LATIHAN ROHANI
PAUS FRANSISKUS DAN KURIA ROMA
(Hari 5/Hari Terakhir : 23 Februari 2018) : "SABDA BAHAGIA RASA DAHAGA"
Paus Fransiskus dan Kuria Roma mengakhiri latihan rohani mereka pada hari Jumat pagi 23 Februari 2018 yang dimulai pada hari Minggu malam 18 Februari 2018.
Meditasi terakhir Pastor José Tolentino Mendoça berfokus pada "Sabda Bahagia Rasa Dahaga" yang mengakhiri serangkaian meditasi tentang rasa dahaga.
Sabda Bahagia : Matius mengambil tempat adegan di bukit. Oleh karena itu kita mengerti bahwa "ia sedang menciptakan kesejajaran antara Yesus dan sosok Musa - antara pemberian Hukum Lama, Dasa Firman, dan pemberian Hukum Baru, Sabda Bahagia", Pastor Tolentino mengawali.
Pastor Tolentino melanjutkan dengan mengatakan bahwa Sabda Bahagia lebih dari sekedar hukum. Sabda Bahagia adalah "konfigurasi kehidupan, panggilan keberadaan yang sesungguhnya". Dengan cara ini, Sabda Bahagia mencerahkan jalan bagi Gereja dan bagi umat manusia ketika kita berjalan menuju cakrawala eskatologis.
Sabda Bahagia Yesus bukan hanya kata-kata yang Ia wartakan. "Sabda Bahagia memainkan peran sebagai kunci untuk membaca keseluruhan hidup-Nya". Kita menemukan di dalam diri Yesus suatu model untuk menjalani masing-masing Sabda Bahagia.
Terutama, bagi kita umat kristiani, Sabda Bahagia adalah "potret diri Dia yang mengucapkannya". Pastor Tolentino mengatakan bahwa bagi Yesus potret diri ini "adalah gambaran diri-Nya sendiri yang terus-menerus diungkapkan-Nya kepada kita dan membekas pada hati kita. "Potret diri adalah model yang seharusnya kita gunakan untuk" mengubah gambaran kita sendiri".
Allah menginginkan kehidupan kita sesuai dengan Sabda Bahagia. Hal ini mendorong Pastor Tolentino untuk mengajukan pertanyaan : "Tetapi apa yang telah kita dapatkan dari Injil Sabda Bahagia? Bagaimana kita telah mewartakannya? Bagaimana kita mengamalkannya?" Apakah kita melihat orang-orang yang berkabung, orang-orang yang membutuhkan penghiburan, orang-orang yang lapar dan dahaga akan keadilan, para pembawa damai? Jika kita melakukannya, Pastor Tolentino mengamati, "dengan berada di pihak mereka", Gereja akan menemukan kembali perutusannya.
Perumpamaan yang paling baik untuk menggambarkan "orang-orang yang berbahagia" adalah perumpamaan para tamu pernikahan (Luk 14:15-24). Setelah tamu undangan menolak datang, "orang miskin, orang timpang, orang buta, dan orang lumpuh" diundang. "Gereja bukanlah swbuah klub eksklusif, tertutup, senang dalam mengukur siapa yang akan dikucilkan. Gereja harus tetap membuka pintu dan, dengan kunci yang menyertakan, di dalam dirinya cermin persimpangan jalan dunia".
Dalam meditasinya pada hari Kamis siang 22 Februari 2018, Pastor José Tolentino Mendoça mengajak untuk mendengarkan rasa dahaga orang-orang yang tinggal di pinggiran. Dengan melakukan itu, ia berkata, "Gereja akan menemukan kembali dirinya".
Menjaga agar mata kita tetap terbuka untuk melihat apa yang sedang terjadi di dunia ini sangat penting bagi kehidupan rohani, kata Pastor Tolentino. Jika tidak, kita menjadi nyaman dan kita menghindari tanggung jawab sosial kita. Ia mengingatkan kita bahwa "suara Allah seharusnya selalu menghadapkan kita dengan pertanyaan primordial : 'Di manakah saudaramu'?".
Pertanyaan rohani tentang rasa dahaga akan tetap tidak lengkap jika tidak membawa kita lebih dekat terhadap "rasa dahaga harfiah dan dasariah yang menyiksa dan membatasi keberadaan begitu banyak orang sezaman kita", katanya. 30% penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air minum di rumah-rumah mereka. Inilah rasa dahaga yang dijalani oleh orang-orang yang berada di pinggiran yang menyerukan sebuah "penyesuaian yang mendesak dari pertobatan otentik kehidupan dan hati", kata Pastor Tolentino.
Yesus memahami orang-orang yang hidup di pinggiran. Ia lahir di pinggiran Bethlehem, bukan di kota. Ia tinggal di Nazaret "sebuah nama yang sangat tidak penting sehingga merupakan salah satu tempat langka yang tidak pernah disebutkan namanya di manapun dalam Perjanjian Lama".
Dan "Galilea tidak mungkin" menjadi tempat yang dipilih untuk pemberitaan Kerajaan Allah. Pesan Yesus menemukan jalannya ke pinggiran. Dan seperti dilaporkan dalam penutup pertama Injil Markus, bahkan setelah kebangkitan-Nya, Yesus ingin bertemu dengan murid-murid-Nya "sekali lagi di pinggiran : 'Ia mendahului kamu ke Galilea'" (Mrk 16:7).
Memilih "pinggiran ada dalam DNA umat kristiani", Pastor Tolentino melanjutkan. Di setiap jaman, dan di setiap tempat, di situlah umat kristiani bertemu dan bertemu kembali dengan Yesus. Dengan demikian, "Kekristenan adalah kenyataan yang bersifat pinggiran .... Bagi Gereja, pinggiran bukanlah masalah tetapi cakrawala".
Hanya dengan bergerak keluar dari dirinya, Gereja dapat menemukan semangat misioner baru. Dengan cara ini, "yang tidak pernah terdengar terjadi : hanya dengan bergerak keluar dari dirinya, Gereja dapat menemukan kembali dirinya". (PS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar