Ads 468x60px

G I F T : DARI GEREJA UNTUK DUNIA



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
G I F T : DARI GEREJA UNTUK DUNIA
SEBUAH KILAS BALIK.
G ENU
I NE
F ROM
T RAPPIST
Rawaseneng! Sebuah dusun kecil, sejuk dan lestari, 14 km dari kota Temanggung Jawa Tengah.
Disanalah, sejak 1 April 1953, sebuah komunitas para pertapa / rahib Trappist yang hidup kontemplatif dalam semangat “Ora et Labora” dan berlindung pada nama “Santa Maria” ini resmi didirikan.
Disanalah, bersama teladan St. Benediktus, mereka menjalani gulat-geliat hidup membiara lewat “dokar”: doa dan karya dalam tiga poros dasarnya: Opus Dei (Berdoa), Lectio Divina (Belajar) dan Opus Manuale (Bekerja tangan)
Disanalah, selain peternakan sapi beserta pengolahan susu roti dan keju, para rahib juga memiliki area perkebunan seluas 178 hektar yang juga memproduksi kopi secara alami dan membumi, asri dan bestari. Sebuah hadiah penuh rasa untuk sesama dan semesta, “GIFT” – “GenuIne From Trappist”
Disanalah setiap pribadi adalah “GIFT” (hadiah), dan setiap perjumpaan adalah tukar menukar hadiah, yang sederhana - yang sungguh mengena karena yang “genuine” alias yang asli itulah yang lengket di hati.

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
"NO MAN IS AN ISLAND....
Tidak seorangpun terpencil seperti pulau"
Meski banyak orang mengenal ucapan itu berasal dari John Donne, tapi kutipan itu sesungguhnya merupakan salah satu judul buku dari Thomas Merton, seorang rahib trapist yang meski tinggal di biara kontemplatif, tapi ia aktif dengan rajin menulis pelbagai tema dunia modern dengan kaitannya dengan nilai-nilai spiritual.
Artinya? Merton mengusahakan diri untuk terkoneksi dengan dunia, meski dia sendiri tinggal di dalam tembok biara yang sarat dengan hidup kontemplasi bisu. Ia tetap ingin memberi arti pada dunia di luarnya, tanpa perlu meninggalkan tempat. Ya, terhubung dengan orang atau ruang lain adalah dorongan alami kita sebagai makhluk sosial, bukan?
Peribahasa “No Man is an Island” tadi sekaligus menggambarkan bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini dapat hidup sendirian tanpa be-relasi dengan orang lain karena jelaslah bahwa manusia bukanlah sebuah pulau yang tak berpenghuni.
Merton yang adalah seorang rahib trappist dari pertapaan Kentucky, Amerika Serikat yang hidup antara tahun 1915-1968 dikenal sebagai seorang penulis rohani ternama pada masanya. Sebagai pembimbing rohani cakap, ia selalu mendorong orang Kristiani untuk mengalami hadirat Allah tidak hanya pada waktu doa dan dalam keheningan tetapi juga dalam rutinitas hidup setiap hari, dalam segala aktivitas dan kesibukan harian kita bersama dengan sesama dan semesta.
Menurutnya, karena oleh inkarnasi Allah telah menyucikan kehidupan manusia, maka pengalaman akan Allah atau pengalaman kontemplatif tidak bertumbuh di luar konteks hidup manusia tetapi di dalam konteks kehidupan rutin manusia.
Ia menyebut ini sebagai "kontemplasi tersamar". Kontemplasi tersamar ini mau menggambarkan bahwa orang berjumpa dan mengalami Allah dalam pelayanan, dalam kesibukan hariannya, dalam pekerjaan rutinnya. Bahwa seseorang itu adalah seorang kontemplatif tersamar, itu terungkap tatkala ia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa-biasa saja tetapi dengan semangat yang luar biasa. Dalam Bahasa Thomas Merton: "Tuhan bisa melakukan berbagai perkara penting melalui cara sederhana dan tak terduga.’’
Lebih lanjut seputar inkarnasi Allah dimana "Yang Mulia" Menyentuh "hidup kita, yang hina". Ya, oleh peristiwa inkarnasi – "Allah menjadi Manusia", Allah mengenakan kodrat manusiawi kita dan menyentuh segala aspek hidup kita dengan segala situasi yang mengitarinya. Dalam kata-kata Thomas Merton, "Dengan inkarnasi, Allah menjadikan kudus manusia dan kehidupannya. Allah menyucikan kehidupan kita" .
Kata-kata Merton ini mau menghapus segala bentuk dualisme yang membedakan antara rohani dan duniawi, antara yang suci dan tidak suci. Baginya, semuanya adalah suci. Bila segalanya suci berkat inkarnasi, maka bagi kita segala tempat dan saat itu adalah tempat dan saat suci, tempat dimana kita mesti "menanggalkan kasut kita" dan berdoa kepada Allah. Bila segala tempat itu tempat suci, maka kita dapat berdoa dan bermeditasi dimanapun juga kita berada - di gereja atau di luar gereja, entah di hutan, di ladang, di rumah, di jalan - termasuk di tempat dimana kita bekerja dan beraktivitas.
Selain itu, karena oleh Inkarnasi Allah menyucikan kehidupan manusia maka bagi orang yang suci hatinya, "saat dimana kita sedang berada dan beraktivitas" ("saat kini" - present moment) adalah "saat yang suci". Jadi, baginya "saat kini" atau "saat ini" dapat menjadi sebuah saat yang kontemplatif dimana hatinya terbuka dan terarah kepada Allah. Barangkali kata-kata puitis Thomas Merton berikut membantu:
Bunga ini,
Cahaya ini,
Saat ini,
Keheningan ini:
DOMINUS EST AETERNUM!
Merton ingin mengajak kita untuk menyadari bahwa "saat kini" itu suci. "Saat kini" akan menjadi sebuah dialog tanpa henti dengan Allah – saat intim, saat persatuan.
Itulah sebabnya mengapa penulis rohani besar asal Perancis abad ke-17, Jean Pierre de Caussade (1675-1751), menyebut "saat kini" sebagai "Sakramen saat kini" (The sacrament of the present moment) yaitu tanda yang mengingatkan kita bahwa Allah hadir menyertai kita dan membimbing kita. Maka: bila "saat ini suci" maka kita dapat berdoa entah pada waktu-waktu doa maupun di luar waktu doa – termasuk waktu kita bekerja, kita sibuk dan beraktivitas.
"Hadir saat kini dan disini" lebih jauh berkembang dalam Injil Matius ketika Yesus disebut "Imanuel" atau "Allah menyertai kita" (Mat 1:23). Teologi St. Paulus tentang Roh Kudus meneguhkan makna kehadiran ini: "Roh Allah diam di dalam kamu" (Rm 8:9). Artinya kemana kita pergi, dimana dan kapanpun kita berada, Allah selalu "Allah beserta kita". Kita tidak dapat mengatakan bahwa ketika kita berada di suatu tempat atau berada dalam suatu situasi, Allah tidak hadir disitu. Ya, tidak bisa karena Ia adalah "Allah yang selalu hadir"
Di dalam tradisi, Regula St. Benediktus (bab 19:1) menegaskan bahwa "kita percaya bahwa kehadiran ilahi itu dimana-mana". Sementara itu St. Ignatius dari Loyola mengajar kita untuk menemukan Allah di dalam segala sesuatu. Doa pembukaan pada Hari Minggu Biasa ke-enam menggemakan hal senada ketika kita berdoa: "Bantulah kami untuk hidup di dalam kehadiranMu".
Tradisi-tradisi itu memperlihatkan bahwa "dimana kita berada – saat kini dan disini – Allah hadir. Dan karena itu kita selalu bisa menemukan Dia kapan dan dimanapun.
"Bila Allah itu Saat kini" maka kalau kita menaruh perhatian pada siapa dan apa yang kita alami dan kita lakukan saat kini, maka kita akan terbantu untuk menyadari Dia selalu pada segala waktu. Dengan menaruh perhatian pada saat kini, kita memberikan perhatian kita pada Dia – "Sang Kehadiran" yang senantiasa ada-hadir pada saat kini. Tradisi kita menyebutnya "age quod agis", melakukan apa yang sedang kita lakukan, atau hidup "hic et nunc" – hidup disini dan saat kini, atau sering juga disebut sebagai "mindfulness"
Akhirnya: Thomas Merton dalam No Man is an Island (1955) menulis: “Betapa pun manusia dan dunia ini tampaknya rusak, dan betapapun keputusannya sangat memilukan, selama ia terus bertahan menjadi manusia yang hidup "hic et nunc", kemanusiaannya akan terus mengingatkannya bahwa kehidupan itu sungguh ada maknanya.”
B.
Selayang Pandang :
Trappist Monks.
Tiga pilar dalam keseharian para rahib trappist, yang sejak zaman dahulu menjadi tiga latihan dasar bagi pembentukan hidup kerahiban, antara lain:
"Berdoa" : OPUS DEI.
"Belajar" : LECTIO DIVINA.
"Bekerja" : OPUS MANUALE.
- OPUS DEI.
Berdoa bersama- sama dengan komunitas menurut waktu, liturgi offisi, (dan berdoa secara pribadi). Bersama para saudaranya, rahib mengambil bagian dalam ibadat liturgis gerejani, yang disebut Ibadat Harian. Mereka memuji dan memohon kepada Allah di dalam Gereja dan sebagai anggota Gereja. Sebagai bagian dari Gereja, mereka bertugas menampakkan wajah Gereja yang berdoa. Ibadat Harian akan mandul tanpa berbuah kalau tidak dijiwai secara pribadi. Oleh karena itu rahib harus meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi. Selain berfungsi sebagai jiwa ibadat, doa pribadi juga dimaksudkan untuk memperdalam hidup batin rahib. Doa batin-pribadi dengan doa liturgis-bersama saling mengisi dan memperkaya. Keduanya menjadi sarana utama bagi rahib untuk berdialog terus-menerus dengan Allah.
- LECTIO DIVINA.
Belajar, membaca aneka bacaan rohani dan terlebih kitab suci.
Karena pada dasarnya doa merupakan dialog, maka pertama-tama rahib harus bersikap mendengarkan. Latihan mendengarkan suara Allah ini dilaksanakan secara khusus dalam bacaan suci atau Lectio Divina. Lectio Divina dapat diartikan sebagai bacaan yang bemuara ke dalam doa. Karena itu dalam Lectio Divina ada unsur-unsur: membaca teks, meresapkannya dalam hati dengan cara mengulang-ulang, lalu secara spontan mengucapkan doa sebagai jawaban atas sentuhan rahmat yang diperoleh melalui teks tersebut. Bahan utama Lectio Divina adalah Kitab Suci. Khususnya dengan mendengarkan suara Allah secara terus menerus dalam Kitab Suci, rahib semakin belajar dibentuk dan diresapi oleh semangat Allah sendiri; ia semakin ditarik oleh-Nya untuk bersatu denganNya.
- OPUS MANUALE.
Bekerja, melakukan pekerjaan tangan.
Tentu saja rahib tidak dapat hidup hanya dengan berdoa. Rahib harus bekerja juga. Kerja rahib terutama untuk mencari nafkah yang diperlukan bagi hidupnya. Menurut S. Benediktus rahib harus hidup dari hasil keringatnya sendiri, bukan dari bantuan atau derma orang lain. Kerja di sini dapat dilihat pertama-tama sebagai suatu pelayanan dan pengabdian bagi sesama saudaranya sebiara. Hasil dari pekerjaan tangan untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari para rahib dan untuk merawat biara.
Para rahib sendiri menjalani hidup kontemplatif, artinya tidak memiliki ambisi pribadi, tetapi memusatkan diri pada doa, berdoa untuk dunia, dan untuk ujud -ujud. Mereka tinggal bersama di dalam suatu lingkungan tertutup yang mandiri, mengurus kebutuhan sendiri, memiliki pemakaman dan tempat perawatan sendiri bagi yang sakit, namun juga tidak menolak bantuan dari luar sesuai keadaan dan kebutuhan.
Jelasnya, mereka mengambil "tata hidup kerahiban", secara jelas dan terpilah, clara et disctinta, al:
- Sumpah kemiskinan :
Tidak memiliki harta pribadi, melainkan segala sesuatu adalah milik bersama / milik biara. Tidak memiliki kelekatan teratur, tapi menjadi pribadi beriman yang lepas bebas, homo relugiosus yang bersahaja, simply deeply lovely.
- Sumpah kemurnian :
Hidup bertarak atau selibat alias tidak menikah seumur hidup; "high quality jomblo".
- Sumpah ketaatan :
Taat pada ajaran Gereja, pada PSB / Peraturan Santo Benediktus, patuh pada pimpinan biara / Abas; "obedientia sicut cadaver", ketaatan seperti mayat, dari egosentris beralih ke kristus sentris.
- Sumpah kesetiaan :
Stabilitas loci, tinggal bersama untuk selalu bersatu di dalam komunitas seumur hidup, cor unum et anima una, sehati sejiwa.
- Sumpah pertobatan:
Dimensi "silih", untuk terus maju dalam semangat pertobatan dan dalam menjalani hidup spiritual, yang jika semakin dalam semakin menyadari banyak yang masih perlu terus dilakukan dengan lebih baik.
Pastinya:
Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang dibaktikan kepada doa. Seorang rahib mengundurkan diri dari “dunia” dan sesama saudaranya, bukan karena, ia tak mau ambil pusing akan keselamatan mereka, melainkan karena dengan pangilannya itu ia justru ingin menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Apakah yang ingin disumbangkannya?
Secara singkat dapat dikatakan panggilan seorang rahib mengingatkan sesamanya akan nilai-nilai rohani yang harus diperjuangkan dan dijunjung tinggi.
Seorang rahib menjadi semacam tanda, suatu petunjuk, untuk memberikan kesaksian akan keagungan kasih Allah dan akan per-saudaraan akan semua orang dalam Kristus. Itulah panggilan hidupnya, sekaligus sumbangannya yang utama.
Panggilan hidup itu dijalankan dalam kesunyian. Kesunyian yang merupakan sarana untuk memudahkan setiap orang bertemu dengan Tuhan, bagi rahib menjadi suatu kebutuhan permanen dalam menghayati panggilan hidupnya. S. Antonius Abas pernah berkata, “Sebagaimana ikan akan mati jika terlalu lama ditaruh di darat, demikian pun rahib akan hancur jika terlalu lama tinggal di luar kesunyian”.
Sebagai jawaban atas kasih Allah, rahib menjalani hidup yang dibaktikan kepada doa ini melalui sarana-sarana kerahiban lainnya: ketaatan, hidup wadat, kemiskinan, berjaga dan berpuasa, kekerasan hidup, kerja tangan, bacaan suci, ibadat bersama dan doa pribadi dalam keheningan. Semua sarana itu merupakan akibat dan tujuannya untuk hidup melulu bagi Allah.
Melalui semua sarana itu, rahib ingin mengungkapkan tekadnya untuk menjadikan Allah sungguh-sungguh pusat hidupnya. Dengan rendah hati dan tak kunjung henti, dengan segala usaha, ia mencari wajah Allahnya. Ia ingin seluruh hidupnya berakhir dan tercurah habis di hadapanNya dan untuk Dia. Karena Ia berhak atas persembahan diri itu. Hanya Dia melulu yang berhak memiliki persembahan hidup seutuhnya. Itulah hidup yang biasa disebut Kontemplatif, hidup yang sama sekali diarahkan sepenuhnya kepada persatuan dengan Allah.
Cita-cita hidup yang sederhana, mendalam dan indah ini tak dapat diraih tanpa pengurbanan. Seperti seseorang menemukan harta tak ternilai yang merebut seluruh minat perhatiannya, sehingga ia rela meninggalkan segalanya demi memiliki harta yang telah mempesona hatinya.
Begitulah kira-kira panggilan seorang rahib! Ia rela mengurbankan suatu kebaikan dan cinta demi kebaikan dan cinta yang lebih besar lagi. Hanya dengan keyakinan dan kesadaran inilah orang akan bertahan dengan tekun dan setia dalam panggilannya sebagai rahib. Ia melihat dalam hidup kerahibannya suatu panggilan akan adanya nilai yang lebih dan nilai-nilai lainnya, bahkan suatu nilai yang paling tinggi dan mutlak.
Kesadaran dan keyakinan inilah yang menyebabkan ia rela berjuang, bersama dan di dalam Kristus tanpa memanjakan diri sendiri, untuk mengalahkan kelekatan pada aku-nya supaya melekat pada Allah melulu. Inilah perjuangan yang membebaskan dia, sehingga menjadikan ia mampu mencintai Allah dengan segenap hati, segenap akal budi dan segenap tenaga. Itulah dambaan setiap rahib
C.
Ordo Cisterciensis/Trappist.
Pada tahun 1098, sejumlah rahib dari biara Benediktin (OSB) di Molesme, Perancis, dipimpin oleh S. Robertus, Alberikus dan Stefanus Harding, meninggalkan biara mereka dan membuka hutan Citeaux (dekat kota Dijon) sebagai tempat untuk biara mereka yang baru.
Di Citeaux ini, mereka menjalankan hidup bertapa secara keras, yang mereka anggap lebih sesuai dengan semangat asli S. Benediktus.
Mereka khususnya menekankan kesederhanaan dan kerja tangan, yang menurut hemat mereka sudah kurang mendapat perhatian di biara Molesme. Dari nama Citeaux inilah muncul nama Ordo Cisterciensis.
Beberapa waktu lamanya tak seorangpun mau menggabungkan diri dengan para rahib Citeaux, karena takut melihat cara hidup mereka yang keras.
Hal ini membuat para rahib gelisah dan putus asa. Siang malam dengan mencucurkan air mata mereka mohon panggilan kepada Tuhan. Ternyata doa mereka tidak sia-sia. Pada tahun 1112, di luar dugaan, rahmat Allah mengirimkan pemuda Bernardus bersama 30 orang sanak saudara dan temannya sekaligus masuk biara Citeaux.
Berkat pengaruh S. Bernardus dalam beberapa dekade saja Ordo Cisterciensis meluaskan sayapnya di benua Eropa.
Sebelum S. Bernardus wafat pada tahun 1153, sudah tersebar hampir 350 buah biara Cisterciensis di seluruh Eropa. Sayang kejayaan ini tidak bersifat langgeng. Sejak abad XIV kemerosotan mulai menggerogoti Ordo, kecemerlangan Cisterciensis semakin memudar. Kemerosotan ini antara lain disebabkan juga oleh wabah penyakit pes, peperangan-peperangan, skisma dan timbulnya Reformasi Protestan.
Meskipun demikian tiap kali ada saja biara-biara yang ingin membarui diri. Dalam abad XVII ada juga biara-biara yang ingin kembali ke semangat asli dan menamakan diri biara-biara Observansi Tertib.
Salah satu di antaranya adalah biara La Trappe yang dari tahun 1664- 1700 dipimpin oleh Abas De Rancé.
Adapun, semangat pembaruan biara La Trappe mempunyai pengaruh besar terhadap biara-biara lainnya di Perancis.
Pada Revolusi Perancis (akhir abad XVIII) hampir semua biara Cisterciensis, baik di Perancis maupun di negara-negara lainnya, disapu bersih oleh Napoleon.
Sesudah jatuhnya. Napoleon (1814) para rahib yang masih bertahan mendirikan biara-biara lagi. Sejak waktu itu para rahib yang melanjutkan pembaruan La Trappe lebih dikenal sebagai rahib Trappist. Sebagian dari biara-biara Cisterciensis yang tidak mengikuti pembaruan La Trappe juga hidup kembali.
Dengan demikian, dewasa ini ada dua Ordo Cisterciensis yaitu: Sacer Ordo Cisterciensis (S.O.Cist.) yang juga disebut Ordo Cisterciensis Observansi Umum dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau Ordo Cisterciensis Observansi Tertib, yang juga dikenal sebagai Ordo Trappist.
Kedua Ordo tersebut terdiri dari biara-biara rahib dan biara-biara rubiah. Dengan kata lain kedua Ordo terdiri dari dua cabang, yaitu cabang pria dan cabang wanita
=====
Pertapaan Rawaseneng.
Rawaseneng adalah nama sebuah desa kecil, 14 Km dari kota Temanggung di Jawa Tengah. Agak jauh dari desa, di pelosok, berdampingan dengan masyarakat pedesaan terletak sebuah pertapaan dari Ordo Trappist.
Sebelum digunakan untuk pertapaan, pada tahun 1936 berdirilah di sana sekolah pertanian asuhan para Bruder Budi Mulia.
Ketika pecah "clash action" pada tahun 1948, sekolah beserta asrama, biara dan bangunan gereja yang ada, dibumihanguskan sehingga tinggal puing-puing.
Pada tahun 1950 datang ke Indonesia Pater Bavo van der Ham, seorang rahib Trappist dari biara Koningshoeven-Tilburg, negeri Belanda, untuk menjajaki segala kemungkinan bagi pendirian biara cabang.
Setelah mengunjungi beberapa tempat di Jawa Tengah, akhirnya pilihan jatuh pada Rawaseneng. Mulailah dibangun pertapaan di atas puing-puing bekas sekolah pertanian.
Tiga tahun kemudian, tanggal 1 April 1953, pertapaan Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng di buka secara resmi sebagai cabang dari pertapaan induk di Tilburg.
Sedikit demi sedikit berdatangan para pemuda yang ingin menggabungkan diri. Sehingga pada tanggal 26 Desember 1958 pertapaan Rawaseneng diangkat menjadi biara otonom dengan status keprioran.
Pada tanggal 23 April 1978 dalam rangka Pesta Perak berdirinya biara, status pertapaan maju setapak lagi menjadi Keabasan. Rm. Frans Harjawiyata terpiih menjadi Abasnya yang pertama.
Rawaseneng sendiri merupakan satu-satunya biara Trappist pria di Indonesia. Tetapi pada akhir tahun 1995 pertapaan Rawaseneng mulai mengadakan pra fundasi di Flores di Keuskupan Larantuka. Jumlah anggota pertapaan Rawaseneng pada awal tahun 1996 ada 47 rahib. Biara Trappist wanita sudah dibuka secara resmi pada awal tahun 1987 di Gedono, dekat Salatiga, Jawa Tengah.
=====
Rahib Senobit.
Rahib Cisterciensis termasuk golongan rahib senobit. Karena itu kehidupan bersama termasuk inti hidup mereka. Hidup bersama ini dinamakan juga hidup berkomunitas.
Kebersamaan ini terutama terletak dalam kebersamaan semangat, kebersamaan hati. Tetapi kebersamaan hati perlu diungkapkan dalam kebersamaan lahir. Karena itu dalam biara banyak latihan bersama: doa bersama, kerja bersama, makan bersama. Semua itu merupakan sarana untuk saling menguatkan dalam mengejar cita-cita bersama.
Tetapi dalam biara Cisterciensis, kesunyian juga termasuk inti hidupnya. Maka baik kebersamaan maupun kesunyian harus dijaga dan dijamin. Para rahib harus mengusahakan adanya keseimbangan antara kesunyian dan komunikasi.
Kesunyian di sini bukan berarti membisu total seumur hidup. Komunikasi antar sesama rahib diperkenankan meskipun dibatasi dan dengan tetap menjaga suasana hening dalam biara. Di samping latihan bersama ada juga saat-saat hening yang dapat digunakan secara leluasa oleh rahib sendiri-sendiri.
Setiap kehidupan bersama mengandaikan adanya seorang pemimpin. Begitupun setiap biara Cisterciensis yang bercorak senobit. Pemimpin biara disebut Abas, artinya bapak rohani.
Menurut S. Benediktus, bapak rohani yang sesungguhnya di dalam biara adalah Kristus sendiri. Abas diimani sebagai wakil Kristus dalam biara. Karena itu Abas harus memimpin para rahibnya menurut semangat Kristus sendiri, yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Abas harus melihat tugasnya lebih sebagai suatu pengabdian.
Abas berperanan penting untuk menyatukan komunitas dalam mengejar cita-cita bersama. Ia juga menyadarkan dan mengarahkan komunitas kepada cita-cita Ordo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar