleh mencampuri agama; dan agama juga tidak boleh mencampuri tugas pemerintah.
Sekarang ini orang – orang masih berjuang untuk mendirikan negara agama. Bagi mereka hubungan antara agama dan negara (pemerintahan negara) belum jelas. Terlebih menjelang pilkada, isu agama akan dimanfaatkan sebagai kendaraan politik untuk mencapai kemenangan).
Ketika pastor Nelissen dan Prinsen datang ke Batavia tahun 1808 mereka menemukan semangat orang Katolik Eropa di Batavia yang acuh tak acuh terhadap agama. Iman sulit ditemukan apalagi dikembangkan.
Selama tahun 1808 itu mereka berdua hanya bisa membaptis 14 orang saja. Satu orang dewasa dari Eropa Timur; 8 anak dari hasil hubungan gelap dan 5 anak dari orangtua yang status perkawinannya sah.... Hal itu menunjukkan betapa parahnya iman di Batavia. Dan kalau di Batavia saja seperti itu, apalagi di daerah – daerah lain.
Iman Katolik di Indonesia memang tumbuh dengn susah payah, banyak pengorbanan dari para perintis yang cepat rusak kesehatannya karena telalu banyak bekerja, iklim tropis yang sangat panas untuk tubuh Eropa mereka dan makan seadanya. Jumlah tenaga sangat sedikit dan daerah yang sangat luas serta pembatasan – pembatasan yang dibuat oleh pemberintah kolonial Belanda menambah kesulitan mereka.
Karel Steenbrink menyebutkan “kasus Grooff” ketika menjelaskan kasus Jan de Vries membaptis banyak orang di Minahasa dan menimbulkan kemarahan pada Gubernur Jenderal Mijer, sehingga Uskup Vrancken tidak berani lagi meminta izin tourne bagi imamnya untuk mengunjungi Indonesia Timur termasuk Mihasa. Mgr. Vrancken ingat akan kasus Mgr. Grooff yang digantikannya itu dengan gubernur Jendral J.J. Rochunsen.
Kasusnya sangat menarik untuk disimak karena masalahnya adalah campur tangan pemerintah Belanda atas kewenangan Gereja Katolik.
Mgr. Jacobus Gooff adalah Vicaris Apostolik Batavia yang pertama, karena tiga pemimpin sebelumnya disebut Prefek Apostolik (Nellisen, Prinsen dan Scholten). Tiga prefek sebelumnya sudah mengetahui aturan main bermisi di Hindia Belanda yatu harus mempunyai het radicaal dari pemerintah Belanda dan semua misionaris mendapat gaji dari pemerintah dan pemerintah berhak untuk mengatur penempatan para klerus.
Mgr. Grooff Pr sebelumnya adalah Uskup di Suriname dan diangkat untuk menjadi Vicaris Apostolik di Batavia. Ia datang pada tanggal 21 April 1845 bersama 4 pastor pembantunya yang tidak memegang het radicaal. Inilah alasan utama perselisihannya dengan gubernur Jendral Jan Jacob Rochusen yang dikenal dengan “skandal Grooff”.
Tapi yang lebih parah lagi adalah karena Mgr. Grooff berfikir seperti di Suriname bahwa Uskup mempunyai hak penuh untuk mengatur penempatan para imamnya dan juga bisa menjatuhkan suspensi bila perlu, seperti memang demikian berlaku dalam Gereja Katolik.
Dari lain pihak, Gubernur Jendral merasa memegang kekuasaan tertitinggi di wilayah jajahan dan bisa mengatur para misionaris juga.
Contoh kasus, ketika Mgr. Grooff menjatuhkan suspensi kepada seorang imam, gubernur Jenderal mau tahu alasan suspensi itu. Uskup menolak memberitahu alasannya karena hal itu adalah hak uskup.
Gubernur Jenderal merasa bahwa sikap Mgr. Grooff itu membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Maka diusirlah Mgr. Grooff bersama para imam pembantunya dan pada tanggal 3 Februari 1946, selang 1 tahun saja dari kedatangannya di Batavia. Mgr. Grooff sebenarnya diangkat menjadi Vicaris Batavia tahun 1842, namun baru bisa datang tahun 1845.
Berita pengusiran Mgr. Grooff terdengar oleh umat Katolik di Belanda yang sedang mengalami toleransi hidup beragama dari Raja William II. Mereka segera menyiapkan aksi dan melancarkan protes, dan mengadakan penyambutan besar – besaran terhadap kedatangan Mgr. Grooff di pelabuhan Helder pada tanggal 11 Juni 1846.
Masalah itu membuat pihak pemerintah kolonial Belanda dan Internuncius untuk Belanda Mgr. Ferrieri turun tangan untuk menyelesaikan masalah.
Perundingan mereka mencapai kesepakan dan disahkan oleh raja Willem II pada tanggal 2 Januari 1847 dengan Nota kesepakatan yang disebut “Nota der punten”. Dalam kesepakatan itu disebutkan:
1. Vicaris Apostolik bertanggungjawab atas administrasi Gereja (art.8) dan berwenang menempatkan serta memutasikan para misionaris (art.3).
2. Jumlah misionaris di Indonesia merupakan urusan Gereja meskipun het radicaal tetap diperlukan (art.11).
3. Gubernur Jenderal berhak menilai apakah melalui pekerjaannya para misionaris itu menjaga keamanan dan ketertiban umum atau tidak (art.7).
Para perintis itu harus berjuang melawan kekuasaan pemerintah kolonial protestan Calvinis Belanda yang anti – katolik; mengatasi masalah sangat kurangnya tenaga misionaris; berhadapan dengan sikap acuh – tak acuh dari orang-orang katolik warta Belanda dan Eropa lainnya; dan anggapan pemerintah Belanda bahwa para misionaris Katolik itu hanya untuk menyediakan pelayanan rohani bagi orang-orang Eropa yang beragama Katolik, bukan untuk mewartakan Injil kepada pribumi; Larangan bagi para misionaris juga untuk mewartakan Injil di daerah yang sudah mendapatkan warta Injil dari Protestan. Dan kesulitan finansial yang harus bergantung pada gaji pemerintah Belanda.
Namun kendati ada banyak kesulitan dan banyak masalah sejak permulaan masuknya iman katolik, perlahan – lahan iman Katolik itu terus tumbuh dan berkembang sampai sekarang. Kalau kita mengingat perjuangan para perintis untuk membuka kebun anggur Tuhan bagi Gereja Katolik di Indonesia ini, kita termotivasi untuk melanjutkan karya keselamatan yang telah mereka rintis itu.
DAFTAR PUSTAKA
Humbert Jacobs SJ, Documenta Malucensia, vol. I (1542 – 1577), Roma, 1974, (758 hlm).
Martin Stigter MSC, Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Manado, dalam buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia 3a, hlm. 467 – 497. Penerbit KWI tahun 1974.
R. Kurris SJ, Sejarah Seputar Katedral Jakarta, Penerbit Obor 1992
Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia 1808 – 1942, A Documented History, Leiden, Nederland, 2003.
Frater Ludolf Bulkmans CMM, Misi Katolik di Keuskupan Manado dan di Maluku Utara pada abad ke 16 dan 17, diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh P. Jacobus Wagey Pr dan disusun dan dilengkapi oleh P. Jan van Paassen MSC, Wisma Transito, Desember 2011.
P. Jan van Paassen, MSC, dan P. Sjaak Wagey Pr, Sejarah Karya MSC di Keuskupan Manado 1920 – 1945, Cahaya Pineleng, 2014.
Paulus Widyawan Wishiasta, Monsinyur Willekens SJ, Uskup Perintis Pribumisasi Pendidikan Imam, dan Pelayan Rohani Umat Katolik Indonesia, Obor, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar