HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Rabu, 18 Juli 2018
Hari Biasa Pekan XV
Yesaya (10:5-7.13-16)
(Mzm 94:5-6.7-8.9-10.14-15)
Matius (11:25-27)
“Per tutto stato di gratia - Untuk semua yang sudah terjadi katakanlah terima kasih.”
Yesus berkata (berdoa): "Aku bersyukur kepada-Mu, ya Bapa, Tuhan langit dan bumi! Sebab semuanya itu Kau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Kau nyatakan kepada orang kecil."
Injil hari ini mewartakan bahwa Yesus berdoa dengan penuh syukur kepada Allah sebagai Bapa-Nya. Ia menyebut Allah sebagai Bapa, Tuhan langit dan bumi! Allah Bapa telah menyatakan kasih-Nya bukan kepada orang bijak dan pandai, tetapi orang kecil.
Dengan kata lain:
Kita diajak memiliki hati yang sederhana lagi bijaksana, mudah bersekutu daripada menggerutu, mudah bersyukur daripada berkeluh, mudah berbahagia daripada murung dalam aneka rasa kecewa.
Lebih lanjut, dalam doa-Nya, Yesus mengingatkan kita bahwa kesombongan dapat menjauhkan kita dari kasih dan pengenalan akan Allah sebagai Bapa kita. Yesus bersyukur kepada Bapa dengan wajah sebagai seorang anak yang sangat mengasihi Bapa karena Bapa juga sangat mengasihiNya. Ini mengungkapkan sebuah relasi pribadi yang sangat mendalam antara mereka.
Bagaimana dengan kita?
Pada kenyataannya, ada dua hal yang sering membuat kita tak mudah bersyukur, yakni:
Pertama:
Kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Dalam bahasa saya: “jika kita tak punya apa-apa yang kita cintai, maka cintailah apa-apa yang kita punyai.”
Kedua:
Kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Dalam bhs populer: rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau daripada rumput di pekarangan sendiri.
Bagaimana dengan hidup kita sendiri? Sudah bersyukurkah kita?
"Burung tekukur di Pasar kenari - Mari bersyukur setiap hari."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
"Oratio sit brevis et pura - Doa itu seharusnya singkat dan sederhana!"
Inilah salah satu seruan dasar St Benediktus soal vitamin "D" (DOA). Sebenarnya selain vit D, kita juga mempunyai dua vitamin lainnya dalam iman kristiani, yakni "C" (CINTA) dan "E" (EKARISTI).
Bicara soal vit "D" yang bisa berarti "Dikuatkan Oleh Allah", Yesus hari inipun juga berdoa kpd BapaNya dengan 3 sikap dasar, antara lain:
1."Sukacita":
"Aku bersyukur kepadaMu, ya Bapa, Tuhan langit dan bumi." Ia membuka doanya bukan melulu meminta-minta tapi selalu dilandasi dengan hati yang penuh sukacita. Inilah dimensi dan relasi doa yang kadang kita lupakan bahwa doa bukan melulu bernuansa dan rasa permohonan tapi juga terlebih ucapan syukur atas pemeliharaan dan penyelenggaraan ilahi setiap harinya.
2."Setia":
Ia setia tidak hanya sebagai "healer/penyembuh dan teacher/pengajar" tapi juga sebagai "prayer/pendoa". Ia tidak hanya setia "sibuk untuk Allah" tapi juga setia "sibuk dengan Allah": Ia setiap pagi dan malam pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa kepada BapaNya .
3."Sederhana":
Ia mencintai orang kecil dan sederhana, "small is beautiful". Ia menegaskan bahwa misteri Kerajaan disembunyikan bagi org bijak dan pandai tapi dinyatakan kepada orang kecil dan sederhana.
Ia mengajak kita miskin di hadapanNya supaya mudah dibentuk olehNya, menjadi orang yang tulus dan rendah hati karena Ia datang juga sebagai Allah yang tulus dan mencintai kesederhanaan dan kerendahan hati, sebagai bayi di Betlehem, sebagai anak tukang kayu di Nazareth, sebagai yang tersalib hina di Yerusalem dan terlebih dalam setiap ekaristi lewat hosti terkudus.
Bagaimana dengan hidup kita sndiri? Sudahkah ber-"S3" setiap hari: sukacita-setia dan sederhana?
"Dokter gigi pergi ke Brastagi - Semangat pagi & selamat berbagi."
B.
"O punctae simplicitas - O titik titik kesederhanaan."
Inilah salah satu rubrik dalam blog saya yang berisi "apogthematha patrum dan kateketis pakhomius", semacam renungan-renungan singkat dan sederhana dari para bapa padang gurun tentang kristianitas.
Hari ini, Yesus juga menegaskan kecintaannya pada orang-orang sederhana: “Aku bersyukur kepadaMu, Bapa Tuhan langit dan bumi! Sebab semuanya itu Kausembunyikan bagi orang bijak dan pandai tapi kaunyatakan kepada orang kecil."
Jelasnya, Ia mengajak kita mempunyai 3 matra dasar sederhana, al:
1. "Option":
Ia mengajak kita untuk "berpihak" pada orang kecil: Ini mengandaikan adanya keberpihakan sekaligus keterlibatan pada orang yang "sederhana", kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difable, yang miskin sapaan, yang kecil harapan dan juga yang etrsingkir/disingkirkan dalam hidupnya. Bukankah Tuhan sendiri datang sebagai "yang sederhana", yang kecil dan tersingkir, yang membiarkan dirinya tersepak oleh dunia"?
2. "Action":
Ia inginkan supaya kita "bertindak" secara sederhana: Artinya: Kita diajak untuk mau bersikap rendah hati dan "miskin" di hadapan Allah karena sebenarnya hanya orang yang tulus, yang mau merendahkan diri dan merasa kecil di hadapanNya lah yang siap untuk diisi dan dipenuhi dengan limpahan rahmat Allah sendiri.
3. "Passion":
Ia mengajak kita untuk "berjiwa" sederhana, mudah melihat Allah pada hal-hal sederhana dan menjadi orang yang ber-com "passion"; tergerak hatinya pada orang-orang sederhana, sehingga wajah Allah bisa sungguh kita hadirkan lewat kata-kata dan tindakan sederhana kita. Memang, kita tidak bisa selalu melakukan hal-hal besar, tapi kita selalu bisa melakukan hal hal kecil dengan cinta yang besar bukan?
"Cari celana di Permata Buana - Biar sederhana tapi selalu kaya makna".
C.
Kutipan Teks Misa:
Melalui kekayaan duniawi kita harus mendapatkan bagi diri kita sendiri kekayaan yang sejati dan abadi itu: sungguh, jika ada orang-orang yang siap untuk mengambil segala bentuk cara ketidakjujuran demi menjamin keadaan jasmani mereka sendiri yang senantiasa tak terduga, betapa terlebih lagi kita umat Kristiani harus peduli untuk mempersiapkan kebahagiaan kekal kita dengan barang-barang dari dunia ini (bdk. Risalat, 359, 10). Sekarang, satu-satunya cara untuk menghantarkan bakat-bakat dan kecakapan pribadi kita serta kekayaan yang kita miliki pada tujuan akhir kekekalan adalah dengan membagikannya pada sesama, dengan demikian menunjukkan bahwa kita adalah bendahara-bendahara yang baik dari apa yang Allah percayakan kepada kita. Yesus bersabda: "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar" (Lukas 16:10). (Paus Benediktus XVI, bdk. St. Agustinus)
Janganlah pernah memikirkan dosa-dosa masa lalumu terkecuali dalam terang kerahiman yang tak terhingga. --- St. Katarina Laboure
Antifon Pembuka (Mat 11:25)
Terpujilah Engkau Bapa, Tuhan langit dan bumi, sebab misteri kerajaan Kaunyatakan kepada kaum sederhana.
Doa Pembuka
Allah Bapa kami di surga, Engkau berkenan mewahyukan diri kepada kami, asal hati dan budi kami terbuka sebagaimana anak-anak. Kami mohon, ajarilah kami memahami Engkau dan tahu bersyukur atas segala anugerah-Mu. Dengan pengantaraan Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.
Bacaan dari Kitab Yesaya (10:5-7.13-16)
"Adakah kapak memegahkan diri terhadap orang yang memakainya?"
Beginilah Tuhan bersabda, "Celakalah Asyur, yang menjadi cambuk murka-Ku dan yang menjadi tongkat marah-Ku! Aku akan mengerahkannya melawan bangsa yang murtad. Aku akan memerintahkannya melawan umat sasaran murka-Ku. Asyur akan melakukan perampasan dan penjarahan, dan akan menginjak-injak mereka seperti lumpur di jalan. Tetapi Asyur sendiri tidak demikian maksudnya tidak begitu rancangan hatinya. Niat hatinya ialah hendak memunahkan dan melenyapkan banyak bangsa." Sebab Asyur berkata, "Dengan kekuatan tanganku aku telah melakukannya, dengan kebijaksanaanku aku telah melaksanakannya, sebab aku berakal budi. Aku telah meniadakan batas antara bangsa, aku telah merampas persediaan mereka. Dengan perkasa aku telah menurunkan orang-orang yang duduk di atas takhta. Seperti menjangkau sarang burung, tanganku telah menjangkau kepada kekayaan bangsa-bangsa. Dan seperti orang meraup telur-telur yang ditinggalkan induknya, demikianlah aku telah meraup seluruh bumi, dan tidak seekor pun yang menggerakkan sayap, yang mengangakan paruh atau yang menciap-ciap." Maka beginilah firman Tuhan, "Adakah kapak memegahkan diri terhadap orang yang memakainya? Atau gergaji membesarkan diri terhadap orang yang mempergunakannya? Seolah-olah gada menggerakkan orang yang mengangkatnya. Atau tongkat mengangkat orang yang bukan kayu? Sebab itu Tuhan semesta alam akan membuat orang-orangnya yang tegap menjadi kurus kering, dan segala kekayaannya akan dibakar habis, dengan api yang menyala-nyala.
Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.
Mazmur Tanggapan
Ref. Tuhan tidak akan membuang umat-Nya.
Ayat. (Mzm 94:5-6.7-8.9-10.14-15)
1. Umat-Mu, ya Tuhan, mereka remukkan, dan milik pusaka-Mu mereka tindas; janda dan orang-orang asing mereka sembelih, dan anak-anak yatim mereka bunuh.
2. Mereka berkata, "Tuhan tidak melihatnya, Allah Yakub tidak mengindahkannya." Perhatikanlah, hai orang-orang bodoh di antara rakyat! Hai orang-orang bebal, bilakah kamu memakai akal budimu?
3. Dia yang menanamkan telinga, masakan tidak mendengar! Dia yang membentuk mata, masakan tidak melihat! Dia yang menghajar bangsa-bangsa, masakan tidak akan menghukum! Dialah yang mengajarkan pengetahuan kepada manusia!
4. Sebab Tuhan tidak akan membuang umat-Nya, dan milik pusaka-Nya tidak akan Ia tinggalkan; sebab hukum akan kembali kepada keadilan, dan semua orang yang tulus hati akan mematuhi.
Bait Pengantar Injil
Ref. Alleluya
Ayat. (Mat 11:25)
Terpujilah Engkau, Bapa, Tuhan langit dan bumi, sebab misteri kerajaan Kaunyatakan kepada orang kecil.
Inilah Injil Yesus Kristus menurut Matius (11:25-27)
"Yang Kausembunyikan kepada kaum cerdik pandai, Kaunyatakan kepada orang kecil."
Sekali peristiwa, berkatalah Yesus, “Aku bersyukur kepada-Mu, ya Bapa, Tuhan langit dan bumi, sebab misteri Kerajaan Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. Semua telah dise-rahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku, dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak serta orang-orang yang kepadanya Anak berkenan menyatakannya.”
Inilah Injil Tuhan kita!
U. Sabda-Mu sungguh mengagumkan!
Renungan
Paus Fransiskus pernah menyerukan kepada umat Katolik agar awas dengan "zona nyaman" diri masing-masing. Semangat tersebut menggoda manusia hanya untuk mencintai diri sendiri dan tidak peduli akan orang lain. Yang bersangkutan selalu puas dengan apa yang sudah ada dan karenanya sangat sulit terbuka dan kreatif akan hal-hal yang baru. Dalam Injil hari ini Yesus berdoa, "Aku bersyukur kepada-Mu, ya Bapa, Tuhan langit dan bumi! Sebab semuanya itu Kausembunyikan bagi orang bijak dan pandai, tetapi Kaunyatakan kepada orang kecil."
Berada dalam "zona nyaman" tidak hanya membuat kita miskin kepedulian sosial, tetapi juga berakibat kerdil dalam hal pengalaman mistik. Manusia mengalami kesulitan mengenali dan menemukan penyelenggaraan ilahi dalam peristiwa-peristiwa hidupnya. Yang bersangkutan selalu fokus pada diri, bersandar dan mengandalkan kebesaran-kekuatan dirinya. Mari dalam doa harian, kita memohon bantuan ilahi agar di satu pihak kita dengan gampang, tanpa banyak kesulitan, mengenali dan menemukan kebesaran Allah melalui sejarah hidup kita, di lain pihak menyadari titik-titik kerapuhan kedosaan masing-masing. Kita terus mohon rahmat "haus rohani".
Antifon Komuni (Mat 11:27)
Tiada seorang pun mengenal Putra selain Bapa; dan tiada seorang pun mengenal Bapa selain Putra dan orang yang oleh Putra diberi anugerah mengenal Bapa.
Doa Malam
Ya Allah, buatlah kami semakin mencintai Engkau melalui Yesus Putra-Mu. Sebab, melalui Diak ami akan sampai kepada-Mu. Demikian juga mereka yang berkenan kepada-Mu telah Kausatukan dengan kami untuk bersama-sama menapaki peziarahan hidup ini dengan saling membantu dan saling meneguhkan. Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami. Amin.
D.
MADAH HARIAN.
Mari kita bangkit dan bersegera datang kepada Bapa, dan mengatakan kepadaNya, "Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap Bapa, aku tidak layak lagi disebut anak Bapa, jadikanlah aku sebagai orang upahan" (Luk 15:18).
Mari kita bersegera, bersegeralah o para pendosa, saat waktumu belum berlalu, saat Bapamu masih menunggu, saat pintu-pintu pengampunanNya masih terbuka.
Mari kita bertobat dan berbalik saat kerahimanNya masih berlangsung, atau kita akan me
Janganlah putus asa atas dosa apapun yang telah kau lakukan, tetapi nantikanlah belas kasihan Allah ketika kau sungguh bertobat.
Betapapun besar dosamu dan betapa pun berat bebannya, kasih Allah lebih besar daripadanya.
Sebesar dan semulia kerajaanNya, sebesar itu kasihNya, namun jagalah dirimu untuk tidak jatuh lagi seterusnya.
MADAH HARIAN PAGI
(Rabu, 18 Juli 2018)
Mari kita putra terang
Tampil maju dan berjuang
Diresapi s’mangat Kristus
Jadi abdi dengan tulus.
Jangan lupa mohon Tuhan
Agar kita diarahkan
Pada tujuan sejati
Setia sepanjang hari.
Allah cahaya sejati
Sinarilah hati kami
Agar mampu memantulkan
Kristus terang kehidupan.
Terpujilah Allah Bapa
Terpujilah Allah Putra
Bersama Roh Kudus pula
Sekarang dan selamanya. Amin.
DOA
Tuhan yang mahamurah, semoga cahaya-Mu yang suci memenuhi hati kami, supaya kami tetap mengabdi Engkau dalam tingkah laku kami. Sebab Engkau telah menciptakan kami dengan bijaksana dan tetap membimbing serta memelihara kami. Demi Yesus Kristus, Putera-Mu dan pengantara kami, yang hidup dan berkuasa bersama Engkau dalam persekutuan Roh Kudus, sepanjang segala masa. Amin.
E.
VATIKAN, LAGU METAL, dan SEMANGKOK ES KRIM MINIM LEMAK
Mgr. Soegijapranata atau yg biasa disapa Romo Kanjeng Soegija adalah penggagas konsep “100% Katolik, 100% Indonesia”. Vatikan menjadi kiblat perjuangan imannya, tapi beliau tidak pernah melakukan “Vatikanisasi” di negeri tempatnya mengabdi.
Kepada Y.B. Mangunwijaya yang baru setahun kuliah di ITB, Romo Kanjeng menugaskan untuk meneruskan studi arsitektur ke Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule (RWTH) di Jerman.
Romo Hardjawardja ditugaskan ke Viena, Austria guna belajar musik, agar kelak mampu menyalin lebih banyak lagu gereja dengan sentuhan budaya lokal Indonesia.
Dan kepada penyiar Pak Besut di masa itu. “Saya sarankan lebih baik Saudara tetap mengabdi di RRI, tak perlu masuk Partai Katolik. Karena tenagamu dibutuhkan di sana. Partai Katolik biarlah diurus orang lain,” imbuh Romo Kanjeng suatu hari.
Terbukti, sepulang dari Jerman, Y.B Mangunwijaya menggenapkan impian Romo Kanjeng. Hampir seluruh gereja dan bangunan lain yg didisain bercorak budaya lokal. Tidak ada kemegahan Vatikan atau Roma, tidak ada kegenitan arsitektur Eropa. Malah tak jarang, elemen bagunannya memakai kayu-kayu lokal daur ulang. Segala material yg digunakan mulai dari pasir, batu kali, batang pohon, mengingatkan betapa Indonesia ada di benaknya.
Dan Romo Mangun mungkin terbilang yg cukup ekstrim menerjemahkan konsep “100% Katolik, 100% Indonesia" meski 6 tahun hidup di Jerman dan menyelami sangat teologi produk Roma. Lihat saja kostum kebesarannya: sarung, baju batik, dan kopiah hitam yg kerap mengiringi langkah beliau.
Baginya, penampilan dan jubah hanya asesoris belaka, tak bisa dijadikan ukuran kualtias seseorang. Malah kadang jubah itu sendiri bisa menipu!
Pada sebuah seminar tentang kepedulian sosial, seorang Katolik fanatik pernah bertanya kepada Romo Mangun, apakah beliau mempunyai target jumlah orang yang akan menjadi Katolik di setiap aksi kemanusiaannya?
Dengan nyolot, Romo Mangun menyemprot orang itu. “Dimana pun saya bekerja, saya hadir bukan sebagai tokoh agama yg mau mengkristenkan. Saya datang sebagai manusia yg bernama Mangun, yg kebetulan saja seorang pastor Katolik. Tidak ada gerakan keagamaan. Kuno itu!”
“Orang miskin butuh penghidupan bukan ajaran agama. Yang Islam tetap menjadi Islam yg baik, yang Katolik biar menjadi Katolik yang baik pula.”
Uskup Agung Mgr. Soegijapranata, Negarawan J. Kasimo, Penerbang Agustinus Adisutjipto, Pejuang Ignatius Slamet Riyadi, Tokoh pendidikan Driyarkara, Budayawan Y.B. Mangunwijaya, dan sederet tokoh Katolik lain yang telah mewariskan keteladanan beragama tanpa melepaskan kecintaan kepada tanah air, telah menjadi inspirasi hidup.
Bagi mereka, Vatikan adalah kiblat, bukan berhala. Tahta Suci adalah matahari.
Yang datang ke setiap negara, termasuk Indonesia adalah sinarnya. Dan sinar itu yg menjadi suluh perjuangan.
Seperti yg pernah diujarkan Romo Kanjeng sendiri bahwa tugas orang Katolik itu bukan membaptis orang. Itu urusan Roh Kudus. Tugas sebenarnya adalah bagaimana membuat sejahtera negara dan bangsa ini. Lagi pula, apakah jika dalam satu negara, semua orang beragama sama, persoalan hidup sudah selesai?
Maka jika kini timbul hasrat (baca: mimpi!) segelinir orang untuk menyamakan gerakan ormas seperti eksistensi Vatikan, ah…sudahlah. Akan semakin ribet nantinya jika kita menarik sejarah panjang tentang keberadaan Vatikan. Memang mau menerima sejarah dan kenyataan bahwa Sang Kristus adalah dalang dari berdirinya Tahta Suci Vatikan?
Vatikan sendiri, bisa jadi tengah tersenyum geli mendengar wacana ini. Bagi mereka akan lebih mengasyikkan menutup sore dengan diskusi memerangi kemiskinan dan upaya perdamaian dunia ditemani kopi-kopi panas dan semangkok gelato, es krim Itali minim lemak di pinggiran kota. Atau sesekali berkeliling di La Piazza di Spagna tak jauh dari tembok Vatikan sambil mendownload lagu-lagu metal dari gadget mereka. Karena hidup untuk dirayakan, bukan melulu membela agama. Kemuliaan Tuhan sesungguhnya lebih besar dan agung dari yang kita bayangkan.
Kiblat perjuangan itu ada di sini, di negara yang dasar, cita-cita dan penyelenggaraannya sudah diperjuangkan mati-matian oleh para bapak bangsa kita. Di sebuah negeri yang akan terus kita cintai: Indonesia Tanah Air Beta. (SS)
===
In Memoriam:
Romo Mangun (YB.Mangunwijaya)
(Buku XXI. Kanisius. RJK)
Prolog
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, seorang imam diosesan Keuskupan Agung Semarang, adalah splendor veritatis – yang penuh dengan warna-warni pelangi kemanusiaan.
Pergulatan hidupnya tercermin dalam beragam karya monumental. Novel Burung Burung Manyar (1979) menyabet penghargaan The South-East Asian Award (1986). Sentuhan arsitektur yang berbasis masyarakat terpinggirkan di tebing Kali Code telah membuatnya dianugerahi Aga Khan (1990-1992). Belum lagi, kepeduliannya terhadap karya pendidikan dasar dan orang-orang miskin. Ia jugalah yang mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED).
Sebuah Sketsa Profil1
‘’Rumah saya seperti rumah dukun. Banyak orang berdatangan, untuk mengeluh atau minta saran,’’ kata Romo Mangun. Mereka yang berdatangan adalah para mahasiswa, dosen, atau para tetangga, apa pun agamanya.
Kediamannya berupa sebuah rumah panggung, berdinding gedek, terletak di lembah yang berhimpitan dengan jembatan Gondolayu, Yogyakarta.
Berdekatan dengan rumahnya terdapat sederetan rumah serupa, yang dihuni tuna wisma, pemungut sampah, tukang becak, dan anak-anak penyemir sepatu. Tempat tinggal “orang buangan’’ yang tertata rapi itu adalah hasil rancangan Romo Mangun - arsitek lulusan Rheinisch - Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman Barat.
Ia adalah putra sulung dari 12 bersaudara, anak dari pasangan Julianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdiyah. Ia lahir di Ambarawa pada tanggal 6 Mei 1929. Kedua orang tuanya adalah guru, sedangkan kakeknya adalah petani tembakau. Sekolah formalnya dimulai di Muntilan, tetapi ia terpaksa tidak dapat melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut karena sekolah tersebut bubar ketika Jepang memasuki Indonesia.
Semasa remaja, ia sempat bergabung dengan Tentara Pelajar. Saat itu Romo Mangun tergabung dalam Batalyon X yang dipimpin Mayor Soeharto, mantan Presiden Indonesia.
Dalam seluruh hidup Romo Mangun, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah pilihan keberpihakannya kepada rakyat, terutama kaum
miskin, lemah, miskin, dan tersingkir. Sejak awal, sikap ini menjadi pilihan hidupnya.
Pilihan keberpihakan ini diawali dengan pengalamannya di kota Malang. Waktu itu, ada perayaan penyambutan Tentara Indonesia. Semua mengelu-elukan tentara sebagai pahlawan. Lalu Mayor Isman mendapat giliran berpidato. Mayor Isman mengatakan,
“Kami bukan pahlawan. Kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat. Karena kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan melakukan hal-hal yang kejam ... Sebetulnya kami ini bukan pahlawan. Yang pahlawan adalah rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi kami. Jika Belanda datang, kami lari. Memang bukan karena pengecut, melainkan karena kekuatan tidak seimbang. Tapi rakyat tidak bisa lari. Mereka yang menjadi korban : diperkosa, dibakar rumahnya, ditembak. Mereka yang berkorban, tetapi yang menjadi pahlawan bukan rakyat.”2
Pengalaman ini membuat Romo Mangun tergugah untuk membalas budi kepada rakyat. Usaha pembalasan budi kepada rakyat itu ditempuhnya dengan menjadi imam praja (baca: diosesan). Ia lebih memilih menjadi imam praja karena ia ingin bekerja langsung di tengah rakyat.
Bagi Mangun, menjadi imam adalah sebuah cara untuk berusaha menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan. Pada tanggal 8 September 1959, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Soegijapranata, SJ.
Dalam sebuah wawancara, Romo Mangun mengakui bahwa status imamat memang memberi banyak kemudahan baginya, tapi ia ingin menjadi manusia biasa saja:
“Yang berat justru untuk tetap bertahan sebagai manusia biasa. Sebab pastor itu ‘kan seolah-olah kasta tersendiri. Mudah membuat orang menjadi sombong. Karena itulah orang seperti kami harus selalu aware jangan sombong.”3
Tadinya, ia memang hanya ingin menjadi pastor desa, tetapi uskupnya menginginkan agar ia melanjutkan studi. Ia lalu masuk Institut Teknologi Bandung dan Sekolah Tinggi Teknik di Aachen, Jerman. Gelar insinyur sipil diraihnya pada tahun 1966. Selain menjadi arsitek dan pastor, ia juga menjadi dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gajahmada.
Seiring perjalanan waktu, orang-orang mengenalnya sebagai novelis, kolumnis berbagai surat kabar dan majalah, pekerja sosial, budayawan, dan tokoh besar yang mencintai orang miskin.
Selama hidupnya, Romo Mangun memang banyak terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakat. Ia berkiprah di banyak tempat demi hidup masyarakat yang lebih baik.
Pengalaman hidupnya di Code (Yogyakarta), Gigrak (Gunungkidul), Kedungombo (Boyolali) mengungkapkan betapa ia peduli terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Hasratnya untuk terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat manusia membuatnya juga tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, dia pun berpolitik. Komentar dalam buku Politik Hati Nurani mengatakan demikian:
“Romo Mangun memang berpolitik, tapi bukan politik dalam arti mencari kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara. Ia menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikannya. Politik harus menggunakan hati nurani dan hati nurani
sendiri juga harus dipolitikkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas dan demi keadian bagi seluruh lapisan.”4
Romo Mangun sendiri menghabiskan sisa hidupnya di Gang Kuwera, Jalan Gejayan, Yogyakarta. Saat ini bekas rumah tinggal sekaligus kantornya ini digunakan sebagai kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, sebuah yayasan yang didirikannya.
Akhirnya, ia menghembuskan nafas akhirnya
pada hari Rabu Legi, 10 Februari 1999, ketika ia diminta menyampaikan gagasan dalam seminar perbukuan dengan tema Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di Hotel Le Meridien, Jakarta.
Banyak kalangan yang merasa kehilangan atas kepergiannya. Berbagai komentar dari tokoh masyarakat, termasuk Mantan Presiden BJ Habibie, menunjukkan bahwa bangsa ini telah kehilangan seorang tokoh yang menjadi suri teladan. Jenazahnya dimakamkan di Seminari
Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Meskipun ia telah pergi, namun nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkannya tidak akan pernah hilang, bukan?
Refleksi Teologis
Sugi, Suka Berbagi
Merupakan sebuah pemaknaan bahwa tindakan politik Romo Mangun didasari pengalaman mistiknya dengan Allah. Ia sungguh-sungguh
berpolitik. Ia membangun negara yang demokratis. Ia ingin betul-betul tidak ada orang yang disingkirkan dalam pembangunan negara. Apa yang dilakukan Romo Mangun adalah tanggapan kenabian terhadap kenyataan
yang bobrok.5
Kiranya tidak berlebihan, kalau Jennifer Lindsey menilai bahwa Romo Mangun adalah hati nurani bangsa. “Orang agung yang bijak di dunia ini memang jarang dan Romo Mangun adalah salah satu di antaranya.
Beliau adalah salah seorang cendekiawan Indonesia terbesar, seorang yang amat mencintai negaranya dan dari rasa cinta tersebut berani bicara sebagai hati nurani bangsa.”6
Saya pribadi kalau mengingat Rm Mangun, jadi teringat seorang supir bernama Sugi (kebetulan Romo Mangun juga pernah menjadi supir ketika
ikut dalam Tentara Pelajar).
Saya mengenal Mas Sugi ketika bertugas pastoral di Kolese Gonzaga Jakarta, sekitar tahun 2002. Bagi saya, “Sugi” bisa berarti suka berbagi. Saya juga melihat bahwasannya Rm Mangun juga suka berbagi.
Dalam bagian refleksi teologis ini, saya membaginya dalam tiga bidang besar sebagai berikut.
a. Romo Mangun sebagai Guru
Romo Mangun bukan hanya seorang rohaniawan, tapi ia juga adalah seorang tokoh yang mencoba membagikan pemahaman betapa pentingnya pendidikan dasar bagi masyarakat, terutama pendidikan bagi rakyat kelas bawah.
“Anak-anak miskin yang tanpa sepengetahuan mereka terlempar lahir di kalangan kumuh itu, itulah yang sebetulnya lebih memerlukan pertolongan dan dari pengalaman itu saya mengambil kesimpulan bahwa prioritas selanjutnya yang ingin saya kerjakan adalah mengabdi kepada pendidikan dasar anak-anak miskin,” kata Romo Mangun.
Disinilah, Rm. Mangun mencoba untuk keluar dari lingkaran setan: dampak kekuasaan yang termanifestasi melalui kurikulum yang sarat
dengan pengetahuan namun miskin dalam pemaknaan. Karena itu, dengan memanfaatkan sebuah SD Kanisius Mangunan, Sleman yang hampir mati, pada tahun 1994, Rm. Mangun mengadakan terobosan (groundbreaking)
dengan tiga sasaran.
Pertama, Rm. Mangun menciptakan kurikulum yang khas. Kepedulian dan kedekatannya dengan wong cilik telah mendorongnya
untuk mengangkat kemiskinan sebagai laboratorium eksperimental untuk mengentaskan anak miskin.
Kedua, sebagai partner kerja dari SDKEM, Rm.
Mangun juga mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang berperan sebagai think tank untuk mendukung dari program-program pembelajaran di SDKEM. Di DED inilah berbagai persoalan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar diangkat, didiskusikan, dibagikan, dipahami secara bersama, disikapi secara kritis, dan akhirnya dicarikan solusinya.
Ketiga, Rm. Mangun juga tidak enggan menggandeng berbagai rekan, mengembangkan jaringan, dan menyebarkan temuan-temuan dalam berbagai eksperimen tersebut ke berbagai forum.
Sebagai seorang pendidik, ia juga pernah berpendapat bahwa beberapa daya yang harus dikembangkan, yaitu: daya kognitif (daya nalar), cita rasa dan kemampuan afektif (rasa, intuisi dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan), kemampuan untuk saling berkomunikasi (bergaul, bekerja sama, teratur, tenggang rasa), kesehatan raga, dan hati nurani (sikap atau semangat tolong menolong, setia kawan, sopan, dan cinta kasih).7
Pendidikan daya yang terakhir inilah, “pendidikan hati nurani”, dapat dilakukan melalui komunikasi iman (bukan melulu agama) dalam kehidupan, dialog, percakapan, dan lebih-lebih perbuatan. Tujuan komunikasi iman ini adalah untuk menumbuhkan sikap dasar yang benar, hati nurani yang peka terhadap segala yang baik, adil, benar, senang menolong, dan membuat orang lain gembira, sekaligus memekarkan watak yang menolak segala yang buruk, menghina teman yang miskin, cacat, atau lambat belajar misalnya.8
Di sinilah, saya mengangkat pernyataan Ignatius Haryanto, dalam kata pengantar buku Politik Hati Nurani. Ia menulis:
“Sosok Mangunwijaya yang pasti bukanlah seorang politikus dalam arti seorang yang memimpin partai, memimpin sekelompok massa, dan memperjuangkan suatu kepentingan bersama. Romo Mangun mengerti soal politik, dan dalam arti luas ia juga berpolitik, namun ia mendasari politiknya lewat pengabdian pada kemanusiaan. Profesinya sebagai seorang rohaniwan mau tidak mau mempengaruhi option yang dipilihnya tersebut.
Dengan seluruh karya sosialnya, Mangun menunjukkan bahwa ia bergerak atas dasar panggilan nurani kemanusiaan ... Hati nurani
bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan politik, bahkan justru kegiatan politik harus memiliki Hati Nurani jika perpolitikan hendak berlangsung abadi dan mendapatkan simpati dari rakyat.”9
Secara imani, Romo Mangun mengajak kita melihat bahwa berbagai pengalaman hidup yang dijumpai dalam hidup keseharian dapat diangkat dan dimaknai dengan adanya kepekaan hati nurani. Barang-barang bekas
bisa dibawa ke kelas untuk menumbuhkan kesadaran tentang makna kreativitas, perlunya konservasi alam, dan kepedulian terhadap sesama.
Bagi Rm. Mangun, kemiskinan bukan alasan untuk merasa pesimistis, gagal, dan tidak berprestasi. Bukankah Tuhan juga datang sebagai orang miskin di sebuah kandang Betlehem? Romo Mangun bahkan pernah juga
mengatakan, “Yang utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil dan solider terhadap yang menderita ... demi perdamaian dunia, kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan.” Menurutnya, iman adalah tindakan, ya tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia, menjadi lebih punya hati nurani.10
b. Romo Mangun sebagai Sastrawan
Dalam khasanah sastra Indonesia Romo Mangun dikenal sebagai seorang penulis novel yang produktif. Sampai di akhir hidupnya ia telah menulis puluhan novel.
Beberapa karya satranya antara lain: Romo Rahadi (1981), Burung-burung Manyar (1981), Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1986), Balada Becak (1985), Burung-burung Rantau (1992), Balada Dara-dara Mendut (1993), Durga Umayi (1994), Tak Ada Jalan Lain (1999), Pohon-pohon Sesawi (1999).
Membaca novel Romo Mangun berarti juga membaca humanisme. Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, semua napas dan roh novel-novel Romo Mangun menunjukkan sosok multidimensionalitas pribadinya.
Melalui novelnya, Romo Mangun mencurahkan pandangannya tentang kemanusiaan dan kebangsaan. Ia menulis cerita dengan cara yang sangat jelas dan memakainya sesuai kebutuhan. Kadang seorang Mangun bergaya, seperti seorang kakek yang bercerita dengan menyenangkan kepada cucunya, misalnya dalam Burung-burung Manyar yang diselipi unsur jenaka dan riang, walaupun ada novel yang tergolong ”sulit” dicerna, seperti Durga Umayi.
Trilogi roman sejarah Rara Mendut dan novel petualangan Romo Rahadi bisa dibilang merupakan novel-novel yang paling nyaman dan mengasyikkan.
Tidak berbeda dengan penulis besar dalam sastra Indonesia, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Takdir Alisjahbana, Mangunwijaya di hampir semua karyanya juga bercerita tentang keindonesiaan, tentang terbentuknya bangsa Indonesia. Keindonesiaan ditulis melalui pemikirannya yang kritis. Tanpa gentar ia mengungkap sisi lain dari kebanyakan kisah-kisah sejarah yang luput diceritakan. Misalnya, meski kini bangsa Indonesia sudah
lama mengenyam kemerdekaan dan tidak lagi dikungkung penjajahan fisik, tetapi cerita Durga Umayi tetap relevan. Kolonialisme gaya baru, modernitas, dan kapitalisme global kini yang memperkosa Indonesia.
Dalam novel “Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa”, sikap Mangunwijaya terhadap penjajahan jelas terlihat. Ikan hiu, ido, dan homa ialah proses
makan dan dimakan. Ikan besar (hiu) memakan ikan kecil (ido), ikan kecil (ido) memakan ikan lebih kecil (homa).
Bagi saya, membaca karya Romo Mangun juga mengantar kita belajar memahami persoalan-persoalan kunci dunia melalui pengalaman Indonesia, seperti kolonialisme, modernitas, dan identitas yang kini menjadi pemecah belah manusia. Tampak jelas, bahwa Romo Mangun mengomunikasikan imannya lewat pelbagai tulisan yang dia hasilkan bukan?
c. Romo Mangun sebagai Arsitek
Sebagai seorang arsitek, Romo Mangun mempunyai keistimewaan dalam dunia arsitektur Indonesia. Hasil karya Mangunwijaya dapat menjadi contoh hasil ekspresi yang jujur dan kreatif dari jiwa dengan semangat option for the poor: keberpihakan kepada kelompok lemah dan terpinggirkan.
Erwinthon P. Napitupulu, arsitek muda yang tengah mendokumentasikan karya-karya Mangunwijaya mengatakan di tengah diskusi yang digelar Dewan Kesenian Jakarta dalam rangka memperingati 80 tahun kelahiran Romo
Mangun di Goethe Institute, Jakarta, “seperti juga pada banyak aktivitasnya di bidang politik, pendidikan dan sastra, karya Mangunwijaya di bidang arsitektur bukanlah menjadi tujuannya.
Baginya, arsitektur menjadi media perjuangan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya, yakni kemanusiaan.”
Mangunwijaya sebagai arsitek, misalnya, terlibat langsung dalam konflik sosial di Lembah Code ketika muncul rencana penggusuran. Dia menggunakan arsitektur untuk membantu meredam konflik tersebut. Dia
juga sempat mendesain perahu dan perpustakaan terapung untuk menjawab persoalan ketika terjadi ketidakadilan di Kedungombo (1989-1993).
Sejauh ini, tercatat 82 karya Mangunwijaya. Karya arsitektur Mangunwijaya menekankan kesederhanaan dalam penggunaan bahan bangunan. Dalam pembangunan, digunakan material dan tenaga kerja setempat. Bangunan
menjadi kontekstual sehingga sesuai dengan kondisi Indonesia. Contoh lain, dalam desain-desain rumah ibadah seperti Gereja, ciri yang menonjol ialah keterbukaan bangunan sehingga Gereja menjadi bagian dari komunitas setempat. Romo Mangun sendiri telah berhasil meraih dua kali IAI Award dan Aga Khan Award untuk ketiga buah karyanya, yakni: Perkampungan Kali Code, tempat ziarah Sendang Sono, serta Biara Trapis Gedono.
Buah karyanya sarat dengan pesan, baik dari segi konsep maupun teknik, dan kerap disebut sebagai “Arsitektur Nusantara” karena tidak
harus mengacu ke gaya-gaya arsitektur tertentu. Mangunwijaya (1985) selalu mengingatkan lewat bukunya “Wastu Citra”, bahwa ternyata bangunan punya citra tersendiri, mewartakan mental, dan jiwa pembuatnya. Ternyata pula bila sang arsitek hendak berarsitektur sebaiknya ada kecenderungan lebih mendalami yang berhubungan dengan mental, kejiwaan, serta kebudayaan setempat.
Di tengah kiprahnya berkarya, beliau masih prihatin terhadap bidang arsitektur yang lebih banyak berpihak pada orang mampu daripada orang tidak mampu sehingga hal ini mendorong beliau dengan sadar melepaskan atribut keprofesian atau melepas embel-embel IAI di belakang namanya.
Kepedulian beliau ini dapat kita lihat dari hasil karyanya sebuah perumahan untuk kaum papa di Kali Code, Yogyakarta. Jelasnya, lewat pelbagai karyanya inilah, Romo Mangun sungguh membagikan imannya yang mau bersolider dengan masyarakat sekitarnya.
Epilog
Sebagai penutup, saya kutipkan sepenggal sajak indah dari nenek moyang kita, yang dituliskan kembali oleh Mangunwijaya dalam bukunya Wastu Citra (hal 2),
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadag lan batine, pepindhane wadhah lan isine ...” (Yang disebut hidup sejati tak lain adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya).
Gereja pun diajak olehnya untuk mencapai hidup sejati, maka Mangunwijayapun dengan lantang menyerukan hati nurani kemanusiaan kepada seluruh warga Gereja:
“Di Asia, khususnya di Indonesia, manusia kecil, lemah, miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka yang kaya dan berkuasa ... Hukum rimba: siapa kuat, dia menang. Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia, yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.”11
“Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %. Namun, setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota bene terkenal sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah “terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin, tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”12
Tampak jelas, keberpihakan Romo Mangun kepada kaum miskin adalah sesuatu yang digulat-geliati seumur hidupnya terus-menerus. Hidup
Romo Mangun seakan-akan menjadi sebuah usaha yang tiada henti untuk memperjuangkan kaum miskin, lemah, kecil, dan tersingkir ini. Jelaslah dia benar-benar mencari hidup yang sejatinya, dan bisa jadi bagi banyak orang, Romo Mangun memang “hadir untuk memberi”.
==========
“Memanglah ada dua paradigma dan pengertian dan pengartian dasar politik.
Yang pertama lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni politik dalam aspek kekuasaan; penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan, pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status quo kekuasaan, dan seterusnya;
Pendek kata, segala yang menyangkut power atau kekuasaan; termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang lemah.
Lazimnya khalayak ramai mengartikan politik melulu dalam artipertama ini sehingga ada ucapan yang terbang di mana-mana: “politik
itu kotor”.
Namun bagi orang terpelajar, ada politik berparadigma ke-2 yang sebenarnya lebih asli dan otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis,
ataupun sesuai kodrat alam manusia dan masyarakat, (tetapi kurang terkenal populer), yakni politik dalam arti: segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum; jasmani dan rohani. Bukan untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia, atau partai itu atau umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan umum, semua warga bahkan universal semua bangsa, tanpa pandang siapa dan golongan, luas; misalnya, sila ke-2 (kemanusiaan yang adil dan beradab), sila ke-5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat).
Juga demi perdamaian, kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dan sebagainya demi tata hidup bersama yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualis maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest, dan sebagainya, dan seterusnya.
Ini politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral dan iman (YB. Mangunwijaya).”13
Catatan-catatan:
1. Biografi Romo Mangun ini disusun dari data yang ada, terutama dari Y.B.Mangunwijaya. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
2. “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 59-60.
3. “Saya Tak Mau Jadi Godfather” dalam Y.B. Mangunwijaya. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 28.
4. YB. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997. Halaman sampul bagian belakang.
5. “Bukan Sekadar Politik Rohaniwan Biasa” dalam Y.B. Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 318-319.
6. Jennifer Lindsey. “Y.B. Mangunwijaya Hati Nurani Bangsa” dalam Y.B. Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 111.
7. A. Supratiknya dan A. Atmadi. “Romo Mangun sebagai Guru” dalam Y.B.Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 161.
8. Bdk. A. Supratiknya dan A. Atmadi. Ibid. Hal. 171-172.
9. Y.B. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997. Hal. xi-xii.
10. “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 61.
11. “Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia” dalam Y.B. Mangunwijaya. Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 17-18.
12. “Anawim” dalam Y.B. Mangunwijaya. Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 30.
13. “Rohaniwan Tak Boleh Berpolitik?” dalam Y.B. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997. Hal. 90-91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar